POTENSI ESTUARIA KABUPATEN PASAMAN BARAT SUMATERA BARAT. Oleh : Eni Kamal dan Suardi ML

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. stabil terhadap morfologi (fenotip) organisme. Dan faktor luar (faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

KAJIAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN KAMPUNG LAUT KABUPATEN CILACAP TUGAS AKHIR

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. muka bumi ini oleh karena itu di dalam Al-Qur an menyebutkan bukan hanya

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PEPER EKOSISTEM ESTUARI

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Asahan secara geografis terletak pada ,2 LU dan ,4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

1. Pengantar A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

GUBERNUR SULAWESI BARAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Mangrove dan Pesisir Vol. III No. 3/2003 7

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

Hasil dan Pembahasan

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN EKOSITEM PERAIRAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

Kompilasi Data Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir, 2013

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pantai Nanganiki merupakan salah satu pantai yang terletak di Desa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

PENDAHULUAN. laut, walaupun jumlahnya sangat terbatas. Dalam kondisi normal, beberapa macam

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

Kompilasi Data Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

C. Potensi Sumber Daya Alam & Kemarintiman Indonesia

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pesisir dan Pantai

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

MENCEGAH KERUSAKAN PANTAI, MELESTARIKAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh

Transkripsi:

POTENSI ESTUARIA KABUPATEN PASAMAN BARAT SUMATERA BARAT Oleh : Eni Kamal dan Suardi ML Peneliti Pusat Kajian Mangrove dan Kawasan Pesisir Universitas Bung Hatta Jl. Sumatera Ulak Karang Padang Abstrak Estuaria merupakan wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Daerah perairan yang termasuk dalam estuaria ini adalah muara sungai, teluk dan rawa pasang surut. Perairan estuaria mempunyai beberapa sifat fisik yang penting yaitu salinitas, substrat, sirkulasi air, pasang surut dan penyimpanan zat hara. Estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi terutama bergantung pada masukan air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang surut. PENDAHULUAN Wilayah pesisir Sumatera Barat yang mempunyai posisi yang berhadapan langsung dengan pantai Barat Samudera Hindia. 6 (enam) daerah kabupaten/kota adalah berbatasan langsung dengan lautan, yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai, Pesisir Selatan, Padang, Padang Pariaman, Agam dan Pasaman Barat. Kabupaten Pasaman Barat sebagai salah satu kabupaten yang berbatasan langsung dengan lautan berada pada posisi 0 o 55 LU - 0 o 11 LS dan 99 o 10 BT - 100 o 21 BT. Kabupaten ini adalah merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Pasaman. Kabupaten Pasaman Barat mempunyai panjang garis pantai kurang lebih 142,92 km dan 7 (tujuh) buah pulau kecil. Pada bentangan wilayah daerah Kabupaten Pasaman Barat tersebut yang terdiri dari 10 (sepuluh) wilayah kecamatan terdapat 5 (lima) kecamatan yang mempunyai potensi pesisir dan lautan yang perlu mendapat perhatian secara integrasi untuk dapat dikembangkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan perekonomian masyarakat yang bertumpu pada sumberdaya pesisir dan lautan. Keempat kecamatan tersebut adalah Kecamatan Kinali, Pasaman, Sasak Ranah Pasisia, Lembah Melintang dan Kecamatan Sungai Beremas. Di lima kecamatan tersebut terdapat berbagai potensi sumberdaya pesisir dan lautan seperti basis kegiatan penangkapan ikan dan pengolahan ikan, hutan mangrove, estuaria, pantai berpasir, terumbu karang, pulau-pulau kecil dan sebagainya. Potensi sumberdaya ini bila dikembangkan secara terarah dan terpadu terutama yang berhubungan dengan kegiatan perikanan (tangkap dan budidaya), pariwisata dan perhubungan akan memberikan manfaat yang besar bagi daerah terutama dalam menunjang Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai implementasi pelaksanaan Undang- Undang Otonomi Daerah No. 22 dan 25 Tahun 1999. Di sisi lain pengembangan kawasan pesisir dan lautan ini akan mengakibatkan tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan pesisir

Kabupaten Pasaman sehingga dengan sendirinya akan memberikan kesejahteraan dari segala aspek bagi masyarakat pesisir yang ada di kawasan ini. BATASAN Estuaria merupakan wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Daerah perairan yang termasuk dalam estuaria ini adalah muara sungai, teluk dan rawa pasang surut. Estuaria daratan pesisir merupakan tipe estuaria yang paling umum dijumpai, dimana pembentukannya terjadi akibat penaikan permukaan air laut yang menggenangi sungai di bagian pantai yang landai. Laguna (gobah) atau teluk semi tertutup yang terbentuk oleh adanya bentangan pasir yang terletak sejajar dengan garis pantai sehingga menghalangi interaksi langsung secara terbuka dengan perairan laut. Tipe estuaria Fjords merupakan estuaria yang dalam, terbentuk oleh aktivitas glasier yang mengakibatkan tergenangnya lembah es dan air laut. Dan yang terakhir adalah tipe estuaria tektonik terbentuk akibat aktivitas tektonik (gempa bumi oleh letusan gunung berapi) yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah yang kemudian digenangi oleh air laut pada saat pasang. Dilihat dari kandungan garam yang terkandung dalam perairan ini, estuaria mempunyai salinitas 0,5 17. Estuaria dikelompokkan atas 4 (empat) tipe berdasarkan karakteristik geomorphologi yaitu estuaria daratan pesisir, laguna (gobah) atau teluk semi tertutup, fjords dan estuaria tektonik. Perairan estuaria mempunyai beberapa sifat fisik yang penting yaitu salinitas, substrat, sirkulasi air, pasang surut dan penyimpanan zat hara. Estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi terutama bergantung pada masukan air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang surut. Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat lumpur yang berasal dari sedimen yang dibawa melalui air tawar dan air laut. Sebagian besar partikel lumpur estuaria bersifat organik sehingga substrat ini kaya akan bahan organik. Bahan organik ini manjadi cadangan makanan yang penting bagi organisme estuaria. Sifat fisik lain dari estuaria adalah terjadinya sirkulasi air dimana selang waktu mengalirnya air tawar kedalam estuaria dan masuknya air laut melalui air pasang surut menciptakan suatu gerakan dan transportasi air yang bermanfaat bagi biota estuaria khususnya plankton yang hidup tersuspensi dalam air. Air pasang surut berperan penting sebagai pengangkut zat hara dan plankton. Disamping itu arus ini juga berperan untuk mengencerkan dan menggelontorkan (menghanyutkan) limbah yang sampai di estuaria. Dalam hal penyimpan zat hara peran serta estuaria sangat besar. Pohon mangrove dan rumput laut serta ganggang lainnya dapat mengkonversi zat hara dan menyimpannya sebagai bahan organik yang akan digunakan kemudian oleh organisme hewani. PRODUKTIVITAS Banyaknya unsur hara di daerah estuaria mengakibatkan tumbuh suburnya tumbuhan, terutama makrophyta dan phytoplankton di daerah estuaria. Menurut Mann dalam Supriharyono (2000), produktivitas phytoplankton di perairan estuaria dapat mencapai 500 gr C/m 2 /th atau lebih. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan perairan laut terbuka. Sebagai contoh produksi phytoplankton di daerah estuaria di Gulf of St Lawrence tercatat sekitar 509 gr C/m 2 /th, sedangkan di perairan yang terbuka di Gulf tersebut hanya sekitar 212

gr C/m 2 /th (Steven dalam Supriharyono, 2000). Mengenai produktivitas flora di daerah estuaria, lebih lanjut diketahui bahwa produktivitas makrophyta (rumput laut) didapatkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas phytoplankton. Sebagai contoh di St Margaret s Bay, Nova Scotia, produktivitas rumput laut di perairan ini mencapai sekitar tiga kalinya (603 gr C/m 2 /th) dibandingkan dengan produksi phytoplankton yang hanya 191 gr C/m 2 /th. Tingginya produktivitas primer, baik dari makrophyta maupun phytoplankton, di perairan estuaria memungkinkan tingginya produktivitas sekunder di perairan tersebut. Beberapa tumbuhan tersebut ada yang dimanfaatkan langsung oleh para pemakannya (herbivora), namun kebanyakan dimanfaatkan dalam bentuk detritus. Mann dalam Supriharyono (2000) menyatakan bahwa 90 % produksi makroalga yang masuk ke jaring-jaring makanan melalui detritus organik dan DOM (Dissolved Organic Matter), dan hanya 10 % yang dimakan langsung (melalui grazing). Di balik kesuburan perairan di daerah estuaria, karena sedimen juga mampu mengabsorbsi logam-logam berat, maka tidak menutup kemungkinan didaerah estuaria juga terjadi pollutan trapped atau perangkap bahan pencemar. Proses biodeposisi oleh filter feeders dapat memindahkan dan mengkonsentrasikan segala sesuatu yang terdapat dalam suspensi, termasuk bahan-bahan pencemar. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan istilah biological magnification atau meningkatnya konsentrasi bahan pencemar p[ada tiap tropic level pada lingkungan akuatik. Kondisi in sangat membahayakan lingkungan hidup di daerah estuaria (Supriharyono, 2000). POTENSI Memperhatikan pengertian dan tipe estuaria dapat dikatakan bahwa wilayah pesisir Kabupaten Pasaman sangat kaya akan potensi sumberdaya alam estuaria. Sumberdaya alam pesisir estuaria Kabupaten Pasaman sangat didominasi oleh tipe estuaria daratan pesisir dan estuaria laguna. Estuaria daratan pesisir di Kabupaten Pasaman umumnya terdapat di sepanjang pesisir pantai Katiagan, Mandiangin, Muara Bingung, Sasak, Maligi, Sikilang, Sikabau, dan Air Bangis. Sungai/kanal estuaria pada ketiga daerah ini merupakan jalur transportasi masyarakat pesisir yang ada di daerah ini. Sementara estuaria tipe laguna terkonsentrasi di daerah Muara Bingung, Sikabau, Muara Suwak, Maligi dan Air Bangis. Luasnya estuaria yang ada di Kabupaten Pasaman dan beberapa sifat fisik yang dimiliki perairan estuaria yang mendukung perkembangan tumbuhnya organisme yang mengakibatkan perairan wilayah pesisir Kabupaten Pasaman sangat subur dan menguntungkan bagi beberapa organisme yang berhubungan langsung dengan perairan estuaria seperti udang penaeid dan sejenisnya, kerang-kerangan, ikan dan sebagainya. Selain itu luasan estuaria ini juga banyak ditumbuhi mangrove berbagai jenis. Hal ini dapat dilihat bahwa nelayan Kabupaten Pasaman dapat melakukan penangkapan udang penaeid sepanjang tahun. Sementara sumberdaya kerangkerangan yang ada di perairan estuaria dapat dipanen setiap saat. Potensi estuaria di Kabupaten Pasaman disajikan pada Tabel 1. Potensi estuaria Kabupaten Pasaman jauh lebih besar kalau dibandingkan dengan kawasan lainnya seperti estuaria Kota Padang yang luasnya 83 Ha (Kamal et al, 2003).

Tabel 1. Potensi Estuaria Kabupaten Pasaman No. Lokasi Tipe Estuaria Luas (Ha) 1. Air Bangis 250 2.000 2. Sikabau 100 150 3. Sikilang 100 4. Maligi 150 30 5. Muara Suwak 25 6. Sasak 100 7. Muara Bingung 50 35 8. Mandiangin 75 9. Katiagan 75 Jumlah 3140 Sumber : PKMKP (2000) Keterangan : = Estuaria Laguna = Estuaria Daratan Pesisir Permasalahan dari potensi estuaria ini di Kabupaten Pasaman masih dapat dikatakan belum begitu terpengaruh oleh kegiatan industri, namun baru terusik oleh kegiatan pemanfaatan estuaria pada pariwisata pesisir seperti di Sasak (Kecamatan Sasak Ranah Pasisia), dan Muara Bingung (Kecamatan Kinali). Pada kawasan estuaria banyak ditumbuhi oleh flora pesisir seperti Nipah, jenis-jenis Rhizophora, Sonneratia, dan Avicennia. PEMANFAATAN Pemanfaatan estuaria oleh masyarakat pesisir Kabupaten Pasaman dapat dikatakan masih relatif rendah yaitu pemanfaatan sumberdaya perikanan estuaria hanya dilakukan oleh nelayan tradisional untuk menangkap biota perairan estuaria udang penaeid, kepiting bakau, ikan belanak, ikan bandeng, kerapu dan kerang-kerangan serta digunakan sebagai media transportasi dan objek wisata pesisir. Sementara sumberdaya tiram yang ada di estuaria Maligi telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menunjang perekonomian dengan memasarkannya sampai ke daerah Batam Propinsi Riau. Sedangkan sumberdaya remis dimanfaatkan untuk makanan keseharian dan khusus untuk jenis Bivalvia (lokan) dipasarkan ke luar daerah seperti Padang, dan Pekanbaru, sebagai bahan baku untuk membuat sate lokan. DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dahuri, R., Jacub Rais, Sapta P.,G, Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Direktorat Jendral Pembangunan Daerah. 1998. Pedoman Perencanaan dan Pengelolaan Zona Pesisir Terpadu. Direktorat Jendral Bangda Departemen Dalam Negeri. Jakarta. Kamaluddin, L.M. 2000. Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Makalah Konferensi Nasional II Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia tanggal 15 17 Mei 2000. Makasar. Kamal Eni, Suardi ML dan Leffy Hermalena. 2003. Potensi Estuaria Kota Padang. Jurnal Mangrove dan Pesisir Vol. III No. 2/2003. Pusat Kajian Mangrove dan Kawasan Pesisir Universitas Bung Hatta Padang. PKMKP2000.Penelitian/StudiPengembang an Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pasaman Sumatera Barat. Kerjasama Bappeda Kab. Pasaman dengan Pusat Kajian Mangrove dan Kawasan Pesisir Universitas Bung Hatta. Retraubun, A.F.W. 2000. Kebijaksanaan Pemerintah Tentang Eksplorasi, Eksploitasi dan Konservasi Sumberdaya Hayati Laut. MakalahUtama Seminar Nasional Biologi, Intitut Teknologi Sepuluh November tanggal 2 Agustus 2000. Surabaya. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.