global. Kessler, et al. (2007) misalnya, menemukan sebanyak >75% responden di 5 negara (Columbia, Perancis, Selandia Baru, Ukraina, dan

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN.. Upaya Kesehatan Jiwa di Puskesmas: Mengapa Perlu? Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. yaitu gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa) (Yosep, hubungan interpersonal serta gangguan fungsi dan peran sosial.

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. mental dalam beberapa hal disebut perilaku abnormal (abnormal behavior). Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Filariasis merupakan penyakit zoonosis menular yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. signifikan dengan perubahan sosial yang cepat dan stres negatif yang

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan dari orang ke orang. Mereka memiliki durasi panjang dan umumnya

BAB I PENDAHULUAN. dalam pendidikan, pekerjaan dan pergaulan (Keliat, 2006). Menurut

BAB I 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA SUPPORT SYSTEM KELUARGA DENGAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian.

BAB I PENDAHULUAN. perasaan dan tingkah laku seseorang sehingga menimbulkan penderitaan dan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan nasional. Meskipun masih belum menjadi program prioritas utama

BAB I PENDAHULUAN. perannya dalam masyarakat dan berperilaku sesuai dengan norma dan aturan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetuju

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

MENGIMPLEMENTASIKAN UPAYA KESEHATAN JIWA YANG TERINTEGRASI, KOMPREHENSIF,

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. perpecahan antara pemikiran, emosi dan perilaku. Stuart, (2013) mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dengan calon istrinya yang bernama Wida secara

BAB 1 PENDAHULUAN. penurunan angka fertilitas. Perubahan struktur demografi ini. menyebabkan peningkatan populasi lanjut usia (lansia).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. akan mengalami kekambuhan. WHO (2001) menyatakan, paling tidak ada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penderita gangguan jiwa di dunia pada tahun 2001 adalah 450 juta jiwa, menurut

BAB I PENDAHULUAN. Tesis ini mengkaji tentang perilaku keluarga dalam penanganan penderita

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. pertolongan medis dengan harapan dapat menghilangkan keluhan-keluhan

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi segala kebutuhan dirinya dan kehidupan keluarga. yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan

BAB I PENDAHULUAN. penyakit tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. 1

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian urutan ke-3 di negara-negara maju setelah

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PERAN PEKERJA SOSIAL DALAM UPAYA PELAYANAN KESEHATAN JIWA PARIPURNA

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan masyarakat menyebabkan meningkatnya Umur Harapan Hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai masalah di masyarakat. Angka kematian HIV/AIDS di

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2005). Kesehatan terdiri dari kesehatan jasmani (fisik) dan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 yang mulai dicanangkan pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive),

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan dimana seseorang yang terbebas dari gangguan

BAB I PENDAHULUAN. sosialisasi, transisi agama, transisi hubungan keluarga dan transisi moralitas.

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan bangsa yang signifikan tidak terlepas dari Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah Indonesia dalam pembangunan nasional, telah. mewujudkan hasil yang positif di berbagai bidang berupa kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan proses perubahan biologis secara terus- menerus, dan terjadi. suatu kemunduran atau penurunan (Suardiman, 2011)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KARAKTERISTIK DAN VARIASI DIAGNOSIS KUNJUNGAN PASIEN DI POLIKLINIK JIWA RSUP SANGLAH

: Evi Karota Bukit, SKp, MNS NIP : : Kep. Jiwa & Kep. Komunitas. : Asuhan Keperawatan Jiwa - Komunitas

BAB I adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (WHO, 1988). bergantung sepenuhnya kepada orang lain (WHO, 2002).

Gangguan Mental Emosional pada Masyarakat di Rancabuaya Shelly Iskandar 1, Arifah Nur Istiqomah 1. Abstrak

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah kesehatan jiwa tidak lagi hanya berupa gangguan jiwa yang berat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. tahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan. mendatang diperkirakan sekitar 29% warga dunia menderita

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pengalaman positif maupun negatif tidak dapat dilepaskan dalam. kehidupan seseorang. Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Bp. J DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SENA RUMAH SAKIT JIWA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk kesejahteraan dan kesembuhan orang lain. Maka haruslah tergerak motifmotif

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang masih

BAB I PENDAHULUAN. jiwa adalah salah satu komponen penting dalam menetapkan status kesehatan. menghambat pembangunan (Hawari, 2012)

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih mudah dengan berbagai macam kepentingan. Kecepatan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling banyak ditemui

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. serta perhatian dari seluruh masyarakat. Beban penyakit atau burden of disease

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

Survey inkontinensia urin yang dilakukan oleh Departemen Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSU Dr. Soetomo tahun 2008 terhadap 793 pen

BAB 1 PENDAHULUAN. Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa dapat dilakukan perorangan, lingkungan keluarga, lingkungan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Data WHO (World Health Organization) menunjukkan bahwa 78%

BAB I PENDAHULUAN. Kasus gangguan jiwa berat mendapatkan perhatian besar di berbagai negara. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dalam segi kehidupan manusia. Setiap perubahan situasi kehidupan individu

2016 GAMBARAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG MANAJEMEN PELAYANAN HOSPITAL HOMECARE DI RSUD AL-IHSAN PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) di dalam satu atau lebih. fungsi yang penting dari manusia (Komarudin, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. lanjut usia (aging structured population) karena jumlah penduduk berusia 60

BAB I PENDAHULUAN. Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI Kesenjangan. tenaga non-medis seperti dukun maupun kyai, (Kurniawan, 2015).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Menuju Jawa Barat Bebas Pasung: Komitmen Bersama 5 Kabupaten Kota

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makanan, berkurangnya aktivitas fisik dan meningkatnya pencemaran / polusi

BAB I PENDAHULUAN. 1 Totok S. Wiryasaputra, Pendampingan Pastoral Orang Sakit, Seri Pastoral 245, Pusat Pastoral Yogyakarta,

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu

BAB I PENDAHULUAN. tidak menular atau NCD (Non-Communicable Disease) yang ditakuti karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang

Transkripsi:

A. Latar Belakang Prevalensi jumlah penderita gangguan mental dilaporkan tinggi secara global. Kessler, et al. (2007) misalnya, menemukan sebanyak >75% responden di 5 negara (Columbia, Perancis, Selandia Baru, Ukraina, dan Amerika Serikat) mengalami salah satu dari gangguan mental, seperti phobia, gangguan impulsif, kecemasan, gangguan mood, dan penyalahgunaan narkoba atau alkohol. WHO (2001) juga melaporkan bahwa sebanyak 25% penduduk dunia pernah mengalami gangguan mental sepanjang hidupnya, seperti gangguan depresi, kecemasan, dan schizophrenia. Melalui rilis laporan tersebut juga diungkapkan sebanyak 24% pasien dokter umum (GP) pada layanan kesehatan primer menderita gangguan mental. Mereka datang dengan mengeluhkan adanya gangguan atau penyakit fisik, tetapi pemeriksaan tidak menemukan gangguan fisik yang dimaksud. Prevalensi gangguan mental meningkatkan beban penduduk secara global (global burden diasease/ GBD) secara progresif. WHO (2006) menjelaskan bahwa menurut hasil kajian global burden diasease yang diproyeksikan hingga tahun 2030, penyebab kematian terbesar adalah penyakit tidak menular. WHO juga menjelaskan bahwa gangguan depresi akan menjadi global burden disease kedua terbesar setelah HIV/AIDS pada tahun 2030 (Mathers & Loncar, 2006). Selanjutnya, WHO juga memaparkan gangguan neuropsychiatric sebagai penyumbang terbanyak (28%) penyakit tidak menular, bila dibandingkan dengan penyakit kardiovaskuler (22%) dan kanker (11%) (lihat bagan 1). Bagan 1. Disability Adjusted Life Years (DALYs) proyeksi global burden disease penyakit tidak menular dari tahun 2002-2030 1

Sumber: Mathers & Loncar (2006) Whiteford et al. (2013) melaporkan bahwa gangguan mental dan penyalahgunaan zat adiktif/ alkohol merupakan penyebab beban penyakit secara global dengan peningkatan 37,6% dari tahun 1990-2010. Negara berkembang merupakan penyumbang penderita gangguan mental terbanyak. Lebih lanjut, Whiteford et al. (2013) menjelaskan bahwa perempuan memiliki kecenderungan prevalensi yang lebih tinggi daripada pria dan sebagian besar onset gangguan terjadi pada usia yang produktif, yakni 10-29 tahun. Prevalensi gangguan mental di Indonesia juga dilaporkan tinggi. Kementerian Kesehatan (2013) melaporkan prevalensi gangguan mental di Indonesia, seperti schizophrenia dan gangguan psikosis lainnya mencapai 1,7 (permil) penduduk. Artinya, terdapat 1 hingga 2 orang mengalami gangguan mental berat setiap 1.000 penduduk. Jika prevalensi tersebut diproyeksikan dengan jumlah penduduk Indonesia tahun 2015 yang mencapai 255.461.700 penduduk (bps.go.id), maka diperkirakan lebih dari 500.000 penduduk mengalami gangguan jiwa berat (severe mental illness). Persebaran prevalensi gangguan jiwa berat tertinggi berada di DI Yogyakarta dan Provinsi Aceh dengan jumlah 2,7 penduduk. Kementerian Kesehatan

(2013) juga melaporkan prevalensi gangguan emosional sebanyak 6% indeks nasional. Dari jumlah tersebut dapat diperkirakan lebih dari 14 juta penduduk di Indonesia mengalami gangguan emosional. Sepanjang rilis laporan tersebut, Kementerian Kesehatan (2013) masih menemukan kasus pemasungan terhadap penderita gangguan mental. Laporan tersebut menyebutkan sebanyak 14,3% kasus pemasungan ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia. Pemasungan lebih banyak ditemukan pada masyarakat pedesaan sebanyak 18,2% apabila dibandingkan pada masyarakat perkotaan yang sebanyak 10,7%. Pemasungan yang dilakukan tidak hanya sebatas pemasungan secara tradisional, misalnya menggunakan kayu atau rantai, tetapi berupa tindakan pengekangan yang membatasi gerak dan pengisolasian. Data di atas belum mencakup mengenai gangguan mental yang tidak terlaporkan, seperti kasus bunuh diri. Prevalensi bunuh diri dilaporkan telah menjadi penyebab kematian terbesar di dunia pada usia 15-29 tahun setelah kematian akibat kecelakaan lalu lintas (WHO, 2014). WHO (2012) mengungkapkan sebanyak 804.000 jiwa meninggal dunia dengan cara bunuh diri sepanjang tahun 2012. WHO juga memperkirakan terdapat kasus kematian melalui bunuh diri sebanyak 11,4%. Permasalahan bunuh diri di Indonesia telah mengkhawatirkan. Pada tahun 2010 kematian akibat bunuh diri telah mencapai 1,8%. Jumlah tersebut mengalami kenaikan pada tahun 2012 sebanyak 4,3% (WHO, 2012). Artinya, 4-5 orang dari 100.000 penduduk telah mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri sepanjang tahun 2012. Melalui laporan tersebut juga diketahui bahwa wanita memiliki kecenderungan melakukan bunuh diri lebih besar 4,9% bila dibanding dengan laki-laki yang sebesar 3,7%. Berdasarkan pemaparan di atas, permasalahan kesehatan mental mendesak untuk mendapatkan perhatian

dan penanganan lebih lanjut. Selain itu, seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan penting untuk mendapatkan pertolongan secara menyeluruh. Pada sisi lain, penderita gangguan mental belum seluruhnya mendapatkan pengobatan sesuai dengan kebutuhan mereka. Upaya pelayanan kesehatan mental yang ada belum dapat berjalan dengan baik. Ketersediaan layanan kesehatan mental yang ada ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan layanan kesehatan mental. Kondisi demikian disebut dengan treatment gap (Kale, 2002). Beberapa negara di dunia juga mengalami ketimpangan layanan kesehatan mental. Penelitian yang dilakukan oleh Kohn, Saxena, Levav, & Saraceno (2004) menemukan berbagai jenis gangguan mental yang tidak tertangani di seluruh negara anggota WHO. Persentase gangguan mental yang tidak tertangani, meliputi schizophrenia dan gangguan psikosis sebanyak 32,2%, depresi 56,3%, dysthymia 56.0%, gangguan bipolar 50,2%, gangguan kepanikan 55,9%, dan gangguan kecemasan umum 57,5%, serta penyalahgunaan zat adiktif/ alkohol 78,1%. Selanjutnya, Kohn, et al. (2004) juga menemukan sebanyak 70% penduduk dunia diketahui tidak dapat mengakses layanan kesehatan mental sekunder, seperti klinik jiwa, psikolog klinis ataupun psikiater untuk mendapatkan penanganan gangguan lebih lanjut. Temuan di atas sejalan dengan kondisi treatment gap di Indonesia. Studi yang dilakukan oleh Kohn, et al. (2004) menemukan bahwa treatment gap pada negara berkembang mencapai >90%. Dengan demikian, kurang dari 10% penderita gangguan mental yang mendapatkan pelayanan dari fasilitas kesehatan, sedangkan sisanya sama sekali tidak mendapatkan layanan pengobatan. Selain itu, cakupan pengobatan gangguan mental juga dinilai rendah. Sebagai contoh, Kementerian Kesehatan (2013) melaporkan bahwa

penderita gangguan psikosis yang pernah mendapatkan pengobatan sebanyak 61,8%, sementara 38,2% penderita lainnya sama sekali tidak pernah mendapatkan pengobatan. Sedangkan pada gangguan mental emosional sebesar 26,6%, sementara 73,4% penderita lainnya sama sekali tidak pernah mendapatkan pengobatan untuk penyakitnya. Ketersediaan layanan dan fasilitas kesehatan mental merupakan upaya nyata dalam mengurangi treatment gap. Layanan tersebut meliputi ketersediaan rumah sakit atau klinik jiwa, tenaga kesehatan mental, akses layanan, dan asuransi kesehatan mental (Viora, 2015). Padahal, ketersediaan fasilitas kesehatan mental yang ada di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan layanan kesehatan mental. Wang, et al. (2007) menemukan bahwa sebagian besar negara berkembang mengalami kekurangan bahkan kelangkaan tenaga kesehatan mental. Temuan tersebut sejalan dengan kondisi di Indonesia. Viora (2015) mengatakan jumlah profesional kesehatan mental tidak sebanding dengan kebutuhan. Jumlah psikiater yang ada saat ini hanya mencapai 0,32% dan psikolog klinis 0,15% (Viora, 2015). Jumlah tersebut jauh dibawah rekomendasi WHO, yakni 1:100.000 penduduk. Belum lagi, tenaga kesehatan mental yang ada hanya dapat diakses di kota-kota besar dan sebagian besar berada di pulau Jawa. Terlebih dengan jumlah fasilitas layanan kesehatan mental yang ada, seperti rumah sakit jiwa atau klinik jiwa di rumah sakit umum, dilaporkan masih minim (lihat tabel 1). Viora (2015) mengatakan bahwa hingga tahun 2015 terdapat 48 rumah sakit jiwa dengan persebaran di 26 provinsi. Selanjutnya, persebaran layanan kesehatan primer, seperti puskesmas ataupun klinik pratama yang sedikit menyediakan layanan kesehatan mental. Tentu ketersediaan layanan tersebut tidak seimbang untuk mencukupi kebutuhan layanan kesehatan mental yang lebih besar.

Tabel 1 Jumlah layanan kesehatan mental di Indonesia Jenis Fasilitas Jumlah Rumah Sakit Jiwa 48 di 26 provinsi dari 34 provinsi RSU dengan layanan jiwa 181 dari 445 RSU Puskesmas dengan layanan jiwa 2702 dari 9005 puskesmas Sumber: Viora (2015) Peningkatan prevalensi gangguan mental juga disebabkan oleh kegagalan penderita untuk mendapatkan pertolongan medis. Wang, et al. (2007) telah melaporkan secara global bahwa penderita gangguan mental mengalami kegagalan dalam mendapatkan pertolongan profesional selama bertahun-tahun. Kohn, et al. (2004) juga menemukan 60% penderita gangguan mental mengalami keterlambatan mendapatkan pertolongan hingga 8 tahun lamanya. Wang, et al. (2007) mengemukakan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan mengalami kegagalan mendapatkan pertolongan apabila dibandingkan dengan wanita. Peneliti lainnya (Susukida, Mojtabai, & Mendelson, 2015; Kessler, Brown, & Broman, 1981) juga menjelaskan bahwa wanita lebih terbuka dengan orang lain ketika menghadapi permasalahan, sehingga wanita dinilai lebih mencari bantuan ketika mengalami krisis mental daripada laki-laki. Kegagalan mendapatkan pengobatan menurut Wang, et al. (2007) merupakan ketidakmampuan penderita untuk mencari pertolongan profesional (initial treatment-seeking). Kegagalan tersebut dipengaruhi oleh akses dan layanan kesehatan mental yang sulit diperoleh dan kesadaran penderita untuk mencari pertolongan. Selain itu, kegagalan dalam mendapatkan pertolongan profesional dapat memperburuk keadaan. Padahal,

keterlambatan dalam memperoleh pertolongan dapat meningkatkan resiko dan memperparah keadaan. Altamura, et al. (2008) misalnya, menemukan kecenderungan perilaku bunuh diri yang tinggi pada penderita depresi dan bipolar dengan durasi onset dan pengobatan lebih dari 2 tahun. Melihat berbagai kebutuhan yang ada, maka upaya untuk mengurangi atau menghilangkan treatment gap kesehatan mental mendesak untuk segera dilakukan. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melibatkan peran masyarakat dalam mengupayakan kesehatan mental masyarakat (Jorm, 2012; Kakuma et al., 2011; Patel, et al., 2010; WHO, 2010). Keterlibatan masyarakat tersebut berupa pemberian pertolongan kesehatan mental oleh non-profesional kesehatan mental atau masyarakat awam. WHO (2010) merekomendasikan pemberian pelatihan kesehatan mental kepada masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam menangani gangguan mental. Lebih lanjut, Kakuma, et al. (2011) menganjurkan beberapa langkah untuk mengurangi treatment gap diantaranya adalah mengintegrasikan layanan kesehatan mental pada tingkat primer, pendelegasian tugas (taskshifting), dan program layanan kesehatan mental berbasis masyarakat. Melalui taskshifting dan program layanan kesehatan mental berbasis masyarakat diharapkan masyarakat dan non-profesional dapat terlibat secara aktif dalam upaya preventif, kuratif, dan rehabilitatif kesehatan mental. Selain itu, keterlibatan tersebut diharapkan dapat menjembatani antara minimnya fasilitas layanan kesehatan mental dengan kebutuhan layanan kesehatan mental yang tinggi. Melihat kondisi di atas, keterlibatan masyarakat dalam memberikan pertolongan pada penderita gangguan mental menjadi penting untuk dilakukan. Akan tetapi, pemberian pertolongan kepada penderita gangguan

jiwa masih menghadapi hambatan. Setidaknya terdapat 3 hal yang dapat diuraikan (Suarez, 2011; Safitri, 2011). Pertama, pengetahuan kesehatan jiwa yang rendah mengakibatkan penilaian yang salah pada gangguan jiwa. Masyarakat masih menilai gangguan jiwa bukan dilihat sebagai gangguan biologis, melainkan masih dianggap sebagai pengaruh kekuatan magis. Selanjutnya, kesalahan dalam memahami gangguan jiwa tersebut mengarahkan masyarakat untuk mendapatkan pertolongan dengan pendekatan magis atau supranatural. Pasien dan keluarga merasa terbebani dengan pengobatan yang tidak sesuai dan justru memperparah keadaan pasien. Jarak durasi onset dengan pertolongan pertama kali yang panjang dapat memperparah kondisi penderita. Terakhir, pemahaman yang keliru tersebut membuat masyarakat tidak mengetahui bagaimana memperlakukan penderita gangguan jiwa. Hingga pada akhirnya banyak ditemukan penderita gangguan jiwa juga mengalami perlakuan yang tidak manusiawi, seperti pengurungan dan pemasungan. Pada temuan yang lain, masyarakat justru memiliki jarak dengan seseorang yang diindikasi memiliki masalah kejiwaan (Rüsch, Angermeyer, & Corrigan, 2005). Ketidakmampuan seseorang untuk menyediakan pertolongan kesehatan mental dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, keterbatasan pengetahuan seseorang mengenai kesehatan mental membuat seseorang tidak tahu bantuan apa yang dapat diberikan dan bagaimana cara memberikan bantuan (Kitchener & Jorm, 2008). Keterbatasan pemahaman mengenai gangguan mental juga dapat membuat penderita terlambat mendapatkan pertolongan (Wang et al., 2007). Selain itu, beberapa peneliti menemukan bahwa pemahaman yang keliru (miskonsepsi) mengenai gangguan mental turut membuat seseorang tidak memberikan pertolongan (Quinn et al., 2009; Veltman, Cameron, Stewart, 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Veltman, Cameron, & Stewart (2002) menemukan bahwa pandangan sosial dan komunitas terhadap gangguan mental memengaruhi kondisi keluarga atau caregiver gangguan mental. Keluarga melaporkan bahwa mereka tidak mendapatkan bantuan atau dukungan dari komunitas dan mereka merasa ditinggalkan oleh teman atau saudara mereka. Keluarga juga menjelaskan bahwa memiliki anggota dengan gangguan mental merasa lebih memiliki beban sosial daripada memiliki anggota keluarga dengan gangguan atau sakit fisik. Quinn et al. (2009) mengatakan bahwa perilaku penderita yang dinilai aneh mengakibatkan reaksi masyarakat dengan menjauhi penderita. Reaksi tersebut mendorong masyarakat untuk tidak memberikan pertolongan dan mengeluarkan penderita dari pergaulan (ex-communicate). Pada level sosial, telah ditemukan pemahaman yang keliru mengenai gangguan mental pada masyarakat umum atau stigma gangguan mental. Pemahaman masyarakat mengenai gangguan mental dipengaruhi oleh keyakinan dan sikap kelompok yang berbeda antarbudaya (Angermeyer & Dietrich, 2006). Stigma tersebut dapat berupa penilaian gangguan mental sebagai pengaruh supranatural seperti, balasan dari Tuhan atas perbuatan buruk, pengaruh roh jahat, sifat kekanak-kanakan, dan perilaku yang buruk (Rüsch, Angermeyer, & Corrigan, 2005) daripada faktor biopsikososial (WHO, 2001). Seiring dengan berkembangnya kekeliruan pemahaman tersebut, masyarakat kemudian mendorong sikap dan tindakan negatif terhadap penderita gangguan mental. Lebih lanjut, Corrigan & Watson (2002) menjelaskan bahwa penilaian terhadap gangguan mental akan memberikan dampak buruk bagi penderita, berupa sikap negatif (prejudice) dan diskriminatif dalam kehidupan mereka. Beberapa peneliti menjelaskan bahwa stigma gangguan mental erat kaitannya dengan stereotip, prejudice, dan

diskriminasi gangguan mental (Corrigan & Watson, 2002; Corrigan, Markowitz, Watson, Rowan, & Kubiak, 2003) dan memasukkan ketiga hal tersebut sebagai rantai stigma gangguan mental yang terkait erat (lihat bagan 2) (Corrigan, 2004; Rüsch, Angermeyer, & Corrigan, 2005). Stigma gangguan mental mengarah pada dampak buruk bagi pasien gangguan mental. Pasien yang harus mampu mengelola diri untuk kesembuhan dan kualitas hidupnya, harus berhadapan dengan pandangan masyarakat yang dinilai tidak membantu mereka (Rüsch, Angermeyer, & Corrigan, 2005). Stigma juga berkembang pada bagaimana memperlakukan penderita gangguan mental secara diskriminatif dan melanggar batas-batas kemanusiaan (Safitri, 2011; Corrigan, Markowitz, Watson, Rowan, & Kubiak, 2003). Ulasan wartawan BBC melalui bbc.com (2016) melaporkan kondisi pemasungan pada penderita gangguan mental sangat memprihatinkan. Praktik pemasungan selain dilakukan oleh keluarga juga dilakukan oleh lembaga, seperti panti rehabilitasi gangguan mental. Selain praktik yang tidak manusiawi, pemasungan yang dilakukan oleh lembaga diketahui melakukan pengobatan yang jauh dari nilai rehabilitasi psikososial dan medis. Stigma gangguan mental turut memengaruhi pemberian pertolongan. Angermeyer & Matschinger (1996) menemukan bahwa stigma gangguan mental dapat menurunkan intensitas memberikan pertolongan. Calon pemberi bantuan memiliki emosi takut, cemas, dan marah ketika berhadapan dengan penderita gangguan mental. Hal tersebut memengaruhi seseorang untuk tidak peduli dengan penderita gangguan mental. Pemahaman yang keliru mengenai gangguan mental ditemukan telah menurunkan kepercayaan pada pengobatan (Masuda & Latzman, 2011). Masyarakat seringkali menilai pengobatan tidak memiliki efek kesembuhan apapun. Selain itu, stigma yang ada juga membuat seseorang mempertimbangkan untuk memberikan

pertolongan atau tidak. Pada masyarakat tertentu, konsep mengenai gangguan mental turut memengaruhi pemberian pertolongan (Corrigan, 2004). Barney, Griffiths, Jorm, & Christensen (2006) mengungkapkan bahwa sikap masyarakat terhadap gangguan mental memengaruhi bagaimana penderita mencari pertolongan atau pengobatan. Penilaian dan sikap negatif masyarakat dapat menjadi penghalang penderita gangguan mental untuk mencari pertolongan. Dengan demikian, stigma memiliki keterkaitan yang erat pada intensitas mencari pertolongan dan memberikan pertolongan. Melihat berbagai temuan di atas, maka memberikan pertolongan kesehatan mental merupakan sikap dan perilaku positif dalam menjembatani kebutuhan layanan kesehatan mental dengan keterbatasan layanan kesehatan mental yang ada. Berdasarkan pemaparan di atas pula sikap memberi pertolongan merupakan bentuk keterlibatan dan kepedulian masyarakat mengenai isu kesehatan mental. Penelitian ini mendesak untuk dilakukan mengingat memberikan pertolongan dapat mengurangi keterlambatan penderita gangguan mental dalam mendapatkan pertolongan. Penelitian mengenai sikap memberikan pertolongan kesehatan mental belum banyak dilakukan di Indonesia. Selain itu, penelitian yang ada lebih banyak dilakukan di negara barat dan belum banyak dilakukan di Indonesia. Mencermati perbedaan konteks pada negara barat dengan kondisi di Indonesia seperti kolektivitas dan keberagaman masyarakat, maka perlu untuk dilakukan penelitian ini. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui apakah pengetahuan kesehatan mental mendorong seseorang untuk memiliki sikap memberikan pertolongan kesehatan mental. Penelitian ini juga hendak menjawab apakah stigma publik memiliki hubungan dengan sikap memberikan pertolongan kesehatan mental.

B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stigma publik gangguan mental dengan sikap memberikan pertolongan kesehatan mental. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian ilmiah mengenai sikap memberikan pertolongan kesehatan mental dan stigma publik gangguan mental dalam bidang kesehatan mental. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk layanan kesehatan mental bagi pemegang kebijakan, profesional, non-profesional, dan komunitas layanan kesehatan mental dalam merumuskan program promosi kesehatan mental.