HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINNJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan suatu periode yang disebut sebagai masa strum and drang,

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk

POLA ASUH KELUARGA BROKEN HOME DALAM PROSES PERKEMBANGAN ANAK DI DESA SUMBEREJO, KECAMATAN MADIUN, KABUPATEN MADIUN ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Anjarsari (2011: 19), mengatakan bahwa kenakalan adalah perbuatan anti. orang dewasa diklasifikasikan sebagai tindakan kejahatan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

MENGENAL MODEL PENGASUHAN DAN PEMBINAAN ORANGTUA TERHADAP ANAK

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku sesuai dengan moral dan cara hidup yang diharapkan oleh ajaran

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang.

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Berdasarkan World Health. Organization (WHO) (2010), masa remaja berlangsung antara usia 10-20

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

PENDAHULUAN Latar Belakang Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan tantangan, bangsa Indonesia dituntut untuk meningkatkan Sumber

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pada kejahatan dan dibiarkan seperti binatang, ia akan celaka dan binasa.

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi perbaikan perilaku emosional. Kematangan emosi merupakan

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. dalam kata lain sunat adalah memotong kulup atau khitan. Budaya (2012)

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut


BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah bahkan sekolah dewasa ini di bangun oleh pemerintah agar anak-anak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perilaku remaja. Dimana konsep-konsep ini akan membantu dalam menjelaskan

Perkembangan Sepanjang Hayat

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Kecemasan Komunikasi Interpersonal. individu maupun kelompok. (Diah, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN. perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang dia lihat. Istilah yang sering didengar yaitu chidren see children

BAB I PENDAHULUAN. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua,

BAB I PENDAHULUAN. oleh orang tuanya tentang moral-moral dalam kehidupan diri anak misalnya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

Transkripsi:

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak dalam penerapan kedisiplinan dan mengajarkan nilai atau norma serta memberikan kasih sayang dan perhatian agar sikap dan perilaku orang tua dapat dijadikan panutan bagi anaknya (Edwards, 2006). Menurut Yani dan Wurandiati (2012) pengasuhan (parenting) memerlukan sejumlah kemampuan interpersonal dan mempunyai tuntutan emosional yang besar, namun sangat sedikit pendidikan formal mengenai tugas ini. Pola asuh yang diberikan oleh orang tua merupakan bentuk dari nilai-nilai yang dimiliki oleh sebuah keluarga mengenai peraturan dan cara pengasuhan kepada anak (Supartini, 2004). Nilai-nilai dasar yang diberikan melalui pola asuh akan menjadi bekal anak dimasa depan dan membentuk kepribadian seorang anak di kemudian hari. Peran dalam pengasuhan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu saja melainkan harus ada kerja sama antara ayah dan ibu yang seimbang dalam memberikan pola asuh ke anak-anaknya. Jakarta, pada tanggal 24 Agustus seorang ayah tega menganiaya, memborgol dan menyekap anak kandungnya sendiri yang berusia 11 tahun. Kekerasan tersbut dilakukan karena sang anak membolos sekolah selama 4 hari. Anak yang menjadi korban kekerasan ayahnya ditemukan oleh tetangga sedang menangis dalam keadaan tangan di borgol dengan luka memar di sekujur tubuhnya (Detik, 2014). Psikolog anak dan remaja Ratih Zulhaqqi (2014) mengatakan kekerasan fisik seperti memukul dan mencubit anak sambil memarahi anak dapat berdampak pada psikologis anak, seperti perasaan cemas, merasa tidak aman dan nyaman dilingkungan, tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak bisa memposisikan dirinya dengan tepat dalam lingkungannya. Menurut Baumrind (1972., dalam Santrock, 2007) pola asuh orang 1

2 tua di bagi menjadi empat, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, pola asuh permisif dan pola asuh penelantar. Pola asuh otoriter merupakan pola pengasuhan anak yang cenderung mengekang anak, tegas, keras, dingin, kaku serta pemaksaan dimana anak dituntut harus mengikuti peraturan dan perintah dari orang tua berdasarkan nilai-nilai yang mereka tetapkan dan anak harus mematuhinya. Orang tua akan memperlihatkan emosi dan kemarahannya jika anak tidak mengikuti peraturan atau perintah yang ditetapkan olehnya. Pola asuh demokratis adalah pola asuh orang tua pada anak yang memberikan kebebasan berkreasi, bertindak serta berpendapat sesuai dengan keinginan dan kemampuan sang anak untuk mengekspresikan apa yang menjadi keinginan anak dimana orang tua tetap memberikan pengarahan dan pengawasan kepada anak dengan adanya saling mendengarkan dan berkomunikasi secara dua arah. Pola asuh permisif adalah pola asuh dimana orang tua hampir dikatakan tidak pernah atau jarang mengontrol kegiatan, keinginan serta perilaku yang di inginkan oleh anaknya. Orang tua memberikan kebebasan bagi anaknya tanpa mempertimbangkan hal-hal yang baik dan buruk yang akan berdampak atau terjadi dikemudian hari. Orang tua hanya beperan sebagai sumber informasi bagi anak bukan sebagai role model. Pola asuh penelantar adalah orangtua yang memiliki interaksi sedikit dengan anak, cenderung mengabaikan perkembangan fisik dan psikis anak. Orang tua dengan pola asuh penelantar biasanya lebih mementingkan kepentingan pribadinya tanpa memperdulikan apa yang terjadi pada anak dan apa yang dialami oleh seorang anak (Baumrind, 1972., dalam Santrock,2007). Widayanti dan Iryani (2005) menyatakan ketika pola asuh yang diterapkan kepada anak merupakan pola asuh yang benar tentu akan membentuk perilaku dan kepribadian yang baik bagi anak, sedangkan bila orang tua salah dalam menetapkan pola asuh maka akan berdampak tidak baik bagi perkembangan moral anak, karena akan mengakibatkan anak berperilaku menyimpang yang mengarah pada kenakalan anak dan kepribadian yang tidak baik ketika masa remajanya. Menurut Santrock (2007) remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa remaja ini anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun psikisnya. Mereka bukanlah seorang anak-anak jika dilihat dari bentuk badan ataupun cara berfikir dan bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang. Menurut Menurut Menurut Papalia, Olds & Feldman (2008) terdapat 3 fase

3 perkembangan remaja, yaitu: remaja awal (12-14 tahun), remaja pertengahan (15-18 tahun), dan remaja akhir (19-21 tahun). Remaja pertengahan adalah remaja yang masih memperlihatkan perilaku yang bersifat kekanak-kanakan dimana remaja tersebut mulai menyadari bahwa terdapat unsur baru dari kepribadian dan perubahan fisik sendiri. Menurut Fuhrmann (1990., dalam Retnowati, 2012) terdapat beberapa tugas-tugas perkembangan remaja yang harus diselesaikan pada masa perkembangan remaja, yaitu: mencapai hubungan yang baru dan lebih memaknai pertemanan sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis, mencapai peran sosial maskulin dan feminin, menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif, mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya, mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi, memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja, mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan keluarga, mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk tercapainya kompetensi sebagai warga negara, menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial dan memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman perilaku. Remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu yang dapat ia jadikan perenungan terhadap pemikiran filosofi dan etis. Remaja pertengahan juga turut memperkuat pendirian dan kemantapan diri sendiri. Rasa percaya diri pada remaja menimbulkan penilaian tersendiri terhadap tingkah laku yang dilakukannya untuk menemukan jati dirinya. Menurut Fuhrmann (1990., dalam Retnowati, 2012) menyebutkan tekanan-tekanan ketika seorang remaja gagal dalam memenuhi tugas perkembangannya akan menimbulkan perilaku seperti membuat mereka mudah mengalami gangguan, baik berupa gangguan pikiran, perasaan maupun gangguan perilaku dan kecemasan. Menurut Freud (1926., dalam Alwisol, 2005) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi dari ego yang menjadikan remaja merasa sesuatu hal buruk akan dihadapi sehingga secara tidak sadar mempersiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Kecemasan dikomunikasikan secara interpersonal serta merupakan hasil peringatan dari upaya diri individu untuk memelihara keseimbangan diri setiap individu (Suliswati, 2005). Kecemasan adalah respon emosi kebingungan dan kekhawatiran pada suatu objek yang tidak nyata dengan dirasakannya perasaan tidak menentu dan tidak berdaya yang secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal (Suliswati, 2005). Pendapat yang hampir sama disampaikan oleh Ayres

4 dan Bristow (2008) bahwa kecemasan adalah rasa atau perasaan tidak nyaman dan khawatir tentang ancaman yang berupa ancaman fisik atau psikologis yang muncul secara alami. Ada beberapa kecemasan yang dimiliki oleh remaja, salah satunya adalah kecemasan komunikasi yang biasanya muncul ketika sedang berinteraksi dengan orang lain. Kecemasan komunikasi dalam realitasnya merupakan perilaku yang cukup normal, namun apabila kecemasan tersebut sudah mengarah ke sifat patologis (keadaan sakit; abnormal) maka individu tersebut akan menerapkan perilaku yang tidak seharusnya, seperti selalu berusaha untuk tidak berkomunikasi atau menghindari komunikasi yang seharusnya dilakukan dengan orang lain (Suliswati, 2005). Ketika gugup (nervous), individu mungkin menunjukkan secara terbuka indikasi-indikasi dari inner arousal mereka (misalnya gemetar, gelisah), menghindari individu lain, dan gangguan pada perilaku-perilaku lain yang terus-menerus (misalnya tidak lancar berbicara, kesulitan konsentrasi). Sehingga berakibat, kecemasan adalah suatu kekurangan dalam hubungan sosial, karena individu yang gugup (nervous) dan terhambat mungkin menjadi kurang efektif secara sosial. Individu yang mengalami kecemasan dalam melakukan komunikasi akan memiliki beberapa karaktersitik. Burgoon dan Ruffner (1978., dalam Fathunnisa, 2012) menjelaskan karakteristik individu yang mengalami kecemasan komunikasi, yaitu unwillingness, avoiding, control. Unwillingness adalah ketidaksediaan individu untuk melakukan komunikasi kemudian akan menarik diri ketika berada dalam situasi yang membutuhkan komunikasi, memilih tidak berpartisipasi ketika diminta untuk berkomunikasi, memilih untuk tidak berbicara atau diam ketika diminta untuk berkomunikasi dalam situasi komunikasi. Avoiding berupa penghindaran dari partisipasi karena pengalaman komunikasi yang tidak menyenangkan, dengan indikasi dimana individu mengalami perasaan tidak nyaman dalam diri ketika menghadapi peristiwa yang membutuhkan komunikasi dari lingkungannya, mendapat rangsangan negatif untuk melakukan komunikasi dalam situasi komunikasi, rangsangan tersebut berhubungan dengan ketakutan. Control yang dimaksud adalah pengendalian terhadap situasi komunikasi dimana individu akan menghindari situasi atau keadaan yang memerlukan komunikasi, individu yang mengalami kecemasan komunikasi akan memilih untuk tidak terlibat dan tidak ikut

5 berada dalam situasi yang membutuhkan komunikasi (Burgoon dan Ruffner, 1978,. dalam Fathunnisa, 2012). Kecemasan komunikasi yang dialami individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Powell dan Powell (2010), faktor yang mempengaruhi munculnya kecemasan komunikasi salah satunya adalah Reinforcement, dimana kecemasan komunikasi dipengaruhi oleh seberapa sering individu mendapat penguatan untuk melakukan komunikasi dari lingkungan sekitarnya. Individu yang menerima reinforcement positif dalam komunikasi akan dapat mengurangi kecemasan komunikasi, sedangkan individu yang jarang diberikan kesempatan untuk melakukan komunikasi dan tidak didorong untuk berkomunikasi akan mengembangkan sikap negatif mengenai komunikasi sehingga muncul kecemasan komunikasi. Kegagalan remaja untuk menguasai keterampilan sosialnya dalam berkomunikasi akan menimbulkan perasaan sulit untuk melakukan interaksi sosial yang menyebabkan kecemasan komunikasi dan menimbulkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku anormatif misalnya, asosial ataupun anti-sosial. Bahkan lebih ekstrem bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, perilaku menyimpang, dan sebagainya (Resmi, 2005., dalam Agustina & Nashori, 2008). Salah satu faktor yang paling mempengaruhi perkembangan pola pikir seorang remaja sehingga menimbulkan perilaku yang tidak wajar seperti kecemasan komunikasi adalah peranan orang tua dalam memberikan pola asuh, maka peneliti ingin meneliti mengenai hubungan antara pola asuh orang tua terhadap kecemasan komunikasi remaja. 1.2 Pertanyaan Penelitian Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, maka peneliti mengambil rumusan permasalah sebagai berikut : Adakah Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua dengan Tingkat Kecemasan Komunikasi Remaja di Jakarta.

6 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan teoristis dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran empirik melalui pengumpulan data mengenai hubungan antara pola asuh orang tua dengan kecemasan komunikasi pada remaja di Jakarta. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak orang tua untuk memberikan pola asuh yang sesuai agar menjadi bekal anaknya kelak. Lalu penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi dunia pendidikan dalam membantu orang tua mendidik anaknya.