I. PENDAHULUAN. Pelaku Usaha menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur didalam

I. PENDAHULUAN. Hakekat pembangunan nasional adalah membangun seluruh manusia Indonesia

hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Penegakan Hukum dan Penegakan Hukum pidana. Penegakan hukum adalah proses di lakukannya upaya untuk tegaknya atau

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

I. PENDAHULUAN. Penyelenggara pemerintahan mempunyai peran penting dalam tatanan (konstelasi)

I. PENDAHULUAN. kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa

I. PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini banyak sekali beredar makanan yang berbahaya bagi kesehatan para

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide. merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. 1

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

I. PENDAHULUAN. menjadi penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat dipertanyakan. Bagaimana. hambatan dari hal-hal yang dapat menggangu kinerja hukum.

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

I. PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD

I. PENDAHULUAN. dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut

Kejahatan merupakan bayang-bayang peradaban manusia, bahkan lebih maju dari peradaban

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

2 Mengingat penyelenggaraan kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hur

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain. Manusia selalu ingin bergaul bersama manusia lainnya dalam. tersebut manusia dikenal sebagai makhluk sosial.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan

I. PENDAHULUAN. organisasi/perusahaan swasta, baik yang berupa surat-surat, barang-barang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang

Regulasi Pangan di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana sekarang ini telah menjadi suatu fenomena, dimana hampir setiap hari ada berita

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan-hubungan, nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. negatif bagi manusia dan lingkungannya, yaitu ditandai dengan adanya kejahatan.

tertolong setelah di rawat RSU dr. Wahidin Sudiro Husodo, kota Mojokerto. 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi global yang semakin terbuka berpengaruh pada kegiatan

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pelaksanaan penegakan hukum tidak selalu sesuai dengan apa yang tertulis dalam

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN MINUMAN BERALKOHOL

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I. PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu. dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi.

KEAMANAN PANGAN (UNDANG-UNDANG NO 12 TENTANG PANGAN TAHUN 2012

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

I. PENDAHULUAN. Perkembangan kondisi aktual yang belakangan ini telah menjadi perhatian bagi

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERDAGANGAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL MAKANAN MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA. (Skripsi) Oleh BEKI ANTIKA

I. PENDAHULUAN. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah lalu lintas.

I. PENDAHULUAN. merupakan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

I. PENDAHULUAN. diyakini merupakan agenda penting masyarakat dunia saat ini, antara lain ditandai

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. dilindungi oleh Undang-Undang. Hal ini terdapat pada Pasal 28 UUD 1945 yang

I. PENDAHULUAN. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah masalah lalu lintas. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

I. PENDAHULUAN. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. segala bidanng ekonomi, kesehatan dan hukum.

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting,

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaku Usaha menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Pasal 1 (Ayat 14) mengatur tentang setiap orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha dibidang Perdagangan. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Pasal 1 angka 3 pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Unsur-unsur pelaku usaha ialah: 1 1. Setiap orang perseorangan atau badan usaha, ditinjau dari aspek subyek yaitu pelaku usaha adalah pengusuha (perseorangan) dan sekumpulan pengusaha yang membentuk organ atau badan usaha. Dengan demikian baik perseorangan maupun badan usaha dapat dikenakan Undang- Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). 1 Sri Rejeki Hartono. Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Era Perdagangan Bebas,.Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung. Mandar Maju. 2000. Hlm. 36.

2 2. Berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, pembuat UU memahami bahwa badan usaha terdiri dari dua kategori, ialah badan usaha berbadan hukum dan badan usaha bukan badan hukum. 3. Didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, dalam hukum perdata internasional diakui prinsip nasionalitas atau domisili dari suatu badan hukum sebagai kriteria badan usaha domestik atau asing. 4. Baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, kegiatan bisnis dapat dilakukan dalam beragam bentuk dan cara yang dituangkan ke dalam kontrak. 5. Menyelenggarakan kegiatan usaha, istilah kegiatan usaha memiliki cakupan yang luas meliputi perbuatan dagang atau kegiatan perniagaan. 6. Dalam berbagai bidang ekonomi, memperluas arti pelaku usaha meliputi pihak-pihak yang melakukan aktivitas atau kegiatan usaha (bisnis). Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Pasal 7: 2 1. Hak pelaku usaha hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan. 2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. 3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. 4. Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan. 5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 6. Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan usahannya. 7. Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. 8. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan; pelaku usaha dilarang membedabedakan mutu pelayanan kepada konsumen. 9. Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku. 10. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan atau garansi. 2 Wahyu Sasongko. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar Lampung.UNILA. 2007. Hlm. 64.

3 11. Memberi kompensasi, ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan manfaat atau kegunaan barang atau jasa yang diperdagangkan. 12. Memberi kompensasi ganti rugi atau penggantian apabila berang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. 3 Perdagangan dalam Undang-Undang Perdagangan (UUP), Pasal 1 (ayat 1) adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi Barang dan/atau Jasa didalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas Barang dan/atau Jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi. Barang dalam Undang-Undang Perdagangan, Pasal 1 (ayat 5) adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau Pelaku Usaha. Saat ini sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam perdagangan yang dilakukan oleh para pelaku usaha terhadap barang yang dijual atau dipasarkan di Indonesia, misalnya barang yang tidak melengkapi lebel berbahasa Indonesia yang diperdagangkan di dalam negeri. Masalah yang sering terjadi inilah yang memicu timbulnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan untuk mempertegas aturanaturan/ketentuan mengenai kewajiban bagi pelaku usaha untuk menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam Negeri, pada Pasal 104 dalam undang-undang ini diatur sanksi pidana bahawa setiap pelaku usaha yang tidak menggunakan atau tidak melengkapi label berbahasa Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam negeri sebagaimana 3 Ibid. Hlm. 65.

4 dimaksud dalam Pasal 6 (ayat 1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Perdagangan barang yang tidak disertai label berbahasa Indonesia sebelumnya bukan dianggap sebagai suatu Tindak Pidana, tetapi karena hal ini dianggap meresahkan dan merugikan masyarakat dibuatlah Undang-Undang Perdagangan yang mengatur tentang Perdagangan barang yang tidak menggunakan atau tidak dilengkapi label berbahasa Indonesia merupakan suatu perbuatan tindak pidana. Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) pemberian label merupakan suatu keharusan bagi pelaku usaha dimana hal tersebut juga perlu diikuti dengan pemberian petunjuk atau informasi terkait barang atau produk yang diperjual belikan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga dinyatakan dengan tegas bahwa setiap produk atau barang dalam negeri ataupun luar negeri wajib mencantumkan label guna memberikan informasi yang benar dan jelas kepada konsumen sebelum membeli ataupun mengkonsumsinya. Kewajiban mengenai penggunaan bahasa Indonesia baik pada barang dalam negeri ataupun barang-barang impor yang berasal dari luar negeri bertujuan agar setiap orang mengerti dan memahaminya. Pemberian label dengan menggunakan bahasa Indonesia ini menjadi tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Hal ini digunakan sebagai salah satu indikator dalam pengawasan terhadap produk-produk yang beredar luas dipasaran.

5 Dampak negatif dari beredarnya barang impor dapat ditekan lajunya dan dapat diawasi tidak hanya oleh instansi pemerintahan yang terkait, tetapi juga dapat diawasi langsung oleh masyarakat selaku konsumen yang merasakan dampak langsung dari produk yang diperjual-belikan. Tidak hanya sebatas pada regulasi akan kewajiban pemberian label dan petunjuk atau informasi terkait barang, tetapi pemerintah juga harus memiliki peran aktif dalam menginformasikan kepada masyarakat luas mengenai bahan-bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan serta barang-barang pangan yang beredar dipasaran yang tidak layak untuk dikonsumsi. 4 Menurut Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, selama tahun 2012 terdapat 621 produk yang tidak memenuhi ketentuan, dimana terjadi peningkatan sebesar 28 produk dari tahun 2011, dengan spesifikasi produk impor sebesar 61% dan 39% adalah produk dalam negeri. Jenis pelanggaran yang dilakukanpun bermacam, mulai dari pelanggaran ketentuan label dalam bahasa Indonesia, Pelanggaran SNI (Standar Nasional Indonesia), pelanggaran MKG (Manual dan Kartu Garansi), dan pelanggaran atas tidak memenuhi ketentuan produk yang diawasi distribusinya. 5 Contoh Kasus data dari tahun 2012 hingga 2014 tentang jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam memperdagangankan barang di dalam negeri yang tidak menggunakan Label Berbahasa Indonesia. Dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Pusat di Jakarta, menemukan 2.939 item atau 72.814 4 https://dyahturtle.wordpress.com/konsumen-cerdas-paham-perlindungan-konsumendiakses pada tanggal 2 November 2014. Pukul 13.25 WIB 5 http://palingaktual.com/1295143/2-939-item-makanan-tak-layak-beredar-di-pasar/readdiakses pada tangga l 2 November 2014. Pukul 13.40 WIB

6 kemasan pangan yang tidak memenuhi ketentuan seperti izin edar, kadaluwarsa, kondisi rusak, serta tidak berlabel bahasa Indonesia. Temuan BPOM ini merupakan hasil intensifikasi pengawasan pangan menjelang natal dan tahun baru di gudang importir dan retail. Kepala BPOM Roy Sparringa menuturkan, pengawasan pangan yang dilaksanakan hingga 19 Desember 2014 ini berhasil menjaring 2.939 item pangan. "Intensifikasi pengawasan pangan ini dilaksanakan serentak oleh Balai BPOM di seluruh Indonesia. Berdasarkan hasil pengawasan tersebut, pangan kadaluwarsa merupakan temuan terbanyak. 6 BPOM menggelar intensifikasi pengawasan di sarana-sarana distribusi pangan seperti toko, pasar tradisional, supermarket, hypermarket, serta para pembuat atau penjual parsel. Berdasarkan pengawasan tersebut, BPOM menemukan 635 item atau 15.483 kemasan pangan tanpa izin edar, 1.558 item (49.647 kemasan) pangan kadaluwarsa, 551 item (5.199 kemasan) pangan rusak, 192 item (2.433 kemasan) pangan tidak memenuhi ketentuan label, dan 3 item (52 kemasan) pangan tidak berlabel bahasa Indonesia. Kemasan tidak memenuhi ketentuan label bernilai Rp97.320.000,00 (sembilan puluh tujuh juta tiga ratus dua puluh rupiah). Jenis pangan sementara itu untuk pangan yang tidak memenuhi ketentuan label adalah snack, minuman ringan, madu, mentega, dan cokelat. Mayoritas berasal dari negara Malaysia dan Thailand, sisanya berasal dari Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Singapura, dan negara-negara kecil lainnya. Makanan dan minuman ringan 6 http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/12/22/2939-item-makanan-tak-layak-beredar-di-pasar diakses pada 6 April. Pukul 21.30 WIB

7 menempati posisi teratas dari jenis item pangan yang diimpor". 7 Proses penyidikan dari kasus ini hanya sebatas penyitaan produk-produk tersebut yang kemudian akan di musnahkan. B. Rumusan masalah dan Ruang Lingkup 1. Rumusan Masalah Masalah tersebut yang akan diteliti oleh penulis agar mempunyai penafsiran yang jelas, maka perlu dirumuskan ke dalam suatu rumusan masalah, sehingga dapat dipecahkan secara sistematis dan dapat memberikan gambaran yang jelas. Berdasarkan uraian dalam identifikasi dan pembahasan masalah diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang diperdagangkan di dalam negeri? b. Apakah faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang diperdagangkan di dalam negeri? 2. Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian Hukum Pidana yang membahas objek penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang diperdagangkan di dalam negeri. Ruang lingkup wilayah penelitian mencangkup 7 Ibid.

8 wilayah Provinsi Lampung dengan data penelitian yang dilakukan pada tahun 2015. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada pokok bahasan diatas maka tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang diperdagangkan di dalam negeri. b. Untuk mengetahui faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang diperdagangkan di dalam negeri. 2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan khususnya dibidang kajian hukum pidana yang berhubungan dengan penegakan hukum pidana dan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan produk di dalam negeri tidak disertai label berbahasa Indonesia. b. Kegunaan Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa dan masyarakat umum sehingga penelitian ini dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran dibidang ilmu hukum kepada aparat penegak hukum dalam melaksanakan kajian penegakan hukum pidana

9 terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan produk di dalam negeri tidak disertai label berbahasa Indonesia. Selain itu juga berguna sebagai bahan bacaan, sumber informasi, dan bahan kajian lebih lanjut bagi yang membutuhkan. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah konsep-konsep khusus yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. 8 Masalah penegakan hukum pidana atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminil yang di anut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Penegakan hukum adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum dengan menjaga keselarasan, keseimbangan, dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan 8 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press. 2010. hlm.125.

10 pidana. Menurut moeljatno, hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan untuk: a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman-ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 9 Menurut Joseph Golstein penegakan hukum pidana dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu Pertama, Total Enforcement yaitu dimana ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crimes). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum termasuk Kepolisian dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana, seperti adanya aturan-aturan tentang penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Selain itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkannya aduan (klacht delicten) sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan. Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement, maka muncullah suatu bentuk penegakan hukum pidana yang kedua yaitu Full Enforcement. Namun dalam ruang lingkup ini-pun para penegak hukum termasuk pihak kepolisian tidak bisa diharapkan menegakkan hukum secara maksimal karena adanya berbagai keterbatasan, baik dalam bentuk 9 Tri Andrisman, Hukum Pidana, B.Lampung, Universitas Lampung, 2011, hlm.7.

11 waktu, sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusia, perundang undangan dan sebagainya sehingga mengakibatkan dilakukannya discretions. Sehingga menurut Joseph Golstein, yang tersisa adalah Actual Enforcement. Namun, pelaksanaan Actual Enforcement ini-pun tidak tertutup kemungkinan untuk terjadinya berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. 10 Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application) yang melibatkan berbagai sub sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan permasyarakatan. Termasuk di dalamnya tentu saja lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi, yaitu: 1. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif, yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai yang didukung oleh sanksi pidana. 2. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem adminstratif yang mencangkum interaksi antara berbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub sistem peradilan. 3. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial dalam arti bahwa setiap mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan berbagai prespektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat. Sehubungan dengan berbagai dimensi diatas dapat dikatakan bahwa sebenarnya hasil 10 Joseph Golstein, dalam Muladi. Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung. Alumni. 1995. Hlm. 16.

12 penerapan hukum pidana harus menggambarkan keseluruhan hasil interaksi antara hukum, praktek administratif dan pelaku sosial. 11 A.Teori Penegakan Hukum Pidana Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Berdasarkan itu yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran-pikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum) yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. 12 Menurut Soerjono Soekanto, yaitu secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi 11 Joseph Goldstein dalam Muladi. Kapita Selekta Peradilan Pidana. Semarang. Universitas Diponogoro. 1995. Hlm. 41. 12 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta; 1983, hlm. 24.

13 mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral. 13 Sistem penegakan hukum dapat dilihat secara integral, yaitu berupa adanya keterjalinan yang erat (keterpaduan/integralitas) atau satu kesatuan dari berbagai sub-sistem (komponen) yang terdiri dari substansi hukum, struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Sedangkan yang dimaksud dengan nilai-nilai budaya hukum (legal culture) dalam konteks penegakan hukum, tentunya lebih terfokus pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan kesadaran hukum atau sosialnya, serta pendidikan atau ilmu hukum. 14 Penegakan hukum pidana apabila dilihat sebagai bagian dari mekanisme penegakan hukum (pidana), maka pemidanaan yang biasa juga diartikan pemberian pidana tidak lain merupakan suatu proses kebijakan yang sengaja direncanakan. Artinya pemberian pidana itu untuk benar-benar dapat terwujud direncanakan melalui beberapa tahap yaitu: 1. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang; 2. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang; dan 3. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang. Tahap pertama sering juga disebut tahap pemberian pidana in abstracto, sedangkan tahap kedua dan ketiga disebut tahap pemberian pidana in Concreto. Dilihat dari suatu proses mekanisme penegakan hukum pidana, maka ketiga 13 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang MempengaruhiPenegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm 5. 14 Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Sistem Penegakan Hukum dengan Pendekatan Religius dalam Konteks Siskumas dan Bangkumas, dalam buku Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religius dalam Rangka Optimalisasi dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) Di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang 2011, hlm.42.

14 tahapan itu diharapkan merupakan satu jalinan mata rantai yang saling berkaitan dalam satu kebulatan sistem. 15 Sistem penegakan hukum pidana adalah sistem kekuasaan atau kewenangan menegakan hukum pidana yang diwujudkan atau diimplementasikan dalam 4 (empat) sub-sistem dalam proses peradilan pidana, yaitu : 1. Kekuasaan penyidikan (oleh badan/lembaga penyidik); 2. Kekuasaan penuntutan (oleh badan/lembaga penuntut umum); 3. Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan atau pidana (oleh badan/lembaga pengadilan); dan 4. Kekuasaan pelaksana putusan atau pidana (oleh badan/aparat pelaksana atau eksekusi). Keempat tahap itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan sistem peradilan pidana terpadu. 16 Sistem peradilan di Indonesia pada hakikatnya identik dengan penegakan hukum karena proses peradilan pada hakikatnya suatu proses menegakan hukum. B. Teori Tujuan Pemidanaan Tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana yang tidak terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti luasnya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan, serta menciptakan keadilan. Berdasarkan hal tersebut maka untuk menjawab dan mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, tidak akan terlepas dari teori-teori tentang pemidanaan yang ada. Sebagaimana diketahui dalam hukum pidana dikenal teori-teori yang berusaha mencari dasar hukum dari pemidanaan dan apa tujuannya. 15 Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni,1992,hlm.91. 16 Barda Nawawi Arief, 2011, Op.Cit., hlm.41.

15 Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu: 1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien) 2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien) 3. Teori Gabungan (verenigingstheorien) 17 1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien) Dijatuhkannya pidana pada orang yang melakukan kejahatan adalah sebagai konsekuensi logis dari dilakukannya kejahatan. Jadi siapa yang melakukan kejahatan harus dibalas pula dengan penjatuhan penderitaan pada orang itu. Dengan demikian adanya pidana itu didasarkan pada alam pikiran untuk pembalasan, oleh karena itu teori ini dikenal pula dengan teori pembalasan. 18 2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien) Menurut teori kedua (teori relatif) yaitu, tujuan dari pidana itu terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Tujuan dari pidana itu untuk perlindungan masyarakat atau memberantas kejahatan. Teori tujuan ini mempunyai beberapa paham/teori, diantaranya: a) Teori Prevensi Umum Menurut teori ini tujuan pidana itu adalah untuk pencegahan yang ditunjukan pada masyarakat umum, agar tidak melakukan kejahatan, yaitu dengan ditentukan pidana pada perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang. b) Teori Prevensi Khusus Menurut teori ini tujuan pidana adalah untuk mencegah penjahat tidak mengulangi lagi kejahatan. 19 17 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2010, hlm.31. 18 Tri Andrisman, 2011, Op.Cit., hlm.30. 19 Ibid. Hlm.31-32.

16 3. Teori Gabungan Ide dasar teori gabungan ini pada jalan pikiran bahwa pidana itu hendaknya merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan perlindungan masyarakat yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan dan keadaan pembuatnya. Jadi untuk perbuatan jahat keinginan masyarakat untuk membalas dendam direspon dengan dijatuhi pidana penajara pada pelakunya, sedangkan penjahat/narapidana itu dilakukan pembinaan agar tidak mengulanginya kembali selepas dari menjalani pidana penjara tersebut. 20 Masalah penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada sisi faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Faktor perundang-undangan (substansi hukum); 2. Faktor aparat penegak hukum; 3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung ; 4. Faktor masyarakat; dan 5. Faktor kebudayaan 21 2. Konseptual Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti. 22 Berdasarkan judul ini akan diuraikan beberapa istilah sebagai berikut: 20 Ibid. Hlm.33 21 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta, Universitas Indonesia, 2007. Hlm. 132 22 Ibid. Hlm. 124.

17 a. Analisis adalah memecah atau menguraikan suatu keadaan atau masalah kedalam beberapa bagian elemen dan memisahkan bagian tersebut untuk dihubungkan dengan keseluruhan atau dibandingkan dengan yang lain. 23 b. Penegakan hukum pidana adalah keseluruhan rangkaian kegiatan penyelenggara/pemeliharaan keseimbangan hak dan kewajiban warga masyarakat sesuai harkat dan martabat manusia serta pertanggungjawaban masing-masing sesuai dengan fungsinya secara adil dan merata dengan aturan hukum, peraturan hukum dan perundang-undangan di bidang hukum pidana yang merupakan perwujudan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 24 c. Pelaku Usaha menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UUP) Pasal 1 Ayat (14) adalah setiap orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha dibidang Perdagangan. d. Perdagangan Dalam Negeri menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 yaitu Perdagangan Barang dan/atau Jasa dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak termasuk Perdagangan Luar Negeri. e. Label Berbahasa Indonesia menurut Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor.62/M-DAG/PER/12/2009 tentang Kewajiban Pencantuman Label Pada Barang adalah setiap keterangan mengenai barang yang berbentuk 23 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1997, hlm. 276. 24 Heni Siswanto. Dimensi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kejahatan Perdagangan Orang.Bandar Lampung. Indepth Publishing. 2013. Hlm. Xxvi.

18 gambar, tulisan, kombinasi atau keduanya, dan bentuk lain yang memuat informasi tentang barang dan keterangan pelaku usaha serta informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku disertakan pada barang, dimasukan kedalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian dari kemasan. E. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 5 (lima) bab yang saling berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan secara garis besar mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang teori-teori hukum sebagai latar belakang pembuktian pembahasan permasalahan yang ada kaitannya dengan masalah yang akan dibahas yang terdiri dari pengertian penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang diperdagangkan di dalam negeri.

19 III. METODE PENELITIAN Bab ini membahas tentang langkah-langkah atau cara-cara yang dipakai dalam rangka pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta tahap akhir berupa analisis data. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu mengenai bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang diperdagangkan di dalam negeri dan apa saja yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang diperdagangkan di dalam negeri. PENUTUP Bab ini memuat kesimpulan dari kajian penelitian yang menjadi fokus bahasan mengenai bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang diperdagangkan di dalam negeri, dan apa saja yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang diperdagangkan di dalam negeri, serta saransaran penulis dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.