BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Federalisme Fiskal (Fiscal Federalism)

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten Aceh Timur

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, daerah harus mampu menggali potensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD.

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan daerahnya sendiri, membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah-daerah

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam naungan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Umum, Dana Bagi Hasil, Pendapatan Asli Daerah, Belanja Daerah, dan flypaper

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

BAB I PENDAHULUAN. ini tidak terlepas dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintah propinsi maupun

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berkaitan dengan variabel yang digunakan. Selain itu akan dikemukakan hasil

BAB I PENDAHULUAN. dengan kata lain Good Governance, terdapat salah satu aspek di dalamnya yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. A. Tinjauan Pustaka. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

ketentuan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana. mandiri menghidupi dan menyediakan dana guna membiayai kegiatan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Maimunah (2006) pengertian flypaper effect adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melakukan penelitian terlebih dahulu yang hasilnya seperti berikut : Peneliti Judul Variabel Hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks pencapaian kemampuan dasar pembangunan manusia yang dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Masing-masing dimensi IPM ini, direpresentasikan oleh indikator. Dimensi umur panjang dan sehat direpresentasikan oleh indikator angka harapan hidup, dimensi pengetahuan direpresentasikan oleh indikator angka melek huruf dan ratarata lamanya sekolah, serta dimensi kehidupan yang layak direpresentasikan oleh indikator kemampuan daya beli. 2.1.1.1. Angka Harapan Hidup Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Perhitungan angka harapan hidup melalui pendekatan tak langsung (indirect estimation). Jenis data yang digunakan adalah Anak Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH). Indeks harapan hidup dihitung dengan menggunakan nilai maksimum dan nilai minimum harapan hidup sesuai standar UNDP, yaitu angka tertinggi sebagai batas atas dipakai 85 tahun dan terendah adalah 25 tahun. 2.1.1.2. Tingkat Pendidikan Indikator yang digunakan dalam dimensi pendidikan adalah rata-rata lama sekolah (Mean Years of Schooling MYS) dan angka melek huruf. Kedua

indikator pendidikan ini dimunculkan dengan harapan dapat mencerminkan tingkat pengetahuan (cerminan angka Lit), dimana Lit merupakan proporsi penduduk yang memiliki kemampuan baca tulis, sedangkan cerminan angka MYS merupakan gambaran terhadap keterampilan yang dimiliki penduduk. Angka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun keatas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Batas maksimum untuk angka melek huruf adalah 100 (seratus), sedangkan batas minimumnya 0 (nol). Nilai 100 menunjukkan bahwa semua masyarakat mampu membaca dan menulis, sedangkan nilai 0 mencerminkan kondisi sebaliknya. Rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan untuk penduduk usia 15 tahun keatas dalam menjalani pendidikan formal. Perhitungan rata-rata lama sekolah menggunakan dua batasan yang dipakai sesuai kesepakatan beberapa negara. Rata-rata lama sekolah memiliki batas maksimumnya 15 tahun dan batas minimum sebesar 0 tahun. Pada proses pembentukan IPM, rata-rata lama sekolah memiliki bobot sepertiga dan angka melek huruf diberi bobot dua pertiga, kemudian penggabungan kedua indikator ini digunakan sebagai indeks pendidikan sebagai salah satu komponen pembentuk IPM. 2.1.1.3. Standar Hidup Layak Standar hidup layak menggambarkan tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh penduduk, sebagai dampak semakin membaiknya ekonomi. UNDP mengukur standar hidup layak menggunakan Produk Domestik Bruto (PDRB) riil yang disesuaikan, sedangkan BPS dalam menghitung standar hidup layak

menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan formula Atkinson. Perhitungan IPM sub nasional (provinsi atau kabupaten/kota) tidak memakai PDRB per kapita, karena PDRB per kapita hanya mengukur produksi suatu wilayah dan tidak mencerminkan daya beli riil masyarakat. Untuk mengukur daya beli penduduk antar provinsi di Indonesia, BPS menggunakan data rata-rata konsumsi 27 komoditi terpilih dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dianggap paling dominan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan telah distandarkan agar bisa dibandingkan antar daerah dan antar waktu yang disesuaikan dengan indeks PPP (Purchasing Power Parity). Pada gambar 2.1 berikut ini ditunjukkan diagram komponen IPM. Gambar 2.1. Diagram Komponen IPM DIMENSI Umur Panjang dan Sehat Pengetahuan Kehidupan yang Layak INDIKATOR Angka harapan hidup pada saat Lahir Angka melek huruf (Lit) Rata-rata Lama sekolah (MYS) Pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan (PPP Rupiah) INDEKS Indeks Harapan Hidup Indeks Pendidikan Indeks Pendapatan Indeks Pembangunan Manusia Sumber: Badan Pusat Statistik dengan formula: Dari ketiga komponen IPM di atas, maka capaian IPM dapat dihitung

IPM = 1 3 (X 1 + X 2 + X 3 ) Keterangan: X 1 = Indeks harapan hidup X 2 = Indeks pendidikan X 3 = Indeks pendapatan UNDP mengelompokkan capaian IPM menjadi empat kategori, yaitu: kategori tinggi dengan nilai IPM > 80, kategori menengah atas dengan 66 < IPM < 80, kategori menengah bawah dengan 50 < IPM < 66, dan kategori rendah dengan IPM < 50. 2.1.2. Keuangan Daerah dan Anggaran Pemerintah Daerah 2.1.2.1. Keuangan Daerah Pengertian keuangan daerah menurut Penjelasan Umum Pasal 156 Ayat (1) UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut: keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Selanjutnya, dalam Ketentuan Umum PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, menyebutkan bahwa keuangan daerah adalah: semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.

2.1.2.2. Anggaran Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah merupakan organisasi sektor publik yang kegiatannya berkaitan dengan usaha memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam menjalankan kegiatannya, pemerintah dituntut untuk dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang dimilikinya seefektif dan seefisien mungkin serta dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Untuk itu, maka diperlukan perencanaan yang matang terutama dalam penggunaan keuangan Pemerintah Daerah, karena pada dasarnya keuangan daerah seluruhnya adalah milik publik. Perencanaan keuangan daerah ini dituangkan dalam bentuk anggaran. Didalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Standar Akuntansi Pemerintahan (PP 71/2010) melalui PSAP No 2 tentang Laporan Realisasi Anggaran dijelaskan bahwa anggaran merupakan pedoman tindakan yang akan dilaksanakan pemerintah meliputi rencana pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan yang diukur dalam satuan rupiah, yang disusun menurut klasifikasi tertentu secara sistematis untuk satu periode. Mardiasmo (2004) mengemukakan bahwa anggaran sektor publik adalah suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja, dan aktifitas. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan : 1) Berapa biaya atas rencana yang dibuat (pengeluaran/belanja), dan 2) Berapa banyak dan bagaimana caranya memperoleh uang untuk mendanai rencana tersebut (pendapatan).

Berdasarkan pengertian keuangan daerah yang menyebutkan bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan, daerah mempunyai hak dan kewajiban, maka Pemerintah Daerah memerlukan suatu rencana keuangan setiap tahunnya, yaitu dengan menyusun APBD. Dilihat dari strukturnya, maka sesuai dengan ketentuan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dibagi menjadi Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan. 2.1.3. Pendapatan Asli Daerah UU 33/2004 menyatakan Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sejalan dengan pengertian tersebut, didalam UU 28/2009 disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah yaitu sumber keuangan daerah yang digali dari wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. 2.1.3.1. Pajak Daerah Menurut UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi bahwa pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pendapat lainnya, Simanjuntak (2003) menyatakan bahwa pajak daerah adalah pajak-pajak yang dipungut oleh daerahdaerah seperti propinsi, kabupaten maupun kotamadya berdasarkan peraturan

daerah masing-masing dan hasil pemungutannya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga daerahnya masing-masing. Dari kedua pernyataan di atas, didalam pengertian pajak daerah terkandung makna: a. Kontribusi orang pribadi/ badan yang bersifat memaksa. b. Dipungut berdasarkan Undang-undang / Peraturan Daerah. c. Tidak mendapat imbalan langsung. d. Digunakan untuk pembiayaan rumah tangga daerah masing-masing untuk tujuan kemakmuran rakyat. Lebih lanjut di dalam UU 28/2009 Pasal 1 dan 2, disebutkan bahwa jenis pajak provinsi terdiri atas 5 (lima) jenis yaitu: pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan dan pajak rokok. Jenis pajak kabupaten/kota terdiri atas 11 (sebelas) jenis, yaitu: pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. 2.1.3.2. Retribusi Daerah Menurut UU 28/2009 bahwa retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan, yang terdiri atas: Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu.

2.1.3.3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Sesuai dengan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Penerimaan ini antara lain dari bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/bumn dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. 2.1.3.4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah Menurut UU 33/2004 bahwa yang termasuk dalam Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. 2.1.4. Dana Perimbangan UU 33/2004 Pasal 1 (18) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan PP 55/2005 tentang Dana Perimbangan menyatakan bahwa Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

2.1.4.1. Dana Bagi Hasil (DBH) UU 33/2004 Pasal 1 ayat 20, menjelaskan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Lebih lanjut didalam Penjelasan Umum UU 32/2004 disebutkan bahwa pengalokasian Dana Bagi Hasil (DBH) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan pendapatan yang diperoleh dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah berupa pajak dan sumber daya alam. Menurut UU 32/2004 Pasal 160 menyebutkan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) yang bersumber dari pajak terdiri dari: Pajak Bumi dan Bangunan/PBB; Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, dan PPh pasal 21. Sedangkan Dana Bagi Hasil (DBH) yang bersumber dari sumber daya alam terdiri dari: kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi. Dalam pengalokasian dan penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH), terdapat 3 (tiga) prinsip yang digunakan, yaitu: 1. Pengalokasian DBH dilakukan berdasarkan prinsip by origin (daerah penghasil); 2. Penyaluran berdasarkan realisasi penerimaan; dan 3. Dana Bagi Hasil PPh Pasal 21 didasarkan atas pemotong atau pemungut pajak di tempat dimana bendaharawan terdaftar sebagai Wajib Pajak dan Pasal 25/29 WPOPDN berdasarkan tempat domisili atau tempat usaha Wajib Pajak terdaftar.

2.1.4.2. Dana Alokasi Umum (DAU) Di dalam UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Dana Alokasi Umum merupakan bagian dari Dana Perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU merupakan dana yang bersifat block grant. Artinya, ketika dana tersebut diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, maka Pemerintah Daerah bebas untuk menggunakan dan mengalokasikan dana ini sesuai prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan instrumen transfer ke daerah yang bertujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah, dan dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Alokasi DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity) dan dialokasikan dalam bentuk block grant. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

Kebutuhan fiskal adalah kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum (Yani, 2008). Kebutuhan pendanaan suatu daerah dihitung dengan pendekatan total pengeluaran rata-rata nasional. Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH). 2.1.4.3. Dana Alokasi Khusus (DAK) Didalam UU 33/2004 Pasal 1 ayat 23 disebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan bagian dari Dana Perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan tertentu. UU 32/2004 Pasal 162 menyebutkan bahwa DAK dialokasikan dalam APBN untuk daerah tertentu dalam rangka pendanaan desentralisasi untuk (1) membiayai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah Pusat atas dasar prioritas nasional dan (2) membiayai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Sejalan dengan UU 33/2004 ini, menurut PP 55/2005 tentang Dana Perimbangan menyatakan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) digunakan untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi sebagai perwujudan tugas ke pemerintahan di bidang tertentu khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat. Pengalokasian Dana Alokasi Khusus diprioritaskan untuk daerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah atau di bawah rata-rata nasional. Kemampuan fiskal rendah didasarkan pada selisih antara realisasi penerimaan umum daerah dengan belanja pegawai negeri sipil daerah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran.

2.1.5. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Didalam UU 32/2004 dinyatakan bahwa Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan Pemerintah. Sejalan dengan pernyataan didalam UU 32/2004 tersebut, Yani (2008) mengemukakan bahwa Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah dalam APBD terdiri dari: 1) Hibah yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/ perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat; 2) Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/ kerusakan bencana alam; 3) Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota; 4) Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; dan 5) Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya. 2.1.6. Belanja Daerah Menurut UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Lebih lanjut didalam Permendagri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dinyatakan bahwa belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/ kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2.1.7. Teori Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran Pemerintah (government expenditure) adalah bagian dari kebijakan fiskal (Sukirno, 2001), yaitu suatu tindakan pemerintah untuk mengatur jalannya perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran pemerintah setiap tahunnya, melalui dokumen Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk nasional, dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk daerah atau regional. Tujuan dari kebijakan fiskal ini adalah dalam rangka menstabilkan harga, meningkatkan output maupun kesempatan kerja, memacu atau mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Hal ini sejalan dengan pendapat Keynes dalam Sukirno (2001), bahwa peranan atau campur tangan pemerintah masih sangat diperlukan, karena apabila perekonomian sepenuhnya diatur oleh kegiatan di pasar bebas, bukan saja tingkat perekonomian tidak tercapai dan tingkat kesempatan kerja penuh tercapai, tetapi juga kestabilan kegiatan ekonomi tidak dapat diwujudkan. Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah (Mangkoesoebroto, 1993). Artinya, apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, maka pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi secara teori, dapat diterangkan dalam Keynesian Cross (Mankiw, 2003) pada gambar 2.2 berikut ini.

Gambar 2.2. Pengeluaran Pemerintah dalam Keynesian Cross Government expenditure Actual expenditure Planned expenditure E 2 =Y 2 DY B DG Planned expenditure E 1 =Y 1 A 45 0 E 1 =Y 1 E DY 2 =Y 2 Income, Output, Y Sumber : Mankiw, N. Gregory. 2003. Pada gambar 2.2 di atas, dapat dilihat bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah, berdampak pada kenaikan pertumbuhan ekonomi yang diukur melalui pendapatan dan tingkat output. Peningkatan besarnya pengeluaran pemerintah berhasil merubah keseimbangan dari titik A ke titik B, yang berarti adanya peningkatan atau pertumbuhan (Y). Lebih lanjut, Mangkoesoebroto (1993) menjelaskan bahwa model pembangunan dalam perkembangan pengeluaran pemerintah ini dikembangkan oleh Rostow (1960) dan Musgrave (1993) yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah (government expenditure) dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan menjadi 3 (tiga) tahap yaitu: tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar, sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana, seperti pendidikan, kesehatan, trasportasi dan sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi

agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti halnya, program kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan masyarakat, dan sebagainya. 2.2. Review Penelitian Terdahulu Review penelitian terdahulu merupakan tinjauan atas penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang masih ada kaitannya dengan penelitian yang dilakukan saat ini. Penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini, yaitu: 1. Ardiansyah, et al. (2014), melakukan penelitian Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Variabel yang digunakan adalah PAD, DAU, dan DAK sebagai variabel independen dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial, PAD berpengaruh positif signifikan terhadap IPM, DAU berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap IPM, DAK berpengaruh negatif signifikan terhadap IPM; dan secara simultan PAD, DAU, dan DAK berpengaruh signifikan terhadap IPM. 2. Kusmayoni (2004) melakukan penelitian tentang Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Membiayai Pengeluaran Daerah di Kabupaten Klungkung. Variabel penelitian yang digunakan adalah Pajak Daerah,

Retribusi Daerah, Lain-lain PAD yang Sah sebagai variabel independen; dan Belanja Daerah sebagai variabel independen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Lain-lain PAD yang sah berpengaruh signifikan baik secara bersama-sama maupun secara individu terhadap Belanja Daerah. 3. Pambudi (2008), melakukan penelitian Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat. Variabel penelitian yang digunakan adalah PAD sebagai variabel independen dan IPM sebagai variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PAD berpengaruh positif terhadap IPM. 4. Masdjojo dan Sukartono (2009) melakukan penelitian Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Daerah serta Analisis Flypaper Effect pada Kabupaten / Kota di Jawa Tengah. Variabel penelitian yang digunakan adalah PAD, DAU, DBH, dan DAK sebagai variabel independen; dan Belanja Daerah sebagai variabel dependen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PAD, DAU, dan DBH memiliki pengaruh positif signifikan terhadap Belanja Daerah, sementara DAK tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah. Hasil perbandingan uji statistic t, sig, korelasi dan koefisien determinasi dari variabel Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Daerah adalah lebih besar daripada nilai-nilai statistic Pendapatan Asli Daerah. Oleh karena itu terjadi flypaper effect pada Belanja Daerah Jawa Tengah.

5. Kurniawati (2010) melakukan penelitian Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Pemerintah Daerah Provinsi, Kota, dan Kabupaten di Indonesia. Variabel penelitian yang digunakan adalah PAD dan DAU sebagai variabel independen; dan Belanja Daerah sebagai variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DAU berpengaruh positif secara signifikan terhadap Belanja Daerah. PAD secara statistik berpengaruh positif secara signifikan terhadap Belanja Daerah. Pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah lebih besar daripada pengaruh PAD terhadap Belanja Daerah (koefisien DAU lebih besar daripada koefisien PAD). 6. Hidayahwati (2011) melakukan penelitian tentang Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2003 2007. Variabel yang digunakan adalah tingkat kemandirian fiskal dilihat dari komponen PAD (Pajak Daerah, Retribusi Daerah, BHUMD dan PAD lainnya yang sah) sebagai variabel independen dan Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemandirian fiskal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. 7. Mirza (2010) melakukan penelitian Pengaruh Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Tengah tahun 2006 2009. Variabel penelitian yang digunakan adalah

Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Belanja Modal sebagai variabel independen; dan Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kemiskinan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Pertumbuhan Ekonomi dan Belanja Modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. 8. Handayani dan Nuraina (2012) meneliti Pengaruh Pajak Daerah dan Dana Alokasi Khusus terhadap Alokasi Belanja Daerah Kabupaten Madiun. Variabel penelitian yang digunakan adalah DAK dan PAD sebagai variabel independen; dan Belanja Daerah sebagai variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pajak Daerah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap Alokasi Belanja Daerah. DAK tidak berpengaruh positif terhadap Alokasi Belanja Daerah. Pajak Daerah dan Dana Alokasi Khusus secara simultan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap Alokasi Belanja Daerah. 9. Pratowo (2012), melakukan penelitian tentang Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia, dengan variabel independen, yaitu: Belanja Daerah, Gini Rasio, Proporsi Pengeluaran Konsumsi non Makanan, dan Rasio Ketergantungan; dan Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel dependen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial, Belanja Daerah dan Proporsi Pengeluaran non Makanan secara signifikan berpengaruh positif terhadap IPM. Gini Rasio dan Rasio Ketergantungan secara signifikan berpengaruh negatif terhadap IPM.

10. Astri, et al. (2013), melakukan penelitian tentang Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Daerah pada Sektor Pendidikan dan Kesehatan terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia. Variabel penelitian yang digunakan adalah Pengeluaran Pemerintah Daerah pada Sektor Pendidikan, dan Kesehatan sebagai variabel independen; dan Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara serempak pengeluaran pemerintah daerah pada sektor pendidikan dan kesehatan berpengaruh terhadap IPM. Secara parsial, pengeluaran pemerintah daerah pada sektor pendidikan berpengaruh pada IPM, sedangkan pengeluaran pemerintah daerah pada sektor kesehatan tidak berpengaruh pada IPM. Tabel 2.1. Review Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti (Tahun) 1. Ardiansyah, Vitalis Ari, dan Widiyaningsih (2014) Judul Variabel Hasil Penelitian Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Independen: - PAD - DAU - DAK Dependen: - Indeks Pembangunan Manusia - PAD berpengaruh positif signifikan terhadap IPM - DAU berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap IPM. - DAK berpengaruh negatif signifikan terhadap IPM. - PAD, DAU, dan DAK berpengaruh signifikan terhadap IPM. 2. Kusmayoni (2004) Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Membiayai Pengeluaran Daerah di Kabupaten Klungkung. Independen: - Pajak Daerah - Retribusi Daerah - Lain-lain PAD yang Sah Dependen: - Belanja Daerah Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Lain-lain PAD yang Sah berpengaruh signifikan baik secara bersama-sama maupun secara individu terhadap Belanja Daerah.

Lanjutan Tabel 2.1. No Nama Peneliti (Tahun) Judul Variabel Hasil Penelitian 3. Septian Bagus Pambudi (2008) Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Independen: - PAD Dependen: - Indeks Pembangunan Manusia PAD berpengaruh positif terhadap IPM 4. Gregorius N. Masdjojo dan Sukartono (2009) Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Daerah serta Analisis Flypaper Effect pada Kabupaten / Kota di Jawa Tengah. Independen: - PAD - DAU - DBH - DAK Dependen: - Belanja Daerah - PAD, DAU, DBH berpengaruh positif terhadap BD diterima secara signifikan. - DAK berpengaruh positif terhadap BD diterima namun tidak signifikan 5. Fransisca Roosiana Kurniawati (2010) Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah Provinsi, Kota, dan Kabupaten di Indonesia. Independen: - PAD - DAU Dependen: - Belanja Daerah - Secara parsial, DAU dan PAD berpengaruh positif secara signifikan terhadap Belanja Daerah. - Pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah lebih besar daripada pengaruh PAD terhadap Belanja Daerah. 6. Nurul Hidayahwati (2011) Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Independen: - Kemandirian Fiskal Dependen: - Indeks Pembangunan Manusia Tingkat kemandirian fiskal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia 7. Denni Sulistio Mirza (2012) Pengaruh Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Tengah Tahun 2006-2009 Independen: - Kemiskinan - Pertumbuhan Ekonomi - Belanja Modal Dependen: - Indeks Pembangunan Manusia - Kemiskinan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IPM - Pertumbuhan Ekonomi dan Belanja Modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM

Lanjutan Tabel 2.1. No Nama Peneliti (Tahun) 8. Dwi Handayani dan Elva Nuraina (2012) Judul Variabel Hasil Penelitian Pengaruh Pajak Daerah dan Dana Alokasi Khusus terhadap Alokasi Belanja Daerah Kabupaten Madiun. Independen: - Pajak Daerah - DAK Dependen: - Belanja Daerah - Pajak Daerah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap Alokasi Belanja Daerah - DAK tidak berpengaruh positif terhadap Alokasi Belanja Daerah - Pajak Daerah dan DAK secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap Alokasi Belanja Daerah. 9. Nur Isa Pratowo (2012) 10. Meylina Astri, Sri Indah Nikensari, dan Harya Kuncara W. (2013) Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Daerah pada Sektor Pendidikan dan Kesehatan terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia. Independen: - Belanja Daerah secara - Belanja signifikan berpengaruh Daerah positif terhadap IPM - Gini Rasio - Gini Rasio secara - Proporsi signifikan berpengaruh Pengeluaran negatif terhadap IPM non Makanan - Proporsi Pengeluaran - Rasio Ketergantungan berpengaruh non Makanan, signifikan positif Dependen: - Indeks Pembangunan Manusia Independen: - Belanja Daerah Sektor Pendidikan - Belanja Daerah Sektor Kesehatan Dependen: - Indeks Pembangunan Manusia terhadap IPM - Rasio Ketergantungan signifikan berpengaruh negatif terhadap IPM - Pengeluaran Pemerintah Daerah pada sektor Pendidikan dan Kesehatan berpengaruh terhadap IPM - Pengeluaran Pemerintah Daerah pada sektor Kesehatan tidak berpengaruh pada IPM secara parsial. - Pengeluaran Pemerintah Daerah pada sektor Pendidikan berpengaruh pada IPM.