I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1997 kondisi perekonomian Indonesia mengalami krisis yang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Krisis moneter pada akhir tahun 1997 mempengaruhi minat investor untuk

2.4. Hipotesis Penelitian Bursa Efek Jakarta Kelompok Industri Makanan dan Minuman

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk berinvestasi pada instrumen keuangan seperti saham, obligasi,

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki perubahan pola pikir tentang uang dan pengalokasiannya. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. barang, pesaing, perkembangan pasar, perkembangan perekonomian dunia.

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan penawaran (supply) dan permintaan (demand) dana jangka

BAB I PENDAHULUAN. keuntungan di masa mendatang. Para investor dapat membeli saham, obligasi

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang membutuhkan dana. Menurut Fahmi dan Hadi (2009:41), pasar modal

BAB I PENDAHULUAN. di Amerika Serikat merupakan topik pembicaraan yang menarik hampir di

BAB I PENDAHULUAN. Arus globalisasi dan era pasar bebas akan menimbulkan persaingan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan dana untuk membiayai berbagai proyeknya. Dalam hal ini, pasar

BAB I PENDAHULUAN. secara umum diukur dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Hal ini disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka,

BAB I PENDAHULUAN. karena pendanaan melakukan usaha dalam mendapatkan dana. Dana untuk sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan pasar modal dan industri sekuritas menjadi tolak ukur

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu fungsi utama pasar modal adalah sebagai sarana untuk

BAB I PENDAHULUAN. bursa saham (stock market) adalah mekanisme surat surat berharga yang

BAB I PENDAHULUAN. (investor) dengan orang yang membutuhkan modal. Pasar modal memiliki

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN JANUARI 2002

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal (capital market) telah terbukti memiliki andil yang cukup. besar dalam perkembangan perekonomian suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. lama dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa-masa yang akan datang

I. PENDAHULUAN. Investasi merupakan suatu daya tarik bagi para investor karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. sebuah pendanaan dari dalam negeri maupun luar negeri. Dimana penghimpunan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai indikator utama perekonomian (leading indicator of economy) mengurangi beban negara (Samsul, 2006: 43).

juga disertai usaha-usaha penyempumaan fasilitas perdagangan efek di lantai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia saat ini telah memasuki era globalisasi dimana persaingan

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian negara. Pasar modal menjadi media yang dapat digunakan untuk memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. era 1997 silam. Hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya perdagangan di bursa

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal merupakan salah satu alternatif pilihan investasi yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Proses penghimpunan dan pengalokasian dana masyarakat terutama dalam

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara dikarenakan pasar modal menjalankan fungsi ekonomi sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal merupakan salah satu sarana pembentukan modal dan alokasi

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan dana dari masyarakat pemodal (investor). Di era globalisasi

BAB I PENDAHULUAN. di masa yang akan datang (Tandelilin, 2000). Kegiatan investasi adalah

BAB I PENDAHULUAN. akuntansi. Pengukuran ini perlu diketahui pihak yang berkepentingan untuk

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini modal telah menjadi komponen yang tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal yang ada di Indonesia merupakan pasar yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perekonomian global persaingan ekonomi semakin kompetitif. Semua

BAB I PENDAHULUAN. yang dialami sebagian besar emiten, penurunan aktivitas dan nilai transaksi, serta kesulitan

PENGARUH NILAI TUKAR RUPIAH DAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM SEKTOR KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN. transaksi antara pihak-pihak pencari dana (emiten) dengan pihak yang kelebihan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi nasional suatu negara sangat memengaruhi tingkat

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut, atau pada saat yang sama, investasi portofolio di bursa

PENDAHULUAN. kemauan para usahawan untuk memanfaatkan peluang yang ada semaksimal

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan para pemodal (investor) untuk melakukan diversifikasi

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah liberalisasi sektor keuangan di Indonesia bisa dilacak ke belakang,

ANALISIS PENGARUH FAKTOR FUNDAMENTAL TERHADAP HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN KEUANGAN GO PUBLIK DI BURSA EFEK INDONESIA ( BEI )

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pasar modal dipandang sebagai salah satu sarana efektif untuk

BAB I PENDAHULUAN. dana. Tempat penawaran penjualan efek ini dilaksanakan berdasarkan satu

BAB I PENDAHULUAN. yang efektif untuk mempercepat pembangunan suatu negara. Dalam era

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi maka akan semakin meningkat pula upaya berbagai perusahaan untuk

BAB I PENDAHULUAN. penurunan keuntungan, yang mengakibatkan turunnya tingkat return saham. Grafik LQ45 Periode sampai

ANALISIS PENGARUH KURS VALAS, LAJU INFLASI DAN SUKU BUNGA DEPOSITO TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (STUDI EMPIRIS DI BURSA EFEK INDONESIA)

BAB I PENDAHULUAN. seluruh penghasilan saat ini, maka dia dihadapkan pada keputusan investasi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada masa ini pembangunan nasional yang semakin meningkat menuntut

DAFTAR ISI... HALAMAN DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR BOKS... KATA PENGANTAR...

BAB I PENDAHULUAN. pasar keuangan indeks harga saham gabungan di perbankan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. ekspansi, penambahan modal kerja dan lain-lain, kedua pasar modal menjadi

BAB I PENDAHULUAN. permintaan dan penawaran atas instrumen keuangan jangka panjang yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. semua sektor perusahaan di Indonesia selain melalui sektor perbankan. Dalam

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Sektor Properti

BAB I PENDAHULUAN. Tangga, Dan Sub Sektor Peralatan Rumah Tangga. Berdasarkan Sektor Industri Barang Konsumsi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya. Modal dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. Tugas dari seorang manajer adalah mengambil keputusan secara tepat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. ini menjadi pemicu yang kuat bagi manajemen perusahaan untuk. membutuhkan pendanaan dalam jumlah yang sangat besar.

DWI NURDIYANTO B

I. PENDAHULUAN. Berjalannya pembangunan ekonomi nasional dalam jangka panjang. dapat dilihat dari bergeraknya roda perekonomian melalui peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. biasanya ditandai dengan adanya kenaikan tingkat pendapatan masyarakat. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. saat ini untuk mendapatkan hasil yang lebih besar dimasa yang akan datang. Atau bisa juga

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN Hubungan Nilai Tukar Riil dengan Indeks Harga Saham Gabungan

BAB I PENDAHULUAN. sementara investor pasar modal merupakan lahan untuk menginvestasikan

BAB I PENDAHULUAN. reksadana. Perubahan Nilai Aktiva Bersih ini dapat dijadikan sebagai

BAB I. PENDAHULUAN. dunia yang terjadi disebabkan oleh krisis surat utang subprime mortgage

BAB 1 PENDAHULAN. Menurut Bursa Efek Indonesia (BEI), pasar modal (capital market)

BAB I PENDAHULUAN. alternatif pendanaan dan investasi bagi masyarakat. menyebabkan pertumbuhan pasar modal melambat dan penundaan Initial Public

BAB I PENDAHULUAN. akan semakin besar juga seiring dengan semakin berkembangnya kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Banyak cara yang dapat dilakukan investor dalam melakukan investasi,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan investasi di suatu negara akan dipengaruhi oleh

I. PENDAHULUAN. Investasi pada umumnya dapat dikelompokkan dalam dua golongan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN JUNI 2001

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam bidang ekonomi secara global ini, menyebabkan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh sejumlah keuntungan di masa depan. Pihak pihak yang melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal merupakan wahana yang mempertemukan pihak yang. kelebihan dana (investor) dan pihak yang membutuhkan dana (peminjam)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam penentuan kebijakan investasi, pemilik, manajer dan

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian di Indonesia. Fluktuasi kurs rupiah yang. faktor non ekonomi. Banyak kalangan maupun Bank Indonesia sendiri yang

BAB I PENDAHULUAN. merosotnya sendi-sendi perekonomian termasuk perbankan yang diakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal (capital market) telah terbukti memiliki andil yang cukup

BAB 1 PENDAHULUAN. kredit properti (subprime mortgage), yaitu sejenis kredit kepemilikan rumah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pembangunan suatu negara memerlukan dana investasi dalam jumlah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Negara ini merupakan

I. PENDAHULUAN. indonesia yang mengalami peningkatan antara lain nilai Gross Domestic Product

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 1997 kondisi perekonomian Indonesia mengalami krisis yang hebat, yang berdampak pada semua aktivitas bisnis di sektor riil. Selama dua tiga tahun terakhir terlihat tanda-tanda perekonomian mulai menuju kepada pemulihan. Tanda-tanda pemulihan kondisi ekonomi nasional dapat dikaji dari beberapa indikator makro ekonomi dan kondisi moneter yang relatif meningkat dan stabil. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan nilai tukar Rupiah untuk bertahan terhadap kondisi ekonomi global dan beberapa gejolak gangguan keamanan di dalam negeri. Bila dikaji dari angka laju inflasi selama tahun 2002 dan 2003 terdapat penurunan laju inflasi. Bila pada tahun 2001 angka inflasi adalah 12,55% menurun menjadi 10,25 % pada tahun 2002, dan 5,06 % pada tahun 2003. Di sisi lain, selain untuk menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah sekaligus mendorong sektor riil, Bank Indonesia berhasil menurunkan suku bunga rata-rata SBI untuk satu bulan dan tiga bulan. Suku bunga SBI tiga bulan mengalami penurunan dari 17,63% pada tahun 2001 menjadi 13,12 % pada tahun 2002 dan 8,38 % tahun 2003. Penurunan suku bunga rata-rata SBI secara langsung berdampak pada penurunan suku bunga deposito dan suku bunga kredit investasi. Parameter perbaikan kondisi moneter tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Penurunan suku bunga SBI yang berdampak secara langsung pada penurunan suku bunga deposito, mendorong pemilik modal perorangan maupun perusahaan untuk berinvestasi di sektor riil yang lebih menjanjikan return yang relatif lebih besar atau berinvestasi di pasar modal. Di samping itu penurunan suku bunga SBI sebagai instrumen pengendalian stabilitas moneter, akan

mengurangi minat kalangan perbankan untuk mengalokasikan portofolio dananya pada instrumen SBI karena resiko yang kecil. Dengan mengurangi suku bunga SBI, maka Bank Indonesia dapat mendorong perbankan nasional untuk menyalurkan dana pihak ketiga yang dihimpun perbankan kepada penyaluran kredit investasi dan modal kerja. Dengan demikian diharapkan perbaikan kondisi makro ekonomi dan penurunan suku bunga perbankan dapat menggerakkan sektor riil dan penciptaan lapangan kerja. Tabel 1. Perkembangan Suku Bunga Rata-Rata SBI Untuk Tiga Bulan, Suku Bunga deposito Dan Suku Bunga Kredit Serta Angka Inflasi Tahun Suku Bunga SBI 3 Bulan (%) Suku Bunga Deposito (3 Bulan) (%) Bank Pemerintah Bank Swasta Nasional Suku Bunga Kredit * (%) Inflas Bank i (%) Bank Swasta Pemerintah Nasional 1998 37,97 39,36 39,97 19,39 36,10 77,63 1999 12,64 25,00 25,31 20,97 32,93 2,01 2000 14,31 12,70 12,54 16,35 18.04 9,35 2001 17,63 15,68 15,50 17,11 19,02 12,55 2002 13,12 13,65 13,63 17,50 18,30 10.03 2003** 8,38 7,46 7,58 15,64 16,16 5,06 Sumber : BI, Badan Pusat Statistik (diolah) *) kredit investasi **) sampai November 2003 Bila ditelaah dari sisi lain, perbaikan kondisi makro ekonomi, dalam hal ini pada indikator moneter seperti penurunan suku bunga SBI, penurunan suku bunga kredit serta suku bunga deposito yang rendah dan juga nilai tukar yang stabil secara tidak langsung akan mendorong kegairahan di pasar modal. Penurunan suku bunga pinjaman untuk investasi dan modal kerja di sektor riil, akan berdampak pada penurunan biaya modal. Dalam hal ini terjadi penurunan beban bunga pinjaman yang harus dibayar oleh perusahaan dari kredit yang diperoleh. Penurunan beban bunga akan berdampak pada peningkatan laba perusahaan. Hal ini tentu akan menjadi daya tarik bagi investor untuk 2

menempatkan portofolio investasinya di pasar modal pada saham-saham perusahaan yang mampu memberikan laba atau return yang lebih besar dibandingkan investasi pada deposito dan lainnya, menurut Ruky (1997) dan Aliansyah (2001) ini berkaitan dengan struktur modal perusahaan yang akan mempengaruhi kinerja keuangan. Dampak positif lain dari penurunan suku bunga SBI dan stabilnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS dan mata uang kuat lainnya adalah berkurangnya aksi spekulatif dalam perdagangan valuta asing. Hal ini berdampak langsung pada perencanaan biaya, laba dan proyeksi laba bagi industri-industri di sektor riil yang banyak bergantung pada bahan baku impor dan pemasaran produknya untuk tujuan ekspor. Semakin stabil nilai tukar akan mengurangi kemungkinan terjadinya kerugian selisih kurs yang akan berdampak pada laba perusahaan. Perbaikan pada indikator-indikator makro ekonomi dan moneter yang menuju ke arah pemulihan ekonomi, terlihat pengaruhnya pada peningkatan aktivitas di pasar modal di dalam negeri. Menurut Nurdin (2001) kondisi makro ekonomi yang terganggu selama krisis moneter tahun 1997-1998 berpengaruh pada besarnya gain dari saham dan dividen yang diperoleh. Penurunan laba dan penurunan modal pada perusahaan-perusahaan publik mempengaruhi minat investor untuk melakukan investasi pada saham-saham perusahaan tersebut. Dari data-data yang dihimpun oleh BAPEPAM (2004) terlihat peningkatan jumlah perusahaan (emiten) yang mencatatkan sahamnya di pasar modal maupun jumlah saham yang diperdagangkan seperti yang terlihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 tersebut dapat dilihat terjadi peningkatan yang menggembirakan pada jumlah emiten yang mencatatkan sahamnya baik di BEJ maupun di BES, kecuali pada tahun 1997 sampai 1998, di mana terdapat 3

perkembangan yang relatif stagnan pada pasar modal di Indonesia ditelaah dari penambahan jumlah emiten, saham yang diperdagangkan dan indeks harga saham gabungan (IHSG). Hal ini dapat dimengerti karena pada tahun tersebut adalah saat awal dan puncak dari krisis ekonomi di Indonesia. Tabel 2. Perkembangan Pasar Modal Indonesia Sejak 1995 2003 Dilihat Dari Jumlah Emiten Jumlah Saham Yang Diperdagangkan Dan IHSG Tahun Jumlah Emiten Jumlah Saham (milyar) Indeks BEJ 1995 248 11,11 514 1996 267 25,34 637 1997 306 51,46 402 1998 309 62,72 398 1999 321 714,46 677 2000 347 811,68 416 2001 379 826,77 392 2002 401 876,51 425 2003 411 905,97 692 Sumber : Riset Biro PIR BAPEPAM, 2004 (diolah). Selanjutnya bila dipelajari pada perkembangan nilai kapitalisasi pasar baik di BEJ maupun BES kondisi yang cukup menggembirakan terjadi pada tahun 2002 dan 2003, sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perkembangan Nilai Kapitalisasi BEJ dan BES Tahun 1995 2003 BEJ BES Tahun Jumlah Emiten Jumlah Saham (Milyar) Nilai (Trilyun) Jumlah Emiten Jumlah Saham (Milyar) Nilai (Trilyun) 1995 238 45,79 152,25 201 39,63 158,67 1996 253 77,24 215,03 209 66,80 191,57 1997 282 135,67 159,93 222 118,47 141.64 1998 288 170,55 176,73 222 147,67 157,86 1999 277 846,13 451,81 205 802,57 407,72 2000 287 1.186,31 259,62 205 1.117.38 225,80 2001 316 884,19 239,27 204 772,35 197,90 2002 330 939,54 268,27 204 836,67 228,07 2003 332 962,30 337,23 211 865,32 293,61 Sumber : Riset Biro PIR BAPEPAM, 2004 (diolah) 4

Bila diperhatikan perkembangan pasar modal dari segi jumlah investor yang menempatkan portofolio investasinya pada saham di pasar modal, baik investor perorangan maupun institusi atau perusahaan baik nasional dan asing, angkanya terus meningkat kecuali tahun 1998, seperti yang terlihat pada Tabel 4. Hal ini sangat menggembirakan, walaupun bila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand, tingkat partisipasi atau jumlah investor dibandingkan jumlah penduduk masih sangat kecil. Tabel 4. Perkembangan Jumlah Investor Nasional dan Asing Pada Saham Tahun 1995-2002 Tahun Investor Nasional Investor Asing Total 1995 526.853 18.983 545.836 1996 497.108 31.530 528.638 1997 696.762 35.901 732.663 1998 544.682 33.461 578.143 1999 57.899 49.133 620.032 2000 1.318.937 588.750 1.877.687 2001 1.675.257 308.739 1.983.996 2002 1.979.791 522.291 2.502.082 Sumber : Riset Biro PIR BAPEPAM, 2004 (diolah) Perbaikan kondisi ekonomi yang berdampak pada perkembangan pasar modal di satu sisi, dan melindungi kepentingan investor yang berinvestasi pada saham-saham perusahaan publik di pasar modal pada sisi yang lain, membutuhkan suatu sistem atau mekanisme yang dapat menjembatani kepentingan kedua belah pihak. Kebutuhan perusahaan akan dana yang cukup dan murah dari investor di pasar modal, serta kebutuhan investor akan return yang menarik dengan resiko yang dapat diterima membutuhkan suatu alat analisa yang dapat dipahami dengan mudah oleh investor, dimana dari analisa tersebut dapat secara jelas menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya, sehingga investor dapat menyusun dengan tepat portofolio saham yang dipilih sebagai instrumen investasinya. 5

Salah satu alat analisa yang selama ini banyak digunakan oleh investor dalam menilai kelayakan suatu perusahaan untuk dipilih dalam portofolio investasi adalah dengan pendekatan rasio akuntansi. Pada alat analisa tersebut disajikan rasio-rasio akuntansi dari laporan keuangan, namun masih perlu dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain pada industri sejenis bagaimana perbandingan relatif kinerjanya. Namun semakin lama disadari oleh para ahli keuangan bahwa penggunaan alat analisa rasio akuntansi dalam menilai kinerja keuangan perusahaan yang berdampak bagi peningkatan kemakmuran pemilik modal yang berinvestasi, ternyata tidak dapat menggambarkan bagaimana sebenarnya kinerja perusahaan dalam mengelola modal investor. Adanya distorsi pada penggunaan data-data historis pada analisa rasio akuntansi seperti ROA (return on assets) ROE (return on equity) ROI (return on investment) dan lainnya, adanya berbagai macam metode dalam akuntansi, serta besarnya pengaruh kondisi makro ekonomi seperti angka inflasi terhadap asumsi-asumsi yang digunakan dalam menilai kinerja keuangan mendorong dikembangkannya alat analisa baru yang dapat melihat bagaimana kemampuan perusahaan dan manajemen dalam menciptakan nilai bagi perusahaan yang dapat meningkatkan kemakmuran bagi pemegang saham, sebagai prinsip pokok dalam manajemen keuangan (Mirza dan Imbuh, 1999). Adanya keterbatasan penggunaan rasio akuntansi dan tuntutan transparansi terhadap kinerja atas pengelolaan manajemen terhadap modal yang diinvestasikan investor di pasar modal, dikembangkan suatu alat analisa kinerja keuangan yang dikenal dengan konsep Economic Value Added (EVA), pada konsep ini hal yang ditekankan adalah bagaimana kemampuan perusahaan dan manajemen untuk meningkatkan kemakmuran pemilik saham atau investor 6

dengan meningkatkan nilai perusahaan. Dalam konsep ini nilai perusahaan dilihat dari ekspektasi investor di pasar modal terhadap kinerja masa kini dan masa yang akan datang berupa perubahan nilai pasar saham perusahaan yang bersangkutan sebagai nilai tambah pasar atau dikenal sebagai konsep Market Value Added atau MVA (Mirza dan Imbuh, 1999). Konsep EVA dan MVA sendiri telah lama dikembangkan oleh Stern dan Stewart yaitu pada sekitar tahun 1982. Namun di Indonesia belum banyak perusahaan-perusahaan, terutama perusahaan publik yang menerapkan konsep ini dalam perilaku bisnisnya dan sebagai alat analisa kinerja, demi kepentingan pemegang saham sebagai pemilik perusahaan (Utama, 1997) Konsep di atas telah banyak diadopsi dan digunakan oleh perusahaanperusahaan besar dan terkemuka di AS, seperti Coca Cola, GE, Microsoft, AT&T, Eli Lilly, dan lainnya (Utama, 1997). Penerapan konsep EVA oleh perusahaan-perusahaan di AS baik sebagai pedoman kerja strategis, penetapan gaji dan sistem bonus, maupun sebagai alat ukur kinerja keuangan. Hasil penilaian kinerja dengan konsep EVA ini telah banyak digunakan oleh investorinvestor di AS sebagai alat analisa sebelum melakukan investasi pada portofolio saham. Tabel 5. Persentase Rata-Rata Per kapita Belanja Bulanan Pada Kelompok komoditi Jenis Pengeluaran 1987 1990 1993 1996 1999 2000 2001 2002 2003 Makanan 61,28 60,36 56,86 55,34 62,94 65,81 64,13 58,47 56,89 Non Makanan 38,72 39,64 43,14 44,66 37,06 34,19 35,87 41,53 43,11 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2004 (diolah) Industri makanan dan minuman adalah sektor industri yang masih berkembang dan memiliki prospek yang baik. Bila dilihat pada data statistik, belanja pada sektor produk makanan secara nasional persentase rata-ratanya lebih dari 55 % per kapita per bulannya, seperti terlihat pada Tabel 5. 7

Walaupun ada kecenderungan secara persentase menurun namun apabila terdapat peningkatan pada pendapatan dan belanja per kapita angka ini masih cukup besar dan mampu mendorong sektor industri makanan dan minuman untuk terus tumbuh terutama pada industri produk makanan dan minuman olahan yang cenderung meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita. Persentase rata-rata pengeluaran per kapita per bulan pada sub kelompok makanan pada produk makanan dan minuman jadi, terdapat peningkatan bila dilihat dari tahun 1999, 2002 dan 2003, seperti terlihat pada Tabel 6. Bila ditelaah dari angka pertumbuhan indikator makro ekonomi terutama sejak akhir 2001 hingga 2003 peluang pertumbuhan konsumsi produk makanan dan minuman mempengaruhi kinerja pada industri makanan dan minuman nasional. Namun bila dilihat dari statistika ekspor impor produk makanan dan minuman olahan angkanya menunjukkan nilai impor semakin lama semakin besar bahkan pada tahun 2003 sudah melampaui nilai ekspor ( Gambar 1). Hal ini sangat ironis karena berarti Indonesia sudah menjadi net importir produk makanan dan minuman olahan. Tabel 6. Persentase Pengeluaran Rata-Rata per Kapita Sebulan Untuk Sub Kelompok Makanan Indonesia (%). Kelompok Makanan 1993 1996 1999 2000 2003 Padi-padian 24.30 23.12 26.66 21.32 18.20 Umbi-umbian 1.49 1.22 1.24 1.10 1.14 Ikan,daging, susu, telur 19.47 19.84 17.13 19.34 19.87 Sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan 17.47 17.69 16.90 16.39 17.00 Konsumsi lainnya 14.87 14.61 14.46 13.49 13.10 Makanan dan Minuman jadi 13.51 15.35 15.07 16.58 17.25 Minuman Beralkohol 0.19 0.14 0.08 0.14 0.14 Tembakau dan sirih 8.70 8.03 8.46 11.64 13.29 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2003 (diolah) 8

Sektor industri makanan dan minuman dalam perekonomian nasional bila dilihat dari total outputnya memiliki nilai strategis. Darmawan (2004) memaparkan beberapa data yang berkaitan dengan industri pangan dan tembakau sebagai berikut : - Total output 2002 : Rp 167,7 triliun - Jumlah Tenaga Kerja : 2,6 juta orang - Jumlah industri : 843.334 ( besar, UKM dan RT) - Nilai Tambah Ekonomi : Rp 64,6 Triliun - Hanya meliputi sekitar 30 % dari total konsumsi pangan 2000 1500 1000 500 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 EKSPOR 813 816 962 834 756 958 956 1042 1184 1338 IMPOR 376 880 1328 646 1023 1398 680 502 719 1500 Keterangan : Nilai Ekspor Impor produk makanan dan minuman olahan (juta US$) Sumber : BPS & NAFED, 2003 Gambar 1. Data Ekspor Impor Produk Makanan dan Minuman Olahan Tahun 1994 2003 Dikaji dari jumlah industri yang bergerak di sektor produksi makanan dan minuman selama tahun 1998 2002, terjadi peningkatan hanya pada golongan industri besar dan menengah. Pada tahun 2001 ada 4544 menjadi 4553 industri pada tahun 2002. Pada industri kecil dan rumah tangga terjadi penurunan jumlah perusahaan, pada tahun 2001 terdapat 60.020 industri berkurang 9

menjadi 49.530 industri pada tahun 2002, pada industri rumah tangga jumlahnya berkurang dari 798.201 tahun 2001 menjadi 789.251 industri pada tahun 2002. Penurunan jumlah industri ini diperkirakan akibat banyaknya kendala-kendala teknis dan ekonomi bagi industri kecil dan rumah tangga untuk dapat berkembang dan bertahan. Beberapa kendala yang dihadapi oleh industri pangan nasional, baik industri besar, menengah dan kecil dipaparkan oleh Darmawan (2004) antara lain sebagai berikut : 1. Kebijakan tata niaga dan kenaikan Bea Masuk bahan baku 2. Bea Masuk impor yang rendah dan banyaknya barang selundupan 3. Isu yang berkait dengan produk makanan 4. Persyaratan standar internasional 5. Kenaikan tarif listrik, gas, BBM, upah, perda, retribusi dan lainnya 6. Suku bunga bank yang tinggi 7. Rendahnya kemampuan penelitian dan pengembangan 8. Rendahnya kualitas sumber daya manusia Namun walaupun demikian, dengan adanya perubahan kebijakan terhadap tarif impor bahan baku dan barang jadi dari luar, dengan perbaikan kondisi makro ekonomi diperkirakan sektor industri makanan dan minuman dapat tumbuh lebih baik pada masa yang akan datang. 1.2 Identifikasi Masalah Perbaikan kondisi makro ekonomi seperti penurunan angka inflasi, naiknya angka pertumbuhan GDP, turunnya suku bunga SBI, suku bunga deposito, suku bunga kredit secara langsung berpengaruh pada peningkatan aktivitas investasi di pasar modal. Peningkatan aktivitas di pasar modal secara langsung atau tidak 10

langsung akan memperbanyak jumlah perusahaan yang berusaha mencari modal kerja (dana untuk investasi dan sebagainya) melalui pasar modal dengan penerbitan saham baik baru ataupun penambahan jumlah saham (right issue) atau menjual obligasi sehingga memperoleh dana yang murah untuk pengembangan bisnisnya. Dana murah yang diperoleh dari penjualan saham dan penerbitan obligasi akan mengurangi biaya modal yang harus dikompensasikan perusahaan dalam perhitungan return investasinya, karena cicilan bunga dan pokok pinjaman akan berkurang jumlahnya. Dampaknya adalah terjadi peningkatan laba bersih perusahaan-perusahaan publik di pasar modal Peningkatan laba bersih akan berdampak pada dividen yang akan diterima oleh investor atas setiap lembar saham yang dimilikinya, disamping kesempatan memperoleh keuntungan dari selisih harga jual beli atas saham dengan nilai pasar atas saham tersebut (capital gain) akibat ekspektasi atau sentimen positif dari investor atas kinerja perusahaan (emiten) tersebut. Perbaikan kondisi makro ekonomi selama tahun 2002 dan 2003 tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan oleh manajemen perusahaan dalam meningkatkan nilai perusahaan dan kemakmuran pemegang saham dari investasi yang ditanamkan oleh investor atau pemilik perusahaan. Atau malah sebaliknya menurunkan nilai saham atau kemakmuran pemegang saham. Kondisi ini perlu dianalisa dengan alat analisa kinerja yang dapat menggambarkan kinerja riil manajemen dan perusahaan. Salah satu metode pengukuran kinerja dengan konsep penciptaan nilai tambah tersebut dikenal dengan konsep EVA. Kondisi tersebut diatas juga perlu dianalisa dengan konsep MVA apakah hasil kinerja yang dicapai oleh manajemen sesuai dengan 11

ekspektasi pemodal yaitu adanya penilaian (sentimen) positif terhadap nilai saham perusahaan tersebut, 1.3. Pembatasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada masalah adanya kekurangan pada alat analisa rasio keuangan dalam menilai kemampuan manajemen dan perusahaan menciptakan nilai tambah dan kemakmuran pemilik perusahaan Pada industri makanan dan minuman di BEJ. Analisa ini dilakukan baik atas kinerja internal perusahaan itu sendiri maupun kinerja eksternal oleh pasar modal atas prestasi yang diharapkan oleh investor terhadap nilai pasar perusahaan saat ini dan masa yang akan datang. 1.4. Perumusan Masalah Berdasarkan indentifikasi dan batasan masalah di atas maka rumusan masalah yang telah diteliti adalah sebagai berikut : a. Apakah ada perbedaan hasil pengukuran kinerja perusahaan bila diukur dengan EVA sebagai alat analisa dibandingkan dengan ROA dan ROE b. Bagaimana tanggapan investor atau pasar modal terhadap nilai masa kini dan masa datang perusahaan atas kinerjanya dengan mengukur nilai pasarnya menggunakan konsep MVA sebagai alat analisa pada perusahaan industri makanan dan minuman. c. Apakah ada korelasi dari EVA dan MVA terhadap harga saham perusahaan di Bursa Efek Jakarta. d. Apakah ada korelasi dari rasio akuntansi terhadap harga saham perusahaan di Bursa Efek Jakarta. 12

e. Alat analisa kinerja mana yang berkorelasi lebih kuat terhadap harga saham perusahaan di Bursa Efek Jakarta. 1.5. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Mengkaji kinerja perusahaan pada industri makanan dan minuman bila dianalisa dengan konsep EVA. b. Mengkaji perubahan nilai pasar saham perusahaan bila dianalisa dengan konsep MVA. c. Mengkaji korelasi EVA dan MVA dengan harga saham perusahaan di BEJ. d. Mengkaji korelasi Rasio Keuangan dengan harga saham di BEJ. e. Untuk mengetahui alat analisa mana yang berkorelasi lebih kuat terhadap indeks harga saham perusahaan di BEJ. 1.6. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan memberi manfaat berikut : a. Bagi calon investor dan peminat pasar modal dapat mengetahui alat analisa yang secara riil dapat menggambarkan kinerja perusahaan publik. b. Bagi perusahaan yang dianalisa dapat membandingkan alat analisa yang mampu menggambarkan kinerja yang riil. c. Bagi peneliti, sebagai bagian dari proses memperkuat kompetensi aspek manajerial di bidang manajemen keuangan. 13