BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS (Abidin, 2007)

dokumen-dokumen yang mirip
METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

BAB II GPS DAN ATMOSFER

BAB I PENDAHULUAN. Halaman Latar Belakang

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc

Penentuan Posisi dengan GPS

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS)

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

B A B I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. bab 1 pendahuluan

BAB IV ANALISIS. Gambar 4.1 Suhu, tekanan, dan nilai ZWD saat pengamatan

BAB III PENENTUAN ZENITH TROPOSPHERIC DELAY

PRINSIP PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

B A B II ATMOSFER DAN GPS

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Struktur Bumi

PENGARUH GEOMETRI SATELIT DAN IONOSFER DALAM KESALAHAN PENENTUAN POSISI GPS

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS

BAB II TINJAUAN MENGENAI GPS DALAM SISTEM AIRBORNE LIDAR

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station)

Jurnal Geodesi Undip April 2016

PENERAPAN NAVSTAR GPS UNTUK PEMETAAN TOPOGRAFI

BAB I PENDAHULUAN I.1.

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK

RANCANGAN PEMANFAATAN DATA TEC PADA SISTEM PPP NEAR REAL TIME DENGAN GPS FREKUENSI TUNGGAL

Studi Kinerja Perangkat Lunak Starpoint untuk Pengolahan Baseline GPS Irwan Gumilar, Brian Bramanto, dan Teguh P. Sidiq

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISA NILAI TEC PADA LAPISAN IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGAMATAN GPS DUA FREKUENSI PEMBIMBING EKO YULI HANDOKO, ST, MT

PENGARUH DATA METEOROLOGI TERHADAP NILAI KOORDINAT HASIL PENGAMATAN GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

B A B III GPS REALTIME UNTUK PENGAMATAN TROPOSFER DAN IONOSFER

Komputasi TEC Ionosfer Mendekati Real Time Dari Data GPS

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

KARAKTERISTIK KEAKURASIAN DAN KEPRESISIAN GPS PRECISE POINT POSITIONING TESIS. ASIYANTHI T. LANDO NIM : Program Studi Survei Pemetaan Lanjut

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Evaluasi Spesifikasi Teknik pada Survei GPS

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB II DASAR TEORI. Berikut beberapa pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan pasut laut [Djunarsjah, 2005]:

BAB 3 PEMBAHASAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDI KONDISI UDARA DI ATAS GUNUNGAPI BATUR DENGAN MENGGUNAKAN GPS

PEMBUATAN TUGU GPS (Benchmark) POLITANI DENGAN PENGIKATAN PADA TITIK DASAR TEKNIK ORDE II SAMARINDA. Oleh: MUHAMAD SYAHRIZAL EFENDI NIM.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu alat yang dapat kita sebut canggih adalah GPS, yaitu Global

BAB I Pengertian Sistem Informasi Geografis

Studi Penurunan Tanah Kota Surabaya Menggunakan Global Positioning System

BAB III PENGAMATAN GPS EPISODIK DAN PENGOLAHAN DATA

ANALISA NILAI TEC (TOTAL ELECTRON CONTENT) PADA LAPISAN IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGAMATAN GPS DUA FREKUENSI

sensing, GIS (Geographic Information System) dan olahraga rekreasi

STRATEGI PENGOLAHAN DATA GPS UNTUK PEMANTAUAN PENURUNAN TANAH : STUDI PEREDUKSIAN BIAS ATMOSFIR

BAB 3 PEMANTAUAN PENURUNAN MUKA TANAH DENGAN METODE SURVEY GPS

BLUNDER PENGOLAHAN DATA GPS

Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara

Jurnal Geodesi Undip OKTOBER 2017

ILMU UKUR WILAYAH DAN KARTOGRAFI. PWK 227, OLEH RAHMADI., M.Sc.M.Si

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA Oleh : Winardi & Abdullah S.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 4 PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

Evaluasi Spesifikasi Teknik pada Survei GPS

MODUL 3 GEODESI SATELIT

Latar Belakang STUDI POST-SEISMIC SEISMIC GEMPA ACEH 2004 MENGGUNAKAN DATA GPS KONTINYU. Maksud & Tujuan. Ruang Lingkup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Prinsip Kerja GPS (Sumber :

BAB Analisis Perbandingan Hasil LGO 8.1 & Bernese 5.0

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

FADING REF : FREEMAN FAKULTAS TEKNIK ELEKTRO 1

Pengaruh Waktu Pengamatan Terhadap Ketelitian Posisi dalam Survei GPS

Temporal Variation Analysis From Troposphere Delay Using GPS (Study: Bandung, Indonesia)

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

GEOTAGGING+ Acuan Umum Mode Survei dengan E-GNSS (MULTI)

Location Based Service Mobile Computing Universitas Darma Persada 2012

BAB 2 DATA DAN METODA

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang

ANALISIS DEFORMASI JEMBATAN SURAMADU AKIBAT PENGARUH ANGIN MENGGUNAKAN PENGUKURAN GPS KINEMATIK

BAB III SATELIT GRACE DAN VARIASI TEMPORAL GEOID. 3.1 Satelit GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Propagasi gelombang radio atau gelombang elektromagnetik dipengaruhi oleh banyak faktor dalam bentuk yang sangat kompleks kondisi yang sangat

Pembuatan Program Pengolahan Data GPS Analisa Pseudorange Dan Koreksi Troposfer

ANALISA PERUBAHAN KARAKTERISTIK TEC AKIBAT LETUSAN GUNUNG MERAPI TAHUN 2010

GEOTAGGING+ Acuan Umum Mode Survei dengan E-GNSS (L1)

BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Sistem Satelit Navigasi Global

BAB III Penutup. Kesimpulan

Analisis Metode GPS Kinematik Menggunakan Perangkat Lunak RTKLIB

Jaring kontrol horizontal

Transkripsi:

BAB 2 DASAR TEORI Bab ini berisi rangkuman referensi dari studi literatur untuk pengerjaan penelitian ini. Menjelaskan tentang GPS, metode penetuan posisi, Precise Point Positioning, koreksi-koreksi yang berpengaruh dalam pengolahan data GPS. 2.1 GPS (Global Positioning System) GPS adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit.sistem yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca ini, didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti, dan juga informasi mengenai waktu, secara teliti di seluruh dunia (Abidin, 2007). Pada dasarnya konsep dasar penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi jarak, yaitu pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit yang koordinatnya diketahui (Abidin, 2007).Ilustrasi dari prinsip penentuan posisi dengan GPS dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS (Abidin, 2007) Ketelitian posisi yang didapat dengan pengamatan GPS secara umum akan tergantung pada empat faktor yaitu: metode penentuan posisi yang digunakan, geometri dan distribusi dari satelit-satelit yang diamati, ketelitian data yang digunakan, dan strategi/ metode pengolahan data yang diterapkan. Masing-masing faktor tersebut mempunyai beberapa parameter yang berpengaruh pada ketelitian posisi yang akan 8

diperoleh dari GPS (Abidin, 2007). Contoh beberapa parameter tersebut diberikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Faktor dan parameter yang mempengaruhi ketelitian penentuan posisi dengan GPS (Abidin, 2007) Faktor Ketelitian data Geometri satelit Metode penentuan posisi Strategi pemrosesan data Parameter Tipe data yang digunakan (pseudorange, fase) Kualitas receiver GPS Level dari kesalahan dan bias Jumlah satelit Lokasi dan distribusi satelit Lama pengamatan Absolut & differential positioning Static, rapid static, pseudo-kinematic, stop-and-go, kinematic One & multi station referensis Real time & post processing Strategi eliminasi dan pengkoreksian kesalahan dan bias Metode estimasi yang digunakan Pemrosesan baseline dan perataan jaringan Kontrol kualitas 2.2 Metode Penentuan Posisi dengan GPS Pada dasarnya tergantung pada mekanisme pengaplikasiannya metode penentuan posisi dengan GPS dapat dikelompokkan atas beberapa metode yaitu: absolute, differential, static, rapid static, pseudo-kinematic, dan stop-and-go, seperti ditunjukkan seccara skematik pada tabel berikut. 9

Tabel 2.2 Metode-metode penentuan posisi dengan GPS (Abidin, 2007) Metode ABSOLUT DIFFERENSIAL Titik Receiver STATIC Diam Diam KINEMATIK Bergerak Bergerak RAPID STATIC Diam Diam (singkat) PSEUDO- KINEMATIC Diam Diam dan bergerak STOP-AND-GO diam Diam dan bergerak 2.2.1 Metode Penentuan Posisi Absolut Penentuan posisi secara absolut adalah metode penentuan posisi yang paling mendasar dari GPS.Bahkan dapat dikatakan bahwa metode ini adalah metode penentuan posisi dengan GPS yang direncanakan pada awalnya oleh pihak militer Amerika untuk memberikan pelayanan navigasi terutama bagi personil dan wahana militer mereka. Metode enentuan posisi ini, dalam moda statik dan kinemati, diiliustrasikan pada gambar berikut: Gambar 2.2 Metode penentuan posisi absolut 10

Berkaitan dengan penentuan posisi secara absolut, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan yaitu (Abidin, 2007): Metode ini kadang dinamakan juga metode point positioning, karena penentuan posisi dapat dilakukan per titik tanpa tergantung pada titik lainnya. Posisi ditentukan dalam sistem WGS-84 terhadap pusat massa bumi. Prinsip penentuan posisi adalah reseksi jarak ke beberapa satelit secara simultan. Untuk penentuan posisi hanya memerlukan satu recceiver GPS, dan tipe receiver yang umum digunakan untuk keperluan ini adalah tipe navigasi atau kadang dinamakan tipe genggam (hand held). Titik yang ditentukan posisi bisa dalam keadaan diam (moda statik) maupun dalam keadaan bergerak (moda kinematik) seperti ditunjukan pada gambar 1.2. Biasanya menggunakan data psudeorange. Perlu juga dicatat bahwa dalam moda statik, meskipun jarang sekali digunakan, data fase sebenarrnya juga bisa digunakan yaitu dengan mengestimasi ambiguitas fase bersama-sama dengan posisi. Ketelitian posisi yang diperoleh sangat tergatung pada tingkat ketelitian data serta geometri satelit. Metode ini tidak dimaksudkan untuk penentuan posisi yang teliti. Aplikasi utama dari metode ini adalahuntuk keperluan navigasi atau aplikasiaplikasi lain yang memerlukan informasi posisi yang tidak perlu terlalu teliti tapi tersedia secara instan (real-time), seperti untuk keperluan reconnaissance dan ground truthing. 11

2.2.1.1 Metode Penentuan Posisi Absolut Teliti (Precise Point Positioning) Metode penentuan posisi Precise Point Positioning adalah metode penentuan posisi yang berkembang belakangan ini. Metode ini pada dasarnya adalah metode penentuan posisi absolut yang menggunakan data one-way fase dan psedorange dalam bentuk kombinasi bebas ionosfer. Metode ini umumnya dioperasionalkan dalam metode stastik dan memerlukan data GPS dua frekuensi yang diamati menggunakan reciver GPS tipe geodetik. Dalam penentuan posisi absolute suatu stasiun pengamatan, persaman pengamataan dari one-way fase dan pseudorange bebas ionosfer yang umumnya digunakan pada metode PPP dapat difomulasikan sebagai berikut [Gao and Shen, 2002, 2004; Kouba and Heroux, 2001]: P if = k 1.P 1 - k 2.P 2 = ρ + dtrop + dt + MP if + ϑp if (2.1) L if = k 1.L 1 - k 2.L 2 = ρ + dtrop + dt + MC if ( k 1. λ 1.N 1 k 2.λ 2.N 2 ) + ϑc if (2.2) Keterangan: P if L if P L ρ dtrop dt MP, MC ϑp, ϑc = Pseudorange bebas ionosfer = Fase bebas ionosfer = Pseudorange pada frekuensi fi (m) = Jarak fase pada frekuensi fi (m) = Jarak geometris antara pengamat (x,y,z) dengan satelit (m) = Bias yang disebabkan oleh refraksi troposfer(m) = Kesalahan dan offset dari jam receiver dan jam satelit(m) = Efek multipath pada hasil pengamatan (m) = Ganguan (noise) pada hasil pengamatan (m) 12

Dimana faktor k 1 dan k 2 adalah fungsi dari frekuensi sinyal-sinyal GPS f1 dan f2 sebagai berikut: k 1 = f 1 2 f 1 2 -f2 2 = 2.54572778 (2.3) dan k 2 = f 2 2 f 1 2 -f2 2 = 1.54572778 (2.4) Pada persamaan (2.1) dan (2.2) di atas, parameter kesalahan orbit serta kesalahan dan offset jam setelit tidak muncul dalam persamaan, dengan asumsi bahwa orbit teliti (Precise orbit) serta informasi jam satelit dari IGS akan digunakan [IGS, 2005]. Oleh sebab itu parameter yang ditentukan dalam pengolahan data metode PPP adalah: tiga komponen koordinat, offset jam reciver, bias troposfer basah di arah zenith, dua parameter gradient troposfer serta nilai real sejumlah ambiguitas fase dari data fase bebas ionosfer yang terlibat [Gao and Shen, 2004]. Kesalahan multipath harus direduksi dengan menggunakan antena GPS yang baik seta pemilihan lokasi yang memadai. Disamping itu menurut [Kouba and Heroux, 2001], untuk penentuan posisi absolute menggunakan data fase, beberapa parameter koreksi tambahan harus diperhitungkan dalam pengolahan data, yaitu antara lain: efek pergerakan satelit (satellite attitude effects), efek pergerakan lokasi pengamatan (site displacement effects), serta pertimbangan kompatibilitas (compatibility considerations). Efek pergerakan satelit mencakup offset antenna satelit dan koreksi phase wind-up. Sedangkan efek pergeseran lokasi pengamat mencakup pasang surut Bumi (solid earth tides), pasang surut laut serta Earth Rotation Parameters (ERP) yang terdiri dri presisi, nutasi, pergerakan kutub dan perubahan panjang hari. Sedangkan pertimbangan kompatibilias mancakup pembobotan yang konsisten dari kesalahan orbit dan jam satelit serta model dan konvensi yang diimplementasikan dalam pengolahan data. Metoda PPP sangat cocok bagi peneliti karena tidak membutuhkan dua atau lebih receiver GPS yang simultan. Hal ini tidak terbatas untuk keberhasilan solusi guna perhitungan panjang baseline dan cocok untuk penentuan posisi platform. Beberapa tim 13

peneliti telah menggunakan metoda ini untuk penentuan posisi orbit rendah [Bisnath dan Langley, 2002]. 2.2.1.2 Komponen-komponen PPP (Precise Point Positioning) Tidak seperti halnya pada penentuan posisi secara relative, beberapa bentuk kesalahan atau bias tidak dapat dihilangkan pada penentuan posisi absolute teliti atau Precise Point Positioning (PPP). Pergerakan stasiun atau receiver yang merupakan hasil dari fenomena geofisik seperti pergerakan lempeng tektonik, pasang surut bumi dan pembebanan samudera. Pendekatan ini dikenal dengan nama Precise Point Positioning. Gambar 2.3 Hasil dari GPS Precise Point Positioning (PPP), [El-Rabbany,2003] Untuk mendapatkan posisi yang teliti dari pengamatan GPS, maka dilakukan penghilangan dan perudiksaan dari beberapa bentuk kesalahan yang mempengaruhinya.. Penentuan posisi secara Precise Point Positioning lebih teliti daripada penetuan posisi geodetik secara absolut. Dengan melakukan penentuan posisi secara Precise Point Positioning, maka dapat dilakukan pengeliminasian dan pereduksian bias dan kesalahan sehingga akan meningkatkan akurasi dan presisi data, dan selanjutnya akan meningkatkan tingkat akurasi dan presisi posisi yang diperoleh. Dalam penentuan posisi secara Precise Point Positioning ini terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi ketelitian posisi yang dihasilkan. Berikut faktor-faktor penentu dalam penentuan posisi secara Precise Point Positioning : 14

Tabel 2.3 Faktor faktor yang mempengaruhi kesalahan data GPS (Abidin, 2007) Kesalahan dan Bias Jam satelit Dapat dieliminasi Dapat direduksi Tidak dapat dieliminasi/ reduksi Jam receiver Orbit (Ephimeris) Ionosfer Troposfer Multipath Noise (Derau) Selective Availability 1. Geometri satelit. Geometri satelit dilihat dari aspek kekuatan geometri satelit yang dapat dilihat dari distribusi satelit selama pengamatan. Distribusi satelit yang baik adalah terdistribusi merata pada empat kuadran di titik pengamatan. Untuk merefleksikan kekuatan geometri dari konstelasi satelit, digunakan suatu bilangan yang disebut dengan Dilution of Precision (DOP). Nilai DOP yang kecil akan menunjukkan geometri satelit yang baik dan begitu sebaliknya. Ilustrasi dari geometri satelit terhadap nilai DOP dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut. Gambar 2.4 Ilustrasi Geometri Satelit Terhadap Kualitas DOP (http://lazarus.elte.hu/tajfutas/magyar/archiv/dg/3.htm) Karena satelit GPS selalu bergerak, maka konstelasi geometri satelit akan berubah yang mengakibatkan nilai DOP akan bervariasi secara spasial maupun temporal. Terdapat beberapa jenis DOP, yaitu [Abidin, 2006]: 15

a. GDOP = Geometrical DOP (posisi 3D dan waktu) b. PDOP = Positional DOP (posisi 3D) c. HDOP = Horizontal DOP (posisi horizontal) d. VDOP = Vertical DOP (posisi vertikal) e. TDOP = Time DOP (waktu) f. RDOP = Relative DOP (posisi 3D secara diferensial) Pada penelitian ini dilakukan pengamatan GPS secara diferensial, maka DOP yang perlu diperhatikan adalah RDOP. Pengamatan GPS secara diferensial akan mengeliminasi kesalahan jam sehingga pada RDOP tidak terdapat DOP untuk komponen waktu. Nilai dari RDOP dapat diestimasi sebelum pengukuran dilaksanakan. Nilai RDOP dihitung berdasarkan matrik ko-faktor dari parameter yang diestimasi melalui matriks desain pengamatan (A). Komponen dari matriks A dihitung menggunakan koordinat pendekatan dari pengamat serta koordinat pendekatan satelit yang umumnya dihitung menggunakan data almanak satelit. Jika matriks A telah dibentuk, maka dapat dihitung matriks ko-faktor (Q xx ) menggunakan persamaan 2.8 berikut. Q xx = (A T A) 1 (2.8) q xx q xy q xh Q xxxx = q xy q xh q yy q yh q yh q hh (2.9) Keterangan: Q xx A = Matriks ko-faktor = Matrik desain Dari matriks Q xx diatas dapat dihitung nilai RDOP menggunakan persamaan (2.9) berikut. 16

RDOP = q xx + q yy + q hh (2.10) Penentuan nilai RDOP sangat bergantung dari hasil perhitungan matriks Q xx. Kualitas dari matriks Q xx dapat dilihat dari nilai condition number dari matriks tersebut. Nilai dari condition number dari sebuah matriks akan mengindikasikan kualitas dari pemecahan persamaan linear. Jika nilai condition number dari sebuah matriks bernilai besar, maka matriks tersebut badly conditioned dan jika nilainya kecil (mendekati satu) maka matriks tersebut well conditioned. Nilai condition number ini akan terkait dengan nilai RDOP. Nilai RDOP akan bernilai kecil jika nilai condition number-nya juga bernilai kecil dan sebaliknya. Nilai RDOP yang bernilai besar mengindikasikan bahwa matriks Q xx yang dihasilkan close to singular akibat dari geometri satelit yang tidak baik. Geometri satelit yang direpresentasikan dalam RDOP untuk penentuan posisi GPS diferensial akan mempengaruhi kualitas dari perataan dalam melakukan estimasi parameter. 2. Multipath Permukaan yang dapat memantulkan sinyal GPS dapat mengakibatkan sinyal GPS mencapai antena dimana sinyal tersebut tidak berada pada jalur langsung antara satelit dan antena. Hal ini mengakibatkan jarak pengamatan antara satelit ke antena menjadi lebih panjang dari seharusnya. Adanya kesalahan data pengamatan akan mempengaruhi kualitas parameter posisi horizontal maupun vertikal. Efek dari multipath dapat mencapai level desimeter secara bidang 3 dimensi [Higgins,1999]. Sampai saat ini belum ada suatu model matematis umum yang dapat memodelkan efek multipath. Beberapa investigasi menunjukkan bahwa kesalahan pada komponen tinggi yang disebabkan oleh multipath, dapat mencapai besar sekitar 15 cm [Geordiadou & Kleusberg, 1988,1990; Seber, 1992, pada Abidin 2006]. Efek multipath pada data pengamatan bersifat periodik mengikuti pola sinusoidal, sehingga efek multipath ini dapat direduksi dengan menggunakan data yang perioda pengamatannya lebih besar daripada periode multipath. Oleh sebab itu, 17

metoda pengamatan survey statik dengan lama pengamatan yang panjang dapat dilakukan untuk meminimalkan efek multipath pada hasil estimasi posisi. Selain itu penggunaan antena GPS yang memiliki stabilitas pusat fase (phase center) yang tinggi serta daya tolak terhadap multipath juga dapat digunakan. Ada beberapa jenis antena GPS yang dikenal, yaitu [Seeber, 1993 pada Abidin, 2006]: monopole atau dipole, quadrifilar helix, spiral helix, microstrip, dan choke ring. 3. Bias Atmosfer Bias yang disebabkan oleh lapisan atmosfer terjadi pada lapisan ionosfer dan troposfer. Bias ini mempengaruhi jarak ukuran dimana bias ini dapat memanjangmendekkan jarak ukuran dari satelit ke stasiun pengamat. Bias dari lapisan ionosfer akan memperlambat pseudorange dan mempercepat fase, sedangkan bias pada lapisan troposfer akan memperlambat pseudorange dan fase. Jika dikaitkan dengan frekuensi sinyal, bias karena refraksi ionosfer akan bergantung pada frekuensi sinyal sedangkan bias karena refraksi troposfer tidak bergantung pada frekuensi sinyal. Dengan sifat ini, penggunaan dual frekuensi akan dapat digunakan untuk mereduksi bias ionosfer. Penggunaan data dari dual frekuensi (L1 dan L2) dapat dikombinasikan untuk memperoleh suatu kombinasi bebas ionosfer. Sedangkan untuk bias karena refraksi troposfer tidak dapat direduksi dengan menggunakan kombinasi data dari dual frekuensi karena bias troposfer tidak tergantung terhadap frekuensi sinyal. a. Bias Ionosfer Ionosfer adalah bagian dari atmosfer yang berada pada ketinggian 50km hingga 1000km diatas permukaan bumi (Langley, 1998). Pada lapisan ini terdapat sejumlah elektron dan ion bebas yang dapat mempengaruhi perambatan gelombang radio. Satelit GPS berada kira-kira 20.000 km, sehingga sinyal dari satelit GPS harus melewati lapisan ionosfir untuk dapat mencapai permukaan bumi. Propagasi dari sinyal GPS akan terpengaruhi oleh elektron bebas yang ada di lapisan ionosfir yang mengakibatkan berubahnya kecepatan, arah, polarisasi, dan kekuatan dari sinyal GPS dimana akan mempengaruhi jarak ukuran. 18

Besarnya efek ionosfer pada perambatan sinyal GPS tergantung dari jumlah elektron sepanjang lintasan sinyal. Jumlah elektron ini dinamakan Total Electron Content (TEC) yang dinyatakan dalam unit elekton/m 2 dan frekuensi dalam unit Hertz. Efek dari ionosfir bervariasi secara spasial dan temporal. Pada daerah ekuator, bias ionosfir umumnya mempunyai nilai yang relatif besar tetapi relatif stabil [Abidin, 2006]. Efek ionosfer yang bersifat harian, secara empirik didapatkan sesuai dengan aktifitas matahari yang direpresentasikan dari nilai TEC. Nilai TEC terbesar biasanya terjadi pada tengah hari, dan nilai TEC relatif kecil pada pagi hari dan malam hari. Dalam kasus penentuan posisi dan survei dengan GPS ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mereduksi efek bias ionosfer, yaitu [Abidn,2006]: a. Gunakan data GPS dari dua frekuensi, L1 dan L2. b. Lakukan pengurangan (differencing) data pengamatan. c. Perpendek panjang baseline pengamatan d. Lakukan pengamatan pada pagi atau malam hari. e. Gunakan model prediksi global ionosfer (untuk data GPS satu frekuensi) f. Gunakan parameter koreksi yang dikirimkan oleh sistem Wide Area Differential GPS (WADGPS) b. Bias troposfer Lapisan troposfer adalah lapisan atmosfer terendah yang bersinggungan dengan permukaan bumi dan memiliki ketebalan 9-16 km diatas permukaan bumi. Lapisan troposfer dapat mengganggu perambatan sinyal GPS yang mengakibatkan berubahnya kecepatan (pseudorange dan fase diperlambat) dan arah dari sinyal GPS, sehingga mempengaruhi jarak ukuran. Akibatnya, komponen yang paling terpengaruh dalam penentuan posisi menggunakan GPS adalah komponen tinggi geodetik. Ketebalan troposfer yang paling tinggi terdapat di daerah katulistiwa, yaitu sebesar 16 km dan ketebalan paling kecil terjadi di daerah kutub yaitu 9 km [Prawirowardoyo, 1996 pada Soetriyono, 2006]. Tingginya lapisan troposfer di daerah katulistiwa menyebabkan bias 19

troposfer yang ada di Indonesia menjadi lebih besar dari bias troposfer di lintang menengah atau di daerah kutub. Bias troposfer pada pengamatan GPS merupakan fungsi dari ketinggian lokasi titik dan ketinggian zenith dari satelit, serta bergantung dari beberapa faktor, seperti tekanan atmosfer, suhu, dan kelembaban [Satirapod, 2004]. Bias troposfer umumnya dipisahkan menjadi komponen kering dan komponen basah, dimana komponen kering memberikan kontribusi bias sekitar 90% dari bias total dan komponen basah memberikan kontribusi sekitar 10% dari bias total. Komponen basah memang memberikan kontribusi bias yang kecil dari total bias dibandingkan komponen kering, akan tetapi magnitude dari komponen basah umumnya lebih sulit diestimasi dari komponen kering. Komponen basah dari bias troposfir bergantung dari jumlah kandungan uap air sepanjang lintasan diatas stasiun pengamatan. Untuk dapat mengestimasi komponen basah secara baik, dapat digunakan peralatan WVR (Water Vapour Radiometer) yang dapat mengukur kandungan uap air diatas stasiun pengamat. Berikut karakteristik dari komponen kering dan basah dalam bias toposfer pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Karakteristik Komponen Kering dan Komponen Basah dari Bias Troposfer (El-Arini, 2008) Keterangan Komponen Kering Komponen Basah Total bias (dari total bias) 90% 10% Penyebab Utama N2 dan O2 Uap air Magnitude 2.3 m <=0.8 m Variasi bias Ketelitian estimasi Fungsi dari T (suhu) dan P (tekanan) ketelitian estimasi ± 1% dalam beberapa jam Bervariasi 10-20% dalam beberapa jam ketelitian estimasi rendah 20

Tidak seperti halnya bias ionosfer, bias troposfer tidak dapat dieliminasi menggunakan kombinasi linear L1 dan L2 karena magnitude dari bias troposfer tidak tergantung pada frekuensi sinyal GPS. Akibatnya, penggunaan dual frekuensi tidak dapat mengestimasi besarnya magnitude dari bias troposfer. Bias troposfer dapat direduksi dengan melakukan diferensial, tetapi akan masih terdapat bias troposfer untuk baseline yang panjang karena proses diferensial tidak dapat mereduksi bias troposfer secara optimal untuk baseline yang panjang. Untuk melakukan koreksi terhadap bias troposfer tersebut, umumnya digunakan beberapa model koreksi standar troposfer dalam melakukan pengolahan data GPS seperti model Niell, Saastamoinen, Hopfield, dan lain sebagainya. Dari beberapa model tersebut yang cukup banyak digunakan dalam pengolahan data GPS adalah model Hopfield dan Saastamoinen [Abidin,2006]. Pada penelitian ini digunakan model troposfer global Niell, Saastamoinen, dan Hopfield. Pada umumnya, model koreksi standar troposfer diperoleh secara empirik dari ketersediaan data radiosone yang kebanyakan diambil di daerah Eropa dan Amerika Utara [Satirapod, 2004]. Pada persamaan diatas, mf (e) merupakan mapping function dengan sudut elevasi e. Koefisien a, b, dan c dianggap cukup dalam memetakan zenith delays dibawah elevasi 3. Koefisien ini ditentukan dari raytracing dimana parameter yang dimasukkan adalah berupa nilai sudut elevasi, nilai tinggi stasiun diatas geoid, suhu, tekanan, dan tekanan uap air. Untuk menghitung bias troposfer menggunakan model Saastamoinen dapat menggunakan persamaan 2.11 berikut [El-Arini, 2008]. 21

d trop = 0.002277(1 + D) sec(z) p + 1255 + 0.005 e Btan 2 z + δr (2.11) Keterangan.: T d trop p e = Koreksi delay troposfir (m) = Tekanan atmosfer (mbar) = Tekanan parsial dari uap air (mbar) T = Temperatur ( K) B dan δ R = Koreksi dari fungsi ketinggian pengamat (tabel koreksi) Z = sudut zenit E = sudut elevasi D = 0.0026 cos (2z) + 0.00028 h, dimana h = ketinggian pengamat Untuk formula matematis dari model Hopfield dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Formula Matematis Model Hopfield (Abidin, 2006). Bias Troposfer: d trop = d dry + d wet Komponen Kering Komponen Basah d dry z = mf d. d dry D wet z = mf w. d wet z d dry = (10-6 /5). N dry,0. h d z D wet = (10-6 /5). N wet,0. h w N dry,0 = (77,64). (p/t) N wet,0 = - (12,96). (e/t) + (3,718.10 5 )(e/t 2 ) h d = 40136 + 148,72 (T-273,16) h w = 11000 m mf d = 1/[sin(E 2 + 6,25) 0.5 ] mf w = 1/[sin(E 2 + 2,25) 0.5 ] p = tekanan atmosfer (mbar) T = Temperatur ( K) e = Tekanan parsial dari uap air (mbar) E = sudut elevasi (derajat) mf d dan mw f = mapping function untuk komponen kering dan basah h d dan h w = ketinggian lapisan kering dan basah N dry,0 dan N wet,0 = refraktivitas kering dan basah di permukaan bumi Bias troposfer sangat mempengaruhi perjalanan sinyal sehingga akan mempengaruhi jarak ukuran yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam 22

penentuan posisi, terutama komponen tingginya. Dalam konteks penentuan posisi atau survey dengan GPS, ada beberapa cara yang dapat diterapkan untuk mereduksi besarnya efek troposfer, yaitu [Abidin, 2006]: a. Lakukan differencing hasil pengamatan. b. Perpendek panjang baseline. c. Usahakan kedua stasiun pengamat berada pada ketinggian serta kondisi meteorologis yang relatif sama. d. Gunakan model koreksi standar troposfer seperti model Hopfield dan Saastamoinen. e. Gunakan model koreksi lokal troposfer. f. Gunakan pengamatan Water Vapour Radiometer (WVR) untuk mengestimasi besarnya komponen basah. g. Estimasi besarnya parameter bias troposfer, biasanya dalam bentuk zenith scale factor untuk setiap lintasan satelit. h. Gunakan parameter koreksi yang dikirimkan oleh sistem Wide Area Differential GPS (WADGPS). 4. Kesalahan ephemeris (orbit) Kesalahan orbit mengakibatkan adanya kesalahan dalam pelaporan posisi satelit GPS dan berakibat pada hasil pengolahan data GPS. Kesalahan ini akan mempengaruhi ketelitian dari koordinat yang ditentukan. Dalam penentuan posisi secara relatif, semakin panjang baseline yang diamati maka efek bias ephemeris satelit akan semakin besar. Efek kesalahan orbit pada panjang vektor baseline dapat dilakukan dengan rumus pendekatan (rule-of-thumb) berikut [Abidin,2006]: db = b. dr (2.12) r dimana: dr = besarnya kesalahan orbit 23

db = besarnya efek kesalahan orbit pada panjang baseline b = panjang vektor baseline r = jarak rata-rata pengamat ke satelit ( 20.000km). Besarnya kesalahan orbit akan tergantung dari jenis orbit yang digunakan. Berikut beberapa jenis informasi serta nilai tipikal kesalahan orbit, Tabel 2.6. Tabel 2.6 Nilai Tipikal Kesalahan Orbit GPS [IGS 2008] Ephemeris Ketelitian Latency Update Almanak beberapa km Real time - Broadcast (SA off) 160 cm Real time - Ultra Rapid (predicted half) 10 cm Real time empat kali sehari Ultra Rapid (observed half) <5cm 3 jam empat kali sehari Rapid <5cm 17 jam harian Precise <5cm 13 hari mingguan 5. Tinggi antena GPS Adanya kesalahan pada pengukuran tinggi antena GPS akan mempengaruhi nilai koordinat dalam pengolahan data GPS, terutama dalam hal nilai tinggi. Adanya kesalahan dalam melakukan input tinggi antena akan mengakibatkan adanya offset (pergeseran vertikal) antara tinggi geodetik titik sebenarnya terhadap tinggi geodetik titik yang didapatkan. Akibatnya nilai tinggi geodetik yang dihasilkan tidak sesuai dengan nilai tinggi geodetik titik yang sebenarnya. Kesalahan ini ini dapat dihindari dengan melakukan pengukuran tinggi antena yang teliti oleh surveyor sewaktu pengatamatan GPS dilakukan dan melakukan pemotretan ketika pengukuran tinggi dilakukan sebagai dokumentasi agar tidak terjadi kesalahan dalam memasukkan tinggi antena. 24