BAB II PENDEKATAN TEORITIS

dokumen-dokumen yang mirip
REPRESENTASI SOSIAL PROGRAM SIMPAN PINJAM UNTUK KELOMPOK PEREMPUAN (SPP) PNPM MANDIRI PEDESAAN

PNPM MANDIRI PERDESAAN

BAB VII HUBUNGAN ANTARA REPRESENTASI SOSIAL PROGRAM SPP PNPM TERHADAP PERILAKU RESPONDEN DALAM MENGIKUTI PROGRAM SPP PNPM

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dari situasi sebelumnya. Otonomi Daerah yang juga dapat dimaknai

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Di Indonesia

PENJELASAN VI PENULISAN USULAN DAN VERIFIKASI

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 29 TAHUN 2010 TENTANG

I. PENDAHULUAN. kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah. Jumlah penduduk. akan menjadi faktor penyebab kemiskinan (Direktorat Jenderal

BAB I PENDAHULUAN. Badan Pusat Statistik. Data Penduduk Indonesia Per Maret Diakses 14 Februari 2011

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan sturktural dan kemiskinan kesenjangan antar wilayah. Persoalan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang, sebagai negara berkembang

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 28 TAHUN 2015

SURAT KEPUTUSAN KEPALA DESA KEDUNGASRI KECAMATAN TEGALDLIMO KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR : 188/ 16 /KEP / /2016

Lampiran Surat Nomor : 134/DPPMD/VII/2015 Tanggal : 13 Juli 2015

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Sekretariat PNPM MP Kecamatan Ranomeeto, maka adapun hasil penelitian. yang didapatkan dapat digambarkan sebagai berikut:

BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI ANTARA UNIT PENGELOLAAN KEGIATAN DAN KELOMPOK MASYARAKAT

PTO PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI PERDESAAN

Analisis tingkat kesehatan lembaga unit pengelola kegiatan( studi kasus. pada UPK PNPM Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen ) Oleh : Wawan Apriyanto

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 9 Tahun : 2015

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

KEBERLANJUTAN DAN PENATAAN KELEMBAGAAN PNPM MPd

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Keberhasilan Program pemberdayaan Masyarakat. dalam (power within), kekuasaan untuk (power to), kekuasaan atas (power

PETUNJUK TEKNIS OPERASIONAL

LAMPIRAN. Panduan Pertanyaan dalam Wawancara Mendalam. Nama :... Peran di PNPM-MPd :...

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

PETUNJUK TEKNIS OPERASIONAL PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN POLA KHUSUS REHABILITASI PASCABENCANA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

PEMERINTAH KABUPATEN KEBUMEN KECAMATAN PREMBUN DESA BAGUNG

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

(PNPM-MP) adalah bagian dari upaya Pemerintah

PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM MANAJEMEN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF KOTA KEDIRI

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 41 TAHUN : 2008 SERI : E PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR : 103 TAHUN 2008 TENTANG

Matriks Errata PTO PPK-PNPM, 2007

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN KEBUMEN KECAMATAN PREMBUN DESA BAGUNG

BUPATI NGANJUK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI NGANJUK NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia.

DAFTAR SINGKATAN. Petunjuk Teknis Operasional PNPM Mandiri Perdesaan

BAB V PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI DESA WINUMURU

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Lingkup Kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan pada prinsipnya adalah

MATRIKS AKTIVITAS PELAKSANAAN PPK DAN POTENSI MASALAH YANG DAPAT TERJADI

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. danusahanya sudah berjalan sejak tahun Pada tanggal 20 Juli 2007

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran

BAB I PENDAHULUAN. pada umumnya juga belum optimal. Kerelawan sosial dalam kehidupan

I. PENDAHULUAN. penerima program pembangunan karena hanya dengan adanya partisipasi dari

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

P R O F I L PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI PERDESAAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUKU PEGANGAN PELATIH MASYARAKAT PENINGKATAN KUALITAS KEGIATAN KESEHATAN DALAM PNPM MANDIRI PERDESAAN

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pembangunan nasional pada usaha proaktif untuk meningkatkan peran

PEMERINTAH KABUPATEN MAMUJU Jl. Soekarno Hatta No. 17 Telp (0426) Kode Pos Mamuju

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

AKUNTABILITAS DALAM PELAKSANAAN PNPM MANDIRI PERKOTAAN / P2KP (PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS PERMUKIMAN) Rakor Nasional P2KP, 15 Juni 2015

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Tinjauan Umum Pengertian Persepsi Masyarakat. yang sempurna yang diberi akal, maka dengan akal manusia dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang terkena PHK (pengangguran) dan naiknya harga - harga kebutuhan

PETUNJUK TEKNIS PENYELENGGARAAN MUSRENBANG DESA/ KELURAHAN

BUPATI TANAH BUMBU PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 12 TAHUN TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Permasalahan kemiskinan yang cukup

BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI PASER NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG

Panduan Wawancara. Universitas Sumatera Utara

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya

PENJELASAN VII PEMANTAUAN, PENGAWASAN, EVALUASI, AUDIT, DAN PELAPORAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. struktural fungsional bersumber pada bagaimana dalam perkembangan tersebut

BAB III METODE PENELITIAN

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN BUPATI GROBOGAN NOMOR 42 TAHUN 2010 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GROBOGAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan yang bisa memberikan hasil yang memuaskan, dapat dikatakan juga

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN Sekilas Tentang UPK Sauyunan Kecamatan Bojongsoang

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditetapkan sebelumnya tercapai. Hal ini sesuai dengan pendapat para ahli.

PENJELASAN IX PENDANAAN DAN ADMINISTRASI KEGIATAN PNPM MANDIRI PERDESAAN

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap pembangunan di suatu daerah seyogyanya perlu dan

BAB V HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL DENGAN TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang amat serius. Kemiskinan

PEMERINTAHAN YG MEMAHAMI & RESPONSIF THD KEBUTUHAN MASYARAKAT MASYARAKAT YANG MANDIRI & SEJAHTERA

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DASAR BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2014

- 1 - KABUPATEN MALANG KECAMATAN WAGIR

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak

II. TINJAUAN PUSTAKA. berdasarkan norma-norma tertentu. Mengenai pengertian pembangunan, para

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN DESA TAHUN ANGGARAN 2012

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Kemiskinan merupakan

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR KEP.25/MEN/2009 TENTANG

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

PETUNJUK TEKNIS I. PENDAHULUAN

Transkripsi:

2.1 Tinjauan Pustaka BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1.1 Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Program Pengembangan Kecamatan (PPK) adalah salah satu program yang dicanangkan mulai tahun 1998 oleh pemerintah pusat sebagai upaya penanggulangan kemiskinan (Crescent, 2003). Program Pengembangan Kecamatan (PPK) merupakan cikal bakal Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri untuk wilayah Perdesaan (PNPM Mandiri Perdesaan). PPK adalah salah satu upaya Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, memperkuat institusi lokal, dan meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Program ini mengusung sistem pembangunan bottom up planning, program pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh masyarakat. Melalui PNPM Mandiri Pedesaan (PPK) dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Tujuan utama dari pelaksanaan program PPK adalah pengurangan jumlah penduduk miskin melalui upaya meningkatkan keterpaduan proses pembangunan fisik sarana dan prasarana dengan pengembangan usaha produktif di wilayah pedesaan dengan menjadikan kecamatan sebagai area pelaksanaannya. PPK menyediakan dana bantuan secara langsung bagi masyarakat (BLM). Besarnya SPP PNPM antara Rp500 juta - Rp1 miliar per kecamatan, tergantung dari jumlah penduduk. Program yang mengusung sistem pembangunan bottom up planning yang diusulkan langsung dan dilaksanakan oleh masyarakat. Masyarakat desa bersama-sama terlibat dalam proses perencanaan partisipatif dan pengambilan keputusan penggunaan dana BLM. Penggunaan BLM dilakukan atas dasar kebutuhan pembangunan dan prioritas yang ditentukan bersama dalam forum musyawarah. Pelaksanaan pembagian dana BLM PPK dilihat sebagai dana hibah yang diberikan kepada pemerintah kecamatan untuk digulirkan sebagai modal pengembangan wilayah kecamatan secara umum dan desa-desa dalam kecamatan secara khusus. Hibah yang dimaksudkan di sini adalah bahwa dana tersebut

7 diberikan kepada kecamatan dari pusat dan tidak perlu dikembalikan ke pusat, dan bukan dihibahkan kepada masyarakat kecamatan. Dana tersebut akan dibagikan kepada masyarakat sebagai modal usaha yang akan digulirkan dan harus dikembalikan kepada pemerintah kecamatan. Program PNPM Mandiri Pedesaan memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum nya adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di pedesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Sementara itu, tujuan khusus dari PNPM Mandiri Pedesaan yaitu: 1) meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan atau kelompok perempuan, dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pelestarian pembangunan; 2) melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan mendayagunakan sumber daya lokal; 3) mengembangkan kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan partisipatif; 4) menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat; 5) melembagakan pengelolaan dana bergulir; 6) mendorong terbentuk dan berkembangnya kerjasama antar desa; serta 7) mengembangkan kerjasama antar pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan pedesaan 4. 2.1.1.1 Kegiatan Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) Menurut Pedoman Petunjuk Teknis Operasional PNPM Mandiri Pedesaan, kegiatan yang terdapat pada Program PNPM Mandiri Pedesaan terdiri dari Kegiatan Pembangunan Sarana Fisik Desa, Kegiatan Peningkatan Kapasitas Kelompok Usaha Ekonomi Produktif (UEP), dan Kegiatan Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP). Program PNPM Mandiri Perdesaan dibiayai oleh dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) yang diperoleh dari pusat sebesar 80 persen dan dari APBD sebesar 20 persen. Sebesar 25 persen dari dana BLM digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan SPP PNPM. Kegiatan Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) PNPM merupakan kegiatan pemberian permodalan untuk kelompok perempuan yang memiliki kegiatan simpan pinjam atau kegiatan usaha ekonomi. Sasaran Program 4 Dikutip dan disimpulkan dari pamflet Program Nasional PNPM Mandiri Pedesaan.

8 SPP PNPM adalah rumah tangga miskin produktif yang memerlukan pendanaan kegiatan usaha ataupun kebutuhan sosial dasar melalui kelompok simpan pinjam perempuan yang sudah ada di masyarakat. Adapun bentuk kegiatan SPP PNPM adalah memberikan dana pinjaman sebagai tambahan modal kerja bagi kelompok kaum perempuan yang mempunyai pengelolaan dana simpanan dan pengelolaan dana pinjaman. Pelaksanaan Program SPP PNPM diawali dengan MAD (Musyawarah Antar Desa) Sosialisasi. Pada MAD Sosialisasi dilakukan sosialisasi ketentuan dan persyaratan untuk kegiatan SPP PNPM sehingga pelaku-pelaku di tingkat desa memahami adanya kegiatan SPP PNPM dan dapat dimanfaatkan. Setelah dilaksanakannya MAD Sosialisasi, dilaksanakan Musdes (Musyawarah desa) Sosialisasi agar pelaku di tingkat desa yang terdiri dari TPK (Tim Pengelola Kegiatan) dan TKD (Tim Koordinator Desa) melakukan persiapan untuk proses lanjutan. Kemudian, dilanjutkan dengan Musyawarah Dusun untuk mengidentifikasi kelompok peserta SPP PNPM, peta sosial dan rumah tangga miskin, serta mengidentifikasi kebutuhan pemanfaat. Musyawarah Desa dan Musyawarah Khusus Perempuan (MKP) dilaksanakan setelah Musyawarah Dusun. Pada MKP akan dilakukan penetapan dan penulisan usulan yang didalamnya terdapat sekilas mengenai kondisi kelompok SPP PNPM, gambaran kegiatan dan rencana yang akan dilaksanakan, penulisan usulan, MKP serta daftar calon pemanfaat untuk dana yang diusulkan. Selain penetapan dan penulisan usulan, pada MKP juga dilaksanakan verifikasi formulir, penilaian pada kegiatan, dan penilaian kategorisasi kelompok oleh pihak kecamatan. Penilaian pada kebutuhan anggota yang telah diusulkan dilakukan pada tahap MAD prioritas usulan. Tahapan ini merupakan tahapan evaluasi akhir dengan model prioritas kebutuhan yang mempertimbangkan hasil verifikasi. Prioritas penilaian ditekankan pada kelompok dengan lebih mengutamakan calon pemanfaat kategori rumah tangga miskin. Setelah MAD Prioritas Usulan, MAD Penetapan Usulan pun dilakukan. Melalui tahap ini diputuskan pendanaan yang mencakup penentuan pendanaan usulan dan kelompok yang memenuhi syarat

9 pemeringkatan dapat didanai oleh BLM. Alur ini akan terus berlanjut hingga pengembalian SPP PNPM dan pengelolaan dana bergulir (Gambar 1) 5. MAD Sosialisasi Musdes Sosialisasi Pengembalian SPP PNPM dan Pengelolaan Dana Bergulir Musyawarah Dusun Penggalian gagasan dan identifikasi kelompok SPP Musdes Pertanggungjawaban Supervisi dan monitoring Musyawarah Desa Musyawarah Perempuan (seleksi Kelompok) Persiapan penyaluran RPD, pencairan, pelaksanaan, LPD kegiatan Verifikasi usulan Penetapan, penulisan usulan, dan Paket Usulan Desa Musdes Informasi Hasil MAD MAD Prioritas Usulan MAD Penetapan Usulan Penyempurnaan Dokumen Usulan SPP PNPM yang akan didanai Gambar 1. Alur Kegiatan SPP PNPM Mandiri Pedesaan Sumber : Pedoman Petunjuk Teknis Operasional PNPM Mandiri 5 Dikutip dan disimpulkan dari Petunjuk Teknis Operasional Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan, hal: 58 65 (Penjelasan IV).

10 2.1.1.2 Sosialisasi Program Menurut Petunjuk Teknis Operasional Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan, sosialisasi dan penyebaran informasi dalam PNPM Mandiri Pedesaan merupakan suatu upaya untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan informasi mengenai program dan pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan kepada masyarakat. Hal ini diharapkan menjadi media pembelajaran mengenai konsep, prinsip, prosedur, kebijakan, tahapan pelaksanaan dan hasil pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan kepada masyarakat luas. Hasil yang diharapkan dari proses sosialisasi ini dan penyebaran informasi tersebut adalah dimengerti dan dipahaminya mengenai konsep, prinsip, prosedur, kebijakan, tahapan pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan secara utuh, khususnya masyarakat di lokasi program sebagai pelaku sekaligus sasaran penerima program, masyarakat umum, instansi atau lembaga lainnya. Proses sosialisasi dan penyebaran informasi ini harus dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan oleh berbagai pihak. Pelaku-pelaku sosialisasi PNPM Mandiri Pedesaan terdiri dari tim sosialisasi nasional, tim sosialisasi daerah dan pelaksana teknis sosialisasi lapangan. Tim sosialisasi nasional terdiri dari perwakilan tim koordinasi PNPM Mandiri Pedesaan nasional dan Sekretariat PNPM Mandiri Pedesaan, serta Konsultan Manajemen Nasional (KM-Nasional). Tim sosialisasi daerah terdiri dari Tim Sosialisasi Provinsi dan Tim Sosialisasi Kabupaten, dimana setiap tim terdiri dari unsur Tim Koordinasi Provinsi dan Kabupaten, Sekretariat PNPM Mandiri Pedesaan Provinsi dan Kabupaten, serta KM Nasional di provinsi dan Fasilitator Kabupaten. Selain itu, pelaksana teknis sosialisasi lapangan dapat terdiri dari unsur perangkat Kecamatan dan Desa, Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK), Fasilitator Kecamatan, Pendamping Lokal (PL), Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD), Fasilitator Desa (FD) atau Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), Tim Pengelola dan Pemelihara Prasarana (TP3), Tim Pemantau dan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Pelaksana teknis sosialisasi di lapangan ini bertugas melaksanakan kegiatan sosialisasi dan

11 menyebarkan informasi kepada masyarakat langsung di kecamatan dan desa dengan didukung oleh Tim Sosialisasi Kabupaten 6. 2.1.1.3 Fasilitasi dan Pelatihan Fasilitasi dalam PNPM Mandiri Pedesaan mengandung pengertian membantu dan menguatkan masyarakat agar dapat dan mampu mengembangkan diri untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Proses fasilitasi ini sering disebut sebagai fasilitator yang terdiri dari Fasilitator Kecamatan, Fasilitator Kabupaten dan aparat berperan sebagai fasilitator dari luar masyarakat dipahami sebagai Pendamping. Sementara itu, Pendamping Lokal, Kader Pemberdayaan Masyarakat serta seluruh pelaku PNPM Mandiri Pedesaan yang berasal dari masyarakat setempat juga berperan sebagai fasilitator yang dipahami sebagai Kader Pemberdayaan. Terdapat empat fungsi fasilitator di masyarakat, yaitu: sebagai narasumber (menyediakan segala informasi yang terkait dengan program), sebagai guru (membantu masyarakat dalam mempelajari dan memahami keterampilan atau pengetahuan baru dalam pemberdayaan masyarakat dan pelaksanaan program), dan sebagai mediator 7. 2.1.2 Representasi Sosial Representasi sosial pada awalnya dibentuk oleh kumpulan makna-makna yang dimiliki oleh tiap individu dan kemudian dimiliki secara bersama. Durkheim dalam Jaspars dan Fraser (1984) menyatakan bahwa hal tersebut pada akhirnya membentuk suatu pemahaman yang disepakati bersama. Moscovici (1973) sebagaimana yang dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) mengatakan bahwa representasi sosial dibentuk pada pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki pada suatu realitas bersama. Hal tersebut juga sesuai dengan Durkheim dalam Jaspars dan Fraser (1984) yang mengatakan bahwa representasi sosial ini bersifat kolektif, artinya bahwa representasi sosial tersebut dimiliki oleh banyak individu. Istilah representasi sosial pada dasarnya mengacu kepada hasil dan proses yang menjelaskan mengenai pikiran awam (common sense) (Jodelet, 2005 dalam 6 Ibid., hal: 1 19 (Penjelasan I). 7 Ibid., hal: 1 2 (Penjelasan II)

12 Putra et al, 2003). Sementara itu, Moscovici (1973) sebagaimana yang dikutip oleh Purkhardt (1993) mendefinisikan representasi sosial sebagai: suatu sistem nilai, ide, dan kebiasaan yang memiliki dua fungsi rangkap, pertama untuk membentuk suatu susunan yang akan memungkinkan individu untuk menyesuaikan pengalaman mereka dengan pengalaman duniawi, kedua untuk memfasilitasi komunikasi pada anggota dari suatu kelompok dengan memberikan mereka suatu kode untuk menetapkan dan mengklasifikasikan aspek-aspek penting dari dunia mereka, pribadi mereka, dan sejarah kelompok (Moscovici, 1973). Moscovici (1973) dalam Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa representasi sosial adalah suatu proses untuk memahami suatu obyek, orang dan peristiwa yang diperoleh dari ide-ide implisit, eksplisit dan simbol-simbol, kemudian mengkomunikasikannya kepada individu-individu lain yang ada dalam kelompok. Pada representasi sosial ada sebuah informasi yang disebarkan, kemudian pengetahuan ini menjadi sebuah pengetahuan sosial. Tujuan utama dari proses representasi sosial adalah mengubah informasi yang unfamiliar menjadi familiar. Sesuatu dikatakan unfamiliar ketika hal tersebut tidak sesuai dengan harapan kita dan menghasilkan sesuatu yang tidak sempurna. Hal ini mungkin terjadi saat kita masuk ke dalam kelompok atau kebudayaan baru, atau ketika kita diperkenalkan kepada objek, peristiwa, dan konsep baru. Unfamiliar ditransformasikan menjadi familiar dengan memperkenalkan hal tersebut kembali di dalam konteks hubungan atau pemaknaan yang meliputi representasi sosial kita. Hal ini bisa terjadi melalui proses interaksi sosial dan komunikasi (Purkhardt, 1993). Abric (1976) sebagaimana dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa representasi sosial terdiri dari beberapa elemen yakni informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap tentang suatu obyek. Elemen-elemen ini terorganisasi dan terstruktur kemudian membentuk suatu sistem sosial-kognitif seseorang. Representasi sosial ini membentuk suatu pengetahuan yang akan menentukan persepsi dan pikiran seseorang tentang suatu kenyataan dan akan mempengaruhi tindakan yang individu lakukan, dimana representasi sosial ini dibentuk dari suatu proses komunikasi dan interaksi yang terjadi pada antara

13 individu dan dibagikan secara kolektif. Selain itu, Gunawan (2003) menyebutkan bahwa representasi sosial akan mempengaruhi perilaku seseorang. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa representasi sosial akan membentuk pemahaman dan perilaku seseorang terhadap suatu objek. Proses pikiran umum atau representasi sosial dalam menangkap fenomena sebuah obyek terjadi melalui dua proses yang dikenal dengan nama anchoring dan objectification (Moscovici, 1984 dalam Deaux dan Philogene, 2001). Proses anchoring mengacu kepada proses pengenalan atau pengaitan (to anchor) suatu obyek tertentu dalam pikiran individu. Pada proses anchoring, informasi baru diintegrasikan kedalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki individu. Obyek diterjemahkan dalam kategori dan gambar yang lebih sederhana dalam konteks yang familiar bagi individu. Proses kedua, objectifications, mengacu kepada penerjemahan ide yang abstrak dari suatu obyek ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit atau dengan mengaitkan abstraksi tersebut dengan obyek-obyek yang konkrit. Proses ini dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma, nilai, dan kode-kode yang merupakan bagian dari proses kognitif dan juga dipengaruhi oleh efek dari komunikasi dalam pemilihan dan penataan representasi mental atas obyek tersebut. Jadi, secara umum representasi sosial adalah suatu sistem pemaknaan yang dibagikan secara bersama melalui proses komunikasi dan interaksi, dimana di dalamnya terdapat elemen informasi, keyakinan, opini, dan sikap terhadap suatu objek. Metode Pengukuran Representasi Sosial Mengukur representasi sosial terhadap suatu objek yang dibahas merupakan suatu kepentingan pada suatu penelitian mengenai representasi sosial. Pengukuran suatu representasi sosial dapat dilakukan melalui beberapa metode, diantaranya: percobaan, kuesioner, asosiasi kata, dan metode diferensiasi semantik. Wagner dan Hayes (2005) mengatakan bahwa pada percobaan, variabel yang digunakan adalah variabel terikat dan bukan variabel bebas. Percobaan pada proses representasi sosial mengungkapkan struktur, organisasi, dan komponen tindakan individu, serta tidak bersifat universal tergantung pada populasi yang digunakan. Selain itu, Wagner dan Hayes (2005) juga mengatakan bahwa pada asosiasi kata

14 representasi dilihat dari penghitungan kata-kata stimulus mengenai suatu objek yang dinyatakan oleh para subjek yang akan dinilai representasinya. Melalui teknik asosiasi kata subjek akan memberikan secara spontan jawaban atau pandangan nya dari suatu objek yang diberikan dan mereka diminta untuk menuliskan lima kata yang terlintas di benak mereka ketika mereka membaca kata mengenai objek tersebut. Selanjutnya, kata-kata yang didapatkan dari subjek diurutkan mulai dari kata-kata yang paling menggambarkan objek sampai kata-kata yang kurang menggambarkan objek yang akan diukur representasinya (Nadra, 2010). Metode diferensial semantik digunakan untuk mengetahui representasi sosial pada aspek afektif terhadap suatu objek, sehingga subjek diminta untuk menjawab atau memberikan penilaian terhadap suatu konsep atau objek tertentu yang memiliki rentangan skor 1-5 dengan cara memberi tanda (x) pada angka yang sesuai. Contoh : Tabel 1. Contoh Penggunaan Skala Perbedaan Semantik pada penelitian mengenai representasi sosial terhadap pekerjaan pertanian 5 4 3 2 1 Baik X Buruk Untung X Rugi Aman X Beresiko Sumber: Nadra, 2010 Dua kutub yang ada pada Tabel 1 di atas, diberi skor nilai antara 1-5, dimana setiap responden harus memberikan penilaian dengan menggunakan rentangan skor tersebut. Jika skor yang diberikan semakin ke kanan mendekati angka 1 maka dapat disimpulkan bahwa representasi pemuda tani terhadap pekerjaan pertanian dan lahan pertanian sangat negatif, dan sebaliknya jika skor yang diberikan semakin ke kiri atau mendekati angka 5 maka dapat disimpulkan bahwa representasi pemuda tani terhadap pekerjaan pertanian dan lahan pertanian sangat positif (Nadra, 2010).

15 2.1.3 Permasalahan dan Hambatan-Hambatan yang Terjadi dalam Pengimplementasian Program Penanggulangan Kemiskinan Pengimplementasian atau pelaksanaan suatu program, khususnya program penanggulangan kemiskinan, tidak selalu berjalan mulus dan sesuai dengan yang diharapkan. Berbagai permasalahan timbul dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan tersebut, baik permasalahan yang berasal dari luar (pihak pengelola program) maupun permasalahan yang berasal dari dalam (masyarakat penerima program). Annisa (2008) menyatakan bahwa pada pelaksanaan program pengentasan kemiskinan masih terdapat masalah ketidakmerataan dan ketidaktepatan sasaran pada masyarakat penerima program. Ketidakmerataan dan ketidaktepatan sasaran yang dimaksudkan di sini lebih kepada di satu sisi masih terdapatnya masyarakat yang tidak terkena program walaupun sebenarnya mereka membutuhkan, dan di sisi lain adanya pihak-pihak yang sebenarnya tidak pantas untuk mendapatkan bantuan pada program tersebut, malah mendapatkan bantuan karena mereka memiliki akses dan kontrol dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Selain itu, Jayanti (2007) dan Riswanto (2009) mengatakan bahwa pelaksanaan pembagian pinjaman bergulir yang mensyaratkan kepemilikan usaha ekonomi pada penerima bantuan mengakibatkan masyarakat miskin yang tidak memiliki usaha ekonomi tidak dapat diikutsertakan dalam program. Akibatnya, terjadi peminggiran pada masyarakat miskin yang seharusnya menerima bantuan tersebut. Annisa (2008) juga menjelaskan bahwa pembagian pinjaman bergulir masih kental dengan unsur nepotisme. Kedekatan dengan pihak yang berwenang atas program yang dilaksanakan akan semakin memudahkan dalam memperoleh bantuan pinjaman. Akibat dari hal tersebut adalah terjadinya ketidakadilan dalam mendapatkan bantuan pinjaman. Kejadian yang biasa terjadi pada pelaksanaan pembagian pinjaman bergulir adalah dana yang seharusnya digunakan untuk penambahan modal suatu usaha ekonomi digunakan untuk keperluan mendesak seperti berobat ataupun untuk memenuhi keperluan rumah tangga lainnya, sehingga dana yang seharusnya digunakan sebagai modal usaha produktif tersebut tidak ada lagi. Hal ini berarti dana pinjaman yang diberikan tidak digulirkan sebagaimana mestinya. Akibatnya masyarakat tidak dapat membayar pinjaman pada saat jatuh tempo

16 pengembaliannya. Masalah ini menyebabkan timbulnya kredit yang macet. Kredit yang macet tersebut akan mengakibatkan tidak adanya perguliran dana pada bantuan pinjaman kredit tersebut, sehingga bantuan pinjaman kredit tersebut tidak dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dan hanya dapat dilakukan satu tahap perguliran dana bantuan saja. Goma (2004) menyatakan bahwa ketidakefektifan program dalam menjamin terciptanya usaha produktif yang berkelanjutan secara tidak langsung juga disebabkan oleh berkembangnya persepsi negatif di kalangan masyarakat karena kegagalan program-program sejenis di masa lalu serta tidak adanya sanksi yang tegas terhadap penunggakan yang dilakukan masyarakat. Selain itu, kegiatan usaha yang kurang berhasil tersebut disebabkan oleh rendahnya kemampuan manajerial pengelolaan usaha, pemberian pinjaman yang tidak sesuai dengan ketentuan atau skala usaha, intensitas pembinaan dan pendampingan yang sangat kurang dan tidak berkelanjutan, dana yang dipinjamkan tidak sepenuhnya digunakan untuk kegiatan usaha, serta beragamnya mekanisme perguliran antara instansi-instansi pemilik program. Pihak pelaksana program cenderung lebih mementingkan program tersebut terlaksana dan kurang mementingkan hasil dari program kemiskinan yang dilaksanakan. Hal ini terbukti dari kurang pentingnya memperhatikan sasaran yang berhak menerima pinjaman bagi pihak pelaksana program. Akibatnya, partisipasi masyarakat menjadi semu, dimana mereka hanya bersemangat mengikuti program pada tahap awal saja, dan selanjutnya mulai terjadi penunggakan dalam pengembalian pinjaman. Kasus ini mengindikasikan bahwa partisipasi masyarakat bersifat semu dan tidak melembaga dalam diri masyarakat. 2.1.4 Partisipasi Masyarakat terhadap Program Penanggulangan Kemiskinan Partisipasi adalah keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil, dan evaluasi (Cohen dan Uphoff, 1977 dalam Febriana, 2008). Selain itu, menurut Adjid (1985) partisipasi diartikan sebagai kemampuan dari masyarakat untuk bertindak dalam keberhasilan (keterpaduan) yang teratur untuk menanggapi kondisi lingkungan sehingga masyarakat tersebut bertindak sesuai dengan logika dari yang dikandung

17 oleh kondisi lingkungan tersebut. Permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pengimplementasian program pengentasan kemiskinan, secara tidak langsung dipengaruhi oleh tingkat partisipasi masyarakat sasaran program. Tidak berpartipasinya masyarakat akan membuat program yang dilaksanakan tersebut tidak dapat berjalan sebagai mana mestinya. Umumnya partisipasi masyarakat bersifat semu. Artinya, masyarakat bersemangat dan mengembalikan pinjaman dengan lancar hanya pada tahap awal saja. Setelah itu, mulai terjadi kemacetan pembayaran pinjaman dan penunggakan pembayaran oleh masyarakat (Jayanti, 2007). Tingkat partisipasi masyarakat berhubungan positif dengan persepsi yang mereka miliki terhadap program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan. Persepsi yang positif pada masyarakat akan menghasilkan tingkat partisipasi yang tinggi pada pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Sebaliknya, persepsi negatif dari masyarakat terhadap suatu program, akan menghasilkan tingkat partisipasi yang rendah pada pelaksanaan program. Hal tersebut memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi berhubungan positif dengan persepsi yang dimiliki oleh masyarakat (Danudiredja, 1998). 2.2 Kerangka Pemikiran Saat ini telah banyak program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan, tetapi yang dibahas lebih lanjut adalah program Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) PNPM yang ditujukan kepada masyarakat miskin pedesaan, khususnya kelompok produktif perempuan, sebagai modal untuk mengembangkan kegiatan usaha ekonomi produktif yang mereka miliki. Dana pinjaman SPP PNPM diberikan secara berkelompok kepada peserta program. Permasalahan yang biasa terjadi pada pelaksanaan Program SPP PNPM yaitu banyak diantara peserta program yang melakukan penunggakan dan penyelewengan dalam pemanfaatan dana SPP PNPM yang diberikan oleh pemerintah. Perilaku peserta program dipengaruhi oleh cara mereka memahami maksud atau tujuan program, sikap, persepsi, pendapat, serta keyakinan mereka tentang Program SPP PNPM yang dilaksanakan. Aspek-aspek tersebut terangkum dalam suatu representasi sosial peserta terhadap Program SPP PNPM. Penjelasan mengenai kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:

18 Pelaksanaan Program SPP PNPM yang diikuti peserta secara berkelompok. Tingkat Keterlibatan dalam Program SPP PNPM Tingkat Partisipasi: 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Pemanfaatan Intensitas Komunikasi : 1. Frekuensi Komunikasi 2. Isi Komunikasi 4. Evaluasi Representasi Sosial Program SPP PNPM 1. Informasi 2. Keyakinan 3. Opini 4. Sikap Perilaku Peserta Program SPP PNPM Pemanfaatan Dana Jumlah Dana yang Dikembalikan. Waktu Pengembalian Dana Gambar 2. Kerangka Pemikiran Representasi Sosial Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Gunung Menyan Keterangan : = Hubungan mempengaruhi = Aspek Kajian

19 Berdasarkan Gambar 2 di atas, terlihat bahwa representasi sosial terhadap program Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) PNPM berhubungan dengan tingkat keterlibatan peserta yang terdiri dari: (1) tingkat partisipasi dalam Program SPP PNPM. Diduga tingkat partisipasi peserta dalam program akan berhubungan dengan pembentukan representasi sosial terhadap program; dan (2) intensitas komunikasi. Diduga intensitas komunikasi peserta program akan berhubungan dengan representasi sosial yang mereka miliki tentang program. Representasi Sosial Program SPP PNPM Mandiri terdiri dari elemenelemen informasi, keyakinan, pendapat (opini), dan sikap. Representasi sosial Program SPP diduga berhubungan dengan perilaku peserta dalam mengikuti program. Aspek perilaku tersebut terdiri dari pemanfaatan dana, jumlah dana yang dikembalikan, dan waktu pengembalian dana. Representasi sosial Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan yang baik (sesuai dengan maksud dan tujuan program) akan menghasilkan perilaku yang diharapkan, yaitu pemanfaatan dana yang tepat serta pengembalian dana dengan jumlah dan waktu yang tepat. Sebaliknya, representasi sosial terhadap program yang tidak sesuai dengan harapan program akan menghasilkan penunggakan atau penyelewengan terhadap dana SPP PNPM yang diberikan. Hipotesa Penelitian 1. Diduga bahwa tingkat keterlibatan peserta dalam Program SPP, yang terdiri dari tingkat partisipasi dan intensitas komunikasi, berhubungan dengan bentukbentuk representasi sosial Program SPP PNPM yang dilaksanakan. 2. Diduga representasi sosial peserta program terhadap Program SPP PNPM berhubungan dengan perilaku peserta dalam mengikuti Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan. Definisi Operasional 1. Representasi sosial terhadap Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan adalah sejumlah opini, penilaian, dan pemahaman kelompok terhadap Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan yang dilaksanakan. Dalam representasi sosial ini terdapat empat elemen yang terdiri dari informasi, sikap, keyakinan, dan pendapat. Elemen-elemen tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

20 A. Informasi adalah segala pengetahuan yang didapatkan anggota kelompok peserta program mengenai Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan yang dilaksanakan. Informasi tersebut terdiri dari informasi mengenai prosedur pelaksanaan program, informasi mengenai syarat-syarat untuk menjadi peserta yang mengikuti program, informasi mengenai penggunaan dan pengembalian dana, serta informasi mengenai sanksi yang akan diberikan pada segala bentuk pelanggaran yang dilakukan. Kategori tingkat pengetahuan anggota mengenai Program SPP PNPM adalah: a. Rendah (jika total skor pada pertanyaan aspek pengetahuan dan informasi berada pada angka 0-40). b. Sedang (jika total skor pada pertanyaan aspek pengetahuan dan informasi berada pada angka 50-70). c. Tinggi (jika total skor pada pertanyaan aspek pengetahuan dan informasi berada pada angka 80-100). B. Sikap adalah perasaan suka atau tidak suka dari anggota kelompok peserta program terhadap program yang dilaksanakan serta tindakan-tindakan yang mereka lakukan dalam pelaksanaan program tersebut. Kategori sikap peserta program mengenai Program SPP PNPM adalah: a. Rendah (jika total skor pada pertanyaan aspek sikap berada pada angka 8-15). b. Sedang (jika total skor pada pertanyaan aspek sikap berada pada angka 16-23). c. Tinggi (jika total skor pada pertanyaan aspek sikap berada pada angka 24-32). C. Keyakinan adalah suatu kepercayaan tertentu yang dimiliki oleh anggota kelompok peserta program mengenai Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan yang dilaksanakan. Hal tersebut juga termasuk pada keyakinan peserta terhadap dana SPP PNPM yang diberikan, baik sebagai pinjaman yang harus dikembalikan atau hanya sebagai hibah dari pemerintah kepada mereka. Pendapat adalah suatu hasil dari pemikiran peserta mengenai program yang dilaksanakan, yang berdasarkan pada informasi-informasi yang mereka dapatkan.

21 Untuk mengetahui informasi, keyakinan, dan pendapat tersebut dilakukan suatu wawancara mendalam sekaligus dengan menggunakan kuesioner terhadap individu yang menjadi anggota kelompok peserta Program SPP PNPM. Sementara sikap peserta terhadap program diukur dengan menggunakan teknik asosiasi kata dan metode diferensial semantik. Teknik asosiasi kata dilakukan dengan cara mengelompokkan kata-kata yang diucapkan responden mengenai Program SPP PNPM ke dalam beberapa kategori tertentu. 2. Tingkat keterlibatan anggota kelompok peserta program pada Program SPP PNPM terdiri dari dua aspek yaitu: tingkat partisipasi terhadap program dan intensitas komunikasi peserta program. Penjelasan mengenai aspek-aspek tingkat keterlibatan peserta di dalam Program SPP PNPM adalah sebagai berikut: A. Tingkat partisipasi terhadap program adalah tingkat keikutsertaan peserta program di dalam Program SPP PNPM, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan evaluasi. Partisipasi pada tahap perencanaan bisa berupa keterlibatan dalam merancang dan mengambil keputusan yang terkait dengan pelaksanaan program. Partisipasi pada tahap pelaksanaan dilihat dari waktu keterlibatan peserta di dalam program, jumlah pinjaman yang didapatkan, serta pembayaran secara tepat waktu dan jumlah yang sesuai dengan ketetapan. Partisipasi pada tahap pemanfaatan dilihat dari pemanfaatan uang pinjaman SPP PNPM oleh peserta program. Sedangkan partisipasi pada tahap evaluasi berupa keterlibatan dalam melakukan penilaian tentang pencapaian tujuan program yang serta keikutsertaan peserta program dalam mengawasi pelaksanaan Program SPP PNPM. Tingkat partisipasi peserta terhadap program dapat dikelompokkan menjadi: a. Rendah (jika total skor pada pertanyaan aspek partisipasi berada pada angka 14-25). b. Sedang (jika total skor pada pertanyaan aspek partisipasi berada pada angka 26-37).

22 c. Tinggi (jika total skor pada pertanyaan aspek partisipasi berada pada angka 38-48). B. Intensitas komunikasi peserta program, yaitu baik komunikasi dengan sesama peserta program (di dalam ataupun di luas kelompok) maupun dengan petugas pelaksana program. Intensitas komunikasi dengan petugas pelaksana program adalah banyaknya jumlah komunikasi yang terjadi antara kelompok dengan petugas pelaksana program, terutama mengenai program. Sementara itu, intensitas komunikasi dengan sesama peserta program adalah banyaknya jumlah komunikasi yang terjadi, baik antara sesama anggota satu kelompok maupun dengan kelompok lain, terutama yang berkaitan dengan program. Isi komunikasi yang dilakukan oleh peserta program juga menjadi pertimbangan pada aspek ini. Intensitas komunikasi peserta program dapat dikategorikan sebagai: a. Rendah (jika total skor pada pertanyaan aspek komunikasi berada pada angka 4-6). b. Sedang (jika total skor pada pertanyaan aspek komunikasi berada pada angka 7-9). c. Tinggi (jika total skor pada pertanyaan aspek komunikasi berada pada angka 10-12). 3. Perilaku anggota kelompok peserta program dalam mengembalikan dana SPP PNPM Mandiri Pedesaan dilihat dari pemanfaatan dana, jumlah dana yang dikembalikan, dan waktu dalam mengembalikan dana SPP PNPM. Maksud dari kepatuhan tersebut adalah adanya kesadaran dan keinginan pada diri peserta program untuk mengembalikan dana SPP PNPM tersebut sesuai dengan prosedur yang telah disepakati. Kepatuhan peserta program dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Patuh (apabila peserta program menggunakan uang pinjaman untuk memodali usaha mereka dan mengembalikan pinjaman dengan waktu dan jumlah yang sesuai dengan ketetapan). b. Sedang (apabila peserta program menggunakan sebagian uang pinjaman tersebut bukan untuk modal usahanya sendiri, tetapi

23 membayar pinjaman dengan waktu dan jumlah yang sesuai dengan ketetapan). c. Tidak patuh (apabila peserta program menggunakan uang pinjaman tersebut bukan untuk modal usaha dan membayar pinjaman dengan waktu dan jumlah yang tidak sesuai dengan ketetapan).