SIFAT HUJAN EKSTRIM PADA PUSAT WILAYAH PERTANIAN. DI JAWA BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi Penelitian

ANALISIS TREN INDEKS CURAH HUJAN DAN PELUANG CURAH HUJAN UNTUK PENENTUAN AWAL TANAM TANAMAN PANGAN DI LAMPUNG

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

global warming, periode iklim dapat dihitung berdasarakan perubahan setiap 30 tahun sekali.

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017

8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

POTENSI PEMANFAATAN INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG SISTEM USAHA TAMBAK UDANG DAN GARAM DI KABUPATEN INDRAMAYU KIKI KARTIKASARI

Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Sumedang.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Impact of Climate Variability on Agriculture at NTT

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DENGAN KEJADIAN BANJIR DAN KEKERINGAN PADA WILAYAH DENGAN SISTIM USAHATANI BERBASIS PADI DI PROPINSI JAWA BARAT

Buletin Analisis Hujan Bulan Desember 2015 dan Prakiraan Hujan Bulan Pebruari, Maret dan April 2016 KATA PENGANTAR

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

USULAN PENELITIAN MANDIRI TAHUN ANGGARAN 2015

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

BAB I PENDAHULUAN. didefinisikan sebagai peristiwa meningkatnya suhu rata-rata pada lapisan

ANALISA VARIABILITAS CURAH HUJAN DI PALU BERDASARKAN DATA PENGAMATAN TAHUN

BAB I PENGANTAR. pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan suhu udara serta peningkatan

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC)

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

KONDISI UMUM LOKASI. Gambaran Umum Kabupaten Cirebon

PERUBAHAN KLIMATOLOGIS CURAH HU]AN DI DAERAH ACEH DAN SOLOK

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

PENDAHULUAN. Latar Belakang

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp:// [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

PEMODELAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK PREDIKSI PANJANG MUSIM HUJAN BERDASAR SEA SURFACE TEMPERATURE

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0.

The stress interaction index SX = (1-CDX/100) (1-CWX/100) (1- HDX/100) (1-HWX/100) dimana ;

APLIKASI HEC-HMS UNTUK PERKIRAAN HIDROGRAF ALIRAN DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU RISYANTO

Perubahan Iklim Wilayah DKI Jakarta: Studi Masa Lalu Untuk Proyeksi Mendatang

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

MODEL PRAKIRAAN CURAH HUJAN BULANAN DI WILAYAH JAWA BAGIAN UTARA DENGAN PREDIKTOR SML DAN OLR DEDI SUCAHYONO

BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN

PENGARUH PENYIMPANGAN CURAH HUJAN TERHADAP PRODUKTIVITAS CENGKEH DI KABUPATEN MALANG

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

ANALISIS KARAKTERISTIK INTENSITAS CURAH HUJAN DI KOTA BENGKULU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

Perubahan iklim dan dampaknya terhadap Indonesia

ANALISIS INTENSITAS CURAH HUJAN WILAYAH BANDUNG PADA AWAL 2010 ANALYSIS OF THE RAINFALL INTENSITY IN BANDUNG IN EARLY 2010

Transkripsi:

SIFAT HUJAN EKSTRIM PADA PUSAT WILAYAH PERTANIAN. DI JAWA BARAT HADI SUYONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Sifat Hujan Extrim Pada Pusat Wilayah Pertanian di Jawa Barat adalah karya saya denga arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun, kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini. Bogor, September 2011 Hadi Suyono G 251070071

ABSTARCT Hadi Suyono, Nature of Extreme Rain On Regional Agricultural Center in West Java. Under direction of RIZALDI BOER, AGUS BUONO, SOETAMTO Issues concerning global warming and climate change has become a hot discussion in various circles. The impact is already felt in various places on the earth's surface in recent years, from drought, landslides, floods and other extreme events. It is therefore necessary that appropriate measures for adaptation and mitigation to minimize that impact. The research was conducted in order to identify the nature of extreme rainfall in West Java, know the distribution of trends and statistical properties of rainfall distribution, grouping according to the nature of the agricultural region ektrimnya rain. by using the Index Series Wet Days (DHB) and the maximum index series Dry Days (DHK). To the north coast of West Java in general DHK is longer than its southern region, and tends to increase. While the DHB is generally not much changed, except a few in some places.

RINGKASAN Hadi Suyono. Sifat Hujan Ekstrim pada Pusat Wilayah Pertanian di Jawa Barat. Dibimbing oleh Rizaldi Boer, Agus Buono dan Soetamto. Isu tentang perubahan iklim sangat ramai dibicarakan oleh berbagai fihak baik kalangan nasional maupun internasional, Pokok permasalahannya adalah perubahan sifat iklim akan memberikan dampak besar pada berbagai sektor. Fenomena yang muncul diantaranya adanya Iklim Ekstrim berupa Kekeringan, Tanah Longsor, Banjir dan sebagainya. Sektor yang paling rentan terhadap dampak perubahan sifat iklim ekstrim ini ialah sector pertanian, sedangkan di Indonesia penelitian tentang kejadian iklim ekstrim masih sangat terbatas, sementara informasi ini sangat diperlukan untuk membantu sektor, khususnya sektor pertanian, dalam meningkatkan kemampuan dalam mengelola risiko iklim. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sifat hujan ekstrim di wilayah Jawa Barat, menentukan tren dan sebaran statistik sifat hujan ekstrim, dan menyusun peta pengelompokkan wilayah pertanian propinsi Jawa Barat menurut sifat hujan ekstrim. Metode penelitian ini dilakukan dalam dua bentuk analisis. Pertama ialah analisis tren sifat hujan ekstrim dan kedua analisis bentuk sebaran statistik hujan ekstrim. kemudian dikelompokkan berdasarkan trend dan sifat sebaran statistiknya dengan menggunakan teknik analisis gerombol. Sifat hujan ekstrim yang dianalisis ialah dry spell atau deret hari kering (DHK) dan wet spell atau deret hari basah (DHB) maksimum. DHB adalah jumlah hari basah (hari hujan) berurutan yang tidak diselingi oleh hari kering (hari tidak ada hujan). DHK adalah jumlah hari kering (hari tidak ada hujan) berurutan yang tidak diselingi oleh hari basah (hari hujan). Hari basah didefinisikan sebagai hari yang tinggi hujannya mencapai 1 mm. Tren sifat hujan ekstrim dianalisis dengan menggunakan teknik regresi linier sederhana, Sebaran statistik sifat hujan ekstrim, dianalisis dengan menggunakan beberapa model sebaran yaitu Normal, LogNormal, 3-Parameter LogNormal, Gamma, dan sebagainya. Hasil analisis menunjukkan bahwa panjang DHK dan DHB maksimum di Jawa Barat beragam, di wilayah bagian utara Jawa Barat sebagian besar panjang DHK maksimum berkisar antara 60 sampai 80, kecuali di beberapa wilayah tertentu seperti di sebagain kecil wilayah Cirebon dan Pamengkang panjang DHK maksimum mencapai 100 sampai 120 hari. Sebaliknya panjang deret hari basah maksimum pada wilayah ini relatif lebih pendek dibanding wilayah lain yaitu kurang dari 10 hari.

Analisis terhadap data seri DHK dan DHB menunjukkan bahwa pada bebeberapa stasiun ditemukan adanya kecendrungan panjang DHK yang semakin panjang, sedangkan panjang DHB maksimum cendrung memendek. Tren perubahan seperti ini dapat dilihat secara nyata di stasiun Geofisika Bandung. Tren peningkatan panjang DHK maksimum umumnya terjadi di sepanjang pantai utara Jawa Barat dengan laju penambahan panjang DHK antara 1 sampai 5 hari per sepuluh Tahun. Dari hasil analisis gerombol menunjukkan bahwa stasiun di Propinsi Jawa Barat dapat dikelompokkan ke dalam 4 kelompok utama. Kelompok 1 merupakan wilayah yang paling kering dan memiliki rata-rata panjang DHK maksimum terpanjang dan DHB terpendek sedangkan Kelompok 4 memiliki panjang deret hari kering maksimum terpendek, tetapi rata-rata DHB bukan yang terpanjang. Secara rata-rata stasiun Kelompok 3 memiliki DHB lebih panjang dari Kelompok 4, namun demikian keragamannya jauh lebih tinggi disbanding kelompok 4. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun kelompok 3 memiliki rata-rata DHB terpanjang namun simpangannya lebih dari dua kali yang di Kelompok 4. Sebaran stasiun menurut kelompok berdasarkan sifat dari DHK dan DBH adalah Kelompok 1, Sebagian wilayah Pantai Utara memanjang dari Barat sampai wilayah timur (seperti Kab Bekasi, Kerawang, sebagian Subang, Indramayu sampai daerah Cirebon). Kelompok 2, Sebagian besar daerah Jawa Barat khususnya untuk wilayah bagian tengah sampai selatan, bagian timur ( Ciamis, Tasikmalaya), kemudian meluas ke arah barat sampai Sukabumi, Bagian utara sebagia Bekasi bagian selatan, Subang dan Purwakarta Kelompok 3, mengelompok di wilayah Jawa Barat bagian timur, yaitu sekitar Kuningan, Sumedang, Bandung, Cimahi dan sekitar Soreang. Kelompok 4, berada di wilayah tengah bagian timur yaitu sekitar wilayah Jsakarta, Bogor, Depok, sampai Puncak dan sebagian wilayah Cianjur. Kata kunci : Dry spells, Wet Spells

SIFAT HUJAN EKSTRIM PADA PUSAT WILAYAH PERTANIAN. DI JAWA BARAT HADI SUYONO Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sain pada Program Studi klimatologi terapan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Judul Tesis : Sifat Hujan Extrim Pada Pusat Wilayah Pertanian di Jawa Barat Nama : Hadi Suyono NIM : G251070071 Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc Ketua Drs Soetamto, M.Si Anggota Dr. Ir. Agus Buono, M.Si,M.Kom Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Klimatologi Terapan Dekan Sekretaris Program S2 Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc. NIP. 19591130 198303 1 003 Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr NIP. 19650122 198903 1 002 Tanggal Ujian : 29 September 2011 Tanggal Lulus :

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Ir.Rini Hidayati,M.S

PRAKATA Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah- Nya, sehingga usulan penelitian ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Agus Buono, M.Si,M.Kom. serta Drs Soetamto, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak membantu, membimbing dan mengarahkan dalam pembuatan usulan penelitian ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada temanteman mahasiswa Program Studi Klimatologi Terapan, Sekolah Pascasarjana IPB atas bantuan pemikiran dan diskusi ilmiah. Usulan penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian guna memperoleh gelar Magister Sains pada Program Klimatologi Terapan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Judul usulan penelitian ini adalah Sifat Hujan Ekstrim pada pusat wilayah pertanian di Jawa Barat.. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan informasi sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil suatu kebijakan oleh instansi terkait maupun masyarakat lainnya. Penulis menyadari bahwa usulan penelitian ini belum sempurna, karena masih terdapat kelemahan dan kekurangan. Kritik, saran dan masukan pemikiran yang konstruktif untuk menyempurnakan usulan penelitian ini sangat diharapkan. Semoga usulan penelitian ini bermanfaat. Bogor, September 2011 Hadi Suyono i

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 20 Juni 1960, sebagai anak ketiga dari pasangan Dul Rahman dan Naimah. Pendidikan sarjana ditempuh di program FMIPA Universitas Indonesia, lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2007, penulis diterima di program studi Klimatologi Terapan pada program pascasarjana IPB. Penulis Bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Instansi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika sejak tahun 1981, bertempat di kantor pusat Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jakarta Pusat. ii

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR TABEL... vi BAB. I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang... 1 1.2.Perumusan Masalah... 2 1.3.Tujuan... 2 1.4.Manfaat... 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Geografis... 3 2.2. Kondisi Iklim dan Pertanian di Jawa Barat... 4 2.3. Sifat Hujan Ekstrim dan Pengaruh pada Pertanian di Jawa Barat... 7 BAB III. METODOLOGI 3.1. Lokasi Penelitian... 11 3.2. Data dan Pengolahan... 11 3.3. Metode Analisa Data... 13 3.3.1. Analisa Tren Sifat Hujan Sifat Hujan Ekstrim... 15 3.3.2. Analisis Sebaran Sifat Hujan Ekstrim... 15 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Analisis... 17 4.4.1. Sifat Hujan Ekstrim... 17 4.4.2. Tren Sifat Hujan Ekstrim... 18 4.4.3. Sebaran Sifat Hujan Ekstrim... 20 4.4.4. Pembahasan... 23 BAB. V. KESIMPULAN DAN SARAN... 26 DAFTAR PUSTAKA... 27 iii

LAMPIRAN DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Peta Ketinggian Wilayah Jawa Barat... 4 2. Wilayah Hujan di Jawa Barat Menurut Pola dan Tinggi Hujan... 5 3. Hubungan Rata-rata Curah Hujan Bulanan dengan Peluang terjadinya Deret Hari Kering (DHK) 10 hr dan peluang DHK 15 hr... 9 4. Hubungan anatra Kejadian Hujan Atas Normal (AN) dengan Kejadian Banjir 2000 dan 2004 di Indramayu... 10 5. Hubungan antara Kejadian Hujan Bawah Normal (BN) pada Musim Gadu dengan kejadian kekeringan th 1997 dan th 2003... 10 6. Lokasi Sebaran Pos Hujan... 11 7. Diagram Alir Proses Pengolahan Data... 13 8. Rata-rata Panjang Deret Hari Kering (DHK) Maksimum dan Deret Hari Basah (DHB) Maksimum... 17 9. Simpangan Baku Panjang Deret Hari Kering (DHK) maksimum dan Deret Hari Basah Maksimum Jawa Barat... 18 10. Grafik DHK atau CDD Stasiun Geofisika Bandung... 18 11. Grafik DHB atau CWD Stasiun Geofisika Bandung... 19 12. Peta tren Deret Hari Kering (DHK) Jawa Barat... 19 13. Peta tren Deret Hari Basah (DHB) Jawa Barat... 20 14. Dendogram Pengelompokan Pos Hujan di Jawa Barat... 22 15. Peta Pengelompokan Pos Hujan Berdasarkan Parameter DHK dan DHB dengan Rata-rata dan Standar Deviasinya... 23 iv

DAFTAR TABEL Halaman 1. Luas dan Sebaran Wilayah Tipe Hujan di Jawa Barat... 5 2. Dinamika Proporsi Penutupan Lahan Kawasan Jabodetabek... 6 3. Hasil Produksi Pertanian per Hektar di Jawa Barat... 6 4. Tabel Penghitungan DHB... 15 5. Jumlah Total Stasiun yang Sebaran Data DHK dan DHB Sesuai dengan Sifat Sebaran Statistik... 19 DAFTAR LAMPIRAN 1. Daftar Pos Hujan di Wilayah Jawa Barat... 29 v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir-akhir ini isu tentang perubahan iklim sangat ramai dibicarakan oleh berbagai fihak baik kalangan nasional maupun internasional. Hasil sintesis terhadap hasil penelitian yang dilakukan di dunia oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menunjukkan bahwa frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim cendrung semakin meningkat akibat dari pemanasan global. Perubahan sifat iklim ekstrim akan memberikan dampak besar pada berbagai sektor. Salah satu sektor yang paling rentan terhadap dampak perubahan sifat iklim ekstrim ini ialah sector pertanian. Namun demikian kajian terkait dengan perubahan sifat iklim ekstrim masih sangat terbatas di Indonesia. Beberapa sifat iklim ekstrim yang berpengaruh besar terhadap pertanian diantaranya. Zhang, dan Yang, (2004) ialah (i) wet spells atau deret hari basah (DHB) yaitu hujan yang terjadi beberapa hari berturut-turut dalam periode yang panjang, (ii) dry spell atau deret hari kering (DHK), yaitu tidak hujan yang terjadi beberapa hari berturut-turut dalam periode yang lama, (iii) hari sangat basah (very wet days) adalah jumlah curah hujan dalam satu tahun dimana jumlah curah hujannya lebih besar dari 95 persentil (R 95 p), (iv) hari ekstrim basah (Extremely wet Days), total hujan satu tahun, dimana jumlah curah hujannya lebih besar dari 99 persentil (R99p). Kejadian deret hari kering yang panjang dapat memberikan dampak negative khususnya pada sector pertanian. Dikshit et al., (1987) menemukan bahwa cekaman kekeringan akibat terjadinya 16 deret hari kering selama pertumbuhan 20 varietas padi berumur genjah dapat menyebabkan mundurnya umur panen antara 2 sampai 27 hari dan menurunnya hasil tanaman antara 10-91%. Selanjutnya Niewolt (1989) menemukan bahwa di daerah tropis terjadinya deret hari kering selama 7 hari atau lebih mempunyai dampak yang serius terhadap tanaman. Castillo et al. (1992) menemukan bahwa tidak adanya hujan 15 hari berturut-turut baik sebelum ataupun sesudah inisiasi malai dapat menurunkan hasil tanaman antara 18% dan 38%. Oleh 1

karena itu, penelitian tentang perubahan sifat iklim ekstrim sangat diperlukan dalam pengelolaan risiko iklim. 1.2 Perumusan Masalah Kejadian iklim ekstrim sangat berpengaruh pada kegiatan banyak sektor, khususnya pertanian. Kegagalan panen akibat kejadian iklim ekstrim seperti kemarau panjang, atau banjir semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Menurut Manton et,al (2001), kejadian ekstrim berubah cukup signifikan terutama wilayah Asia Tenggara. Untuk mendukung kegiatan tersebut. Di Indonesia penelitian tentang kejadian iklim ekstrim masih sangat terbatas, sementara informasi ini sangat diperlukan untuk membantu sektor, khususnya sektor pertanian, dalam meningkatkan kemampuan dalam mengelola risiko iklim. 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi sifat hujan ekstrim di wilayah Jawa Barat 2. Menentukan tren dan sebaran statistik sifat hujan ekstrim, dan 3. Menyusun peta pengelompokkan wilayah pertanian propinsi Jawa Barat menurut sifat hujan ekstrim. 1.4 Manfaat Hasil penelitian ini memberikan informasi sifat iklim esktrim yang dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan risiko iklim untuk berbagai sektor khususnya di wilayah Jawa Barat. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Geografis Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50' - 7 50' LS dan 104 48' - 104 48 BT. Luas wilayah Provinsi Jawa Barat Barat pada tahun 2008 adalah 34.816,96 Km2, terdiri atas 16 kabupaten dan 9 kota. Secara administrasi batasbatas Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut : Utara : Laut Jawa Timur : Jawa Tengah Selatan : Samudra Hindia Barat : DKI Jakarta dan Provinsi Banten Sebagian besar wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat berbatasan dengan laut, sehingga wilayah Jawa Barat memiliki garis pantai cukup panjang, yaitu 755.83Km. Wilayah pegunungan umumnya menempati bagian tengah dan selatan Jawa Barat. Pada bagian tengah dapat ditemukan gunung-gunung berapi aktif seperti Gunung Salak (2.211 m), Gunung Gede Pangrango (3.019 m), Gunung Ciremai (3.078 m) dan Gunung Tangkuban Perahu (2.076) berpadu dengan deretan pegunungan yang sudah tidak aktif seperti Gunung Halimun (1.744 m), Gunung Ciparabakti (1.525 m) dan Gunung Cakrabuana (1.721 m). Demikian pula halnya di wilayah selatan, gunung-gunung berapi masih umum dijumpai seperti Gunung Galunggung (2.168 m), Papandayan (2.622 m), dan Guntur (2.249 m); bersama deretan pegunungan yang sudah tidak aktif seperti pegunungan selatan Jawa. Keadaan sebaliknya dijumpai di wilayah utara Jawa Barat yang merupakan daerah dataran sedang hingga rendah dengan didominasi oleh dataran aluvial. Daerah daratan Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi beberapa karakter sebagai berikut: daerah pegunungan curam di bagian selatan dengan ketinggian > 1.500 m dpl, daerah lereng bukit landai di bagian tengah dengan ketinggian 100-1500 m dpl daerah dataran rendah yang luas di bagian utara dengan ketinggian 0-10 m dpl 3

Secara geologis daratan Jawa Barat merupakan bagian dari busur kepulauan gunung api (aktif dan tidak aktif) yang membentang dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung utara Pulau Sulawesi. Gambar 1. Peta Ketinggian Wilayah Jawa Barat (RPJM Prov Banten tahun 2007-2011) 2. Kondisi Iklim dan Pertanian di Jawa Barat Pola hujan di Jawa Barat cukup beragam. Penelitian Boer dkk. (1996) menemukan bahwa pola hujan di Jawa Barat dapat dibagi menjadi 10 tipe, yaitu tipe A, B,, J (Gambar 2). Menurut luasannya, tipe hujan di propinsi Jawa Barat didominasi oleh tipe E, F, I dan J (Tabel 1). Keempat wilayah ini menempati lebih dari 70% dari total wilayah Jawa Barat. Wilayah I dan J ialah wilayah yang paling kering yang terletak di jalur pantai utara (Pantura) Jawa Barat dan merupakan wilayah yang areal persawahannya paling luas. 4

700 600 500 400 300 200 100 0 J F M A M J J A S O N D 700 600 500 400 300 200 100 0 J F M A M J J A S O N D 700 600 500 400 300 200 700 600 500 400 300 200 100 0 J F M A M J J A S O N D 100 0 J F M A M J J A S O N D 700 600 500 400 300 200 100 0 J F M A M J J A S O N D 700 600 500 400 300 200 700 600 100 0 J F M A M J J A S O N D 500 400 300 200 100 0 J F M A M J J A S O N D 700 600 500 400 300 200 100 0 J F M A M J J A S O N D 700 600 500 400 300 200 100 0 J F M A M J J A S O N D 700 600 500 400 300 200 100 0 J F M A M J J A S O N D Gambar 2. Wilayah hujan di Jawa Barat menurut pola dan tinggi hujan (Boer dkk, 1996) Tabel 1. Luas dan sebaran wilayah tipe hujan di Jawa Barat Tipe Hujan BB BK Luas (Bulan) (ha) (%) Keterangan Tipe A >9 <2 10 000 0.2 Bagian Tengah Kab. Bogor Tipe B >9 <2 267 500 5.8 Bagian Tengah/Barat/Selatan Tipe C 9-Aug 0 232 500 5 Pantai Selatan Tipe D 9-Aug >2 107 500 2.3 Bagian Tengah Kab. Bogor Tipe E 8-Jul 3-Feb 570 000 12.3 Bagian Tengah/Barat/Selatan Tipe F 8-Jul 4-Mar 1 922 500 41.6 Bagian Tengah Tipe G 7-Jun 3-Feb 167 500 3.6 Subang bagian tengah Tipe H 7-Jun 4-Mar 65 000 1.4 Majalengka Tipe I 6-May 5-Apr 642 500 13.9 Jalur Pantura bagian tengah Tipe J 6-May 6-May 645 000 13.9 Jalur Pantura (pinggir utara) Jumlah 4 630 000 100 Keterangan : Bulan basah (BB) ialah bulan yang curah hujan 200 mm dan Bulan Kering (BK) ialah bulan yang curah hujannya < 100 mm. Sumber: Boer dkk, (1996) 5

Jawa Barat merupakan wilayah yang telah dikenal sebagai sentra produksi pangan khususnya padi, namun seiring dengan perkembangan Iptek dan perekonomian masyarakat, sebagian lahan produtif berangsur-angsur tergusur untuk kepentingan lain, seperti kepentingan indusri pembangunan pabrik-pabrik, untuk area perkantoran serta penyediaan lahan untuk kepentingan perumahan penduduk. Berikut gambaran perkembangan penggunaan lahan untuk wilayah Jabodetabek seperti tabel 2 dan 3 di bawah. Tabel 2. Dinamika Proporsi Penutupan Lahan Kawasan Jabodetabek Kelas Penutupan Lahan Proporsi Penutupan Lahan 1972 1983 1992 2000 2005 Ruang Terbangun 2% 9% 11% 23% 29% RTH 74% 73% 75% 62% 63% Ladang/upland/bareland 23% 17% 11% 13% 6% Badan Air 0% 0% 0% 0% 1% Tambak 1% 2% 2% 2% 2% Sumber: Agrissantika (2007) Tabel 3. Hasil Produksi Pertanian Per Hektar di Jawa Barat No Kabupaten / Kota Luas Panen Hasil Per Hektar Produksi (Ha) (Kw/Ha) (Ton) 1 Bogor 85 147 58,80 500 686 2 Sukabumi 144 499 55,12 796 502 3 Cianjur 144 026 53,19 766 039 4 Bandung 75 891 58,44 443 507 5 G a r u t 135 104 58,13 785 374 6 Tasikmalaya 120 254 60,26 724 703 7 C i a m i s 107 575 62,81 675 637 8 Kuningan 61 068 57,00 348 093 9 Cirebon 86 187 59,14 509 729 10 Majalengka 97 204 58,53 568 955 11 Sumedang 78 143 55,95 437 192 12 Indramayu 226 568 58,31 1 321 016 13 Subang 184 585 59,89 1 105 550 14 Purwakarta 41 662 55,51 231 285 15 Karawang 182 425 58,53 1 067 691 16 B e k a s i 105 825 58,67 620 868 6

Tabel 3. Lanjutan No Kabupaten / Kota Luas Panen Hasil Per Hektar Produksi 17 Bandung Barat 43 847 55,55 243 570 18 B o g o r 1 269 56,04 7 112 19 Sukabumi 3 625 62,58 22 687 20 Bandung 1 897 57,44 10 897 21 Cirebon 656 55,53 3 643 22 Bekasi 1 013 56,05 5 678 23 Depok 793 57,96 4 596 24 Cimahi 504 58,19 2 933 25 Tasikmalaya 14 252 56,72 80 844 26 Banjar 6 184 61,28 37 895 Kesimpulan : Thn. 2009 1 950 203 58,06 11 322 682 Thn. 2008 1 803 628 56,06 10 111 064 Thn. 2007 1 829 085 54,20 9 914 019 Thn. 2006 1 798 260 52,38 9 418 572 Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat 2.3. Sifat Hujan Ekstrim dan Pengaruh pada Pertanian di Jawa Barat Untuk mendapatkan pandangan yang seragam tentang perubahan pada cuaca dan iklim ekstrim, para ahli telah mendefinisikan beberapa indeks ekstrim. Indeks menggambarkan karakteristik khusus dari kondisi ekstrim meliputi frekuensi, intensitas, amplitudo, durasi dan persistensi. Terdapat beberapa indeks untuk curah hujan (Zhang, dan Yang, (2004). Diantaranya ialah wet spells atau deret hari basah (DHB), dry spells atau deret hari kering (DHK), hari sangat basah (very wet days) yaitu nilai hujan melebihi 95 persentil (R 95 p), hari ekstrim Basah (Extremely wet Days) yaitu tinggi hujan sama atau melebihi nilai 99 persentil (R99p). Di dalam konteks pertanian, kajadian iklim esktrim seperti DHK yang panjang dapat menimbulkan bencana kekeringan, dan DHB yang panjang atau hari sangat basah diperkirakan akan menmbulkan bencana banjir. Besarnya pengaruh kejadian DHK atau DHB yang panjang terhadap tanaman sudah banyak diteliti (Dikshit et al., 1987; Niewolt, 1989; Castillo et al., 1992; McCaskill dan Kariada, 1992). Sebagian besar dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kejadian deret hari kering sama atau lebih besar dari 15 hari dapat memundurkan umur panen, gagal bunga, menurunkan hasil tanaman dan lain-lain. Namun demikian, gangguan pada 7

pertumbuhan tanaman khususnya di daerah tropis dapat terjadi apabila tanaman terpapar terhadap DHK melebihi 7 hari (Niewolt 1989). Penelitian lain yang dilakukan oleh Rushayati et al. (1989) di Indonesia juga menunjukkan bahwa tanaman yang diberi cekaman air (kadar air 50% kapasitas lapang) selama sepuluh hari pada awal fase pertumbuhan vegetatif dan fase primordial memberikan hasil yang sangat rendah. Penurunan hasil yang terjadi akibat cekaman kekeringan pada awal fase pertumbuhan vegetatif terutama melalui pengurangan jumlah anakan dan luas daun sedangkan pada fase primordia melalui penurunan jumlah gabah, peningkatan jumlah gabah hampa dan penurunan bobot 100 biji. Boer dkk (1996) telah menyusun persamaan untuk menduga peluang terjadinya DHK dengan panjang sama atau melebihi 10 (p(x>=10 hari)) dan sama atau melebihi 15 hari (p(x>=15 hari)) dari rata-rata data hujan bulanan. Penelitian ini dilakukan karena terbatasnya ketersediaan data harian. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa p(x>=10 hari) dan p(x>=15 hari) dapat diduga dengan baik dari rata-rata tinggi hujan bulanan dalam bentuk persamaan berikut (Gambar 3) p(x 10) = 1/[1+exp(-0.2688+ 0.00745 X)])) dan p(x 15) = 1/[1+exp(0.22913+ 0.00831 X)]. Pengujian persamaan tersebut sudah dilakukan oleh Hasan (1997) di dua lokasi di Jawa Tengah. Diperoleh bahwa nilai peluang dugaan mendekati nilai peluang pengamatan dengan nilai korelasi lebih besar dari 0.9. Namun demikian Boer et al. (1996) menyatakan bahwa persamaan tersebut memberikan hasil yang kurang akurat pada daerah dengan tinggi hujan bulanan rendah tetapi kejadian hujannya menyebar merata seperti di wilayah F (lihat Gambar 2). 8

p(x>=10 hari) (a) 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 0 200 400 600 Hujan (mm) p(x>=15 hari) (b) 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 0 200 400 600 Hujan (mm) Sumber: Boer dkk (1996) Gambar 3. Hubungan antara rata-rata curah hujan bulanan dengan (a) peluang terjadinya deret hari kering sama dan lebih besar 10 hari. (b) peluang terjadinya deret hari kering sama dan lebih besar 15 hari. Terjadinya DHB yang panjang yang umumnya terjadi pada musim hujan akan berdampak pada meningkatnya risiko banjir karena kondisi air tanah akan tinggi. Pada kondisi ini air hujan yang dapat ditahan di tanah akan berkurang sehingga sebagian besar dari air hujan akan langsung menjadi aliran permukaan dan berpotensi menimbulkan banjir. Di Indramayu, pusat produksi padi di Jawa Barat, apabila tinggi hujan bulanan sudah melebihi 300 mm, luas wilayah persawahan yang terkena banjir meningkat secara signifikan (Gambar 4). Namun demikian banjir tidak selalu terjadi akibat tingginya hujan insitu (di lokasi bersangkutan) tetapi juga bisa akibat tingginya hujan yang terjadi di daerah hulu yang menimbulkan banjir kiriman. Sebaliknya, terjadinya DHK yang panjang yang umumnya terjadi pada musim kemarau juga akan berdampak pada meningkatnya risiko kekeringan. Pada kondisi ini, hujan yang diterima pada musim kemarau akan jauh di bawah normal (JBN). Boer dkk (2008) menemukan bahwa luas pertanaman padi terkena kekeringan meningkat secara nyata pada saat tinggi hujan MK (Mei-September) turun jauh di bawah normal (Gambar 5).. 9

Curah Hujan (mm) 500 400 300 200 100 Luas terkena banjir Januari: 25.644 ha 1999/00 Normal 500 500 400 300 200 100 Curah Hujan (mm) Curah Hujan (mm) 400 300 200 100 Luas terkena banjir Februari: 50.478 ha 2003/04 Normal 500 400 300 200 100 Curah Hujan (mm) 0 0 0 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1999 2000 2003 2004 0 Gambar 4. Hubungan antara kejadian hujan atas normal (AN) dengan kejadian banjir tahun 2000 & 2004 di Indramayu (Sumber: Boer dkk, 2008) 500 500 500 500 Curah Hujan (mm) 400 300 200 100 1996/97 Normal Terkena Kekeringan: 47,995 ha 400 300 200 100 Curah Hujan (mm) Curah Hujan (mm) 400 300 200 100 2002/03 Normal Terkena Kekeringan: 7,896 ha 400 300 200 100 Curah Hujan (mm) 0 0 0 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1996 1997 2002 2003 0 Gambar 5. Hubungan antara kejadian hujan bawah normal (BN) pada musim tanam gadu dengan kejadian kekeringan Tahun 1997 dan 2003 di Indramayu (Sumber: Boer dkk, 2008) 10

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah Propinsi Jawa Barat. Propinsi ini merupakan salah satu pusat produksi pertanian penting dan merupakan propinsi penghasil padi utama di Indonesia 3.2 Data dan Pengolahan Penelitian ini menggunakan data hujan harian dari 90 stasiun pengamatan curah hujan di Jawa Barat. Lokasi stasiun umumnya menyebar di pantai utara dan bagian tengah wilayah propinsi Jawa Barat ( Gambar 6) Gambar 6. Lokasi Sebaran Pos Hujan di Jawa Barat Data curah hujan yang digunakan berasal dari 2 kelompok stasiun pengamatan yakni stasiun yang dikelola oleh instansi BMKG dan stasiun kerja sama. Stasiun kerjasama adalah stasiun pengamatan yang dititipkan ke instansi diluar BMKG atau perseorangan. 11

Stasiun hujan dipilih berdasarkan kelengkapan data curah hujan dengan panjang pengamatan minimal 10 tahun. Posisi geografis statisun yang digunakan disajikan di Lampiran 1. Data yang dikumpulkan dari berbagai titik pengamatan sudah melewati quality control. Hal ini sangat diperlukan karena kemungkinan masih ada kesalahan data baik yang disebabkan oleh manusia, misalnya dalam proses pencatatan, dapat juga dari peralatannya itu sendiri, diantaranya waktu pemindahan tempat kegiatan pengamatan tidak dilakukan pencatatan (meta data), prosedur pengamatan, penggantian alat dan lain-lain. Anguler et al, (2003). Pengecekan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu: 1. Cara manual yaitu data yang telah tersusun diplot dalam bentuk grafik, dari gambar grafik tersebut akan bisa dideteksi data yang tidak sesuai (error), 2. Memakai pengalaman pengamat setempat atau pengetahuan lokal, dengan cara memeriksa data yang dicurigai terjadi kesalahan dengan histori data dari stasiun setempat. 3. Membandingkan data yang dicurigai salah dari suatu pos pengamatan dengan data dari pos pengamatan terdekat yang dianggap homogen Bates (2004). 4. Menggunakan program aplikasi RClimdex yang otomatis dapat mendeteksi data curah hujan yang nilainya negative dan data yang diluar batas toleransi atas maupun bawah. Batas toleransi dirumuskan sebagai berikut : Nilai rata-rata ± 4 x standard deviasi ( Sx ) dari pos pengamatan setempat, Sx = Standar deviasi dari data pos pengamatan setempat. Apabila terdapat data diluar nilai batas tersebut, maka perlu dilakukan pengecekan. Persamaan dari Standart Deviasi ( Sx ) adalah sebagai berikut : 12

Nilai 4 dapat dapat diganti dengan nilai lain disesuaikan dengan data maksimum dan minimum yang telah tercatat di pos pengamatan setempat. 3.3 Metode Analisis Data Penelitian ini dibagi ke dalam dua bentuk analisis. Pertama ialah analisis tren sifat hujan ekstrim dan kedua analisis bentuk sebaran statistik hujan ekstrim. Stasiun kemudian dikelompokkan berdasarkan trend dan sifat sebaran statistiknya dengan menggunakan teknik analisis gerombol (cluster analysis) metode Ward (Nur. 2006). Diagram alir analisis disajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Diagram alir proses pengolahan data 13

Sifat hujan ekstrim yang dianalisis ialah dry spell atau deret hari kering (DHK) dan wet spell atau deret hari basah (DHB) maksimum. Sifat hujan ini telah digunakan oleh lembaga internasional seperti komisi untuk klimatologi WMO (CCI), World Climate Research Program (WCRP), Climate Variability and Predictability (CLIVAR), Expert Team on Climate Change Detection Monitoring and Indices (ETTCDMI) untuk pengembangan analisis indeks perubahan iklim. DHB adalah jumlah hari basah (hari hujan) berurutan yang tidak diselingi oleh hari kering (hari tidak ada hujan). DHK adalah jumlah hari kering (hari tidak ada hujan) berurutan yang tidak diselingi oleh hari basah (hari hujan). Hari basah didefinisikan sebagai hari yang tinggi hujannya mencapai 1 mm atau lebih mengikuti definisi yang digunakan Albert dan Tank (2009). Perhitungan panjang DHK dan DHB dilakukan dengan menggunakan program aplikasi RClimDex. ). Dalam menentukan hari hujan ada beberapa kriteria sesuai dengan keperluan. Deni et.al (2008) menentukan hari basah (wet day) adalah hari dengan jumlah curah hujan paling sedikit sebesar 0.1 mm. Program aplikasi mengubah data hujan ke dalam bentuk bilangan binary, yaitu data yang nilainya sama atau lebih besar 1 mm dirubah menjadi angka 1, sedangkan yang nilainya kurang dari 1 mm dirubah dengan angka 0. Kemudian dihitung jumlah data yang nilainya 1 berturut-turut tanpa diselingi angka nol sebagai DHB atau angka 0 berturut-turut tanpa diselingi angka 1 sebagai DHK. Selanjutnya program memilih nilai terpanjang dalam setiap tahun sebagai DHB atau DHK maksimum. Sebagai ilustrasi, penentuan panjang DHB maksimum disajikan pada Tabel 4. 14

Tabel 4. Tabel Penghitungan DHB Tahun Bulan Tanggal RR 1985 1 1 0,5 0 1 1985 1 2 30.5 1 1985 1 3 9.0 1 3 1985 1 4 10.5 1 1985 1 5 1 0 1 1985..... Panjang Maximum untuk 1985 10 3.3.1. Analisis Tren Sifat Hujan Ekstrim Tren sifat hujan ekstrim dianalisis dengan menggunakan teknik regresi linier sederhana, Y = α + β X Y = merupakan pubah bebebas; α = intersep / perpotongan dengan sumbu tegak β = Kemiringan / gradient Nilai kemiringan ini merupakan tren (Mattjik dan Sumertajaya, 2006). Kemudian pola kecenderungan perubahan DHK dan DHB spasial ditentukan dengan menggunakan teknik kriging melalui program aplikasi SIG (Eddy, 2004) 3.3.2. Analisis Sebaran Sifat Hujan Ekstrim Sebaran statistik sifat hujan ekstrim, dianalisis dengan menggunakan beberapa model sebaran yaitu Normal, LogNormal, 3-Parameter Log- Normal, Gamma, 3-Parameter Gamma, Exponential, 2-Parameter Exponential, Smallest Extreme Value, Weibull, 2 Parameter Weibull, Largest Extreme Value, Logistic, Log Logitic, dan 3-Parameter LogLogistic dengan menggunakan program aplikasi MINITAB. Untuk menentukan sebaran statistic yang dianggap paling sesuai dengan sebaran data sifat hujan 15

esktrim digunakan nilai P-value. Selanjutnya mengidentifikasi nilai sebaran dengan P-Value sama atau lebih lebih besar dari 0.5, kemudian nilai tersebut diganti dengan angka 1, untuk nilai P-Value yang kurang dari 0.5 diganti dengan angka 0. Demikian dilakukan untuk pos pengamatan yang lain. Langkah selanjutnya dengan menjumlah angka satu tersebut pada masing-masing model sebaran. Model sebaran yang memperoleh angka terbesar dipilih sebagai model sebaran yang paling sesuai untuk wilayah tersebut. Model sebaran yang terpilih dipakai untuk mencari nilai parameter dari DHB dan DHK dari masing-masing pos pengamatan yang kemudian digunakan untuk menentukan pengelompokan stasiun menurut sifat hujan ekstrim dengan menggunakan analisis gerombol metode Ward. 16

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Analisis 4.4.1. Sifat Hujan Ekstrim Hasil analisis menunjukkan bahwa panjang DHK dan DHB maksimum di Jawa Barat beragam (Gambar 8). Di wilayah bagian utara Jawa Barat sebagian besar panjang DHK maksimum berkisar antara 60 sampai 80, kecuali di beberapa wilayah tertentu seperti di sebagain kecil wilayah Cirebon dan Pamengkang panjang DHK maksimum mencapai 100 sampai 120 hari (Gambar 8.a). Sebaliknya panjang deret hari basah maksimum pada wilayah ini relatif lebih pendek dibanding wilayah lain yaitu kurang dari 10 hari (Gambar 8.b). Sebagian besar wilayah di Jawa Barat, panjang DHK maksimum umumnya antara 10 sampai 15 hari (di wilayah bagian tengah). Secara umum keragaman nilai DHK dan DHB maksimum di wilayah Pantura Jabar lebih rendah dibanding dengan yang di wilayah lainnya (Gambar 8). Keragaram terbesar ditemukan di sekitar wilayah Cigede. (a) (b) Gambar 8. Rata-rata panjang Deret Hari Kering (DHK) maksimum (kiri) dan Deret Hari Basah (DHB) maksimum (kanan) di Jawa Barat 17

Gambar 9. Simpangan baku panjang Deret Hari Kering (DHK) maksimum (kiri) dan Deret Hari Basah (DHB) maksimum (kanan) di Jawa Barat 4.4.2. Tren Sifat Hujan Ekstrim Hasil analisis terhadap data seri DHK dan DHB menunjukkan bahwa pada bebeberapa stasiun ditemukan adanya kecendrungan panjang DHK yang semakin panjang, sedangkan panjang DHB maksimum cendrung memendek. Tren perubahan seperti ini dapat dilihat secara nyata di stasiun Geofisika Bandung (Gambar 10 dan 11). Namun demikian pola kecendrungan sebaliknya juga ditemukan di beberapa wilayah (Gambar 9 dan 10). Gambar 10. Grafik DHK atau CDD pada stasiun Geofisika Bandung 18

Gambar 11. Grafik DHB atau CWD pada stasiun Geofisika Bandung Tren peningkatan panjang DHK maksimum umumnya terjadi di sepanjang pantai utara Jawa Barat dengan laju penambahan panjang DHK antara 1 sampai 5 hari per sepuluh tahun (Gambar 12). Sumedang, Majalengka dan Subang, merupakan daerah yang mempunyai kecenderungan penambahan DHK yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 4 sampai 5 hari per sepuluh tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa resiko kekeringan di wilayah ini juga cendrung semakin tinggi. Hal yang sama juga diamati di sebagian kecil wilayah Malangbong. Gambar 12. Peta Tren Deret Hari Kering (DHK) Jawa Barat 19

Untuk panjang DHB maksimum, stasiun yang menunjukkan adanya tren peningkatan panjang DHB maksimum yang nyata hanya di sebagin kecil wilayah Jawa Barat (Gambar 13). Wilayah yang menunjukkan adanya tren peningkatan panjang DHB maksimum yang tinggi ialah di sebelah tenggara Tasikmalaya sekitar daerah Sukawening, kemudian di sebagian wilayah Depok, Cibinong dan Ciampea. Laju penambahan panjang DHB maksimum di wilayah ini ialah antara 5 sampai 10 hari per sepuluh tahun (Gambar 13). Gambar 13. Peta Tren Deret Hari Basah (DHB) Jawa Barat 4.4.3. Sebaran Sifat Hujan Ekstrim Hasil analisis bentuk sebaran statistik yang sesuai dengan sebaran data hujan ekstrim menunjukkan bahwa sebaran yang paling sesuai ialah sebaran normal baik untuk data panjang DHK maupun DHB. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya stasiun yang data panjang DHK dan DHB mengikuti sebaran ini. Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa hampir semua dari 90 stasiun di Jawa Barat sebaran data DHK dan DHB mengikuti sebaran, yaitu 78 stasiun untuk data DHK dan 83 stasiun untuk data DBK. Sedangkan untuk sebaran statistik lainnya, banyaknya stasiun yang data DHK dan DBH sesuai dengan sebaran statistik tersebut lebih rendah dibandingkan dengan yang sebaran normal (Tabel 5). Berdasarkan 20

hasil ini, maka pengelompokkan stasiun menurut kesamaan sifat hujan ekstrim dilakukan dengan menggunakan nilai rata-rata dan simpangan baku DHK dan DHB maksimum. Tabel 5. Jumlah dari total 90 stasiun yang sebaran data DHK dan DHB mengikuti sifat sebaran statistik tertentu Sebaran DHK DHB Normal 78 83 Log-Normal 69 69 3-Parameter LogNormal 57 50 Gamma 67 58 3-par Gamma 52 42 Exponential 64 57 2-Parameter Exponential 73 56 Smallest Extreme Value 63 56 Weibull 63 60 2 Parameter Weibull 61 55 Largest Extreme Value 57 52 Logistic 57 51 Log Logitic 61 52 3-Parameter LogLogistic 56 54 Dari hasil analisis gerombol diperoleh dendogram yang menunjukkan bahwa stasiun di Propinsi Jawa Barat dapat dikelompokkan ke dalam 4 kelompok utama (Gambar 14). Kelompok 1 merupakan wilayah yang paling kering dan memiliki rata-rata panjang DHK maksimum terpanjang dan DHB terpendek sedangkan Kelompok 4 memiliki panjang deret hari kering maksimum terpendek, tetapi rata-rata DHB bukan yang terpanjang. Secara rata-rata stasiun Kelompok 3 memiliki DHB lebih panjang dari Kelompok 4, namun demikian keragamannya jauh lebih tinggi disbanding kelompok 4 (Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa walau- 21

pun kelompok 3 memiliki rata-rata DHB terpanjang namun simpangannya lebih dari dua kali yang di Kelompok 4. Sebaran stasiun menurut kelompok berdasarkan sifat dari DHK dan DBH adalah sebagai berikut: (1) Kelompok 1: Sebagian wilayah Pantai Utara memanjang dari Barat sampai wilayah timur (seperti Kab Bekasi, Kerawang, sebagian Subang, Indramayu sampai daerah Cirebon). (2) Kelompok 2: Sebagian besar daerah Jawa Barat khususnya untuk wilayah bagian tengah sampai selatan, bagian timur ( Ciamis, Tasikmalaya), kemudian meluas ke arah barat sampai Sukabumi, Bagian utara sebagia Bekasi bagian selatan, Subang dan Purwakarta. (3) Kelompok 3: mengelompok di wilayah Jawa Barat bagian timur, yaitu sekitar Kuningan, Sumedang, Bandung, Cimahi dan sekitar Soreang. (4) Kelompok 4, berada di wilayah tengah bagian timur yaitu sekitar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, sampai Puncak dan sebagian wilayah Cianjur. 50 Tree Diagram for 90 Variables Ward`s method Euclidean distances 40 Linkage Distance 30 20 10 0 JB41 JB25 JB75 JB65 JB68 JB74 JB52 JB77 JB71 JB51 JB90 JB86 JB73 JB76 JB50 JB45 JB43 JB40 JB70 JB47 JB44 JB48 JB36 JB80 JB89 JB79 JB4 JB88 JB69 JB37 JB61 JB33 JB54 JB83 JB26 JB66 JB35 JB46 JB42 JB30 JB39 JB9 JB38 JB17 JB29 JB21 JB20 JB87 JB7 JB31 JB72 JB67 JB22 JB23 JB18 JB19 JB24 JB13 JB28 JB16 JB27 JB12 JB85 JB32 JB82 JB8 JB81 JB11 JB10 JB57 JB5 JB3 JB6 JB63 JB2 JB59 JB55 JB62 JB58 JB49 JB78 JB60 JB34 JB56 JB15 JB14 JB64 JB53 JB84 JB1 Gambar 14. Dendogram Pengelompokan Pos Hujan di Jawa Barat 22

Gambar 15. Peta Pengelompokan Pos Hujan berdasarkan parameter DHK dan DHB dengan rata-rata dan standar deviasinya Tabel 6. Simpangan Baku dan Rata-rata DHK dan DHB DHK DHB Kelompok Rata-rata Simpangan Baku Rata-rata Simpangan Baku 1 138 112 18 8 2 82 60 18 9 3 68 47 26 18 4 42 52 18 8 4.4.4. Pembahasan Hasil analisis ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan bahwa sifat hujan ekstrim, khususnya DHK dan DHB maksimum sudah mengalami perubahan (lihat Gambar 8 dan 9). Namun demikian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan data yang lebih panjang dan lengkap. Penelitian ini hanya menggunakan data yang panjang pengamatan masih terbatas yaitu antara 11 sampai 30 tahun (lihat Lampiran 1). Penelitian sifat hujan ekstrim dengan menggunakan periode pengamatan yang lebih 23

panjang (100 tahun) dapat mengetahui perubahan pola antar dekade (interdecadal variability). Dari hasil perhitungan panjang hari kering maupun panjang hari basah dan kecenderungannya, ditemukan bahwa tren untuk DHK perubahannya lebih terlihat nyata, khususnya untuk pantai utara wilayah Jawa Barat. Pada umumnya daerah pantai utara deret hari keringnya, makin bertambah panjang, sementara deret hari basahnya tidak banyak berubah, bahkan sebagian wilayah mengalami penurunan. Ini mengindikasikan bahwa wilayah yang DHK nya naik dan DHB turun mengalami tingkat risiko kekeringan yang lebih besar, khususnya untuk wilayah pertanian yang tidak mempunyai irigasi yang baik atau wilayah pertanian tadah hujan. Penelitian Aldrian dan Djamil (2006) di DAS Brantas Jawa Timur juga menunjukkan adanya tren penurunan jumlah curah hujan secara signifikan selama beberapa dekade. Tren perubahan DHK dan DBH juga ditemukan di negara lain. Penelitian Deni dkk (2008) di Malaysia, dengan menggunakan data 20 stasiun dengan panjang data dari tahun 1975 sampai tahun 2006, menemukan bahwa di sebagian besar wilayah semenanjung Malaysia telah terjadi peningkatan DHB. Suppiah dan Hennessey (1998), Haylock dan Nichols (2000) dan Manton et al. (2001) juga menemukan hal yang sama di Australia dan wilayah Asia Tenggara. Penelitian mereka menunjukkan bahwa sudah terjadi tren penurunan yang cukup signifikan untuk hujan harian dan suhu ekstrim di wilayah Asia Tenggara bagian barat, dan tren peningkatan pada bagian utara Perancis, Polinesia, Fiji dan beberapa wilayah di Australia. Menurut Rushayati et. al (1989), tanaman yang diberi cekaman air kadar air 50 % kapasitas lapang) selama 10 hari pada fase awal pertumbuhan vegetatif akan memberikan hasil yang rendah. Menurut Niewolt (1989) tanaman yang mengalami kekeringan 7 hari atau lebih akan mengalami dampak yang serius. Selanjutnya Castillo et al.(1992), menemukan tidak adanya hujan 15 hari berturut-turut baik sebelum maupun sesudah inisiasi malai dapat menurunkan hasil tanaman antara 10% sampai 38 %. Karena pentingnya ketersediaan air bagi tanaman, perlu diantisipasi dan dicari tek- 24

nologi budidaya atau varietas yang tahan terhadap cekaman iklim khususnya pada daerah yang memiliki risiko tinggi terhadap risiko kekeringan dan kelebihan air. Berdasarkan hasil analisis, wilayah yang termasuk kategori memiliki risiko tinggi terhadap kekeringan ialah kelompok 1 (daerah Indramayu, Cirebon, dan sebagian kecil menyebar di wilayah Ciasem, Pamanukan dan sebelah selatan Bekasi yaitu daerah Batujaya) yang umumnya berada di wilayah pantai utara Jawa Barat dan risiko kelebihan air di kelompok 3 (Depok, Cibinong, Bogor dan Parung dan sebagian kecil Bandung dan Cimahi). 25

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1. Panjang DHK dan DHB maksimum di stasiun yang ada di Jawa Barat sangat beragam mulai dari 11 sampai 34 hari. Wilayah Pantura umumnya memiliki DHK yang lebih panjang dari wilayah lainnya, sebaliknya DHB lebih pendek 2. Panjang DHK atau DHB pada beberapa stasiun cendrung mengalami perubahan. Tren negatif untuk DHK (panjangnya cendrung naik) terjadi di stasiun yang terletak di wilayah Sumedang, Majalengka dan Subang dan tren negatif di wilayah Sukawana, Talun dan ciamis, Tren negatif untuk DBH terjadi di wilayah Kertasari, Bengkok, Bandung, dan tren positif di wilayah Depok, Cibinong dan Ciampea. 3. Sifat statistik data DHB dan DHK maksimum umumnya mengikuti sebaran normal. Sebagian kecil tidak mengikuti sebaran normal. 4. Berdasarkan parameter sebaran statistik DBH dan DHK maksimum, wilayah Jawa Barat dapat dibagi menjadi 4 Kelompok. Kelompok 1 (beberapa wilayah di Kabupaten Cirebon, Indramayu, memanjang ke barat sampai Kerawang dan sebagian Bekasi) merupakan wilayah yang memiliki risiko tinggi terhadap kekeringan dan kelompok 3 (beberapa wilayah di Kabupaten Bogor, Cibinong, dan Depok ) yang berisiko tinggi terhadap kelebihan air. 5. Kajian sifat hujan ekstrim sangat penting dilakukan untuk berbagai analisis risiko iklim. Sifat hujan ekstrim lainnya seperti tinggi hujan harian maksimum atau hari sangat basah (very wet days), hari ekstrim Basah (Extremely wet Days) dan lain lain perlu untuk dikaji lebih lanjut. Penelitian tentang kaitan kejadian iklim ekstrim dengan fenomena global seperti ENSO juga perlu dilakukan sehingga dapat dikembangkan model prediksi kejadian iklim esktrim dari indek fenomena global tersebut. 26

DAFTAR PUSTAKA Agrissantika T. 2007. Model dinamika spasial ruang terbangun dan ruang terbuka hijau (studi kasus kawasan Jabodetabek). IPB. Bogor. Albert, M.G. Klein Tank, Francis W.Zwiers and Xuebin Zhang.2009. Guidelines on Analysis of extreme in a changing climate in support of informed decisions for adaptation, Climate Data Monitoring WCDMP-No.72. Alexander, L.V.et. al. 2006. Global Observed Changes in Daily Climate Extremes of temperature and Precipitation. Journal of Geophysical Re search, vol III, D05109.McCaskill, M. and Kariada, I.K. 1992. Comparison of five water stress predictors for the tropics. Agric. Forest Meteorol., 58:35-42. Boer, R. 2005. Pendekatan Strategis, Taktis dan Operasional dalam Mengu rangi Risiko Iklim di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Di dalam: Seminar Pelembagaan Pemanfaatan Informasi Ramalam Iklim untuk Mengatasi Dampak Bencana Iklim; Kupang 21-22 Juni 2005. Boer, R. 2002. Analisis Data Iklim untuk Pengelolaan Tanaman. Dalam Pelatihan Pengamatan OPT. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta. Boer, R., Las, I., Hadiyanto, S., Widjaja, F., Purwani, E.T., Kusumawardani, A., and Yuniasih, D.A. 2008. Pedoman antisipasi dampak fenomena iklim. Direktorat Perlindungan Tanaman, Jakarta. Boer, R.., Las, I., Hidayati, R. dan Budianto, B. 1996. Analisis deret hari kering untuk perencanaan penanaman padi sawah tadah hujan di Jawa Barat. lapiran Penelitian Proyek ARMP. Lembaga Penelitian IPB, Bogor. Castillo, E.G., Buresh, R.J. and Ingram, K.T. 1992. Lowland rice yield as affected by timing of water deficit and nitrogen fertilization. Agronomy Journal 84:152-159. Deni.S.M, Jamaludin.S. 2008. Tracing Trends in the Sequences of Dry and Wet days over Paninsular Malaysia. Journal of Environtmental Science and Technology 1(3): 97-110, 2008. Dikshit,U.N., Parida,D. and Satpathy,D. 1987. Genetic Evaluation and Utilization Drought Tolerance. IRRN.12: 6-7. Dokumen RPJM Prov. Banten Tahun 2007 201 (www.banten.go.id) Dunn, P.A,. Kozar,M.G., Budiyono.,1996. Application of Geoscience Technology in a Geologic Study of the Natuna Gas Field. Natuna Sea off shore Indonesia. Proceeding IPA 117-application geos-technology. 27

Gwangyong Choi.et.al. 2009. Changes in Mean and Extreme Events of Tempera ture and Precipitation in the Asia Pasific Net Work Region, 1955 2007, International Journal of Climatology, 29.1906-1925, Hasan, D.I. 1997. Analisis deret hari kering di wilayah persawahan Jawa Barat. Skripsi Jurusan geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor Iriawan.N. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14, Andi, Yogyakarta. Mattjik, A.A. dan Sumartajaya I.M. 2006. Perencanaan Percobaan dengan Aplikasi S A S dan Minitab. Institut Pertanian Bogor, Bogor Niewolt,S. 1989.Estiming of Agricultural Risk of Tropical Rainfall, Agriculture and Foret Meteorology 45 : 251-263 Perda No 1 Tahun 2009. tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012 (www.jakarta.go.id) Pai.D.S, Rajeevan M Nair. 2009. Summer monsoon onset over Kerala:New definition and prediction. J.Earth Syst.Sci 118:123-135 Rushayati.S.B. 1989. Tanggap Pertumbuhan dan Komponen Hasil Dua Varietas Padi Gogo terhadap Kekeringan pada Berbagai Fase Pertumbuhan, Agromet J. 5:30-44 Xuibin Zhang and Feng Yang. 2006. RClimdex (1.0) User Manual. Climate Research Branch Environment Canada Downsview, Ontario Canada. 28

Lampiran 1. Daftar Pos Hujan di wilayah Jawa-Barat NO NAMA STASIUN SERIES DATA LINTANG BUJUR 1 CITEKO 1985-2010 -6.6980 106.9350 2 SUMEDANG BUAH DUA 1984-2009 -6.8272 107.9192 3 SUMEDANG CIMALAKA 1979-2009 -6.7017 107.9539 4 SUMEDANG CONGGEANG 1979-2009 -6.7400 108.0100 5 SUMEDANG DARMARAJA 1979-2009 -6.9081 108.0647 6 SUMEDANG PASEH 1991-2007 -6.7967 108.0072 7 SUMEDANG SITURAJA 1979-2009 -6.8492 108.0147 8 SUMEDANG TANJUNGSARI 1979-2009 -6.9036 107.8019 9 SUMEDANG UJUNGJAYA 1993-2009 -6.7072 108.1083 10 CURUG 1980-2002 -6.5121 106.4999 11 CIPAKU176 PASEH BANDUNG 1979-1992 -7.1000 107.7667 12 CIWIDEY BANDUNG 1979-1994 -7.0600 107.4000 13 CUKUL PENGALENGAN 1980-2004 -7.2452 107.5356 14 GEOFISIKA BANDUNG 1975-2010 -6.8125 107.6172 15 LEMBANG BANDUNG 1979-2010 -6.8167 107.6333 16 SANTOSA KERTASARI BANDUNG 1980-2003 -7.2558 107.6454 17 CIBEUREUM BANDUNG 1991-2009 -7.2000 107.6666 18 CIBUNI BANDUNG 1979-2009 -7.1670 107.4000 19 CICALENGKA BANDUNG 1979-2009 -6.9800 107.8333 20 Cileunsa 1990-2009 -7.0300 107.7700 21 CIPANUNJANG 1996-2009 -7.2113 107.5560 22 KERTAMANAH 1979-2009 -7.2000 107.6000 23 MALABAR 1979-2010 -7.2167 107.5833 24 PASEH 1992-2009 -7.1000 107.7667 25 PSR MALANG 1979-2009 -7.2270 107.5443 26 SINDANG KERTA 1992-2009 -6.9830 107.4000 27 SUKAWANA 1990-2009 -6.7667 107.6000 28 TALUN 1990-2010 -7.2667 107.6667 29 UJUNG BERUNG 1990-2009 -6.8333 107.7333 30 PAMARICAN 1981-2006 -7.3363 108.3637 31 PANAWANGAN 1981-2010 -7.1167 108.4000 32 PANJALU 1982-2010 -7.1361 108.2694 33 PARIGI 1981-2011 -7.6667 108.5000 34 PU.CIAMIS 1981-2006 -7.3363 108.3637 35 RENGASDENGKLOK 1979-2007 -6.1637 107.3181 36 KERAWANG BATU JAYA 1981-2009 -6.1014 107.2176 37 PONDOK BETUNG 1981-2009 -6.2500 106.7500 29

NO NAMA STASIUN SERIES DATA LINTANG BUJUR 38 CENGKARENG 1978-1010 -6.1330 106.7456 39 JATIWANGI 1978-2010 -6.7341 108.2632 40 SURADE 1984-2004 -7.3363 106.5651 41 TASIKMALAYA 1980-2002 -7.3333 108.2500 42 BEKASI 1978-2005 -6.2667 107.0000 43 CIPAYUNG 1977-2005 -6.6500 106.8667 44 LEMAHABANG 1975-2005 -6.2876 107.3410 45 PACING 1977-2005 -6.1562 107.3041 46 SETU 1977-2005 -6.3333 107.0500 47 TELUK BANGO 1981-2005 -6.1350 107.2940 48 ARJAWINANGUN 1979-2009 -6.6500 108.4000 49 BOJONGGEDE 1981-2008 -6.5000 106.7667 50 CANGKOL 1979-2003 -6.7556 108.5077 51 CANGKRING 1979-2003 -6.6711 108.5087 52 CANGKUANG 1979-2009 -6.8934 108.7006 53 CIBALAGUNG 1979-2009 -6.5783 106.7873 54 CIBODAS 1998-2008 -6.5474 106.6912 55 CIHIDEUNG 1998-2008 -6.5934 106.7199 56 CIKASUNGKA 1998-2008 -6.5528 106.5386 57 CIKEUSIK 1979-2009 -6.9667 108.6833 58 CIMANGGU 1984-2004 -6.6833 106.6167 59 CIRIUNG 1982-2009 -6.4604 106.8564 60 DAYEUH 1993-2009 -6.5167 107.0500 61 DEPOK 1979-2008 -6.4000 106.8500 62 DRAMAGA 1975-2009 -6.5536 106.7498 63 EMPANG 1979-2008 -6.61169 106.79144 64 GADOG 1978-2007 -6.65692 106.86383 65 GEBANG 1979-2009 -6.98333 108.58333 66 GEGESIK 1980-2003 -6.60139 108.41586 67 GUNUNGMAS 1979-2008 -6.68333 106.98333 68 JATISEENG 1979-2009 -6.902 108.74172 69 JKTOBS 1980-2010 -6.15564 106.84722 70 KARANGKENDAL 1979-2003 -6.58472 108.51444 71 KARANGWARENG 1979-2004 -6.85 108.65 72 KATULAMPA 1981-2008 -6.60061 106.80575 73 KEPUH 1994-2003 -6.75236 108.41797 74 LOSARI 1994-2008 -6.83583 108.62167 75 PAMENGKANG 1993-2009 -6.76406 108.55894 30