Seminar Nasional Serealia, 2013 PERANAN VARIETAS DAN FUNGISIDA DALAM DINAMIKA PENULARAN PATOGEN OBLIGAT PARASIT DAN SAPROFIT PADA TANAMANJAGUNG Syahrir Pakki dan Burhanuddin Balai Penelitian Tanaman Serealia ABSTRAK Peranan varietas dan fungisida dalam dinamika penularan patogen obligat parasit dan saprofit pada jagung bertujuan untuk mengetahui peranan varietas dan fungisida metalksis dalam penularan pathogen obligat parasite dan saprofit pada jagung. Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok dengan empat ulangan. terdiri dari 5 yaitu (1) Sukmaraga, (2) Lamuru (3) Bima 3 (4) Lagaligo (5) Srikandi Kuning (Kontrol). Pupuk yang diberikan dengan takaran 300-200-100 kg/ha,. Pengamatan dilakukan pada 30, 55 dan 85 HST. Parameter yang diamati intensitas penularan pathogen obligat parasite dan saprofit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan bahan aktif metalaksis dengan varietas yang lebih tahan (Bima-3,Lamuru, Sukmaraga dan Lagaligo) efektif menekan penularan penyakit bulai (Perenosclospora maydis). Penggunaan metalaksis pada varietas yang lebih peka (Srikandi Kuning) tidak efektif menekan penularan bulai di daerah endemik. Gejala (P.maydis), ditemukan sekitar 15 HST, dan mencapai puncaknya pada 30 HST, intensitas infeksinya menurun setelah bertambahnya umur tanaman. Dinamika penularan penyakit karat daun (Puccinia polysora), menginfeksi awal 55 HST dengan tingkat serangan yang rendah, berkembang dan mencapai puncaknya pada 85 HST. Patogen saprofit lainnya, Bercak daun Bipolaris maydis, menginfeksi awal pada 10-20 hari, berkembang dan mencapai puncaknya pada 55 HST, selanjutnya penularannya menurun sejalan dengan bertambahnya umur tanaman. Penularan bercak Curvularia sp, menginfeksi awal pada 30 HST, puncak intensitas infeksinya pada 55 HST selanjutnya menurun dan tidak berkembang setelah 85 HST. Kata kunci: patogen, penularan dan varietas PENDAHULUAN Jagung merupakan komoditas yang banyak dibudidayakan petani, selain perananannya sebagai sumber protein, digunakan pula sebagai bahan pakan ternak. Produktivitas jagung yang diusahakan petani masih bervariasi dari bebarapa wilayah sentra produksi jagung di Indonesia. Salah satu faktor penyebabnya adalah adanya gangguan penyakit tanaman. Menurut Wakman dan Burhanuddin (2007); Pakki et al, 2007). Penyakit utama yang dominan adalah bulai (Peronosclospora philipinensis), bercak daun (Bipolaris maydis), hawar upih daun (Rhizoktonia solani khun) dan karat (Puccinia polysora Undrew). Penyakit-penyakit tersebut berpotensi sebagai salah satu faktor pembatas dalam pencapaian potensi hasil yang dimiliki oleh setiap varietas, sehingga upaya pengendalian dan penggunaan varietas unggul yang mempunyai sifat daya tahan terhadap cekaman penyakit diperlukan. 443
Syahrir Pakki dan Burhanuddin: Peranan Varietas dan Fungisida. Perkembangan penyakit-penyakit dipengaruhi oleh respon spektrum ketahanan dari yang paling rentan sampai dengan tanaman yang menunjukkan reaksi yang paling tahan (Jeans dan Leonard 1985; Wakman et al. 2007). Variasi ketahanan tersebut dipengaruhi oleh kemampuan varietas memproteksi diri dari cekaman patogen yang disebabkan oleh sifat genetik. (Deadman 1998), maupun pertahanan struktural sebelum infeksi dan ketahanan kimia setelah infeksi (Abadi 2003; Agrios 1997).Terbatasnya varietas tahan untuk pengendalian pathogen utama jagung menyebabkan perlunya penggunaan fungisida. Khusus untuk penyakit bulai bahan aktif (b.a) metalaksis adalah merupakan salah satu fungisida yang efektif menekan perkembangannya, namun sering ditemukan adanya populasi varietas yang terinfeksi meskipun telah diberi perlakuan b.a. metalaksil. Fakta tersebut mengindikasikan perlunya kajian peranan varietas dan fungisida metalaksis dalam penularan penyakit-penyakit utama jagung yang masih merupakan salah satu faktor pembatas utama kestabilan produksi jagung secara nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan varietas dan fungisida metalksis dalam penularan penyakit utama jagung. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di kabupaten Kediri, Jawa Timur. Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok dengan empat ulangan. terdiri dari 5 varietas yang memiliki sifat ketahanan yang berbeda terhadap penyakit utama jagung yaitu ( 1) Sukmaraga, (2) Lamuru (3) Bima 3 (4) Lagaligo (5) Srikandi Kuning (Kontrol). Benih ditanam secara tugal pada petakan 10 X 4 meter, jarak tanam 75 X 20 cm dengan populasi 200 tanaman/plot. Dari 200 tanaman dalam setiap plot sebanyak 180 tanaman diberi perlakuan metalaksis 5 g/kg, dan 40 tanaman tidak diberi fungisida berbahan aktif (b.a) metalaksil. Populasi yang diamati adalah 40 tanaman yang diberi metaklaksis dan 40 tanaman yang tidak diberi metalaksis. Benih ditanam secara tugal. Pupuk yang diberikan dengan takaran 300-200-100 kg/ha, masing-masing dalam bentuk, 100 kg Urea, SP 36 dan KCL. Pemupukan pertama dilakukan 10 hari setelah tanam (HST) dengan takaran 100 kg Urea, 200 kg SP36 dan 100 kg KCL/ha Pemupukan kedua dilakukan 35 HST dengan 200 kg urea/ha. Penyiangan pertama dilakukan 15 HST, penyiangan ke dua 35 HST, dan diikuti pembumbunan. Pengamatan dilakukan pada 30, 55 dan 85 HST. Parameter yang diamati yaitu: 1) Tanaman Terinfeksi bulai (P. philipinensis)/hawar Upih daun (Rhizoktonia solani ) sbb: 444
Seminar Nasional Serealia, 2013 Pengamatan penyakit bulai menggunakan rumus sebagai berikut : Jumlah tanaman terinfeksi bulai I = ----------------------------------------- x 100% Jumlah tanaman yang diamati 2) Intensitas penyakit bercak daun (Curvularia, dan B. maydis), karat (P. polysora) mengikuti metode Mayee dan Datar (1986). Skoring (B. maydis) 0 = Tidak ada infeksi 1 = < 1 % bercak, dari permukaan daun bawah 3 = 1-10 % bercak, dari permukaan daun, gejala pada daun bawah berwarna terang 5 = 11-25% bercak, dari permukaan daun gejala pada daun bawah dan tengah 7 = 26-50 % bercak, dari permukaan daun gejala pada daun bawah, tengah dan sedikit pada daun atas. 9 = >50 % bercak, dari permukaan daun gejala pada semua bagian daun atau beberapa tanaman sudah mati. Skoring Karat (Puccinia Polysora) 0 = Tidak ada infeksi 1 =< 1 % bercak, dari permukaan daun bawah 3 =1-10 % bercak, dari permukaan daun, gejala pada daun tengah 5 =11-25% bercak, dari permukaan daun gejala pada daun tengah dan atas 7 =26-50 % bercak, dari permukaan daun gejala pada tengah dan daun atas, sudah ada yang menginfeksi bagian batang tanaman 9 =>50 % bercak, dari permukaan daun gejala pada semua bagian tanaman atau beberapa tanaman sudah mati. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat enam penyakit yang ditemukan yaitu penyakit bulai (Perenosclospora sp) dan karat (F. folysora), (obligat parasit). Patogen saprofit lainnya yaitu bercak daun (B. maydis, dan Curvularia), Hawar 445
Syahrir Pakki dan Burhanuddin: Peranan Varietas dan Fungisida. upih daun (R. solani khun). Penyakit busuk tongkol (Fusarium sp) tidak ditemukan sampai pada fase pertumbuhan generatif. Penyakit bulai (Perenosclospora sp) Hasil identifikasi spesies penyakit bulai yang menginfeksi pertanaman jagung di Jawa adalah tergolong spesies P. maydis (Muis et al. 2011: Wakman 2002). Hal ini mengindikasikan bahwa pada area penelitian penyakit bulai yang menginfeksi adalah tergolong P. maydis. Pengamatan umur 30 HST, penyakit bulai ditemukan dengan intensitas serangan bervariasi dari setiap perlakuan (Tabel 1). Gejala bulai di lapangan menunjukkan bahwa beberapa tanaman telah terinfeksi awal sekitar 10-15 HST. Hal tersebut ditandai dengan adanya individu dalam populasi yang kerdil dan tidak tumbuh normal. Pada populasi yang tidak diberi perlakuan metalaksis (kontrol), varietas Srikandi Kuning, terinfeksi dengan intensitas yang tinggi sekitar 27,67%, nyata lebih tinggi dibanding dengan perlakuan Bima 3, Lamuru, Sukmaraga dan Lagaligo yang hanya terinfeksi <4,49% (0,17-4,49%). Fakta tersebut menggambarkan bahwa ketahanan setiap varietas terhadap penyakit bulai berbeda, Hal yang sama telah dilaporkan oleh (Hartatick 1993; Pakki dan Jabbar 1999; Wakman et al. 2007) bahwa dalam suatu populasi pertanaman, ketahanan suatu varietas mempengaruhi penularan bulai. Varietas Srikandi Kuning, adalah tergolong lebih peka, Bima 3, Lamuru, Lagaligo dan Sukmaraga adalah lebih tahan. Tabel 1. Intensitas serangan penyakit bulai pada populasi tanpa perlakuan dan dengan metalaksis pada 30 HST. Kediri 2011 Tanpa bahan aktif metalaksis Dengan bahan aktif metalaksis Bima 3 0,17 a 0,33 a Lamuru 4,49 a 1,50 a Sukmaraga 0,83 a 1,33 a Lagaligo 0,83 a 0,16 a Srikandi Kuning 27,67 b 26,16 b Angka yang diikuti oleh huruf dan kolom yang sama, tidak berbeda nyata, menurut uji BNT, pada taraf 5%. Analisis statistik pada populasi tanaman yang diberi fungisida b.a metalaksis (Tabel 1), juga memperlihatkan intensitas serangan yang nyata lebih tinggi, pada varietas Srikandi kuning, terinfeksi 26,16%, dan varietas Bima 3, Lagaligo dan Sukmaraga hanya mencapai 0,33-1,50%. Data ini memberi indikasi bahwa penggunaan fungisida b.a. metalaksis pada varietas yang tergolong peka adalah tidak 446
Seminar Nasional Serealia, 2013 efektif mengendalikan penyakit bulai. Intensitas serangan di lapang dipengaruhi oleh kombinasi sifat ketahanan varietas dan daya kerja fungisida. Patogen bulai masuk kedalam sel tumbuh tanaman, mengeluarkan fytotoxin, berkembang dan merusak sel tumbuh dan menyebabkan tanaman menjadi kerdil. Pada kasus infeksi cendawan patogen, semua tanaman merespon invasi patogen dengan keluarnya fytoalexin. Namun pada tanaman yang tergolong tahan, dominasi pytoalexin yang dikeluarkan oleh tanaman, mampu membatasi laju infeksi sehingga pertumbuhan tanaman tetap normal (Abadi 2003). Selain reaksi tahan dari beberapa perlakuan varietas tersebut, daya kerja fungisida b.a. metalaksis yang terserap oleh sel jaringan tanaman diduga menjadi salah satu faktor penghambat invasi miselia bulai dalam jaringan tanaman, sehingga diperoleh serangan bulai yang nyata lebih rendah dibanding dengan kontrol. Ekspresi ketahanan suatu varietas dipengaruhi oleh kemampuan memproteksi diri dari cekaman patogen yang disebabkan oleh sifat genetis (Deadman 1998) ataupun kandungan gizi yang tinggi diawal infeksi akan memicu perkembangan cendawan patogen (Farrar dan Lewis 1987). Intensitas curah hujan yang lebih tinggi pada pertanaman musim hujan yang bersamaan dengan fase pertumbuhan yang tidak ideal untuk infeksi bulai, diduga menyebabkan pembiakan spora lebih rendah, atau sebagian produksi spora bulai yang infektif, tercuci dan menyebabkan beberapa individu tanaman dalam populasi perlakuan kontrol (Srikandi Kuning) tidak terinfeksi. Produksi konidia dari bulai umumnya pada pada malam hari, dengan tempratur sekitar 70-79ºF, selanjutnya menginfeksi pada pertanaman sekitarnya dengan bantuan angin (Waren and Huber 2006). Pada pertanaman dalam musim hujan, kombinasi perlakuan metalaksis dengan varietas lebih tahan seperti Bima 3, Lagaligo, Sukmaraga dan Lamuru dapat menjadi pilihan dalam menekan penyebaran bulai didaerah endemis. Kedepan, validasi kombinasi perlakuan b.a. metalaksis dan resistensi varietas dalam keadaan iklim yang lebih ideal dan sumber inokulum yang tinggi untuk perkembangan bulai masih perlu dilakukan. Hal tersebut diperlukan agar diperoleh data keseuaian penggunaannya pada keadaan iklim yang berbeda. Pengamatan ke dua, pada umur 55 HST (Tabel 2), menunjukkan bahwa varietas Bima 3, Lamuru, Sukmaraga, Lagaligo tetap memperlihatkan intensitas yang nyata lebih rendah dibanding dengan Srikandi Kuning, baik yang diberi metalaksis maupun yang tidak diberi metalaksis. Dinamika perkembangan penyakit bulai menurun, tambahan tanaman terinfeksi hanya berkisar <1% (Tabel 2). Intensitas infeksi tersebut menurun karena tanaman sudah memasuki fase generatif. Pada daun 447
Syahrir Pakki dan Burhanuddin: Peranan Varietas dan Fungisida. tua terbentuk sel lapisan epidermis yang menebal, miselia penyakit bulai yang hinggap pada daun jagung tua, tidak mampu melakukan penetrasi sempurna pada titik tumbuh atau mati sebelum masuk ke sel jaringan tanaman. Keadaan ini menyebabkan tambahan tanaman terinfeksi bulai berkurang. Demikian pula pada pengamatan ketiga yaitu pada umur 85 HST, dinamika tambahan penyakit bulai sudah tidak ditemukan di lapangan. Hal yang sama juga telah dilaporkan oleh Pakki (2006) bahwa tanaman yang terhindar dari infeksi bulai pada awal pertumbuhan, ditemukan intensitas serangan yang rendah. Tabel 2. Intensitas serangan penyakit bulai pada populasi tanpa perlakuan dan dengan metalaksis pada 55 HST. Tanpa bahan aktif metalaksis Dengan bahan aktif metalaksis Bama 3 0,83 a (0,66)*) 0,49 a (0,16)*) Lamuru 4,82 a (0,33) 1,99 a (0,49) Sukmaraga 1,49 a (0,66) 1,83 a (0,50) Lagaligo 1,33 a (0,5) 0,49 a (0,33) Srikandi Kuning 28,25 b (0,58) 26,99 b (0,83) Ket. : *)Tambahan tanaman terinfeksi bulai. Angka yang diikuti oleh huruf dan kolom yang sama, tidak berbeda nyata, menurut uji BNT, pada taraf 5 %. Bercak daun (Curvularia sp) Dalam 30 HST, penyakit lainnya yang ditemukan adalah gejala penyakit bercak Curvularia sp, menginfeksi bagian tengah daun dengan skoring rendah 0-<1%. (Tabel 3), mempunyai gejala berupa titik putih pada bagian tengah bercak dan tidak memanjang, intensitas serangan tergolong rendah, Curvularia menginfeksi bagian daun tengah dan atas, tanpa ditemukan pada daun bawah tanaman Pengamatan selanjutnya pada 55 HST, Intensitas bercak Curvularia berkembang pada beberapa varietas dengan perlakuan metalaksis maupun tanpa metalaksis. Pada beberapa varietas mencapai skoring 3-5, bercak berkisar 1-10 persen atau bercak mencapai >10%, menginfeksi permukaan daun tengah dan atas. Beberapa laporan menyebutkan bahwa patogen tersebut sering ditemukan dengan serangan berat, setelah fase generativ, terutama pada varietas peka, namun di Indonesia belum ada laporan yang menunjukkan bahwa Curvularia sp dapat menyebabkan kehilangan hasil pada tanaman jagung. Pengamatan pada 85 HST, tambahan infeksi bercak Curvularia tidak ditemukan lagi dan infeksi pada daun sudah didominasi oleh bercak daun (B. maydis) dan karat daun (P. polysora). 448
Seminar Nasional Serealia, 2013 Tabel 3. Intensitas serangan penyakit bercak daun Curvularia (Skoring) pada perlakuan dan tanpa perlakuan metalaksis pd 30 dan 55 HST Skoring tan.terinfeksi Metalaksis 30 HST Tanpa Metalaksis 55 HST Bima-3 0 3 1 3 Lamuru 1 3 1 5 Sukmaraga 1 3 1 3,1 Lagaligo 1 3 1 3,1 Srikandi Kuning 1 3 1 5 Ket.: Skoring 0= Tidak ada infeksi 1= < 1 % bercak, dari permukaan daun tengah 3= 1-10 % bercak, dari permukaan daun, gejala pada daun tengah 5= 11-25% bercak, dari permukaan daun gejala pada daun tengah dan atas 7= 26-50 % bercak, dari permukaan daun gejala pada daun tengah dan atas 9= >50 % bercak, dari permukaan daun gejala pada daun tengah dan atas atau sebagian daun telah mengering. (Mayee dan Datar 1986) Penyakit bercak daun (Bipolaris maydis) Pola khas, sebaran infeksi B. maydis adalah infeksi bercak mengikuti fase pertumbuhan tanaman jagung, mulai menginfeksi pada daun bawah, kemudian menyebar pada daun-daun tengah dan selanjutnya menginfeksi daun atas. Infeksi dini ditandai dengan adanya titik bercak basah kemudian berkembang menjadi bercak matang. Bercak daun B. maydis pada perlakuan b.a metalaksis dan tanpa metalaksis, ditemukan pada umur 30 HST, infeksi awal diduga pada saat tanaman berumur 10-20 HST, keadaan ini menggambarkan bahwa b.a metalaksis tidak berpengaruh terhadap intensitas serangan bercak daun B. maydis yang bersifat saprofit. Dalam 30 HST menginfeksi daun yang terletak pada bagian bawah, dengan serangan yang rendah pada semua perlakuan varietas yaitu skoring 1 4,5 (Tabel 4). Pengamatan pada umur 55 HST, tampak bahwa infeksi bercak B. maydis berkembang dan berbeda pada setiap varietas. Pada varietas Bima-3 skoring intensitas penyakit sekitar 1 atau infeksi dari daun terbawah sedangkan pada perlakuan varietas Lamuru, Lagaligo, dan Sukmaraga, intensitas bercak daun mencapai skoring kisaran 3-5 atau bercak sudah menginfeksi pada daun bawah, tengah dan sebagian kecil pada daun atas dari beberapa rumpun tanaman. Bercak B. maydis berkembang optimal pada musim hujan dengan suhu 26-30 C (Pakki dan Muis 2006; Rahamma et al. 1997). Sifat ketahanan varietas dan kodisi iklim agak kering tidak mendukung perkembangan B. maydis. Pada keadaan infeksi B. maydis tergolong rendah, varietas Bima-3 memperlihatkan reaksi ketahanan yang lebih tinggi. Dalam 55 dan 85 HST, intensitas 449
Syahrir Pakki dan Burhanuddin: Peranan Varietas dan Fungisida. serangan mencapai <1%, dan pada Srikandi Kuning, infeksi B. maydis mencapai 11-25% dan >25% (Skoring 5). Rendahnya intensitas bercak, pada varietas Bima-3 adalah sebagai akibat adanya perbedaan reaksi ketahanan dari setiap varietas. Diduga pada varietas yang lebih tahan, penetrasi awal B. maydis, terjadi fase inkubasi dan masa laten yang lebih lama dibanding pada varietas yang lebih peka sehingga intensitas bercak lebih rendah. B. maydis efektif menginfeksi pada tanaman yang lebih peka, hanya membutuhkan waktu 3 jam untuk berkecambah dan kembali menginfeksi tanaman lainnya (Pakki et al. 1998). Fakta tersebut menandakan bahwa B. maydis dapat dikendalikan penyebarannya dengan penggunaaan varietas lebih tahan sehingga tidak berpotensi menjadi kendala dalam usaha tani jagung pada lahan kering dataran rendah. Tabel 4. Intensitas serangan penyakit bercak daun B. maydis (Skoring dari 10 rumpun contoh) pada perlakuan dan tanpa perlakuan metalaksis pada 30 dan 55 HST Skoring tanaman terinfeksi Metalaksis Tanpa Metalaksis 30 HST 55 HST 30 HST 55 HST Bima-3 1 1 1 1,2 Lamuru 1 4,5 1 4,5 Sukmaraga 1 3 1 4 Lagaligo 1 1,5 1 3 Srikandi Kuning 1 5,5 1 6 Ket.: Skoring 0= Tidak ada infeksi 1= < 1 % bercak, dari permukaan daun tengah 3= 1-10 % bercak, dari permukaan daun, gejala pada daun tengah 5= 11-25% bercak, dari permukaan daun gejala pada daun tengah dan atas 7= 26-50 % bercak, dari permukaan daun gejala pada daun tengah dan atas 9= >50 % bercak, dari permukaan daun gejala pada daun tengah dan atas atau sebagian daun telah mengering. (Mayee dan Datar 1986) Pada pengamatan 85 HST, infeksi bercak daun B. maydis, tidak berkembang, bercak pada daun jagung sudah didominasi oleh bercak penyakit karat (P. polysora). Penyakit Karat daun (P. Polysora) Penyakit karat daun tidak ditemukan pada umur 30 HST, ditemukan menginfeksi pada pengamatan 55 HST, dengan tingkat serangan yang masih tergolong rendah, skoring berkisar 1-3 (Tabel 5) atau menginfeksi daun tengah dan atas, dan tidak didapati pada daun bawah. Tidak ditemukannya infeksi karat pada pertanaman yang masih muda, diduga karena P. polysora bersifat sprofit tidak dapat hidup pada sisa tanaman, sehingga sumber inokulum awal berasal dari rerumputan 450
Seminar Nasional Serealia, 2013 disekitarnya dan mempunyai siklus hidup yang lebih lama. Dilaporkan oleh Anonim (2010) bahwa P. polysora membentuk urediospora baru sekitar 9 hari setelah menginfeksi pada inang lainnya. Infeksi selanjutnya berkembang mengikuti perkembangan umur tanaman dan mencapai puncaknya pada umur 85 HST. Intensitas pada Srikandi Kuning, mencapai skoring >5,5 atau menginfeksi daun tengah, daun atas dan sebagian sudah menginfeksi bagian batang tanaman. Varietas Bima 3, memperlihatkan intensitas serangan yang lebih rendah dibanding Srikandi Kuning dan tiga varietas jagung komposit lainnya. Pada wilayah-wilayah endemis penyakit karat, varietas Bima 3, dapat dianjurkan penggunaannya. Penyakit karat dapat berkembang baik pada kelembaban yang tinggi dengan ketinggian di bawah 900 m dari pemukaan laut (Sujono, 1998). Tabel 5. Intensitas serangan penyakit karat (skoring dari 10 rumpun contoh) pada perlakuan dan tanpa perlakuan metalaksis pd 55 HST Metalaksis 55 HST Skoring tanaman terinfeksi Tanpa Tanpa Metalaksis Metalaksis 85 HST 55 HST Tanpa Metalksis 85 HST Bima-3 1 3 1,5 3 Lamuru 3 5,5 4 5 Sukmaraga 3 5 4,5 5 Lagaligo 2,5 5 3 5 Srikandi Kuning 3,5 5,5 5 5,2 Keterangan: Skoring 0= Tidak ada infeksi 1= < 1 % bercak, dari permukaan daun tengah 3= 1-10 % bercak, dari permukaan daun, gejala pada daun tengah 5= 11-25% bercak, dari permukaan daun gejala pada daun tengah dan atas 7= 26-50 % bercak, dari permukaan daun gejala pada daun tengah dan atas 9= >50 % bercak, dari permukaan daun gejala pada daun tengah dan atas atau sebagian daun telah mengering. (Mayee dan Datar 1986) Penyakit Hawar upih daun ( R. solani khun) Patogen R. solani tidak ditemukan pada umur 30 HST, patogen tersebut meginfeksi pada umur 55 HST dengan populasi persentase infeksi yang rendah (Tabel 6) infeksi hanya pada bagian bawah batang. Pertambahan tanaman terinfeksi tergolong rendah, pada pengamatan umur 85 hari dalam perlakuan metalaksis dan tanpa metalksis hanya berkisar 0-1,5%, dan tidak menyebabkan adanya tanaman yang mati (Tabel 6). Rendahnya infeksi Rhizoktonia adalah karena keadaan lingkungan tanah yang kering. 451
Syahrir Pakki dan Burhanuddin: Peranan Varietas dan Fungisida. Tabel 6. Persentase populasi terinfeksi pathogen R. solani pada perlakuan dan tanpa perlakuan metalaksis pd 55, dan 85 HST (%) Skoring Metalaksis Tanpa metalaksis 55 HST 85 HST 55 HST 85 HST Bima-3 1,3 1,5 0,9 0,7 Lamuru 0,6 0,8 0 0,2 Sukmaraga 0,2 0,6 0,3 0,4 Lagaligo 0 1.3 0,7 0,9 Srikandi Kuning 0,8 1,3 1.4 0,3 KESIMPULAN Kombinasi perlakuan bahan aktif metalaksis dengan varietas yang lebih tahan (Bima-3,Lamuru, Sukmaraga dan Lagaligo) efektif menekan penularan penyakit bulai (Perenosclospora maydis). Penggunaan metalaksis pada varietas yang lebih peka (Srikandi Kuning) tidak efektif menekan penularan bulai di daerah endemik. Gejala (P.maydis), ditemukan sekitar 15 HST, dan mencapai puncaknya pada 30 HST, intensitas infeksinya menurun setelah bertambahnya umur tanaman. Dinamika penularan penyakit karat daun (Puccinia polysora), menginfeksi awal 55 HST dengan tingkat serangan yang rendah, berkembang dan mencapai puncaknya pada 85 HST. Patogen saprofit lainnya, Bercak daun Bipolaris maydis, menginfeksi awal pada 10-20 hari, berkembang dan mencapai puncaknya pada 55 HST, selanjutnya penularannya menurun sejalan dengan bertambahnya umur tanaman. Penularan bercak Curvularia sp, menginfeksi awal pada 30 HST, puncak intensitas infeksinya pada 55 HST selanjutnya menurun dan tidak berkembang setelah 85 HST. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Penyakit karat (on-line): http:/yan.yanuar08. student.ipb.ac.id/2010/06/ 20/penyakit (Diakses 4 april 2013).June 20 th 2010. Abadi Latief 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan II. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang dan Bayu Media Publishing, Surabaya-Malang. Agrios, G.N. 1997. Plant Patology. Academic Press. New York. London. 627 p. Abadi Latief 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan II. Fakultas Pertanian Universitas. Brawijaya. Malang dan Bayu Media Publishing, Surabaya- Malang. Deadman, M.L.1988. Efidemiological consequences of plant diseases resistance. Kluwer Academic Publisher. Britanian pp 123 125. 452
Seminar Nasional Serealia, 2013 Farrar, J.F., and DH Lewis. 1987. Nutrion relation in biotropic infection dalam fungal infection of plant. Cambridge University. New York. Sidney Melbourne. Pp 92-132 Hartatik, S. 1993. Pengujian beberapa populasi jagung manis terhadap penyakit bulai. Laporan penelitian ARM, Badan Litbang Pertanian. Jeans, A.E and K.J. Leonard. 1985. Effect of temperature illuminance on resistence of inbred lines of corn to isolates of bipolaris maydis. Phytopathology. Vol.75. No.3. USA. pp 274-280 Muis A., Marcia B. Pabendon, Nurnina Nonci dan Wahyu Purbowasito Setyo Waskito, 2012. Keragaman genetik pathogen penyebab bulai berbasis marka molekuler SSR. Seminar Mingguan Balitsereal (12 November 2012) Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros (Belum dipublikasikan) agricultural Universitri. India P.146. Mayee, CD and V.V. Datar. 1986 Phytopatometri. Departemen of Plant patology. Maratwada. Pakki, S dan Jabbar. 1999. Penampilan penyakit bulai ( Peronoclerospora sp.) dan bercak daun pada tanaman jagung dari beberapa waktu tanam. Prosiding Seminar ilmiah dan Pertemuan Tahunan XI PEI, PFI dan HPTI Sul-Sel. Pakki, S., A. Muis. 2006. Patogen utama tanaman jagung setelah padi rendengan di lahan sawah tadah hujan. Penelitian Pertanain, Puslitbangtan Tanaman Pangan. Pakki, S., 2006. Sebaran penyakit bulai (Peronosclospora sp) pada beberapa sentra pertanaman jagung di Sulawesi Selatan.Prosiding dan Loka Karya Nasional. Puslitbangtan, Badan Litbang Pertanian. Pakki, S., A. Muis, dan S. Rahamma. 1998. Perkembangan penyakit bercak daun jagung (Helmiinthosporium maydis dan Curvularia sp) pada beberapa variasi cuaca. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain. Balitsereal. Maros. Vol 2: 49-55 Rahamma,S., M.S. kontonbg dan W. wakman. 1997. Pengaruh suhu dan kelembaban udara terhadap perkembangan Helminthosporium sp. pada tanaman jagung. Dalam Kumpulan Seminar Mingguan. Hasil Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia lain. Balitjas Maros1(2):19-27. Sujono, M.S 1988. Penykit jagung dan pengendaliannya dalam Subandi, M. Syam dan Wijono. Jagung. Puslitbangtan Bogor 205-217. Wakman, W dan Burhanuddin. 2007. Pengelolaan penyakit prapanen jagung. Dalam Buku Jagung. Tekhnik produksi dan pengembangan. Badan Litbang Pertanian.Pusat Penelitian Tanaman Pangan, Balai Penelitian Tanaman Serealia. Hal 305-335 Wakman W., S.Pakki., S. Kontong 2007. Evaluasi ketahanan varietas/galur jagung terhadap penyakit bulai. Laporan tahunan Kelompok Peneliti Hama dan Penyakit. Balitsereal Maros. 453
Syahrir Pakki dan Burhanuddin: Peranan Varietas dan Fungisida. Wakman, W, 2002. Sebaran dua spesies cendawan Peronosclerospora berbeda morfologi konidianya di Indonesia. Makalah disajikan pada Pertemuan membahas organisme pengganggu tanaman karantina (OPTK) Di Cianjur, 9-12 September 2002. Waren and Huber, 2006. Philippine Downy Mildew and Brown Stripe Downy Mildew of Corn. Virginia Polytechnic Inst. Purdue University. 454