TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Penanaman Padi Gogo Secara umum presentasi pengembangan tanaman padi di Indonesia adalah padi sawah 63 %, padi gogo 14 %, padi rawa 3 % dan padi tadah hujan 20 % (Prasetyo 2003). Padi gogo sendiri umumnya ditanam sekali setahun pada awal musim hujan. Setelah panen, dilanjutkan dengan penanaman palawija atau kacang-kacangan. Saat ini budidaya padi gogo tengah mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan beberapa waktu sebelumnya. Hal ini erat kaitannya dengan program pemberdayaan lahan kering. Sehubungan dengan program tersebut di atas, pemerintah telah melepas beberapa varietas padi gogo unggul seperti Limboto dan Situ Patenggang. Varietas ini diketahui memiliki kelebihan yaitu tahan blas, berumur genjah, toleran terhadap naungan dan kekeringan serta memiliki potensi hasil tinggi. Kelebihan tersebut memungkinkan pengembangan padi gogo dapat dioptimalkan pada lahan kering terbuka maupun ternaungi. Prasetyo (2003) menyatakan bahwa upaya optimalisasi pemanfaatan lahan kering untuk pengembangan padi gogo memiliki beberapa nilai positif, di antaranya : 1. Secara nasional ikut andil dalam mempertahankan swasembada beras maupun dalam upaya pencapaian swasembada berkelanjutan. 2. Petani akan mendapatkan tambahan pendapatan. 3. Padi gogo yang dibudidayakan sebagai tanaman sela pada areal pertanaman komoditi perkebunan, akan memberikan tambahan pendapatan bagi perusahaan. 4. Konservasi tanah setempat akan terjaga karena dapat mencegah erosi serta memperbaiki kondisi fisik maupun kimia tanah. Pertanian Organik Konsep pertanian organik muncul sebagai terobosan dalam upaya melakukan perbaikan terhadap fenomena kerusakan tanah dan lingkungan yang terjadi dimana-mana. Beberapa pemikiran bahkan menganggap pertanian organik merupakan suatu sistem terpadu yang mengarah pada pertanian berkelanjutan
(Rigby & Caceres 2001). Daya dukung lingkungan terhadap agroekosistem dalam jangka waktu panjang (long term sustainable agriculture) menjadi perhatian utama dalam sistem pertanian organik. Perlu diakui bahwa kehadiran revolusi hijau sangat berjasa bagi kehidupan manusia, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan. Hadirnya revolusi hijau ini ditandai dengan adanya aktivitas pemuliaan tanaman, pemupukan serta pemberantasan hama secara intensif. Kemajuan bioteknologi memberi kesempatan bagi para pemulia tanaman dalam menciptakan berbagai tanaman hibrida. Pada bidang pemupukan, muncul berbagai pupuk kimia buatan yang dapat memenuhi kebutuhan hara bagi tanaman secara lengkap dan cepat. Selanjutnya dalam hal pemberantasan hama dan penyakit tanaman, ditemukan pestisida yang sangat efektif memberantas hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Hanya saja, program yang baik ini nyatanya diikuti pula oleh bencana yang merugikan lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Terdapat beberapa kelemahan sebagai dampak pelaksanaan revolusi hijau. Kemajuan teknologi pemuliaan tanaman memberikan ancaman terhadap keanekaragaman hayati. Penanaman varietas hibrida secara besar-besaran, menyebabkan banyak jenis tanaman lokal yang tersingkirkan, kurang diperhatikan, bahkan punah. Pupuk kimia semakin gencar diaplikasikan karena memiliki kemampuan ajaib untuk memacu pertumbuhan tanaman. Akhirnya, diketahui juga bahwa pupuk kimia dapat menyebabkan kerusakan pada tanah. Struktur tanah yang secara alami remah dapat berubah menjadi liat dan keras secara simultan. Pemberantasan hama dan penyakit tanaman menggunakan pestisida memang sangat efektif. Penggunaan pestisida secara terus-menerus justru hanya akan menimbulkan resistensi pada hama sasaran sehingga akan semakin sulit dibasmi. Penemuan DDT (dichloro diphenil trichloroptane) justru menimbulkan dampak negatif yang lebih besar bagi manusia. Tanah yang tercemar residu pestisida dapat mematikan jasad renik dalam tanah yang berguna bagi kesuburan tanah. Bahan aktif yang terkandung dalam pestisida juga dapat meracuni manusia setelah terjadi kontak, terhirup saat pengaplikasiannya. Berbagai penyakit kanker
pada manusia diketahui disebabkan karena adanya akumulasi residu bahan organik dalam tubuh (Andoko 2002). Kesadaran akan pentingnya sistem pertanian organik yang ramah lingkungan dipicu oleh semakin memburuknya keadaan lingkungan dan penurunan daya dukung lahan terhadap produksi pertanian. Penggunaan bahan kimia yang tinggi dalam proses produksi pertanian menjadi salah satu penyebab terjadinya kerusakan lingkungan dan degradasi lahan. Pertanian organik dengan mengandalkan penggunaan pupuk organik sebenarnya merupakan sistem budidaya yang lebih dulu dikenal petani. Menurut Rachman et al. (2008), sebelum tahun 1950an penggunaan pupuk organik pada areal pertanaman sangat tinggi. Setelah tahun 1960an, penggunaan pupuk anorganik justru lebih mendominasi, bahkan peran pupuk organik seakan terabaikan. Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya produksi pupuk anorganik dan semakin berkembangnya varietas unggul yang lebih responsif terhadap pupuk anorganik. Banyak hasil penelitian telah menunjukkan bahwa aplikasi pupuk NPK saja tidak dapat mempertahankan produktivitas pada sistem pertanaman intensif secara berkepanjangan (Yaduvanshi 2003; Jiang et al. 2008). Penambahan pupuk organik dapat meningkatkan sifat fisik tanah (Li & Zhang 2007; Mandal et al. 2003), kesuburan tanah dan produksi tanaman (Yang et al. 2008; Mandal et al. 2003; Li & Zhang 2007; Manna et al 2007). Menurut Sugiyanta (2007), teknologi produksi tanaman padi sejak tahun 2000 dirancang dengan prinsip penghematan dalam sarana produksi, ramah lingkungan tetapi tetap memperhatikan peningkatan produksinya. Kesemuanya ini dilakukan dalam rangka mencari solusi yang tepat untuk menanggulangi akibat buruk yang timbul sejak dilakukannya revolusi hijau. Suriadikarta dan Simanungkalit (2008) menyatakan bahwa tumbuhnya kesadaran tentang dampak negatif penggunaan pupuk buatan dan sarana pertanian modern lainnya terhadap lingkungan, menyebabkan sebagian kecil petani mulai beralih dari sistem pertanian konvensional ke sistem pertanian organik. Di Indonesia, pertanian organik semakin mencuat seiring dengan terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 yang mengakibatkan kenaikan harga yang sangat
signifikan untuk beberapa harga sarana produksi. Harga-harga sarana produksi melampaui ambang ekonomis bagi suatu kegiatan produksi pertanian. Akibatnya, petani tidak lagi menggunakan pupuk kimia yang mahal melainkan hanya menggunakan pupuk kandang atau kompos. Penanganan serangan hama dilakukan menggunakan berbagai ramuan alam yang diyakini dapat mengusir bahkan mematikan hama tersebut (Andoko 2002). Pupuk Organik Pemberian bahan organik merupakan salah satu cara dalam upaya meningkatkan kualitas tanah. Beberapa manfaat pemberian bahan organik adalah meningkatkan kandungan humus tanah, mengurangi pencemaran lingkungan, mengurangi pengurasan tanah yang terangkut dalam bentuk panenan dan erosi, memperbaiki sifat-sifat tanah serta memperbaiki kesehatan tanah (Swift & Sanchez 1984). Peranan bahan organik dengan hasil akhir dekomposisi berupa humus dapat meningkatkan kesuburan fisik tanah, kesuburan kimiawi serta kesuburan biologis tanah. Peranan bahan organik dalam meningkatkan kesuburan fisik tanah adalah dengan mengurangi plastisitas dan kelekatan serta memperbaiki aerasi tanah. Humus juga menyebabkan warna tanah menjadi lebih gelap sehingga penyerapan panas meningkat (Syukur 2005). Fungsi bahan organik dalam meningkatkan kesuburan kimiawi adalah pengikatan atau penyerapan ion lebih besar, meningkatkan kapasitas tukar kation. Misel mengandung muatan negatif dari gugus COOH dan OH yang memungkinkan pertukaran kation meningkat. Secara kimiawi, bahan organik dapat juga mengurangi kehilangan unsur hara akibat pelindian. Bahan organik mampu mengikat ion dan immobilisasi N, P dan S (Schnitzer 1991). Pengaruh bahan organik bagi kesuburan biologis tanah adalah untuk membentuk jaringan tubuh mikroorganisme dan sumber energi bagi mikroorganisme tanah. Bahan organik dalam tanah dapat meningkatkan populasi mikroorganisme tanah dan akan berdampak pada peningkatan unsur hara (Widiana 1994).
Kandungan bahan organik merupakan kunci utama bagi kesuburan kesehatan tanah (Rachman et al. 2008). Kadar bahan organik yang optimum untuk pertumbuhan tanaman adalah sekitar 3-5 %, sedangkan pada banyak lahan pertanian di Indonesia (lahan kering maupun sawah) memiliki kadar bahan organik <1% (Adiningsih 2005). Penambahan bahan organik ke dalam lahan pertanian akan memberikan nilai yang besar pada peningkatan kesuburan tanah. Pemanfaatan limbah pertanian adalah prinsip utama dari sistem pertanian organik yang didasarkan pada tiga pilar praktis yaitu (1) pemeliharaan dan peningkatan kesuburan tanah dengan menggunakan pupuk organik, (2) penghilangan pupuk dan pestisida kimia sintetis, (3) penggunaan energi yang lebih rendah (Flierbach et al. 2007). Produksi tanaman yang tinggi dan berkelanjutan akan berhubungan dengan tanah yang memiliki sifat fisik, sifat kimia, dan biologi yang baik, yang merupakan fungsi utama dari bahan organik (Zeng et al. 1999; Jiang et al. 2008). Pupuk Kandang Pupuk kandang memiliki sifat alami tidak merusak tanah, menyediakan unsur hara makro (N, P, K, Ca dan S) serta unsur mikro (Santoso et al. 2004 ; Musnawar 2005). Selain itu, pupuk kandang juga berfungsi untuk meningkatkan daya pegang air tanah, meningkatkan aktivitas mikrobiologi, meningkatkan nilai kapasitas tukar kation serta memperbaiki struktur tanah (Santoso et al. 2004). Unsur P kebanyakan dijumpai pada kotoran padat, sedangkan unsur N dan K dijumpai pada kotoran cairnya (Musnawar 2005). Kotoran unggas (ayam) termasuk salah satu sumber pupuk kandang yang umum digunakan petani (Lingga 1991). Dibandingkan bahan organik lain, pupuk kandang kotoran ayam memiliki kandungan unsur hara yang cukup tinggi yaitu 2.6 % N, 2.9 % P, dan 3.4 % K (Santoso et al. 2004). Budidaya tanaman kedelai secara organik menggunakan pupuk kandang kotoran ayam terbukti menghasilkan produksi tertinggi dibandingkan penggunaan pupuk hijau, budidaya konvensional maupun budidaya organik tanpa pupuk (Kurniasih 2006).
Pupuk Hijau Pupuk hijau merupakan jenis pupuk organik tertua dalam sistem budidaya pertanian. Pupuk hijau merupakan pupuk yang berasal dari tanaman atau bagian tanaman yang didekomposisikan dengan cara dibenamkan dalam tanah atau dibiarkan membusuk sebelum digunakan (FFTC 1995). Tanaman legum banyak digunakan sebagai bahan pupuk hijau karena memiliki kandungan unsur hara (terutaman nitrogen) serta kemampuan dekomposisinya jauh lebih baik dibandingkan jenis tanaman lain. Tanaman jenis non-legum seperti sisa tanaman jagung, ubi-ubian, jerami padi dan lain-lain dapat juga digunakan sebagai pupuk hijau. Walaupun memiliki kandungan nitrogen yang rendah, tanaman non-legum di atas memiliki kandungan unsur kalium relatif tinggi. Palm et al. (2001) secara tegas membagi tanaman sumber pupuk hijau ke dalam dua kategori berdasarkan kandungan bahan. Tanaman dikategorikan kualitas tinggi bila mengandung nitrogen sedikitnya 2.5 % ; lignin <15% ; dan polifenol <4%. Sumber pupuk hijau yang tergolong kualitas rendah adalah bahan dengan kandungan nitrogen <2,5% dengan kandungan lignin dan polifenol yang tinggi. Tingginya kandungan lignin dan polifenol dapat menyebabkan terjadinya imobilisasi nitrogen sebelum dekomposisi. Sumber pupuk hijau yang relatif mudah ditemukan adalah adalah tanaman pagar kebun dan penutup tanah. Keberadaannya yang kurang dimanfaatkan menyebabkan tanaman ini tumbuh liar dan subur. Jiang et al. (2008) menyatakan bahwa residu tanaman adalah sumber karbon organik untuk mikroorganisme tanah dan juga berkontribusi terhadap nutrisi tanaman (Jiang et al 2008). Tithonia diversifolia mampu mengambil sejumlah besar P dari dalam tanah dan menyimpannya dalam biomass pohonnya. Pemberian hijauan T. diversifolia sebagai pupuk juga dapat meningkatkan kandungan P dalam tanah (Pypers et al. 2005). Cong (2000) menyatakan bahwa Tithonia diversifolia merupakan tanaman semak yang memiliki biomass dan kandungan hara tinggi. Nisbah C/N tanaman ini cukup rendah (8 8,5) sehingga lebih cepat terdekomposisi. Tanaman ini juga memiliki fraksi terlarut bahan organik yang tinggi dengan kandungan lignin yang
rendah (6.5%). Menurut Jama et al. (2000), daun Tithonia diversifolia mengandung unsur hara yang cukup tinggi yaitu 3.5 % N ; 0.37 % P serta 4.1 % K dari bobot kering daun. Biomass tithonia juga diketahui cepat terurai (terdekomposisi) setelah diaplikasikan ke dalam tanah sehingga sangat efektif sebagai sumber NPK bagi tanaman yang dibudidayakan. Residu Pupuk Organik Salah satu kelebihan penggunaan pupuk organik adalah dalam hal residu yang ditinggalkan pupuk tersebut. Residu pupuk organik merupakan sisa pelapukan bahan organik yang belum dimanfaatkan oleh tanaman, sehingga masih dapat dimanfaatkan pada musim penanaman berikutnya. Residu pupuk organik diketahui tidak berbahaya bagi tanaman dan lingkungan. Pupuk organik melakukan pelepasan unsur hara ke dalam tanah, dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi bahannya. Hal ini menyebabkan terjadinya pelepasan hara secara perlahan. Pada saat tanaman dipanen, kemungkinan masih terdapat residu pupuk organik yang juga mengandung unsur hara penting bagi pertumbuhan tanaman. Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bukti kontribusi residu pupuk organik pada peningkatan pertumbuhan dan hasil tanaman. Kariada & Aribawa (2006) menyatakan bahwa kadar residu pupuk organik yang semakin tinggi dapat memberikan hasil padi yang semakin meningkat pula. Semakin banyak pupuk organik yang diberikan atau semakin tinggi dosis pupuk organik berarti semakin banyak kadar hara yang akan dihasilkan dari hasil mineralisasi pupuk organik yang dapat diserap oleh tanaman padi untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil padi. Melati & Widiyanti (2009) menyatakan bahwa residu pupuk kandang sapi diketahui berpengaruh nyata pada bobot kering bintil akar, bobot basah polong hampa/petak serta bobot basah 100 biji kedelai. Interaksinya dengan residu pupuk guano berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah daun, kemampuan dalam menekan serangan hama dan penyakit serta berpotensi meningkatkan bobot kering bintil akar dan bobot basah 100 biji kedelai.
Ramadhani (2011) menyatakan bahwa tanaman kedelai memberikan respon yang berbeda akibat pemberian pupuk organik dalam dua musim tanam pada sistem budidaya jenuh air. Respon tanaman yang baik masih ditunjukkan pada musim tanam ke-dua sebagai akibat masih adanya pengaruh residu pupuk organik musim pertama. Hal ini menegaskan bahwa dengan adanya residu pupuk organik yang terkandung di dalam tanah, maka penambahan pupuk organik pada musim tanam kedua cukup diberikan sebanyak 50 % dari dosis pupuk organik yang diberikan pada musim pertama. Lao et al. (2003) menyatakan bahwa aplikasi jerami dan pupuk kimia pada tanah flouvo-aguic dapat meningkatkan kesuburan tanah selama 15 tahun. Xu et al. (2006) menambahkan bahwa penggunaan jerami tidak hanya mampu meningkatkan hasil panen, tetapi juga mampu meningkatkan properti fisik dan kimia tanah. Keberhasilan sistem budidaya yang diintegrasikan dengan pemberian sisa tanaman menunjukkan pengaruh residu bahan organik terhadap peningkatan nutrisi tanah. Selain itu, pemupukan yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan perlu diperhatikan agar produksi pertanian menjadi lebih baik.