3 AGROPOLITAN DAN AGROINDUSTRI

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Kawasan Pertanian Industrial unggul berkelanjutan

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Peranan studi kelayakan dan analisis proyek dalam kegiatan pembangunan. keterbatasan sumberdaya dalam melihat prospek usaha/proyek yang

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

BAB I PENDAHULUAN. petani, mengisyaratkan bahwa produk pertanian yang dihasilkan harus memenuhi

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Bila pada tahun 1969 pangsa sektor pertanian primer

TOPIK 12 AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

3 KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian segala upaya pelaksanaan

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

KULIAH KE 10: AGROBISNIS DAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

BAB I PENDAHULUAN. besar dari pemerintah dikarenakan peranannya yang sangat penting dalam rangka

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU

I PENDAHULUAN. (bisnis) di bidang pertanian (dalam arti luas) dan bidang-bidang yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

REVITALISASI PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas.

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

SISTEM AGRIBISNIS SUMARDJO. Departemen SOSEK-Faperta IPB. 1. Agribisnis Sebagai Suatu-Sistem

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI KABUPATEN REJANG LEBONG BUPATI REJANG LEBONG,

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi

Bab II. Rumusan dan Advokasi Arah Kebijakan Pertanian

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pedesaan saat ini menempati bagian paling dominan dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

INDEKS. biofuel 63, ceteris paribus 164 constant return to scale 156, 166

SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN PADA SEMINAR MENYELAMATKAN EKONOMI BANGSA: PEMBANGUNAN SEKTOR RIIL DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENINGKATAN NILAI TAMBAH MELALUI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Subsektor perkebunan merupakan salah satu sektor pertanian yang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

Membangun Pertanian dalam Perspektif Agribisnis

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Transkripsi:

3 AGROPOLITAN DAN AGROINDUSTRI 3.1 Konsep Pengembangan Kawasan Agropolitan Menurut Mercado (2002) dan Nurzaman (2005), Agropolitan development adalah salah satu bentuk konsep pembangunan dari bawah yang dapat menghasilkan pemerataan pendapatan lebih cepat dibandingkan pendekatan growth pole. Menurut Douglass (1998b) dan Hastuti (2001), pendekatan growth pole menginspirasikan terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan di perkotaan, dan diharapkan dengan terbentuknya pusat pertumbuhan tersebut akan terjadi proses penetesan pembangunan ke daerah-daerah belakang (trickle down process) dan pemerataan akan terjadi secara otomatis dari kutub-kutub pertumbuhan ke daerah belakang tersebut (hinterland). Namun kenyataannya penetesan pembangunan tidak terjadi, dan yang terjadi adalah pengurasan sumberdaya yang dimiliki daerah oleh pusat secara besar-besaran (massive backwash effect). Menurut Stohr (1981), untuk menghindari backwash effect dari wilayah yang sudah lebih maju, kawasan agropolitan secara seleksi tertutup dari hubungan khusus dengan wilayah lainnya (selective spatial closure). Berbagai keputusan, baik dalam pemilihan teknologi produksi yang dipakai, tujuan pembangunan, maupun inisiatif untuk membangun, diserahkan kepada penduduk setempat. Demikian juga faktor produksi seperti lahan, harus dimiliki oleh penduduk setempat. Agropolitan terdiri dari dua kata Agro dan politan (polis). Agro berarti pertanian dan politan berarti kota, sehingga Agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota. Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Menurut Anwar (1999), secara kumulatif, dengan adanya agropolitan maka akan tercipta berbagai peluang dalam pengembangan wilayah seperti tumbuhnya industri yang berbasis pada pertanian, peningkatan produk lokal dan permintaan akan barang-barang lokal, penyerapan tenaga kerja, dan berbagai

26 keuntungan lain. Proses kumulatif dari perkembangan wilayah dengan pusat pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 2. Perusahaan industri baru yang memilih lokasi pada tempat di wilayah perdesaan tertentu Peningkatan keuntungan aglomerasi pada suatu agropolitan Peningkatan lapangan kerja dan pendapatan penduduk Peluasan produk-produk perusahaan lokal Peningkatan pola penyerapan tenaga kerja Peningkatan permintaan akan barang dan jasa lokal Perluasan sektor jasa/pelayanan Peningkatan keuntungan kepada pemerintah lokal Peningkatan prasarana lokal Gambar 2 Proses kumulatif dari pertumbuhan suatu wilayah yang didukung oleh suatu tempat pemusatan (Anwar 1999). Menurut Soenarno (2003), kawasan agropolitan diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa, yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membentuk kawasan agropolitan (Gambar 3). Kawasan tersebut terkait dengan sistem pusat-pusat pemukiman nasional dan sistem pemukiman pada tingkat propinsi dan kabupaten. DPP Pasar/Global DPP DPP Keterangan: Penghasil bahan baku Batas kawasan lindung Pengumpul bahan baku Batas kawasan agropolitan Sentra produksi DPP Desa pusat pertumbuhan Kota kecil/pusat regional Jalan & dukungan sarana Kota sedang/besar prasarana Gambar 3 Konsep pengembangan kawasan agropolitan (Soenarno 2003)

27 Agropolitan berada dalam kawasan pemasok hasil pertanian (sentra produksi pertanian) yang memberikan kontribusi yang besar terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakatnya. Selanjutnya kawasan pertanian tersebut (termasuk kotanya) disebut dengan kawasan agropolitan. Kota pertanian dapat merupakan kota menengah atau kota kecil atau kota kecamatan atau kota perdesaan atau kota nagari yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi, yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti usaha pertanian (on farm dan off farm), industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan, dan lain-lain. Batasan suatu kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten) tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan economic of scale dan economic of scope. Oleh karena itu, penetapan kawasan agropolitan hendaknya dirancang secara lokal dengan memperhatikan realitas perkembangan agribisnis yang ada di setiap daerah. Dengan demikian bentuk dan luasan kawasan agropolitan, dapat meliputi satu wilayah Desa/kelurahan atau kecamatan atau beberapa kecamatan dalam kabupaten/kota atau dapat juga meliputi wilayah yang dapat menembus wilayah kabupaten/kota lain yang berbatasan. Kotanya dapat berupa kota desa, kota nagari, kota kecamatan, kota kecil atau kota menengah. Suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Friedmann & Douglass 1976; Friedmann 1996; Soenarno 2003; Ferrario 2009): 1. Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian (agribisnis). 2. Kegiatan di kawasan tersebut sebagian besar di dominasi oleh kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk di dalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan.

28 3. Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland / daerah-daerah sekitarnya di kawasan agropolitan bersifat interdepedensi/timbal balik yang harmonis, dan saling membutuhkan, dimana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm), sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil dan penampungan (pemasaran) hasil produksi/produk pertanian. 4. Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan suasana kota karena keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota. Sarananya terdiri dari: pasar, fasilitas sekolah, fasilitas kesehatan dan fasilitas telekomunikasi. Agropolitan merupakan kawasan yang diharapkan terjadi desentralisasi perencanaan dan pengambilan keputusan. Hal ini akan mencegah hiperurbanisasi, ketergantungan daerah miskin pada daerah kaya, pengangguran yang meningkat di perkotaan, kekurangan makanan yang terus menerus dan semakin besar dan kesejahteraan penduduk perdesaan yang memburuk (Friedmann & Douglas 1976). 3.2 Syarat, Tujuan dan Sasaran Pengembangan Kawasan Agropolitan Agar pembangunan kawasan agropolitan berkelanjutan, maka diperlukan beberapa syarat, yaitu: (1) Harus diupayakan otonomi lokal sehingga setiap kawasan memiliki wewenang dan sumber-sumber ekonomi sehingga dapat merencanakan dan melaksanakan sendiri pembangunannya, (2) Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan setempat harus ditanam kembali untuk menaikkan dayahasil dan menciptakan suatu keadaan yang mendorong pertumbuhan ekonomi selanjutnya, dan (3) Pemakaian sumberdaya alam yang lebih rasional dan produktif dengan menentukan batas-batas minimum dan maksimum luas tanah milik/land reform (Friedmann & Douglas 1976). Tujuan pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis

29 kerakyatan, berkelanjutan (tidak merusak lingkungan) dan terdesentralisasi (wewenang berada di Pemerintah Daerah dan Masyarakat) di kawasan agropolitan. Dengan berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di kawasan agropolitan tersebut tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga off farm"nya, yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif, serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Deptan, 2003). Sasaran pengembangan kawasan agropolitan menurut Deptan (2003), adalah untuk mengembangkan kawasan pertanian, melalui kegiatan-kegiatan berikut: 1. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktifitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien dan menguntungkan serta berwawasan lingkungan, 2. Penguatan kelembagaan petani, 3. Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedia agroinput, pengolahan hasil, pemasaran dan penyediaan jasa), 4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu, 5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi. Sejak tahun 2002, pemerintah Indonesia telah melakukan program rintisan pengembangan agropolitan secara terpadu lintas sektor, yang melibatkan Departemen Pertanian/Deptan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah/Depkimpraswil serta Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah/Depdagriotda. Program tersebut dimaksudkan untuk membentuk suatu kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan, perkebunan, tanaman pangan, dan hortikultura. Tujuan program rintisan pengembangan agropolitan adalah meningkatkan percepatan pembangunan wilayah, meningkatkan keterkaitan desa dan kota serta mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis pada daerah potensi sebagai kawasan pengembangan agropolitan (Deptan, 2003).

30 Program pengembangan agropolitan tersebut dimulai dengan ditetapkannya tujuh program rintisan oleh tim perencana departemen terkait seperti Deptan, Depkimpraswil, dan Depdagriotda sebagai berikut: (1) Kabupaten Agam (Sumatera Barat) dan Kabupaten Barru (Sulawesi Selatan) sebagai wilayah agropolitan berbasis agribisnis peternakan, (2) Kabupaten Bangli (Bali) dan Kabupaten Kulonprogo (DIY) sebagai wilayah agropolitan berbasis agroindustri perkebunan, (3) Kabupaten Cianjur (Jabar) dan Kabupaten (Rejang Lebong (Bengkulu) sebagai wilayah agropolitan berbasis agribisnis hortikultura, dan (4) Kabupaten Boalemo (Gorontalo) sebagai wilayah agropolitan berbasis agribisnis tanaman pangan. Selanjutnya diharapkan secara bertahap dan berjangka panjang kawasan agropolitan dapat dikembangkan di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia sesuai potensi dan sumberdaya yang dimiliki (Ditjen Bina Produksi Peternakan Deptan 2003). Pada tahun 2003, jumlah daerah yang dikembangkan telah mencapai 52 kabupaten di 29 propinsi. Tiga belas kabupaten mengembangkan program tanpa fasilitas pemerintah atau swadana (Departemen Pertanian, 2002). Pada Februari 2006, terdaftar 98 kabupaten dari 31 propinsi yang mengembangkan kawasan Agropolitan (Deptan 2007). Menurut Djakapermana (2003), pengembangan kawasan agropolitan tidak bisa terlepas dari pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan nasional (RTRWN) dan sistem pusat kegiatan pada tingkat Propinsi (RTRW Propinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten). Hal ini disebabkan, rencana tata ruang wilayah merupakan kesepakatan bersama tentang pengaturan ruang wilayah. Terkait dengan Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN), maka pengembangan kawasan agropolitan harus mendukung pengembangan kawasan andalan. 3.3 Tahapan Pengembangan Agropolitan Menurut Rustiadi dan Hadi (2004), tahap awal pengembangan agropolitan adalah penetapan lokasi sesuai dengan persyaratan agropolitan. Tahap berikutnya adalah penyusunan produk tata ruang dan bentuk organisasi pengelolaan sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu tahap penguatan sumberdaya manusia dan kelembagaan, sehingga bisa dihindari adanya peluang pengaliran nilai tambah yang tidak terkendali keluar kawasan. Penguatan kelembagaan lokal dan sistem

31 kemitraan menjadi prasyarat utama yang harus ditempuh terlebih dahulu dalam pengembangan agropolitan. Pengembangan infrastruktur fisik di kawasan agropolitan dilakukan setelah tahap-tahap di atas dilakukan, agar tidak terjadi penyimpangan terhadap tujuan pengembangan kawasan agropolitan. Harun (2004) dan Suwandi (2005), mengemukakan bahwa ditinjau dari aspek tata ruang maka secara umum struktur hirarki sistem kota-kota agropolitan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Orde yang paling tinggi (kota tani utama) dalam lingkup wilayah agropolitan skala besar sebagai: - Kota perdagangan yang berorientasi ekspor ke luar daerah (nasional dan internasional) dan bila berada di tepi pantai maka kota ini memiliki pelabuhan samudra - Pusat berbagai kegiatan pabrikasi final industri pertanian (packing), stok pergudangan dan perdagangan bursa komoditi - Pusat berbagai kegiatan tertier agrobisnis, jasa perdagangan, asuransi pertanian, perbankan dan keuangan - Pusat berbagai pelayanan (general agroindustry services) 2. Orde kedua (pusat distrik agropolitan) yang berfungsi sebagai: - Pusat perdagangan wilayah yang ditandai dengan adanya pasar-pasar grosir dan pergudangan komoditi sejenis - Pusat kegiatan agroindustri berupa pengolahan barang pertanian jadi dan setengah jadi serta kegiatan agrobisnis - Pusat pelayanan agroindustri khusus (special agroindustry services), pendidikan, pelatihan dan pemuliaan tanaman unggulan. 3. Orde ketiga (pusat suatu kawasan pertanian) - Pusat perdagangan lokal yang ditandai dengan adanya pasar harian - Pusat koleksi komoditi pertanian yang dihasilkan sebagai bahan mentah industri - Pusat penelitian, pembibitan, dan percontohan komoditi - Pusat pemenuhan pelayanan kebutuhan permukiman pertanian - Koperasi atau badan usaha milik petani dan informasi pasar barang perdagang

32 3.4 Agroindustri Agroindustri memiliki peranan strategis dalam upaya pemenuhan bahan kebutuhan pokok, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, pemberdayaan produksi dalam negeri, perolehan devisa, pengembangan sektor ekonomi lainnya, serta perbaikan perekonomian masyarakat di perdesaan. Hal ini disebabkan oleh karakteristik dari industri ini yang memiliki keunggulan komparatif berupa penggunaan bahan baku yang berasal dari sumberdaya alam yang tersedia di dalam negeri (IKAH Depperindag 2004). Peran Agroindustri dalam mengurangi kemiskinan dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Secara langsung pembangunan sektor agroindustri dan sektor pertaian akan meningkatkan produktivitas pertanian melalui penigkatan produktivitas faktor. Peningkatan produktivitas pertanian akan meningkatkan pendaoatan petani dan lebih lanjut akan menurunkan kemiskinan, sedangkan peran secara tidak langsung adalah melalui sektor nonpertanian. Pembangunan agroindustri pada awalnya akan mempengaruhi pertumbuhan sektor pertanian dan melalui keterkaitan sektor akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara agregat dan selanjutnya akan mempengaruhi kemiskinan. Komponen yang mempengaruhi produktivitas faktor diantaranya adalah kapital fisik, infrastruktur, sumberdaya manusia, pendidikan, penelitian dan pengembangan, kepadatan populasi perdesaan, serta perubahan teknologi (Susilowati et al. 2007; Misra 2007). Agroindustri sebagai penarik pembangunan sektor pertanian diharapkan mampu berperan dalam menciptakan pasar bagi hasil-hasil pertanian melalui berbagai produk olahannya. Agar agroindustri dapat berperan sebagai penggerak utama, industrialisasi perdesaan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut yaitu: berlokasi di perdesaan, terintegrasi vertikal ke bawah, mempunyai kaitan input-output yang besar dengan industri lainnya, dimiliki oleh penduduk desa, padat tenaga kerja, tenaga kerja berasal dari desa, bahan baku merupakan produksi desa, dan produk yang dihasilkan terutama dikonsumsi pula oleh penduduk desa (Simatupang & Purwoto 1990). Peran agroindustri sebagai suatu kegiatan ekonomi yang diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja masih sangat relevan dengan permasalahan

33 ketenagakerjaan saat ini, terutama beban sektor pertanian yang menyerap sekitar 46 persen dari total angkatan kerja dan adanya indikasi tingkat pengangguran terbuka dan terselubung yang semakin meningkat (Rusastra et al. 2005; Wilkinson & Rocha 2009). Peran agroindustri dalam perindustrian nasional cukup besar; pada tahun 2001 pangsa nilai tambahnya dalam industri non migas sebesar 80,70 persen, kesempatan kerja 74,90 persen, dan efek pengganda nilai tambah sebesar 3,23. Pada tahun 2004 dari industri makanan saja (belum termasuk agroindustri non makanan) dapat menyumbang nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja masingmasing sebesar 23,3 dan 21,4 persen. Fakta tersebut menunjukkan bahwa agroindustri yang bergerak di sektor makanan, perikanan, peternakan, dan perkebunan merupkan sektor komplemen yang dapat dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian dan perdesaan. Sektor agroindustri merupakan pilar strategis pembangunan sektor pertanian (Supriyati & Suryani 2006; BP2HP Deptan 2001). Menurut Susila dan Setiawan (2007), industri berbasis perkebunan memberi kontribusi 3,2 persen dari PDB nasional dan menyediakan lapangan kerja sebesar 16,6 juta orang. Data Departemen Perindustrian dan Perdagangan memperlihatkan bahwa pada tahun 1999 terdapat 2.075 unit usaha agroindustri skala menengah dan besar, yang menyerap tenaga kerja sebesar 950.000 orang dengan nilai produksi sebesar Rp 41 trilyun dan nilai ekspor $ 3 milyar. Namun selama ini sektor agroindustri kurang menunjukkan perkembangan berarti yang terlihat dari jumlah perusahaan agroindustri makanan (skala besar dan sedang) yang hanya bertambah 34 perusahaan atau 0,74 persen selama sepuluh tahun terakhir (IKAH Depperindag 2004). Agroindustri yang menonjol pada saat itu adalah minyak sawit, minyak kelapa, kalengan ikan, produk kakao, margarin, confectionery, buah-buahan kalengan, Mono Sodium Glutamat (MSG), pakan ternak dan rokok. Pemberdayaan masyarakat tani dan perdesaan sangat erat kaitannya dengan upaya penumbuh-kembangkan usaha produktif di tingkat rumah tangga yang dapat menghasilkan nilai tambah bagi petani. Selama ini pangsa pasar (share) usaha pertanian terhadap pendapatan rumah tangga perdesaan sebesar 60,45 persen sebagian besar (54,35 persen) berasal dari kegiatan on-farm, dan

34 hanya 6,10 persen saja yang berasal dari kegiatan off-farm (Balitbang PSE Deptan dan Bank Dunia, 2000 di dalam BP2HP Deptan, 2001). Menurut Susilowati (2007), kebijakan di sektor agroindustri non makanan akan menurunkan tingkat kemiskinan lebih besar dibandingkan kebijakan di sektor agroindustri makanan. Sebaliknya kebijakan di sektor agroindustri makanan akan menurunkan tingkat kesenjangan pendapatan rumah tangga lebih besar. Kebijakan peningkatan investasi di sektor agroindustri akan berdampak lebih besar meningkatkan pendapatan rumah tangga, menurunkan tingkat kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga, jika dialokasikan di sektor agroindustri prioritas (industri karet, industri kayu lapis, bambu dan rotan, industri rokok, industri minuman dan industri pengolahan makanan sektor perikanan). Kendala kendala dalam pengembangan agroindustri adalah: (1) kontinuitas produk pertanian kurang terjamin, karena tidak adanya kepastian pemanfaatan lahan usaha yang sesuai hak guna usaha dan rencana umum tata ruang serta adanya kesenjangan pengembangan wilayah (2) kualitas bahan baku dan produk olahannya rendah karena kemampuan sumberdaya manusia terbatas, (3) informasi dan teknologi yang digunakan sebagian besar masih relatif sederhana dan masih tergantung pada lisensi (4) kemitraan belum berkembang secara luas antara agroindustri skala sedang/besar dengan agroindustri skala kecil/rumah tangga maupun antara hulu dan hilir, (5) investasi di bidang agroindustri kurang berkembang karena ketidakpastian iklim usaha dan kebijakan, sumber dana investasi terbatas serta lembaga keuangan menerapkan suku bunga yang sama untuk semua sektor (IKAH Deperindag 2003 dan 2005; Supriyati & Suryani 2006). 3.5 Agroindustri Hortikultura Kegiatan-kegiatan penanganan pasca panen dan pengolahan hasil pertanian pada umumnya masih sangat kurang. Komoditi pertanian pada umumnya dipasarkan dalam bentuk primer (belum diolah), sehingga bernilai rendah dan rentan terhadap fluktuasi harga. Ekspor pertanian pun lebih banyak

35 dari komoditi tradisional dalam bentuk primer. Jika dikaji dari perkembangan produksi beberapa produk hortikultura Indonesia (Pusdatin Deptan 2010). Pasar hortikultura pada saat ini semakin dikuasai Cina, Thailand, dan bahkan Malaysia. Cina mampu menjual komoditi kentang, kol, dan jahe, yang semula pemasok utamanya adalah Indonesia, dengan harga murah dan kualitas baik. Malaysia sejak 1997 telah mencanangkan program Third National Agricultural Policy (NAP3) yang diharapkan pada tahun 2010 Malaysia dapat memenuhi kebutuhan buah dan sayurnya secara mandiri. Thailand dapat mengekspor buah segar senilai US$ 760 juta pada tahun 2002, karena memiliki kekuatan mutu yang tinggi, produk seragam, diproduksi secara berkelanjutan dan dalam jumlah yang memadai, selain juga karena didukung tersedianya infrastruktur jalan dan pendeknya jalur distribusi dari petani ke pengekspor. Indonesia dengan potensi sumberdaya yang tinggi ternyata belum memiliki daya saing terhadap negara-negara tetangganya. Hal ini disebabkan karena potensi sumberdaya yang dimiliki belum termanfaatkan secara optimal. Padahal Indonesia memiliki kekuatan bagi berkembangnya komoditi dan produk hortikultura, karena didukung oleh sumberdaya alam yang memungkinkan tingginya produktivitas komoditi hortikultura. Kekuatan tersebut adalah: biodiversitas yang tinggi, potensi alam (agroklimat) yang tinggi bagi pengembangan komoditi hortikultura dan tersedia lahan yang luas. Peluang diversifikasi produk bagi industri pengolahan sayur dan buah dapat dilihat pada pohon industri buah dan sayur yang disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Sayuran dalam kaleng Sayuran dalam botol Asinan sayuran SAYUR-SAYURAN Pickle (Acar) Pasta Sayuran kering Sari pekat sayuran Bubuk sari sayuran Jus sayuran Gambar 4 Pohon industri sayur-sayuran (Ditjen Agrokim Depperin, 2007)

36 Menurut IKAH Depperin (2007), agroindustri buah dan sayur mendapat tantangan yang besar karena Indonesia harus mampu mengatasi masalah high cost teknologi pengemasan kaleng akibat krisis ekonomi. Ekspor buah dan sayuran kaleng selama lima tahun terakhir berfluktuasi dimana tingkat pertumbuhan volume ekspor buah kaleng selama periode 1996 2000 adalah sebesar 9,62 persen per tahun. B U A H Daging buah masak Daging buah mentah/hampir matang Kulit buah B i j i Konsentrat P a s t e Pektin Papain Pakan ternak Pupuk kompos P a t i Makanan/minum Makanan/minum Buah dalam kaleng P u r e e J u i c e S q u a s h S i r o p Anggur buah Jam Jelly Buah kering T o f e e Leather fruits Tepung buah Manisan Chutney Pickle Asinan Makanan Sediaan farmasi Makanan Makanan Gambar 5 Pohon industri buah-buahan (Ditjen Agrokim Depperin 2007) Menurut Irawan et al., (2001), dalam rangka peningkatan daya saing pada masa perdagangan bebas, maka pembangunan hortikultura seyogyanya dilakukan dengan pendekatan agribisnis, bukan dengan pendekatan produksi yang selama ini

37 dilakukan. Pembangunan dengan pendekatan agribisnis tersebut harus dilakukan menurut kawasan pasar dan didukung dengan sarana penyimpanan. Tiga komponen utama yang diperlukan dalam pembangunan dengan pendekatan agribisnis adalah: (1) membangun keterkaitan fungsional antara para pelaku agribisnis, (2) membangun keterkaitan produksi antara daerah produsen sayuran, dan (3) membangun sarana penyimpanan di sentra-sentra produksi sayuran. Secara alami komoditi hortikultura sangat mudah sekali mengalami kerusakan dan kebusukan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hal tersebut dapat berasal dari komoditi itu sendiri, maupun dari luar. Pada buah dan sayuran yang telah mengalami pemanenan, proses pematangan umumnya diikuti oleh perubahan penampakan dan komposisi kimia. Kerusakan lepas panen sayuran menurut Astawan et al. (1991) mencapai 20 40 persen. Untuk itu diperlukan teknologi penanganan pasca panen dan pengolahan. Dalam pengolahan, sayuran daun seperti kubis agak sulit untuk diolah, walaupun demikian masih terdapat alternatif pengolahannya, yaitu: dikeringkan, dibuat pikel, dibekukan, dan dikalengkan. Kentang merupakan umbi batang yang termasuk kelompok sayuran akar dan memiliki daya tahan lebih baik dibandingkan sayuran lain. Alternatif pengolahan kentang diantaranya: pembuatan kripik/chips, penepungan, dried mashed potatoes, pembekuan (termasuk french potato beku), dan pengalengan (Astawan et al. 1991). Mangga dapat dipasarkan selain dalam bentuk segar, juga memungkinkan dalam bentuk sari buah, konsentrat, jam, jelly, dan buah dalam kaleng. Semangka selain dalam buah segar, dapat dipasarkan dalam bentuk kripik. 3.6 Agroindustri Tanaman Pangan Produksi jagung di Indonesia pada tahun 2003 sebanyak 10,8 juta ton (Tabel 5). Dari jumlah tersebut, 20 persen diantaranya berupa jagung hibrida. Tiga puluh persen dari produksi jagung hibrida dihasilkan di Jawa Timur. Pada tahun 2009 total produksi jagung nasional diperkirakan mencapai 17,6 juta ton. Produksi Ubi kayu Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 22 juta ton. Sebagian besar ubi kayu dihasilkan di Jawa Timur atau sekitar 23,45 persen.

38 Tanaman ubi kayu merupakan tanaman rakyat yang dikembangkan pada sekitar 1,2 juta ha luas lahan. Tabel 5 Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas jagung dan ubi kayu Indonesia tahun 2002-2009 JAGUNG 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009* Produksi (Ton) 10.886.442 11.225.243 12.523.894 11.609.463 13.287.527 16.317.252 17.592.309 Luas Panen (HA) 3.358.511 3.356.914 3.625.987 3.345.805 3.630.324 4.001.724 4.156.706 Produktivitas (QU/HA) 32,41 33,44 34,54 34,70 36,60 40,78 42,32 UBI KAYU Produksi (Ton) 18.523.810 19.424.707 19.321.183 19.986.640 19.988.058 21.757.575 22.028.502 Luas Panen (HA) 1.244.543 1.255.805 1.213.460 1.227.459 1.201.481 1.204.933 1.174.819 Produktivitas (QU/HA) 149 155 159 163 166,36 180,57 188 Sumber: Pusdatin Deptan 2010 Ket: * = Angka sementara Tahun 2005 Indonesia masih mengimpor jagung sekitar 400 ribu ton. Jumlah tersebut menurun dari nilai impor tahun 2003 yaitu 1,5-2 juta ton jagung. Berdasarkan data tersebut, pemerintah mengharapkan pada tahun 2007 Indonesia sudah swasembada jagung. Untuk itu pemerintah membutuhkan dana sekitar Rp. 5 trilyun yang berasal dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Pencanangan swasembada didasari oleh potensi lahan jagung di Indonesia yang mencapai tiga juta hektar, sedangkan penggunaan benih hibrida hanya 800.000 hektar atau sekitar 27 persen dari lahan yang ada. Peningkatan produksi melalui hibrida bisa dilakukan karena dapat menghasilkan 5 ton per hektar, sedangkan benih biasa hanya 3,5 ton. Selain itu peningkatan produksi juga bisa dilakukan jika pemerintah membantu perbaikan penanganan pascapanen. Data perkembangan ekspor impor jagung dapat dilihat pada Tabel 6.

39 Tabel 6 Perkembangan Ekspor dan Impor jagung dan ubi kayu (dlm jutaus $) Jan-Juli 2004 Jan-Des 2005 Jan-Sept 2006 Volume (Kg) Nilai (US$) Volume (Kg) Nilai (US$) Volume (Kg) Nilai (US$) EKSPOR Jagung (Segar) 16,341,350 4,024,404 54,008,742 9,048,487 26,538,007 3,841,122 Jagung (Olahan) 12,654,930 2,423,225 8,739,132 2,846,319 964,978 329,862 Ubi Kayu (Segar) 19,198,505 1,557,750 229,789,042 25,441,429 53,979,037 6,246,189 Ubi Kayu (Olahan) 34,106,461 6,476,312 82,850,608 15,588,127 5,505,660 1,378,302 Total Ekspor 82,301,246 14,481,691 375,387,524 52,924,362 86,987,682 11,795,475 IMPOR Jagung (Segar) 276,757,630 45,743,968 298,913,232 54,594,554 2,248,044,161 328,785,295 Jagung (Olahan) 10,603,897 4,952,016 115,841,836 36,300,194 79,903,700 25,062,680 Ubi Kayu (Segar) 1,776,775 346,623 203,752 270,707 65,174 80,421 Ubi Kayu (Olahan) 30,512,473 5,327,312 103,230,450 25,342,159 282,981,177 66,932,331 Total Impor 319,650,775 56,369,919 518,189,270 116,507,614 2,610,994,212 420,860,727 Sumber: Pusdatin Deptan 2010 Sebagian besar jagung hibrida digunakan sebagai bahan baku pakan ternak. Selain sebagai bahan baku industri pakan ternak, jagung dapat juga digunakan sebagai bahan baku minyak nabati, dekstrin, pati jagung maupun gula. Pada Gambar 6 dapat dilihat pohon industri jagung.

40 Daun Jagung 1. Pakan 2. Kompos Kulit Kelobot 1. Pakan 2. Kompos 3. Rokok Jagung Muda (Baby Corn) Jagung Muda dalam Kaleng Pop Corn G r i t s Industri Makanan Pakan Ternak Pati Jagung (Tepung Maizena) Industri Makanan Jagung Buah Jagung Tepung Jagung Dextrin Bihun Jagung Industri Farmasi Gula Jagung Industri Makanan Jagung dalam Kaleng (Whole Cernel Corrn, Sweet, Cream Corn) Minyak jagung Bungkil Makanan Pakan Ternak Batang Jagung Tongkol 1. Pulp 2. Kertas 3. Bahan Bakar 1. Pakan 2. Kompos 3. Bahan Bakar 4. Arang 5. Tepung Arang 6. Perosa Gambar 6 Pohon industri jagung (Kemenperin, 2010)