OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN

dokumen-dokumen yang mirip
PROSPEK TANAMAN PANGAN

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

BAB III KEBIJAKAN STABILISASI HARGA

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. beras/padi. Komoditas yang memiliki nama lain Zea mays merupakan sumber

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

PENGARUH URBANISASI TERHADAP SUKSESI SISTEM PENGELOLAAN USAHATANI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEBERLANJUTAN SWASEMBADA PANGAN

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

I. PENDAHULUAN. bermatapencaharian petani. Meskipun Indonesia negara agraris namun Indonesia

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

BAB I. PENDAHULUAN A.

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS)

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB I PENDAHULUAN. terancam, maka kelangsungan hidup suatu bangsa dipertaruhkan.pandangan ini cukup

KINERJA MAKRO PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005

PENDAHULUAN. Latar Belakang

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam nabati maupun sumber daya alam mineral yang tersebar luas di

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah)

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sektor pertanian dalam tatanan pembangunan nasional memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

Penyusutan Luas Lahan Tanaman Pangan Perlu Diwaspadai Rabu, 07 Juli 2010

Tinjauan Spasial Produksi dan Konsumsi Beras

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kondisi Perekonomian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan tersebut atau lebih dikenal dengan perdagangan internasional.

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan

INFLASI DAN KENAIKAN HARGA BERAS Selasa, 01 Pebruari 2011

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

OPERASIONALISASI KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH DAN HARGA ATAP BERAS

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

ANALISIS DESKRIPTIF PENETAPAN HARGA PADA KOMODITAS BERAS DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

Transkripsi:

LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN TAHUN 2015 OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019 Oleh: Hermanto Delima Hasri Azahari Muchjidin Rachmat Nyak Ilham I Ketut Kariyasa Supriyati Adi Setiyanto Rangga Ditya Yofa Edy Supriyadi Yusuf PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2015 i

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... xii I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Tujuan... 3 1.3. Ruang Lingkup dan Keluaran Hasil Pengkajian... 3 1.4. Model Analisis dan Sumber Data... 4 II. OUTLOOK KOMODITAS BERAS... 5 2.1. Dinamika Pasar Beras Internasional... 5 2.1.1. Produksi, Pasokan, Pemanfaatan Beras Dunia... 5 2.1.2. Luas Panen dan Produktivitas Padi Dunia... 6 2.1.3. Stok dan Perdagangan Beras Dunia... 9 2.1.4. Peran Asia Dan Asia Tenggara Dalam Produksi Dan Perdagangan Beras... 11 2.1.5. Dinamika Harga Beras Dunia... 13 2.1.6. Prognosa Produksi dan Pemanfaatan Beras Dunia... 14 2.2. Dinamika Pasar Beras Nasional... 16 2.2.1. Dinamika Produksi Padi... 16 2.2.2. Dinamika Luas Panen dan Produktivitas Padi... 19 2.2.3. Dinamika Neraca Produksi dan Perdagangan Beras... 23 2.2.4. Dinamika Harga Gabah dan Beras Dalam Negeri... 25 2.3. Prediksi Produksi, Konsumsi, Impor dan Harga Beras Nasional... 29 2.3.1. Prediksi Produksi, Konsumsi, dan Impor Beras... 29 2.3.2. Prediksi Harga Beras dan Gabah... 34 2.4. Kebijakan Perberasan Nasional... 37 i

2.4.1. Kebijakan Peningkatan Produksi... 37 2.4.2. Kebijakan Harga Pembelian dan Harga Penjualan Pemerintah... 38 2.4.3. Pengaturan Ekspor dan Impor... 39 2.5. Kesimpulan... 40 III. OUTLOOK KOMODITAS JAGUNG... 44 3.1. Dinamika Pasar Internasional Jagung... 44 3.1.1. Produksi Dunia... 44 3.1.2. Perkembangan Harga Pasar Dunia... 48 3.1.3. Pemanfaatan Jagung Dunia... 50 3.1.4. Ekspor dan Impor Jagung Dunia... 51 3.1.5. Stok Jagung Dunia... 55 3.2. Dinamika Pasar Domestik Jagung... 57 3.2.1. Kinerja dan Outlook Produksi Jagung... 57 3.2.2. Kinerja dan Outlook Pemanfaatan Jagung... 61 3.2.3. Kinerja dan Outlook Ekspor-Impor Jagung di Indonesia... 64 3.2.4. Outlook Neraca Jagung di Indonesia... 67 3.2.5. Kinerja dan Outlook Harga Jagung Indonesia... 69 3.3. Kebijakan Pengembangan Jagung... 73 IV. OUTLOOK KOMODITAS KEDELAI... 81 4.1. Dinamika Pasar Internasional Kedelai... 81 4.1.1. Produksi Dunia... 81 4.1.2. Perkembangan Harga Kedelai di Pasar Dunia... 85 4.1.3. Konsumsi Kedelai Dunia... 86 4.1.4. Ekspor Impor... 88 4.1.5. Stok Kedelai Dunia... 90 4.2. Dinamika Pasar Domestik Kedelai... 91 4.2.2. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai di Indonesia... 91 4.2.2. Perkembangan Harga Kedelai di Pasar Indonesia... 94 ii

4.3.2. Perkembangan Ketersediaan dan Konsumsi Kedelai di Indonesia... 96 4.2.4. Ekspor Impor Kedelai Indonesia... 97 4.3. Kebijakan Pengembangan Kedelai... 98 4.4. Outlook Komoditas Kedelai... 100 4.5. Kesimpulan Dan Implikasi Kebijakan... 106 V. OUTLOOK KOMODITAS KELAPA SAWIT... 108 5.1. Dinamika Pasar CPO Dunia... 110 5.1.1. Produksi dan Konsumsi CPO Dunia... 110 5.1.2. Ekspor dan Impor... 111 5.1.3. Perkembangan Harga CPO Dunia... 112 5.2. Dinamika Pasar Domestik... 113 5.2.1 Luas Panen... 113 5.2.2 Produksi... 115 5.2.3 Produktivitas... 116 5.2.4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kelapa Sawit, 2005-2014... 119 5.2.5. Perkembangan Harga Sawit Indonesia... 119 5.2.6. Perkembangan Ekspor Kelapa Sawit di Indonesia... 121 5.2.7. Perkembangan Impor Kelapa Sawit di Indonesia... 123 5.2.8. Sentra Produksi Sawit Indonesia... 123 5.2.9. Minyak Sawit sebagai Komoditas Strategis... 124 5.2.10. Peningkatan Nilai Tambah... 125 5.2.11. Potensi Permintaan... 127 5.3. Peluang dan Kendala Pengembangan Industri Sawit Berkelanjutan... 127 5.4. Perluasan Lahan dan Kebutuhan Investasi... 131 5.5. Outlook Komoditas Sawit Indonesia... 132 5.5.1. Produksi dan Permintaan Komoditas... 132 5.5.2. Neraca Komoditas... 133 5.5.3. Harga Komoditas... 133 5.6. Kesimpulan dan Saran Kebijakan... 134 iii

PENUTUP... 137 DAFTAR PUSTAKA... 143 LAMPIRAN... 147 iv

DAFTAR TABEL 2.1. Prediksi Perkembangan Harga Beras di Tingkat Konsumen Tahun 2015-2019.... 34 2.2. Perkembangan Prediksi Harga Gabah di Tingkat Produsen di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2015-2019... 36 3.1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung Dunia... 44 3.2. Rata-rata Luas Panen, Produksi, Produktivitas di 8 Negara Produsen Jagung Dunia, 2009-2013... 46 3.3. Perkembangan Harga Produsen Jagung di Lima Negara Produsen Jagung Dunia. 49 3.4. Perkembangan Penggunaan Jagung Dunia, 2000-2015... 50 3.5. Perkembangan Impor dan Ekspor Jagung Dunia, 2000-2015... 52 3.6. Perkembangan Proporsi Ekspor dari Negara Eksportir Jagung Terbesar di Dunia, 2009-2013... 53 3.7. Perkembangan Proporsi Impor dari Negara Eksportir Jagung Terbesar di Dunia, 2009-2013... 54 3.8. Perkembangan Stok Jagung Dunia, 2000-2015... 56 3.9. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung di Indonesia, 2005-2015... 57 3.10. Prediksi Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Komoditas Jagung, 2015-2019... 61 3.11. Perkembangan Penggunaan Jagung Nasional, 2000-2015... 62 3.12. Prediksi Permintaan (Rumahtangga dan Industri) Komoditas Jagung 2015 2019... 64 3.13. Perkembangan Ekspor-Impor Jagung di Indonesia, 2000-2015... 65 3.14 Prediksi Net Impor Komoditas Jagung, 2015 2019 (000 Ton)... 66 3.15. Perkembangan Surplus/Defisit Penawaran dan Permintaan Komoditas Jagung Indonesia, 2000 2013... 67 3.16. Prediksi Surplus/Defisit Penawaran dan Permintaan Komoditas Jagung, 2015 2019 (000 Ton)... 68 3.17. Perkembangan Harga Produsen dan Konsumen Jagung Indonesia, 2000 2014 69 v

3.18. Perkembangan Harga Produsen, 2005-2014 (Rp/Kg)... 71 3.19. Perkembangan Harga Konsumen, 2005-2015 (Rp/Kg)... 71 3.20. Prediksi Harga Produsen Riil Jagung Bulanan Skenario I, 2015-2019 (Rp000/kg) 72 3.21. Prediksi Harga Produsen Riil Jagung Bulanan Skenario II, 2015-2019 (Rp000/kg)... 73 3.22. Prediksi Harga Produsen Jagung Riil Bulanan Skenario III, 2015-2019 (Rp000/kg)... 73 4.1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai Dunia, 2000-2013... 83 4.2. Perkembangan Harga Produsen Kedelai di Beberapa Produsen Kedelai Dunia, 2000-2013... 86 4.3. Perkembangan Penggunaan Kedelai Dunia, 2000-2011 (000 Ton)... 87 4.4. Perkembangan Ekspor dan Impor Kedelai Dunia, 2000/01-2015/16... 88 4.5. Perkembangan Stok Kedelai Dunia, 2000/01-2015/16 (1000 MT)... 91 4.6. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai di Indonesia, 2000-2015... 93 4.7. Perkembangan Harga kedelai di Tingkat Produsen dan Konsumsen, 2000-2014... 95 4.8. Ketersediaan dan Konsumsi Kedelai Per Kapita di Indonesia, 2000-2014... 96 4.9. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia, 2000-2014... 97 4.10. Prediksi Luas Panen Komoditas, Produktivitas dan Produksi Komoditas Kedelai, 2015-2019... 101 4.11. Prediksi Produksi,Permintaan dan Defisit Produksi Komoditas Kedelai di Indonesia, 2015-2019 (ton)... 102 4.12. Prediksi Net Impor Komoditas Kedelai dari Indonesia, 2015-2019 (000 ton)... 103 4.13. Prediksi Harga Produsen Riil Komoditas Kedelai menurut Wilayah 2015 2019... 103 4.14. Prediksi Harga Konsumen Riil Komoditas Kedelai menurut Wilayah 2015 2019... 104 vi

4.15. Prediksi Penggunaan Kedelai di Indonesia, 2015 2019 (ribu ton)... 105 5.1.Perkembangan Produksi dan Konsumsi CPO Dunia... 111 5.2 Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit Indonesia, 1995-2013... 117 5.3. Perbandingan Produksi dan Konsumsi CPO Indonesia, 2005-2014... 119 5.4. Perkembangan Harga CPO Indonesia, 2004-2013... 120 5.5. Perkembangan Ekspor CPO Indonesia, 2005-2014... 121 5.6. Perkembangan Impor Sawit Indonesia, 2005-2014... 123 5.7. Produksi CPO di Provinsi Sentra Produksi di Indonesia, 2009 2013... 124 5.8. Ketersediaan lahan untuk perluasan kelapa sawit di Indonesia... 124 5.9. Peluang Perluasan dan Investasi Kelapa Sawit Indonesia, 2005 2025... 131 5.10. Prediksi Perkembangan Produksi CPO Indonesia Tahun 2015 2019 Menurut Skenario (Ribu Ton)... 132 5.11. Prediksi Perkembangan Neraca Komoditas CPO Indonesia Tahun 2015 2019 Menurut Skenario (Ribu Ton)... 133 5.12. Prediksi Perkembangan Harga Riil CPO Indonesia Tahun 2015 2019 Menurut Skenario (Ribu Ton)... 134 vii

DAFTAR GAMBAR 2.1. Dinamika Produksi, Pasokan dan Penggunaan Baras Dunia (Tahun 2005/06 2015/16).... 6 2.2. Perkembangan Luas Panen Padi Dunia Tahun 2005 2014.... 7 2.3. Perkembangan Produktivitas Padi Dunia Tahun 2005 2014.... 8 2.4. Pertumbuhan Luas Panen dan Produktivitas Padi Dunia Tahun 2005 2014.... 8 2.5. Dinamika Stok dan Perdagangan Baras Dunia (Tahun 2005/06 2015/16).... 9 2.6. Dinamika Rasio Stok dan Rasio Perdagangan Terhadap Pemanfaatan Baras Dunia (Tahun 2005/06 2015/16).... 10 2.7. Sepuluh Negara Produsen Beras Terbesar Dunia Pada Tahun 2013... 12 2.8. Perbandingan Ekspor Beras Asia Tenggara Terhadap Ekspor Beras Dunia (2009 2013).... 13 2.9. Rasio Impor Asia dan Impor Indonesia Terhadap Impor Beras Dunia (2009 2013).... 13 2.10. Harga Beras di Pasar Kawasan Asia Tenggara Tahun 2000 2015 (USD/Ton)... 14 2.11. Proyeksi Produksi dan Pemanfaatan Beras Dunia (2016/17 2019/20).... 15 2.12. Proyeksi Surplus Beras Dunia (2016/17-2019/20).... 16 2.13. Perkembangan Produksi Padi di Indonesia, Jawa dan Luar Jawa Tahun 1993 2015.... 17 2.14. Dinamika Pertumbuhan Produksi Padi di Indonesia, Jawa dan Luar Jawa Tahun 1993 2015.... 18 2.15. Pangsa Produksi Padi di Jawa dan Luar Jawa Pada Tahun 1993 dan Tahun 2015.... 19 2.16. Perkembangan Luas Panen di Jawa dan Luar Jawa Tahun 1993 2015.... 20 2.17. Pangsa Luas Panen Padi di Jawa dan di Luar Jawa Tahun 1993 dan Tahun 2015.... 20 2.18. Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia, Jawa, dan Luar jawa Tahun 1993 2015.... 21 viii

2.19. Pertumbuhan Luas Panen dan Produktivitas Padi di Indonesia Tahun 1993 2015.... 22 2.20. Perkembangan Neraca Produksi dan Pemanfaatan Beras Indonesia Tahun 1993 2013.... 24 2.21. Perkembangan Impor dan Stok Beras Indonesia Tahun 1993 2013.... 25 2.22. Perkembangan Harga Gabah di Tingkat Petani dan Penggilingan Tahun 2008 2015.... 26 2.23. Perkembangan Harga Beras Bulanan di Indonesia Tahun 2005 2015... 27 2.24. Perbandingan Harga Paritas Beras Thailand 5% dengan Harga Beras IR I di Jakarta Tahun 2008 2013.... 29 2.25. Prediksi Perkembangan Produksi Beras Nasional Tahun 2015 2019.... 31 2.26. Prediksi Perkembangan Konsumsi Beras Nasional Tahun 2015 2019.... 32 2.27. Prediksi Perkembangan Surplus/Defisit Beras Nasional Tahun 2015 2019... 33 2.28. Prediksi Perkembangan Net Impor Beras Nasional Tahun 2015 2019... 33 3.1. Perkembangan Luas Panen Jagung Dunia, 2000-2015... 45 3.2. Perkembangan Provitas Jagung Dunia, 2000-2015... 45 3.3. Perkembangan Produksi Jagung Dunia, 2000-2015... 45 3.4. Proposi Produksi Jagung Dunia di 10 Negara Produsen... 45 3.5. Perkembangan Provitas Jagung di Negara Produsen Utama dan Dunia, 2009-2013... 47 3.6. Perkembangan Ratio Provitas Negara Produsen Utama terhadap Provitas Dunia, 2009-2013... 47 3.7. Perkembangan Harga Produsen Jagung Dunia, 2000-2015 (US$/Ton)... 48 3.8. Perkembangan Harga Produsen Jagung di Lima Negara Produsen Jagung Dunia, 2001-2013 (US$/Ton)... 49 3.9. Perkembangan Pemanfaatan Jagung Dunia, 2000-2015 (%)... 51 3.10. Perkembangan Ekspor dan Impor Jagung Dunia, 2000-2015 (000 Ton)... 52 3.11. Perkembangan Proporsi Ekspor dari Sepuluh Eksporti Jagung Dunia, 2009-2013 (%)... 53 ix

3.12. Perkembangan Proporsi Impor dari Sepuluh Importir Jagung Dunia dan Indonesia, 2009-2013 (%)... 55 3.13. Perkembangan Perubahan Stok Jagung Dunia, 2000-2015 (000 Ton)... 56 3.14. Perkembangan Produksi Jagung Indonesia menurut Wilayah, 2000-2015 (000 Ton)... 58 3.15. Perkembangan Luas Panen Jagung Indonesia menurut Wilayah, 2000-2015 (000 Ha)... 59 3.16. Perkembangan Produktivitas Jagung Indonesia menurut Wilayah, 2000-2015 (Ku/Ha)... 60 3.17. Perkembangan Pemanfaatan Jagung Indonesia, 2000-2013 (000 Ton)... 63 3.18. Perkembangan Ekspor dan Impor Jagung Indonesia, 2000-2013 (000 Ton)... 66 3.19. Perkembangan Produksi, Permintaan, Ekspor dan Impor Jagung Indonesia, 2000-2013 (000 Ton)... 68 3.20. Perkembangan Harga Produsen dan Konsumen Jagung Indonesia menurut Bulan, 2000-2014 (Rp/Kg)... 70 4.1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai Dunia, 2000-2013... 82 4.2. Kontribusi Negara Penghasil Kedelai Utama Terhadap Produksi Kedelai Dunia, 2009-2013... 83 4.3. Sebaran Luas Panen Kedelai di Dunia, 2009-2013... 84 4.4. Produktivitas Kedelai Tertinggi di Dunia, 2009-2013... 84 4.5. Perkembangan Harga Produsen Kedelai di Beberapa Produsen Kedelai Dunia,2000-2013... 85 4.6. Perkembangan Penggunaan Kedelai Dunia, 2000-2011... 87 4.7. Sebaran Volume Ekspor Kedelai Pada 5 Ekportir Terbesar di Dunia, 2008-2012... 89 4.8. Sebaran Volume Impor Kedelai Pada 10 Importir Terbesar di Dunia, 2007-2011.. 90 4.9. Perkembangan Stok Kedelai Dunia, 2000/01-2015/16 (1000 MT)... 91 4.10. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai di Indonesia, 2000-2015... 92 x

4.11. Kontribusi Provinsi Sentra Produksi Kedelai Terhadap Produksi Kedelai Nasional, 2010-2015... 94 4.12. Perkembangan Harga kedelai di Tingkat Produsen dan Konsumsen, 2000-2014 95 4.13. Rataan Pangsa Penggunaan Kedelai, 2015-2019... 105 5.1. Perkembangan Ekspor dan Impor CPO Dunia, 2005-2014... 112 5.2. Perkembangan Harga CPO Dunia, 2005-2014 (US$/MT)... 113 5.3. Tren Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia, 1980-2014 (Ha)... 114 5.4. Tren Perkembangan Produksi CPO di Indonesia, 1980-2014 (Ton)... 116 5.5 Perbandingan produktivitas CPO Indonesia dan Malaysia, 1995-2013... 118 5.6. Perbandingan Harga CPO Indonesia, Malaysia, dan Rotterdam, 2010-2015... 121 5.7. Negara Tujuan Ekspor Minyak Sawit Indonesia, 2014... 122 5.8. Ekspor Minyak Sawit Indonesia dan Malaysia, 2000-2015... 122 5.9. Perbandingan Produktivitas Minyak Nabati, 2009... 125 xi

DAFTAR LAMPIRAN 1. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit (Ha)... 147 2. Perkembangan Produksi Minyak Sawit (Ton)... 148 xii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian masih merupakan sektor penting bagi perekonomian dunia, khususnya bagi perekonomian negara-negara berkembang, paling tidak karena tiga alasan. Pertama, walaupun ada kecenderungan yang menurun, pertanian primer masih memberikan sumbangan yang relatif besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), ekspor dan penyediaan lapangan kerja bagi negara-negara berkembang, apalagi jika diperhitungkan dengan pendapatan dan lapangan kerja yang dihasilkan oleh agroindustri, transportasi dan kegiatan komersial lain yang terkait, maka peran pertanian dalam perekonomian negara-negara berkembang akan meningkat dengan tajam. Kedua adalah bahwa sektor pertanian merupakan sumber pertumbuhan pendapatan dan lapangan kerja, serta pertumbuhan sektor pertanian berdampak positif terhadap pengurangan kemiskinan di negara-negara berkembang. Ketiga adalah bahwa sektor pertanian tidak hanya berperan terhadap masing-masing negara berkembang, tetapi juga mempunyai peran penting dalam produksi pertanian dunia, serta berperean terhadap peningkatan perdagangan pertanian global (Diaz-Bonilla. 2015). Selama dua dasa warsa terakhir ini paling tidak telah terjadi tiga kali gejolak harga pangan di dunia. Data harga serealia yang dihimpun oleh FAO (2015) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir telah terjadi tiga kali gejolak harga serealia dunia, yaitu pada tahun 1998, tahun 2008 dan tahun 2012. Gejolak harga pangan dunia tidak hanya disebabkan oleh perubahan iklim ekstrim yang menyebabkan turunnya produksi, tetapi juga terkait dengan kebijakan pemerintah negara produsen yang membatasi ekspor pangan. Lonjakan harga pangan dunia juga disebabkan oleh melonjaknya permintaan bahan bakar nabati (BBN) akibat krisis bahan bakar minyak (BBM) (Morrison, 2011). Dalam era globalisasi perdagangan dan sebagai dampak dari perubahan iklim global yang ekstrim, produksi pertanian dan pangan nasional secara langsung ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh dinamika produksi pertanian dan pangan dunia. Para 1

pakar ekonomi berpendapat bahwa penyebab krisis pangan dunia tidak hanya diakibatkan oleh perubahan iklim global yang mempengaruhi produksi pangan dunia, tetapi juga karena factor penyebab yang antara lain terkait dengan: (1) perubahan jumlah dan permintaan pangan karena meningkatnya jumlah dan pendapatan perkapita penduduk, (2) perubahan harga BBM yang mendorong peningkatan permintaan BBN, (3) terjadinya krisis moneter yang mendorong terjadinya spekulasi pada pasar komoditas pangan dunia, serta (4) perubahan kebijakan pada masing-masing negara eksportir yang melakukan berbagai ristriksi ekspor yang secara kumulatif berujung pada menurunnya pasokan pangan komoditas pangan secara drastic di pasar komoditas pangan dunia. Pemerintah Indonesia telah menetapkan arah kebijakan pangan nasional, yaitu ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Berbagai program telah digulirkan untuk mencapai swasembada pangan. Pemerintah juga telah menetapkan 7 (tujuh) komoditas pangan sebagai pangan pokok dan strategis yang mendapat prioritas utama dalam pencapaian swasembada pangan. Ketujuh komoditas pangan tersebut adalah padi/beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, bawang merah dan cabai merah. Bawang merah dan cabai merah bukan merupakan bahan pangan pokok, melainkan komoditas pangan yang dijaga stabilitas harganya, terutama di tingkat konsumen karena gejolak harga ke dua komoditas pangan ini dapat berdampak terhadap tingkat inflasi. Di samping itu, minyak sawit juga merupakan komoditas strategis mengingat besarnya sumbangan terhadap ekspor komoditas perkebunan. Pemerintah berupaya keras untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga komoditas pokok, disamping karena menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, tetapi juga untuk menjaga akses fisik dan ekonomi masyarakat terhadap bahan pangan pokok sebagai sumber karbohidrat dan protein bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Tingkat konsumsi karbohidrat dan protein perkapita menentukan tingkat kerawanan seorang individu. Dalam rangka mendukung pengembangan 8 (delapan) komoditas strategis, yaitu padi/beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, bawang merah, cabai merah dan minyak 2

sawit maka diperlukan analisis untuk mengetahui situasi perkembangan produksi, konsumsi, stok dan perdagangan luar negeri pada saat ini, serta prospek pengembangan komoditas tersebut selama lima tahun ke depan. Kajian akan bertahap selama dua tahun dimana pada tahun pertama (2015) akan dikaji komoditas padi, jagung, kedelai, dan minyak sawit. Pada tahun kedua (2016) akan dikaji komoditas bawang merah, cabai merah, gula, dan daging sapi. Kajian ini merupakan salah satu komponen penting karena menghasilkan analisis mengenai status, tren atau kecenderungan-kecenderungan yang terjadi, dan prospek sektor pertanian dengan memperhatikan perubahan ekonomi, sosial budaya, kelembagaan dan teknologi baik yang berasal dari internal sektor pertanian maupun dari eksternal di luar sektor pertanian, baik yang berasal dari dalam dalam negeri maupun luar negeri yang turut mempengaruhi perkembangan sektor pertanian (Setiyanto et al. 2014). 1.2. Tujuan Kajian ini bertujuan untuk: 1. Melakukan analisis tentang dinamika produksi, konsumsi, stok, perdagangan internasional dan perkembangan harga di dalam negeri dan di pasar internasional untuk kedelapan komoditas pangan strategis. 2. Mempelajari kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengembangan delapan komoditas pangan strategis. 3. Melakukan pridiksi perkembangan produksi, konsumsi, neraca produksi dan konsumsi dalam negeri, neraca ekspor dan impor, serta perkembangan harga dalam negeri untuk delapan komoditas pangan strategis selama periode 20015 2016. 1.3. Ruang Lingkup dan Keluaran Hasil Pengkajian Kajian dilakukan pada lingkup nasional dan global. Analisis yang akan dilakukan lebih mengarah kepada analisis yang bersifat makro tentang perkembangan produksi, 3

konsumsi, neraca produksi dan konsumsi, serta neraca ekspor dan impor untuk masingmasing komoditas. Komoditas yang dianalisis adalah komoditas bahan pangan pokok yang meliputi padi/beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, komoditas pangan penting yaitu bawang merah dan cabai merah, serta komoditas penghasil devisa negara yaitu minyak sawit. Keluaran yang diharapkan dari hasil kajian ini adalah sebuah gambaran umum yang terkait dengan dinamika produksi produksi, konsumsi, stok dan harga baik di dalam negeri maupun dipasar internasional, serta pridiksi perkembangan produksi, konsumsi, neraca produksi dan konsumsi dalam negeri, neraca ekspor dan impor, serta perkembangan harga dalam negeri delapan komoditas pangan strategis untuk periode tahun 20015 2016. Diharapkan dari hasil kajian ini dapat dihasilkan kebijakan untuk pengembangan kedelapan komoditas pangan strategis tersebut secara berkelanjutan. 1.4. Model Analisis dan Sumber Data Berdasarkan ketersediaan data menurut deret waktu, maka kajian ini akan memanfaatkan model multi market yang telah dibangun PSEKP untuk memperkirakan kondisi produksi ketujuh komoditas pangan pokok dan penting tersebut untuk jangka lima tahun, yaitu untuk periode 2015 2019. Dalam model yang digunakan juga telah mengakomodasi dampak dari kebijakan makro ekonomi nasional dan kebijakan mikro sectoral. Model juga telah mempertimbangkan dampak dari dinamika perubahan perekonomian global. Disamping itu, dalam memprediksi keragaan komoditas tersebut juga akan dilakukan simulasi yang menggambarkan perubahan iklim sebagai dampak dari gejala El Nino dan La Nina (Setiyanto et al. 2014). Kajian ini sebanyak mungkin memanfaatkan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik, Lembaga terkait di dalam negeri dan Lembaga Internasional. Informasi dan pengetahuan yang terkait dengan obyek pengkajian juga diperoleh dari nara sumber yang berkompeten di bidangnya. Data sekunder dan informasi tambahan yang diperlukan dikumpulkan di DKI Jakarta Raya dan Provinsi Jawa Barat. 4

II. OUTLOOK KOMODITAS BERAS 2.1. Dinamika Pasar Beras Internasional 2.1.1. Produksi, Pasokan, Pemanfaatan Beras Dunia Beras merupakan salah satu produk serealia dunia yang penting di samping terigu. Beras merupakan sumber karbohidrat yang sebagian besar dikonsumsi oleh penduduk di Asia. Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di Asia Tenggara, utamanya penduduk Indonesia. Pada tahun 2005/06 produksi beras dunia adalah 422,1 juta ton. Sedangkan pada tahun 2015/16 produksi beras dunia naik menjadi 491,4 juta ton. Produksi beras dunia tumbuh dengan angka pertumbuhan rata-rata 1,55 persen pertahun selama periode 2005/06 2015/16. Produksi beras dunia berfluktuasi menurut tahun, namun keragaman produksi beras dunia tahunan yang diukur dengan Coefficient of Variation (CV) relatif rendah yaitu sekitar 6 persen selama periode tahun 2005/06 2015/16 (Gambar 2.1.). Gambar 2.1. menggambarkan dinamika pasokan atau supply beras dunia selama periode 2005/06 2015/16. Pasokan beras dunia merupakan penjumlahan antara produksi beras dunia dengan stok awal beras dunia. Pada tahun 2005/06 pasokan beras dunia adalah sebesar 513,6 juta ton. Pada tahun 2015/16 pasokan beras dunia naik menjadi 663,1 juta ton. Adapun pertumbuhan pasokan beras dunia rata-rata sebesar 2,60 persen per tahun. Dari Gambar 2.1. juga dapat diketahui dinamika pemanfaatan beras dunia. Pada tahun 2005/06 pemanfaatan beras dunia adalah sekitar 418,1 juta ton, naik menjadi 499,3 juta ton. Pertumbuhan pemanfaatan rata-rata selama periode 2005/06 2015/16 adalah 1,79 persen per tahun. Angka pertumbuhan pemanfaatan beras dunia yang rata-rata lebih tinggi dari pertumbuhan rata-rata produksi beras dunia perlu mendapatkan perhtian yang serius. Sementara itu, angka pertumbuhan pemanfaatan beras dunia yang relatif lebih kecil dari angka pertumbuhan pasokan beras dunia, menunjukkan bahwa tambahan permintaan beras dunia dipenuhi dengan pertambahan stok beras dunia. Kondisi ini merupakan indikasi bahwa jika peningkatan produksi beras 5

dunia tidak dapat dipacu pertumbuhnnya sehingga melebihi angka pertumbuhan pemanfaatannya, maka dikhawatirkan bahwa di masa datang berkemungkinan akan terjadi gejolak pasokan beras dunia yang berarti juga akan memicu gejolak harga beras dunia. Sumber: FAO (2015) Gambar 2.1. Dinamika Produksi, Pasokan dan Penggunaan Baras Dunia (Tahun 2005/06 2015/16) 2.1.2. Luas Panen dan Produktivitas Padi Dunia Salah satu faktor yang menentukan pertambahan produksi padi dunia adalah pertambahan luas panen padi dunia. Perkembangan luas panen padi dunia dapat dilihat pada Gambar 2.2. Data menunjukkan bahwa luas panen padi dunia selama periode tahun 2005 2014 cenderung meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata 0,58 persen per tahun. Luas panen padi dunia pada tahun 2005 adalah sekitar 155,0 juta hektare. Pada tahun 2014 luas panen padi bertambah menjadi 163,2 juta hektare. Adapun keragaman luas panen padi dunia yang dikur dengan angka CV selama periode pengamatan adalah 2,18 persen. Mengingat bahwa produksi merupakan perkalian antara luas panen dengan produktivitas tanaman, maka perkembangan produktivitas, bersama dengan luas 6

papen, menentukan jumlah produksi padi pada tahun tertentu. Perkembangan produktivitas padi dunia dari tahun 2005 s/d tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar 2.3. Data pada Gambar 2.3. menunjukkan bahwa pada tahun 2005 produktivitas padi dunia rata-rata mencapai 4,09 ton/ha. Produktivitas padi meningkat menjadi 4,54 ton/ha pada tahun 2014. Dengan demikian selama periode tahun 2005 2015 produktivitas padi dunia telah berkembang dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,05 persen per tahun. Adapun keragaman produktivitas padi dunia yang diukur dengan angka CV selama periode pengamatan adalah 3,71 persen. Sumber: FAO (2015) Gambar 2.2. Perkembangan Luas Panen Padi Dunia Tahun 2005 2014. Gambar 2.4. menunjukkan perbandingan antara pertumbuhan luas panen dengan pertumbuhan produktivitas. Data menunjukkan bahwa selama periode tahun 2005-2014 secara rata-rata laju pertumbuhan produktivitas sebesar 1,05 persen pertahun relatif lebih tinggi bila dibandingkan laju pertumbuhan luas panen padi yang sebesar 0,58 persen per tahun. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sumber utama pertumbuhan produksi padi dunia adalah pertumbuhan produktivitasnya. Hal ini mempunyai implikasi bahwa sumber daya lahan untuk mendukung pertumbuhan produksi padi dunia sudah semakin terbatas, sehingga tumpuan harapan peningkatan 7

produksi padi di masa yang akan datang tinggallah pertumbuhan produktivitasnya. Mengingat bahwa produktivitas sangat ditentukan oleh kemajuan teknologi, maka untuk mencapai pertumbuhan produksi padi dunia secara berkelanjutan diperlukan pendanaan dan investasi yang memadai dibidang penelitian dan pengembangan. Sumber: FAO (2015) Gambar 2.3. Perkembangan Produktivitas Padi Dunia Tahun 2005 2014. Sumber: FAO (2015) Gambar 2.4. Pertumbuhan Luas Panen dan Produktivitas Padi Dunia Tahun 2005 2014. 8

2.1.3. Stok dan Perdagangan Beras Dunia Gambar 2.5. menunjukkan dinamika stok dan perdagangan beras dunia. Stok beras dunia pada tahun 2005/06 adalah 94,3 juta ton. Stok beras dunia cenderung meningkat sampai tahun 2013/14 yaitu menjadi 171,6 juta ton. Stok beras dunia cenderung tetap dan menurun selama periode 1013/14 2015/16. Kecenderungan pelandaian stok beras dunia ini memperkuat kekhawatiran akan terjadinya lonjakan pasokan dan harga beras dunia, jika produksi beras dunia tidak dapat dipacu hingga melebihi tingkat pertumbuhan pemanfaatannya. Gambar 2.5. juga menunjukkan dinamika perdagangan beras dunia. Pada tahun 2005/06 perdagangan beras dunia baru mencapai 29,1 juta ton. Perdagangan beras dunia meningkat menjadi 45,0 juta ton pada tahun 2015/16. Sebagaimana halnya dengan dinamika stok beras dunia, jumlah perdagangan beras dunia mencapai puncaknya pada tahun 2013/14. Setelah tahun tersebut jumlah perdagangan beras dunia cenderung melandai. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa surplus pasar beras dunia di masa yang aka datang akan semakin menipis seiring dengan pertumbuhan permintaan beras dunia yang tumbuh relatif lebih relatif dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan produksi beras dunia. Sumber: FAO (2015) Gambar 2.5. Dinamika Stok dan Perdagangan Baras Dunia (Tahun 2005/06 2015/16). 9

Ketahanan stok beras dunia terhadap pemanfaatan beras dunia pada umumnya diukur dengan besaran Stock to Utilization Ratio (SUR), yaitu suatu besaran yang merupakan perbandingan antara jumlah stok pada suatu tahun dengan jumlah pemanfaatan beras pada tahun yang bersangkutan. Gambar 2.6. menunjukkan dinamika ketahanan stok beras dunia yang diukur dengan besaran SUR. Pada tahun 2005/06 nilai SUR adalah 25,1 persen. Pada tahun 2013/14 nilai SUR beras dunia telah mencapai puncaknya, dan cenderung melandai atau sedikit menurun setelahnya. Dinilai dari besarannya sebenarnya nilai SUR dibawah 25 persen sebenarnya cukup rawan, mengingat krisis beras dunia pada tahun 2007/08 terjadi pada saat SUR beras dunia mencapai 24,2 pada tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2006/07. Sedangkan krisis beras pada tahun 2011/12 terjadi pada posisi stok mencapai 27,7 persen pada tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2010/11. Sumber: FAO (2015) Gambar 2.6. Dinamika Rasio Stok dan Rasio Perdagangan Terhadap Pemanfaatan Beras Dunia (Tahun 2005/06 2015/16). Sebagaimana halnya dengan stock beras, kekuatan pasar untuk memenuhi permintaan beras dunia dapat diukur dengan Trade to Utilization Ratio (TUR), yaitu menggambarkan perbandingan antar jumlah beras dunia yang tersedia di pasar dengan jumlah pemanfaatan beras dunia. Besaran TUR ternyata jauh dibandingkan dengan 10

SUR. Sebagai contoh pada tahun 2005/06 besarnya TUR hanyalah 6,95 persen. Pada tahun 2013/14 TUR mencapai puncaknya pada posisi 9,39, setelah itu TUR juga cenderung melandai dan sedikit menurun (Gambar 2.6). Rendahnya nilai TUR dibandingkan dengan SUR mengimplikasikan bahwa pasar beras dunia tidak cukup kuat untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga beras dunia. Dengan demikian, negaranegara produsen beras yang sekaligus juga sebagai negara konsumen beras yang besar, seperti Tiongkok, India, dan Indonesia cenderung menggunakan stok beras dalam negeri untuk menjaga stabilitas pasokan harga beras untuk rakyatnya. 2.1.4. Peran Asia Dan Asia Tenggara Dalam Produksi Dan Perdagangan Beras Kawasan Asia Tenggara terkenal dengan kawasan produsen beras dunia. Keadaan ini dapat dilihat pada Gambar 2.7. yang menunjukkan dari 10 negara produsen beras terbesar di dunia, ada sebilan negera produsen yang berasal dari Asia, yaitu China, India, Indonesia, Bangladesh, Vietnam, Thailand, Philipinnes, Myanmar, dan Japan. Hanya ada satu produsen beras besar dunia yang berasal dari Amerika Latin, yaitu Brazil. Dapat dilihat bahwa Indonesia merupakan negara produsen beras nomor tiga terbesar di dunia, setelah China dan India. Dari sembilan negara produsen terbesar di Asia, ada lima produsen beras di Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Vietnam, Thailand, Philippines dan Myanmar. Gambar 2.8. yang menunjukkan bahwa ekspor beras kawasan Asia Tenggara mempunyai sumbangan yang penting terhadap ekspor beras dunia. Pada tahun 2009 ekspor beras Asia Tenggara mencapai 4,9 juta ton atau sekitar 16,26 persen. Pada tahun 2013 ekspor beras Asia Tenggara meningkat menjadi 15,14 juta ton. Dengan demikian pangsa ekspor beras Asia Tenggara meningkat menjadi 35,0 persen. Kondisi ini mengindikasikan bahwa peran negara eksportir beras di Asia Tenggara, seperti Thailand dan Vietnam di pasar dunia beras semakin meningkat. Implikasinya adalah bahwa harga beras di pasar regional Asia Tenggara cukup berpengaruh terhadap harga beras di pasar dunia. 11

Sumber: Maps of World (2013) Gambar 2.7. Sepuluh Negara Produsen Beras Terbesar Dunia Pada Tahun 2013 Gambar 2.9. menunjukkan perbandingan impor beras Asia Tenggara dan impor beras Indonesia terhadap impor beras dunia. Data menunjukkan bahwa rasio impor beras Asia Tenggara selama periode tahun 2009-2013 bervariasi antara 3,87 persen s/d 7,9 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa Asia Tenggara bukanlah pengimpor beras dominan di dunia. Namun demikian, sebagai negara yang terbesar jumlah penduduknya di kawasan Asia Tenggara, impor beras Indonesia cukup dominan di pasar beras kawasan Asia Tenggara. Hal ini ditunjukkan oleh rasio impor beras Indonesia terhadap impor beras dunia selama periode tahun 2009 2013 bervariasi antara 0,85 persen s/d 7,76 persen, atau jika dibandingkan dengan impor beras kawasan Asia Tenggara adalah berkisar antara 15,8 persen s/d 106,7 persen (kemungkinan perbedaan sumber data). 12

Sumber: FAO (2015) Gambar 2.8. Perbandingan Ekspor Beras Asia Tenggara Terhadap Ekspor Beras Dunia (2009 2013). Sumber: FAO (2015) Gambar 2.9. Rasio Impor Asia dan Impor Indonesia Terhadap Impor Beras Dunia (2009 2013). 2.1.5. Dinamika Harga Beras Dunia Pada pembicaraan terdahulu dapat diketahui bahwa Indonesia merupakan negara pengimpor beras dominan di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, dalam analisis harga beras untuk pasar internasional akan relevan jika digunakan data harga beras di kawasan Asia Tenggara. Dalam hal ini dinamika harga beras internasional di Kawasan Asia Tenggara dipergunakan data harga dari Thailand dan Vietnam, karena 13

dua negara ini merupakan negara eksportir besar di kawasan, dan pada kenyataannya Indonesia banyak mengimpor beras dari ke dua negara ini. Data pada Gambar 2.10. menunjukkan dinamika harga beras FOB bulanan dengan kualitas 15 persen broken eks Thailand dan Vietnam selama periode tahun 2000 2015 (bulan Mei). Secara umum pola pergerakan harga beras eks Thailand maupun eks Vietnam boleh dikatakan sama. Selama periode pengamatan ada dua kali lonjakan harga beras dari kedua negara tersebut. Lonjakan pertama adalah pada periode bulan April 2008 s/d September 2008 saat harga beras ekspor dari kedua negara tersebut melonjak di atas 500 USD/ton bahkan mencapai puncaknya pada harga di atas 800 USD/ton. Lonjakan harga beras ke dua terjadi dalam periode Mey 2012 s/d Juni 2012 saat harga beras eks Thailand mencapai di atas 570 USD/ton. Lonjakan harga beras dari dua negara tersebut merupakan tanda terjadinya krisis beras dunia, atau yang juga dikenal sebagai krisis pangan dunia. Sumber: FAO (2015) Gambar 2.10. Harga Beras di Pasar Kawasan Asia Tenggara Tahun 2000 2015 (USD/Ton). 2.1.6. Prognosa Produksi dan Pemanfaatan Beras Dunia Berdasarkan tren produksi dan tren pemanfaatan beras dunia dapat diproyeksikan produksi dan pemanfaatan beras dunia dari tahun 2016/17 s/d 2019/20. Dalam analisis ini dipergunakan model linear (LM) sederhana untuk memproyeksikan produksi dan pemanfaatan beras dunia berdasarkan perkembangan tahunnya. Hasil 14

proyeksi produksi dan pemanfaatan beras dunia dalam periode tahun 2016/17 s/d 2019/20 dapat dilihat pada Gambar 2.11. Sumber: FAO (2015) Gambar 2.11. Proyeksi Produksi dan Pemanfaatan Beras Dunia (2016/17 2019/20). Dari Gambar 2.11. dapat diketahui bahwa produksi beras dunia terus tumbuh dari tahun 2016/17 sampai dengan tahun 2019/20. Jumlah produksi beras dunia pada setiap tahunnya di proyeksikan masih lebih besar dari jumlah pemanfaatannya. Slope untuk model produksi yaitu 8,08 sedikit lebih kecil dari pada slope untuk model pemanfaatan yaitu 8,39. Dengan demikian sekali lagi dapat dikatakan bahwa jika tanpa adanya perubahan yang dapat meningkatkan produksi beras dunia, dalam jangka menegah atau jangka panjang akan terjadi defisit produksi beras dunia. Setelah mengetahui proyeksi produksi dan pemanfaatan beras dunia untuk periode tahun 2016/17 s/d 2019/20, dapat dihitung posisi surplus untuk masing-masing tahun (Gambar 2.12.). Sebagaimana diperhitungkan sebelumnya Gambar 2.8. mengindikasikan bahwa suplus beras dunia cenderung menurun, dari 5,09 juta ton pada tahun 2016/17 menjadi 4,17 juta ton pada tahun 2019/20. Dengan demikian analisis proyeksi surplus beras dunia mempertegas kembali prognosis bahwa dalam jangka menengah atau panjang akan terjadi defisit produksi beras dunia, yang juga 15

berarti dapat memicu terjadinya kembali lonjakan harga beras dunia di masa yang akan datang. Sumber: FAO (2015) Gambar 2.12. Proyeksi Surplus Beras Dunia (2016/17-2019/20). 2.2. Dinamika Pasar Beras Nasional 2.2.1. Dinamika Produksi Padi Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Beras dikonsumsi oleh kurang lebih 98 persen penduduk Indonesia dengan tingkat konsumsi rata-rata 114,13 kg/kapita/tahun. Permintaan beras diperkirakan terus meningkat karena pertambahan jumlah penduduk yang diperkirakan sebesar 1.49 persen per tahun (BPS, 2015), dan karena peningkatan pendapatan penduduk. Pada sisi produksi, padi diproduksi oleh sekitar 14,2 juta rumah tangga petani yang berarti bahwa usahatani padi menjadi sumber pendapatan bagi sekitar 64 juta jiwa. Dengan tingkat produksi beras nasional sekitar 41,2 juta ton pada tahun 2014, maka nilai ekonomi perberasan nasional diperkirakan sebesar 330 trilyun rupiah. Dengan demikian beras merupakan pangan pokok yang mempunyai nilai strategis penting, baik dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. 16

Gambar 2.13. menunjukkan perkembangan produksi padi di Indonesia selama periode tahun 1993 2015. Pada tahun 1993 produksi padi Indonesia baru mencapai 48,13 juta ton. Pada tahun 2015 produksi padi diperkirakan menjadi 74,0 juta ton (angka sementara). Selama periode pertumbuhan padi nasional rata-rata adalah 2,08 persen per tahun. Produksi padi di Indonesia sebagian besar berasal dari Pulau Jawa. Pada tahun 1993 produksi padi di Jawa mencapai 28,30 juta ton. Adapun produksi padi di Luar Jawa pada tahun tersebut adalah 19,83 juta ton. Pada tahun 2015 produksi padi Jawa sudah menjadi 38,38 juta ton, sedangkan produksi padi di Luar Jawa mencapai 36,61 juta ton. Sumber: BPS (2015) Gambar 2.13. Perkembangan Produksi Padi di Indonesia, Jawa dan Luar Jawa Tahun 1993 2015. Gambar 2.14. menunjukkan pertumbuhan produksi padi di Indonesia, Jawa dan di Luar Jawa selama peride tahun 1993 2015. Pertumbuhan produksi padi Indonesia cenderung meningkat selama periode pengamatan. Pada walnya, yaitu pada periode tahun 1993 1999 hanya tumbuh dengan laju 0,99 persen pertahun. Pada periode tahun 1999 2005 meningkat menjadi 1,07 persen pertahun, tahun 2005 2011 menjadi 3,33 persen pertahun, dan pada periode 2011 2015 tumbuh menjadi 3,37 17

persen per tahun. Dengan demikian secara rata-rata pertumbuhan padi nasional menjadi 2,08 persen per tahun. Pola pertumbuhan yang sama dengan perkembangan pertumbuhan produksi padi nasional jga terjadi baik di Jawa, maupun di luar Jawa. Namun secara rata-rata pertumbuhan produksi di Jawa sebesar 1,47 persen pertahun, relatif lebih kecil dibanding dengan pertumbuhan produksi padi rata-rata di Luar Jawa sebesar 2,88 persen per tahun. Sumber: BPS (2015) Gambar 2.14. Dinamika Pertumbuhan Produksi Padi di Indonesia, Jawa dan Luar Jawa Tahun 1993 2015. Dengan memperbandingkan dinamika pertumbuhan produksi padi di Jawa dan di Luar Jawa, maka terjadi perubahan pangsa produksi padi di Indonesia sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.15. Pada tahun 1993 sumbangan produksi padi dari Jawa terhadap total produksi padi Nasional masih sangat dominan. Pada tahun 1993 pangsa produksi padi di Jawa sekitar 59 persen. Namun karena pertumbuhan produksi padi di Jawa relatif lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan produksi padi di Luar Jawa, maka pada tahun 2015 pangsa produksi padi di Jawa turun menjadi 51 persen. Dari fakta bahwa pertumbuhan produksi padi di Jawa relatif lebih kecil dari pada 18

pertumbuhan produksi di Luar Jawa, maka diperkirakan dalam jangka menengah, dominasi produksi padi di Jawa sudah mulai digantikan oleh produksi padi di Luar Jawa. Sumber: BPS (2015) Gambar 2.15. Pangsa Produksi Padi di Jawa dan Luar Jawa Pada Tahun 1993 dan Tahun 2015. 2.2.2. Dinamika Luas Panen dan Produktivitas Padi Perkembangan luas panen padi di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.16. Luas panen padi di Indonesia pada tahun 1993 adalah sekitar 11,0 juta hektare, sekitar 5,51 juta hektare ada di Jawa dan 5.48 juta hektare ada di Luar Jawa. Sementara itu, pada tahun 2015 data menunjukkan bahwa luas panen di Indonesia sudah berkembang menjadi 14,18 juta hektare (angka sementara). Dari luasan tersebut, luas panen di Jawa mempunyai kontribusi sekitar 6,40 juta hektare, sedangkan luas panen di Luar Jawa sudah melebihi luas panen di Jawa, yaitu 7,78 juta hektare. Sehubungan dengan dinamika pola luas panen padi di Jawa dibanding dengan di Luar Jawa, maka telah terjadi pergeseran dominasi luas panen padi di Indonesia selama periode 1993 2015. Pada tahun 1993 data menunjukkan bahwa pangsa luas panen padi di Jawa yaitu masih 50 persen, atau sama dengan pangsa luas panen di Luar Jawa (Gambar 2.17). Seiring dengan semikin tingginya biaya korbanan (opportunity costs) penggunaan lahan pertanian di Jawa. Oleh karena itu perkembangan luas panen padi di Jawa mengalami berbagai keterbatasan, dan perkembangan luas panen padi bergeser ke luar Jawa. Dengan demikian pada tahun 2015 pangsa luas panen padi di Luar Jawa 19

menjadi 55 persen, lebih besar dari pangsa luas panen di Jawa yang tinggal 45 persen (Gambar 2.17). Sumber: BPS (2015) Gambar 2.16. Perkembangan Luas Panen di Jawa dan Luar Jawa Tahun 1993 2015. Sumber: BPS (2015) Gambar 2.17. Pangsa Luas Panen Padi di Jawa dan di Luar Jawa Tahun 1993 dan Tahun 2015. 20

Perkembangan produktivitas padi di Indonesia, Jawa dan Luar Jawa dapat dilihat pada Gambar 2.18. Setelah mengetahui perkembangan produksi dan luas panen padi dapat dikatakan behwa faktor yang menentukan dominasi produksi padi di Jawa adalah tingginya produktivitas padi di Jawa. Data menunjukkan bahwa pada tahun 1993 produkstivitas padi di Jawa telah mencapai 51,3 kwintal per hektare, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produkstivitas padi di Luar Jawa sebesar 36,2 kwintal per hektare, sehingga rata-rata produktivitas padi di Indonesia pada tahun 1993 adalah 43,7 kwintal per hektare. Pada tahun 2015 produktivitas padi di Jawa meningkat menjadi 59,9 kwintal per hektare, sementara produktivitas padi di Luar Jawa baru mencapai 47,0 kwintal per hektare, sehingga produktivitas padi rata-rata di Indonesia pada tahun 2015 menjadi 52,8 kwintal per hektare (angka sementara). Sumber: BPS (2015) Gambar 2.18. Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia, Jawa, dan Luar jawa Tahun 1993 2015. Gambar 2.19. menunjukkan perkembangan pertumbuhan luas panen dan produktivitas padi di Indonesia menurut beberapa periode waktu selama rentang waktu tahun 1993 s/d tahun 2015. Dalam Gambar dapat diketahui bahwa selama 21

periode 1993 1999 dan tahun 2005 2011, pertumbuhan luas panen padi lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan produktivitasnya. Dan ini berarti bahwa dalam periode tahun tersebut pertumbuhan luas panen padi merupakan faktor dominan dalam menentukan pertumbuhan produksi padi di Indonesia. Sebaliknya pada periode tahun 1999 2005 dan 2011 2015 pertumbuhan produktivitas padi merupakan faktor penentu bagi pertumbuhan produksi padi nasional. Namun secara rata-rata, selama periode tahun 1993 2015 pertumbuhan luas panen padi, yaitu 1,20 persen per tahun relatif lebih besar dari laju pertumbuhan produkstivitas padi sebesar 0,75 persen per tahun. Kondisi demikian cukup mengkhawatirkan bagi pertumbuhan produksi padisecara berkelanjutan dalam jangka panjang, karena kapasitas untuk perluasan areal pertanaman padi yang semakin terbatas. Kedepan sumber pertumbuhan produksi padi seharusnya bertumpu pada pertumbuhan peningkatan produktivitasnya. Sumber: BPS (2015) Gambar 2.19. Pertumbuhan Luas Panen dan Produktivitas Padi di Indonesia Tahun 1993 2015. 22

2.2.3. Dinamika Neraca Produksi dan Perdagangan Beras Perkembangan neraca produksi dan pemanfaatan beras nasional selama periode tahun 1993 2013 dapat dilihat pada Gambar 2.20. Dari Gambar tersebut dapat diketahui bahwa selama periode tahun 1993 2013 secara umum dapat dikatakan bahwa produksi beras nasional relatif lebih kecil dibandingkan dengan pemanfaatan beras nasional, kecuali yang terjadi pada tahun 1993. Pada tahun 1993 produksi beras domestik sebesar 28,75 juta ton relatif lebih besar dibandingkan pemanfaatannya yaitu 28,42 juta ton. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa Indonesia masih mengalami defisit beras, walaupun angka rata-rata defisit beras nasional selama periode tahun 1993 2013 adalah 3,59 persen pertahun. Mengingat bahwa Indonesia merupakan negara produsen yang sekaligus merupakan negara konsumen terbesar di Asia Tenggara, maka stabilitas pasokan beras nasional didukung oleh dua sumber utama. Sumber pertama adalah sumber dari dalam negeri, yaitu berupa cadangan pangan atau dalam terminologi neraca bahan makanan dengan stok. Pada Gambar 2.21. data yang tersedia adalah perubahan stok beras nasional, yaitu selisih antara stok awal tahun dengan stok beras akhir tahun. Jika perubahan stok bernilai positif berarti pada tahun yang bersangkutan ada penambahan stok nasional beras nasional, yang dapat berupa stok dari produksi beras dalam negeri ditambah dengan sisa impor beras yang tidak digunakan pada tahun yang berasangkutan. Selama periode 1993 2013, atau selama 21 tahun, telah terjadi 10 kali Indonesia mengalami tahun yang perubahan stok beras nasionalnya negatif. atau boleh dikatakan bahwa dalam jangka menengah panjang risiko defisit stok beras nasional adalah sekitar 48 persen. 23

Sumber: BPS (2015) Gambar 2.20. Perkembangan Neraca Produksi dan Pemanfaatan Beras Indonesia Tahun 1993 2013. Sumber utama kedua untuk stabilisasi pasokan peras dalam negeri adalah impor beras. Gambar 2.21. juga menggambarkan dinamika impor (nett import) beras nasional selam periode 1993 2013. Selama periode tahun 1993 2013 secara nasional dapat dikatakan selalu ada sejumlah impor beras. Indonesia pernah menjadi negara nett exporter beras yaitu pada tahun 1993, yaitu pada sebesar 327 ribu ton. Tahun-tahun selanjutnya Indonesia menjadi negara nett impoter beras. Impor terkecil terjadi pada tahun 2005, yaitu sebesar 146 ribu ton. Adapun jumlah impor terbesar terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar 4,74 juta ton, yaitu setahun setelah Indonesia mengalami krisis beras pada tahun 2008. Dengan demikian rata-rata impor beras nasional selama periode pengamatan adalah 1,22 juta ton, atau dengan rasio ketergantungan impor rata-rata adalah 3,69 persen. 24

Sumber: BPS (2015) Gambar 2.21. Perkembangan Impor dan Stok Beras Indonesia Tahun 1993 2013. 2.2.4. Dinamika Harga Gabah dan Beras Dalam Negeri Dinamika perkembangan harga gabah bulanan di tingkat petani dan tingkat penggilingan selama periode tahun 2008 2015 dapat dilihat pada Gambar 2.22. Data bulanan gabah kering panen (GKP) di tingkat petani selama periode tahun 2008 2015 menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Harga GKP di tingkat petani dapat dikatakan dapat memberikan keuntungan yang wajar mengingat semenjak tahun 2008 harga GKP di tingkat petani belum pernah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) GKP di tingkat petani. Dengan demikian selama periode pengamatan dapat dikatakan bahwa kebijakan HPP dinilai efektif sebagai instrumen untuk menjaga agar petani mendapatkan keuntungan usaha tani padi yang wajar. Gambaran serupa juga terjadi pada dinamika harga bulanan gabah kering giling (GKG) di tingkat penggilingan. Secara umum dapat dikatakan bahwa selama periode tahun 2008 2015 harga bulanan GKG di tingkat penggilingan cenderung meningkat 25

dan berada di atas HPP yang telah ditetapkan. Perkecualian terjadi pada bulan Maret s/d April tahun 2008, bulan April tahun 2009, dan bulan April tahun 2010, yaitu pada saat harga GKG tingkat penggilingan jatuh di bawah HPP GKG. Sebagaimana diketahui bahwa pada bulan Maret s/d April di Indonesia umumnya terjadi musim panen raya. Kondisi pola perkembangan harga GKG tingkat penggilingan yan umumnya berada di atas HPP juga dapat dikatakan bahwa kebijakan HPP GKG sampai saat ini dapat dikatakan sebagi instrumen kebijakan yang efektif menyangga harga GKG di tingkat penggilingan agar pengusaha penggilingan padi dapat memperoleh keuntungan yang wajar. Sumber: BPS (2015) Gambar 2.22. Perkembangan Harga Gabah di Tingkat Petani dan Penggilingan Tahun 2008 2015. Perkembangan harga bulanan beras di tingkat konsumen selama periode tahun 2008 2015 dapat dilihat pada Gambar 2.23. Harga beras di tingkat konsumen 26

cenderung meningkat dari tahun ke tahun selama periode pengamatan dengan laju pertumbuhan rata-rata 0,88 persen per tahun. Namun demikian harga bulanan beras di tingkat konsumen juga cenderung bervariasi dengan angka CV sebesar 28,92 persen. Walaupun secara umum harga beras domnestik cukup bervariasi, namun harga beras dalam negeri relatif stabil jika dibandingkan dengan harga beras dunia yang melambung tinggi pada tahun 2008 dan tahun 2011. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kebijakan stabilitas harga beras dalam negeri dinilai cukup efektif. Keadaan ini juga mengindikasikan bahwa walaupun Indonesia masih memerlukan impor beras, tetapi kebijakan yang mempertahankan agar tingkat ketergantungan impor beras di bawah 4 persen setahun, mengindikasikan bahwa tingkat kemandirian dalam produksi beras nasional telah tercapai secara berkelanjutan. Sumber: BPS (2015) Gambar 2.23. Perkembangan Harga Beras Bulanan di Indonesia Tahun 2005 2015 27

Walaupun harga beras dalam negeri relatif stabil dibandingkan dengan harga beras di pasar dunia, yang dalam hal ini adalah harga beras Thailand, tetapi data menunjukkan bahwa harga beras di dalam negeri semenjak bulan April 2010 harga beras di dalam negeri menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan harga paritas beras eks Thailand (Gambar 2.24.). Keadaan ini diperkirakan karena adanya dampak dari kombinasi dari kebijakan pengendalian impor beras dengan kebijakan stabilisasi harga beras di dalam negeri. Kebijakan pengendalian impor beras dimaksud adalah bahwa pemerintah melakukan importasi beras untuk memperkuat stok dalam negeri, bukan langsung untuk dijual ke pasar. Penguatan stok beras Pemerintah inilah yang digunakan untuk melakukan stabilisasi harga beras di dalam negeri. Sebagai hasilnya, adalah bahwa harga beras di dalam negeri relatif stabil di banding dengan harga beras di pasar dunia, tetapi pada tingkatan harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga beras di pasar dunia. Namun demikian, mengingat Indonesia sebagai negara importir beras yang besar di Asia Tenggara, jika impor beras Indonesia hanya diserahkan kepada ekonomi pasar maka kemungkinan yang akan terjadi adalah harga beras di pasar dunia akan meningkat, dan harga beras di Indonesia akan relatif menurun. 28

Sumber: Badan Ketahanan Pangan (2014) Gambar 2.24. Perbandingan Harga Paritas Beras Thailand 5% dengan Harga Beras IR I di Jakarta Tahun 2008 2013. 2.3. Prediksi Produksi, Konsumsi, Impor dan Harga Beras Nasional 2.3.1. Prediksi Produksi, Konsumsi, dan Impor Beras Kajian tentang prediksi produksi, konsumsi dan impor beras ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian tentang Outlook Pertanian 2015 2019 (Setiyanto et al. 2014) dengan menggunakan multimarket model. Analisis outlook menggunakan base line data tahun 2013 dengan tiga skenario, yaitu: (i) Skenario I: tidak terjadi perubahan iklim, dan pada periode 2015 2019 terpengaruh kebijakan kenaikan harga BBM 2014; (ii) Skenario II: kondisi iklim tidak normal dan terjadi gangguan iklim yang cenderung ke arah La Nina, dan pada periode 2015 2019 terpengaruh kebijakan kenaikan harga BBM 2014; dan (iii) Skenario III: kondisi iklim tidak normal dan terjadi gangguan iklim yang cenderung El Nino, dan pada periode 2015 2019 terpengaruh kebijakan kenaikan harga BBM 2014. 29

Gambar 2.25. menunjukkan prediksi perkembangan produksi beras nasional tahun 2015. Untuk Skenario I diprediksikan bahwa produksi padi nasional dalam kondisi iklim normal (tanpa adanya El Nino dan La Nina) akan mencapai 72,32 juta ton, dengan skenario yang sama produksi padi pada tahun 2019 akan mencapai 81,19 juta ton, atau tumbuh dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 2,93 persen per tahun. Prediksi ini ternyata lebih rendah dari angka produksi sementara (Aram I) tahun 2015 yang diterbitkan oleh BPS sebesar 74,99 juta ton. Jika di Indonesia selama periode 2015 2019 mengalami gejala La Nina (Skenario II) maka pada tahun 2015 produksi padi nasional akan turun menjadi 71,82 juta ton (turun sekitar 0,69 persen dibandingkan Skenario I). Dengan skenario yang sama pada tahun 2019 produksi padi nasional akan mencapai 82,35 juta ton (lebih tinggi sekitar 1,43 persen dibandingkan Skenario I). Dengan demikian pertumbuhan produksi padi nasional berdasarkan Skenario II adalah 3,48 persen per tahun. Adapun jika Indonesia menghadapi musim kering berkepanjangan sebagaimana terjadi pada gejala El Nino (Skenario III), maka produksi padi nasional pada tahun 2015 diprediksikan akan mencapai 71,04 juta ton, atau lebih kecil sekitar 1,77 persen. Dengan skenario yang sama produksi padi nasional diprediksikan mencapai 75,59 juta ton, atau lebih kecil sekitar 6,90 persen. Dengan demikian pertumbuhan produksi berdasarkan Skenario III akan tumbuh sekitar 1,56 persen per tahun. 30

Sumber: Setiyanto et al. (2014) Gambar 2.25. Prediksi Perkembangan Produksi Beras Nasional Tahun 2015 2019. Gambar 2.26 menunjukkan hasil prediksi konsumsi atau pemanfaatan beras di dalam negeri untuk tahun 2015 s/d tahun 2019. Hasil prediksi menunjukkan bahwa pada Skenario I (kondisi iklim normal) konsumsi beras dalam negeri akan mencapai 73,83 juta ton. Dengan skenario yang sama konsumsi beras dalam negeri pada tahun 2019 akan mencapai 82,48 juta ton., atau dengan pertumbuhan konsumsi rata-rata sebesar 2,81 persen per tahun. Pada Skenario II (ada gangguan La Nina) konsumsi beras dalam negeri pada tahun diprediksi kan sebesar 73,72 juta ton, lebih rendah 0,15 persen dari konsumsi Skenario I. Dengan laju pertumbuhan rata-rata 2,53 persen per tahun, konsumsi beras dalam negeri pada tahun 2019 diprediksikan sebesar 81,45 juta ton. Sedangkan pada Skenario III (gangguan El Nino), konsumsi beras dalam negeri diprediksikan sebesar 72,48 juta ton, lebih rendah dari prediksi Skenario I dan II. Dengan laju pertumbuhan sekitar 1,56 persen per tahun, prediksi konsumsi beras dalam negeri pada tahun 2019 menjadi 77,10 juta ton. 31

Sumber: Setiyanto et al. (2014) Gambar 2.26. Prediksi Perkembangan Konsumsi Beras Nasional Tahun 2015 2019. Gambar 2.27 menunjukkan prediksi suplus/defisit beras, yaitu selisih antara produksi dalam negeri dengan konsumsi dalam negeri. Pada Skenario I (iklim normal) Indonesia selama periode 2015 2019 diprediksikan akan mengalami defisit beras berkisa antara 1,29 juta ton sampai 1,50 juta ton. Pada Skenario II (ada gangguan La Nina) selama periode 2015 2019 Indonesia diprediksikan akan mengalami defisit beras berkisar antara 0,47 juta ton sampai 1,90 juta ton, tetapi juga akan mengalami surplus beras sebesar 0,026 juta ton sampai dengan 0,90 juta ton. Sedangkan untuk Skenario III (ada gangguan El Nino) diprediksikan Indonesia akan mengalami defisit beras antara 0,72 juta ton sampai dengan 1,51 juta ton. Untuk menutupi defisit kebutuhan beras dalam negeri, Indonesia masih harus melakukan importasi beras. Gambar 2.28 menunjukkan prediksi kebutuhan impor beras nasional. Untuk Skenario I (iklim normal), Indonesia diprediksikan akan memerlukan impor beras berkisar antara 1,56 juta ton sampai dengan 1,72 juta ton selama periode 2015-2019. Untuk Skenario II (ada gangguan La Nina) Indonesia diprediksikan akan memerlukan impor beras berkisar antara 1,54 juta ton sampai dengan 1,65 juta ton selama periode 2015 2019. Adapun pada Skenario III (ada gangguan El Nino), 32

Indonesia diprediksikan perlu impor beras berkisar antara 1,57 juta ton sampai dengan 1,75 juta ton selama periode 2015 2019. Sumber: Setiyanto et al. (2014) Gambar 2.27. Prediksi Perkembangan Surplus/Defisit Beras Nasional Tahun 2015 2019 Sumber: Setiyanto et al. (2014) Gambar 2.28. Prediksi Perkembangan Net Impor Beras Nasional Tahun 2015 2019 33

2.3.2. Prediksi Harga Beras dan Gabah Tabel 2.1 menunjukkan hasil prediksi harga beras di tingkat konsumen selama periode 2015 2019. Hasil prediksi harga beras di perkotaan dengan Skenario I (iklim normal) berkisar antara Rp 10.412,- per Kg sampai dengan Rp 12.484,- per Kg dengan rata-rata perkembangan sebesar 4,71 persen per tahun. Pada Skenario II (ada gangguan La Nina) harga beras pada tingkat konsumen perkotaan berkisar antara Rp 10.556,- per Kg sampai dengan Rp 11.701,- per Kg, atau dengan pertumbuhan ratarata 2,62 persen per tahun. Sedangkan pada Skenario III (ada gangguan El Nino) harga beras di perkotaan diprediksikan berkisar antara Rp 10.630,- per Kg sampai dengan Rp 11.620,- per Kg, dengan laju pertumbuhan sekitar 2,26 persen per tahun. Tabel 2.1. Prediksi Perkembangan Harga Beras di Tingkat Konsumen Tahun 2015-2019. Tahun Harga Konsumen Beras di Perkotaan Harga Konsumen Beras di Pedesaan Jawa Harga Konsumen Beras di Pedesaan Luar Jawa Skenario I Skenario II Skenario III Skenario I Skenario II Skenario III Skenario I Skenario II Skenario III 2015 10411.5 10556.32 10630.26 9053.48 9179.41 9243.7 9640.28 9774.37 9842.83 2016 10701.51 10781.4 10822.18 9305.67 9375.13 9410.59 9908.81 9982.78 10020.54 2017 11086.75 11096.48 11101.8 9640.65 9649.11 9653.74 10265.51 10274.52 10279.44 2018 11212.98 11189.36 11177.99 9750.42 9729.88 9719.99 10382.39 10360.52 10349.99 2019 12483.85 11700.61 11619.74 10316.26 10174.45 10104.12 10984.91 10833.9 10759.02 Growth 4.71 2.62 2.26 3.33 2.62 2.26 3.33 2.62 2.26 Sumber: Setiyanto et al. (2014). Tabel 2.1 juga menunjukkan prediksi harga beras di pedesaan Jawa. Pada Skenario I harga beras di pedesaan Jawa pada tahun 2015 akan mencapai Rp 9.053,- per Kg adan akan tumbuh dengan laju pertumbuhan 3,33 persen setahun, sehingga pada tahun 2019 diprediksikan harga beras di wilayah ini akan mencapai harga Rp 10.316,- per Kg. Pada Skenario II harga beras di pedesaan Jawa pada tahun 2015 akan mencapai Rp 9.179,- per Kg, dan akan tumbuh dengan laju pertumbuhan 2,62 persen setahun, sehingga pada tahun 2019 diprediksikan harga beras di wilayah ini akan 34

mencapai harga Rp 10.174,- per Kg. Adapun pada Skenario III harga beras di pedesaan Jawa pada tahun 2015 akan mencapai Rp 9.244,- per Kg adan akan tumbuh dengan laju pertumbuhan 2,26 persen setahun, sehingga pada tahun 2019 diprediksikan harga beras di wilayah ini akan mencapai harga Rp 10.104,- per Kg. Perkembangan prediksi harga beras pada tingkat konsumen di daerah pedesaan Luar Jawa juga dapat dilihat pada Tabel 2.1. Pada Skenario I harga beras di pedesaan Luar Jawa pada tahun 2015 akan mencapai Rp 9.640,- per Kg adan akan tumbuh dengan laju pertumbuhan 3,33 persen setahun, sehingga pada tahun 2019 diprediksikan harga beras di wilayah ini akan mencapai harga Rp 10.985,- per Kg. Pada Skenario II harga beras di pedesaan Luar Jawa pada tahun 2015 akan mencapai Rp 9.774,- per Kg, dan akan tumbuh dengan laju pertumbuhan 2,62 persen setahun, sehingga pada tahun 2019 diprediksikan harga beras di wilayah ini akan mencapai harga Rp 10.834,- per Kg. Adapun pada Skenario III harga beras di pedesaan Luar Jawa pada tahun 2015 akan mencapai Rp 9.843,- per Kg, dan akan tumbuh dengan laju pertumbuhan 2,26 persen setahun, sehingga pada tahun 2019 diprediksikan harga beras di wilayah ini akan mencapai harga Rp 10.759,- per Kg. Dari simulasi model prediksi ini dapat diketahui bahwa harga beras di tingkat konsumen pada kondisi ada gangguan La Nina ataupun El Nino pada tahun 2015 relatif lebih tinggi dari pada harga beras dalam kondisi iklim normal. Pada tahun 2015 harga beras pada gangguan El Nino relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harag beras dalam kondisi ada gangguan La Nina. Namun demikian hasil prediksi menunjukkan pertumbuhan harga pertahun pada kondisi iklim normal lebih tinggi dari pada pada kondisi ada gangguan La Nina dan pada kondisi ada gangguan El Nino. Perkembangan prediksi harga gabah di tingkat produsen di daerah pedessan Jawa selama periode 2015 2019 dapat dilihat pada Tabel 2.2. Hasil prediksi menunjukkan bahwa harga gabah di tingkat produsen di daerah pedesaan Jawa dengan Skenario I pada tahun 2015 adalah Rp 4.636,- per Kg, dan tumbuh dengan laju pertumbuhan 1,20 persen, sehingga pada tahun 2019 harga gabah di wilayah ini diprediksikan akan mencapai Rp 4.862,- per Kg. Pada Skeranio II harga gabah di 35

tingkat produsen di pedesaan Jawa pada tahun 2015 diprediksikan sebesar Rp 4.766,- per Kg, dan tumbuh dengan laju pertumbuhan 3,04 persen, sehingga pada tahun 2019 harga gabah di wilayah ini diprediksikan akan mencapai Rp 5.372,- per Kg. Adapun pada Skeranio III harga gabah di tingkat produsen di pedesaan Jawa pada tahun 2015 diprediksikan sebesar Rp 4.728,- per Kg, dan tumbuh dengan laju pertumbuhan 3,95 persen, sehingga pada tahun 2019 harga gabah di wilayah ini diprediksikan akan mencapai Rp 5.520,- per Kg. Tabel 2.2 juga menunjukkan perkembangan prediksi harga gabah di tingkat produsen di pedesaan Luar Jawa. Hasil prediksi menunjukkan bahwa harga gabah di tingkat produsen di daerah pedesaan Luar Jawa dengan Skenario I pada tahun 2015 adalah Rp 4.936,- per Kg, dan tumbuh dengan laju pertumbuhan 1,20 persen, sehingga pada tahun 2019 harga gabah di wilayah ini diprediksikan akan mencapai Rp 5.177,- per Kg. Pada Skeranio II harga gabah di tingkat produsen di pedesaan Luar Jawa pada tahun 2015 diprediksikan sebesar Rp 5.074,- per Kg, dan tumbuh dengan laju pertumbuhan 3,04 persen, sehingga pada tahun 2019 harga gabah di wilayah ini diprediksikan akan mencapai Rp 5.720,- per Kg. Adapun pada Skeranio III harga gabah di tingkat produsen di pedesaan Luar Jawa pada tahun 2015 diprediksikan sebesar Rp 5.035,- per Kg, dan tumbuh dengan laju pertumbuhan 3,95 persen, sehingga pada tahun 2019 harga gabah di wilayah ini diprediksikan akan mencapai Rp 5.878,- per Kg. Tabel 2.2. Perkembangan Prediksi Harga Gabah di Tingkat Produsen di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2015-2019 Tahun Harga Produsen Gabah di Pedesaan Jawa Harga Produsen Gabah di Pedesaan Luar Jawa Skenario I Skenario II Skenario III Skenario I Skenario II Skenario III 2015 4635.55 4765.56 4728.37 4936.01 5074.44 5034.83 2016 4702.36 4912.43 4920.23 5007.14 5230.82 5239.14 2017 4759.55 5025.28 5073.6 5068.04 5350.99 5402.44 2018 4812.48 5253.83 5364.53 5124.40 5594.35 5712.23 2019 4861.50 5371.69 5520.42 5176.60 5719.85 5878.23 Growth 1.20 3.04 3.95 1.20 3.04 3.95 Sumber: Setiyanto et al. (2014). 36

Hasil simulasi prediksi harga gabah di pedesaan pada tingkat petani menunjukkan bahwa harga gabah pada situasi iklim normal relatif lebih rendah dibandingkan dengan pada saat ada gangguan iklim. Prediksi harga gabah pada saat adsa gangguan El Nino diprediksikan akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga gabah pada saat ada gangguan La Nina. Demikian halnya dengan tingkat pertumbuhan harganya, tingkat pertumbuhan harga manakala ada gangguan El Nino akan lebih cepat dibandingkan dengan pada saat ada gangguan La Nina. Tingkat pertumbuhan harga gabah pada iklim normal merupakan angka pertumbuhan terendah di antara tiga skenario tersebut. 2.4. Kebijakan Perberasan Nasional 2.4.1. Kebijakan Peningkatan Produksi Dalam rangka meningkatkan produksi padi/beras nasional Pemerintah telah mencanangkan untuk mencapai swasembada beras pada tahun 2017. Untuk mencapai tujuan tersebut Pemerintah telah melaksanakan Program Upaya Khusus (UPSUS) Peningkatan Produksi Padi Jagung dan Kedelai yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor: 03/Permentan/OT.140/2/2015. Permasalahan subtantif yang dihadapi dalam pencapaian swasembada pangan antara lain adalah: (1) alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian; (2) rusaknya infrastruktur/jaringan irigasi; (3) semakin berkurangnya dan mahalnya upah tenaga kerja pertanian; (4) kurangnya pemanfaatan mekanisasi pertanian; (5) masih tingginya kehilangan hasil pertanian; (6) belum terpenuhinya kebutuhan pupuk dan benih sesuai dengan rekomendasi spesifik lokasi, serta belum terpenuhinya penyediaan pupuk dan benih secara enam tepat; (7) kuarngnya akses petani terhadap sumber permodalan; dan (8) kurangnya jaminan harga produksi dan akses pasar. Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, Pemerintah melaksanakan program UPSUS untuk peningkatan produksi padi dengan cakupan sebagai berikut: (1) Pengembangan jaringan irigasi, (2) Optimasi lahan, (3) Pengembangan System of Rice Intensification (SRI); (4) Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman terpadu (GPPTT); 37

(5) Penyediaan bantuan benih dan pupuk; (6) Penyediaan bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan); (7) Pengendalian OPT dan dampak perubahan iklim; (9) Asuransi pertanian; dan (10) Pengawalan/pendampingan. Adapun strategi dasar UPSUS difokuskan kepada: (1) Peningakatn produktivitas dan indeks pertanaman melalui ketersediaan air irigasi, benih, pupuk dan alsintan; (2) Pemberian fasilitas pendampingan dari penyuluh pertanian, peneliti, perguruan tinggi dan TNI; (3) Pengembangan irigasi, optimalisasi lahan dan GPPTT Padi; dan (4) Optimalisasi lahan pada sentra produksi padi tidak dialokasikan bantuan benih. Indikatror pencapaian kinerja program UPSUS Padi adalah sebagai berikut: (1) Meningkatnya Indeks Pertananaman (IP) minimal sebesar 0,5; dan (2) Meningkatnya produktivitas padi minimal sebesar 0,4 ton/ha. 2.4.2. Kebijakan Harga Pembelian dan Harga Penjualan Pemerintah Pemerintah secara resmi menerapkan kebijakan HPP untuk gabah/beras pada tahun 2005 melalui Inpres 2/2005, setelah sebelumnya Pemerintah menganut kebijakan harga dasar gabah (HDG). Pada dasarnya kebijakan HDG memberikan jaminan harga bagi petani dengan mekanisme pengadaan gabah/beras oleh BULOG. Sedangkan dalam kebijakan HPP tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk menjamin harga gabah/beras pada tingkat petani (Darwanto, 2014). Penetapan harga pembelian pemerintan (HPP) merupakan salah satu instrumen untuk melakukan intervensi pasar dalam rangka stabilisasi harga pada tingkat petani produsen. Sedangkan penetapan harga penjualan pemerintah merupakan instrumen untuk melakukan intervensi dalam rangka stabilisasi harga pada tingkat konsumen. Kebijakan HPP untuk gabah dan beras tercantum dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah. Adapun menurut Perpres 71/2015 harga penjualan pemerintah, yang dikenal dengan nama harga acuan pemerintah (HAP), secara nasional ditetapkan oleh Menteri (dalam hal ini adalah Menteri Perdagangan). Selanjutnya menurut Perpres 71/2015, HAP barang kebutuhan pokok ditetapkan oleh 38

Menteri Perdagangan setelah melakukan koordinasi dengan Menteri/ Kepala Lembaga Non Kementerian terkait dan/atau Pemerintah Daerah. Ada tiga jenis/katagori penetapan HAP bagi barang kebutuhan pokok. Menurut Perpres 71/2015 penetapan HAP berupa: (1) Penetapan harga khusus menjelang, saat dan setelah Hari Besar Keagamaan Nasional dan/atau pada saat terjadi gejolak harga, (2) Penetapan harga eceran tertinggi dalam rangka operasi pasar untuk sebagian atau seluruh barang kebutuhan pokok, dan/atau (3) Penetapan harga subsidi untuk sebagian atau seluruh barang kebutuhan pokok. 2.4.3. Pengaturan Ekspor dan Impor Perdagangan pangan merupakan salah satu instrumen pengendalian pasokan pangan dari dalam negeri ke luar negeri (ekspor pangan) dan atau pasokan pangan dari luar negeri ke dalam negeri (impor pangan) untuk tujuan satbilisasi pasokan dan harga pangan di dalam negeri. UU 18/2012 mengamanatkan bahwa impor pangan sesuai dengan kebutuhan dapat dilakukan dalam hal penyediaan pangan dalam negeri dan cadangan pangan belum mencukupi. Ketentuan mengenai kebijakan ekspor dan impor sebagai salah satu instrumen stabilisasi harga barang kebutuhan pokok tertuang dalam UU 7/2014. Menurut UU 7/2014 Pemerintah dapat melarang impor atau ekspor barang untuk kepentingan nasional dengan alasan di antaranya untuk melindungi keamanan nasional atau kepentingan umum, termasuk sosial, budaya dan moral masyarakat. Menurut Perpres 71/2015 pengelolaan ekspor dan impor dilakukan dengan cara: (1) Memberikan persetujuan ekspor jika kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi dan tersedia alokasi cadangan stok paling sedikit untuk 6 (enam) bulan kedepan, dan (2) Memberikan persetujuan impor jika terjadi kekurangan pasokan dalam negeri yang mengakibatkan gejolak harga. Secara umum kebijakan pengaturan dan pembatasan impor diperlukan untuk melindungi petani dan produk pertanian domestik agar tidak merugi atau tersingkir akibat melimpahnya produk impor. Teori dan ilmu perdagangan internasional 39

menganjurkan untuk memilih instrumen kebijakan impor yang efektif dan tidak berdampak negatif terhadap kosumen dan perekonomian dalam negeri. Sejalan dengan hal tersebut, WTO (World Trade Organization) mengatur kebijakan impor yang less trade distorting (Erwidido, 2013). 2.5. Kesimpulan 1. Angka pertumbuhan pemanfaatan beras dunia yang rata-rata lebih tinggi dari pertumbuhan rata-rata produksi beras dunia perlu mendapatkan perhatian yang serius. Kondisi ini merupakan indikasi bahwa jika peningkatan produksi beras dunia tidak dapat dipacu pertumbuhnnya sehingga melebihi angka pertumbuhan pemanfaatannya, maka dikhawatirkan bahwa di masa datang berkemungkinan akan terjadi gejolak pasokan beras dunia yang berarti juga akan memicu gejolak harga beras dunia. 2. Hasil kajian menunjukkan bahwa sumber utama pertumbuhan produksi padi dunia adalah pertumbuhan produktivitasnya. Hal ini mempunyai implikasi bahwa sumber daya lahan untuk mendukung pertumbuhan produksi padi dunia sudah semakin terbatas, sehingga tumpuan harapan peningkatan produksi padi di masa yang akan datang adalah pertumbuhan produktivitas. Oleh karenaitu, untuk mencapai pertumbuhan produksi padi dunia secara berkelanjutan diperlukan pendanaan dan investasi yang memadai dibidang penelitian dan pengembangan. 3. Kecenderungan pelandaian stok beras dunia, serta melandainya pertumbuhan perdagangan beras dunia ini memperkuat ke khawatiran akan terjadinya lonjakan pasokan dan harga beras dunia, jika pertumbuhan produksi beras dunia tidak dapat dipacu hingga melebihi tingkat pertumbuhan pemanfaatannya. 4. Rendahnya nilai TUR dibandingkan dengan SUR mengimplikasikan bahwa pasar beras dunia tidak cukup kuat untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga beras dunia. Dengan demikian, negara-negara produsen beras yang sekaligus juga sebagai negara konsumen beras yang besar, seperti Tiongkok, India, dan 40

Indonesia cenderung menggunakan stok beras dalam negeri untuk menjaga stabilitas pasokan harga beras untuk rakyatnya. 5. Selama periode 1993 2015 pertumbuhan padi nasional rata-rata adalah 2,08 persen per tahun. Pertumbuhan produksi di Jawa sebesar 1,47 persen pertahun, relatif lebih kecil dibanding dengan pertumbuhan produksi padi rata-rata di Luar Jawa sebesar 2,88 persen per tahun. Debgan demikian diperkirakan dalam jangka menengah, dominasi produksi padi di Jawa sudah mulai digantikan oleh produksi padi di Luar Jawa. 6. Seiring dengan semakin tingginya biaya korbanan (opportunity costs) penggunaan lahan pertanian di Jawa, maka perkembangan luas panen padi di Jawa mengalami berbagai keterbatasan, dan perkembangan luas panen padi bergeser ke luar Jawa. Dengan demikian kedepan pertumbuhan luas panen padi agar diarahkan ke Luar Jawa. 7. Selama periode tahun 1993 2015 pertumbuhan luas panen padi, yaitu 1,20 persen per tahun relatif lebih besar dari laju pertumbuhan produkstivitas padi sebesar 0,75 persen per tahun. Kondisi demikian cukup mengkhawatirkan bagi pertumbuhan produksi padi secara berkelanjutan dalam jangka panjang, karena kapasitas untuk perluasan areal pertanaman padi yang semakin terbatas. Kedepan sumber pertumbuhan produksi padi seharusnya lebih bertumpu pada pertumbuhan peningkatan produktivitasnya. 8. Selama periode 1993 2013, atau selama 21 tahun, telah terjadi 10 kali Indonesia mengalami tahun yang perubahan stok beras nasionalnya negatif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam jangka menengah panjang risiko defisit stok beras nasional adalah sekitar 48 persen. 9. Selama periode tahun 1993 2013 secara nasional dapat dikatakan selalu ada sejumlah impor beras. Indonesia pernah menjadi negara nett exporter beras yaitu pada tahun 1993, yaitu sebesar 327 ribu ton. Tahun-tahun selanjutnya Indonesia menjadi negara nett impoter beras dengan rata-rata impor beras nasional sebesar 1,22 juta ton, atau dengan rasio ketergantungan impor rata- 41

rata adalah 3,69 persen. Kebijakan yang mempertahankan agar tingkat ketergantungan impor beras di bawah 4 persen setahun, mengindikasikan bahwa sebenarnya tingkat kemandirian dalam produksi beras nasional telah tercapai secara berkelanjutan. 10. Harga GKP di tingkat petani dapat dikatakan dapat memberikan keuntungan yang wajar mengingat semenjak tahun 2008 harga GKP di tingkat petani belum pernah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) GKP di tingkat petani. Dengan demikian selama periode pengamatan dapat dikatakan bahwa kebijakan HPP dinilai efektif sebagai instrumen untuk menjaga agar petani mendapatkan keuntungan usaha tani padi yang wajar. 11. Walaupun secara umum harga beras domnestik cukup bervariasi, namun harga beras dalam negeri relatif stabil jika dibandingkan dengan harga beras dunia yang melambung tinggi pada tahun 2008 dan tahun 2011. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kebijakan stabilitas harga beras dalam negeri dinilai cukup efektif. 12. Kebijakan pengendalian impor beras yang dilakukan Pemerintah bertujuan untuk memperkuat stok dalam negeri, bukan langsung untuk dijual ke pasar. Penguatan stok beras Pemerintah inilah yang digunakan untuk melakukan stabilisasi harga beras di dalam negeri. Sebagai hasilnya, adalah bahwa harga beras di dalam negeri relatif stabil di banding dengan harga beras di pasar dunia, walaupun pada tingkatan harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga beras di pasar dunia. 13. Dari simulasi model prediksi ini dapat diketahui bahwa harga beras di tingkat konsumen pada kondisi ada gangguan La Nina ataupun El Nino pada tahun 2015 relatif lebih tinggi dari pada harga beras dalam kondisi iklim normal. Namun demikian hasil prediksi menunjukkan bahwa pertumbuhan harga pertahun pada kondisi iklim normal lebih tinggi dari pada pada kondisi ada gangguan La Nina dan pada kondisi ada gangguan El Nino. 42

14. Hasil simulasi prediksi harga gabah di pedesaan pada tingkat petani menunjukkan bahwa harga gabah pada situasi iklim normal relatif lebih rendah dibandingkan dengan pada saat ada gangguan iklim. Harga gabah pada saat ada gangguan El Nino diprediksikan akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga gabah pada saat ada gangguan La Nina. Demikian halnya dengan tingkat pertumbuhan harganya, tingkat pertumbuhan harga manakala ada gangguan El Nino akan lebih cepat dibandingkan dengan pada saat ada gangguan La Nina. Tingkat pertumbuhan harga gabah pada iklim normal merupakan angka pertumbuhan terendah di antara tiga skenario tersebut. 15. UPSUS padi difokuskan kepada: (1) Peningakatn produktivitas dan indeks pertanaman melalui ketersediaan air irigasi, benih, pupuk dan alsintan; (2) Pemberian fasilitas pendampingan dari penyuluh pertanian, peneliti, perguruan tinggi dan TNI; (3) Pengembangan irigasi, optimalisasi lahan dan GPPTT Padi; (4) Optimalisasi lahan pada sentra produksi padi tidak dialokasikan bantuan benih. Indikatror pencapaian kinerja program UPSUS Padi adalah sebagai berikut: (1) Meningkatnya Indeks Pertananaman (IP) minimal sebesar 0,5; dan (2) Meningkatnya produktivitas padi minimal sebesar 0,4 ton/ha. UPSUS ini mempunyai dampak positif terhadap peningkatan produksi gabah nasional sebesar 3,69 persen dari angka prediksi normal pada tahun 2015. 16. Secara umum kebijakan pengaturan dan pembatasan impor diperlukan untuk melindungi petani dan produk pertanian domestik agar tidak merugi atau tersingkir akibat melimpahnya produk impor. Teori dan ilmu perdagangan internasional menganjurkan untuk memilih instrumen kebijakan impor yang efektif dan tidak berdampak negatif terhadap kosumen dan perekonomian dalam negeri. 43

III. OUTLOOK KOMODITAS JAGUNG 3.1. Dinamika Pasar Internasional Jagung 3.1.1. Produksi Dunia Pada periode tahun 2000-2015, produksi jagung dunia cenderung meningkat, dengan rata-rata laju peningkatan 3,5 persen per tahun. Peningkatan produksi jagung disebabkan karena adanya peningkatan luas panen dan produktivitas (provitas) jagung (Tabel 3.1). Pertumbuhan luas panen jagung dunia berfluktuasi, tertinggi pada tahun 2007/2008 yang mencapai 6,6 persen, dan tertinggi ke-dua dicapai pada tahun 2011/2012. Fluktuasi luas panen jagung dunia terlihat pada Gambar 3.1. Pada 2 tahun terakhir luas panen jagung dunia menunjukkan penurunan. Hal ini disebabkan karena adanya persaingan dengan komoditas lain, perkembangan harga serta permintaan. Produktivitas jagung dunia juga menunjukkan fenomena yang berfluktuasi, dengan kecenderungan meningkat. Pertumbuhan produktivitas tertinggi tercapai pada tahun 2004/2005 dan 2013/2014, secara grafis terlihat pada Gambar 3.2. Fluktuasi pertumbuhan luas panen dan produktivitas mempengaruhi fluktuasi produksi, sehingga pertumbuhan produksi jagung dunia tercapai pada tahun 2004/2005, 2007/2008, 2013/2014 (terlihat secara jelas pada Gambar 3.3). Tabel 3.1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung Dunia Tahun Luas Panen Pertumbuhan Produksi Pertumbuhan Provitas Pertumbuhan (1.000 Ha) (%) (1.000 Ton) (%) (Ton/Ha) (%) 2000/2001 137,081 591,832 4.32 2001/2002 137,343 0.19 601,844 1.69 4.38 1.39 2002/2003 137,450 0.08 603,929 0.35 4.39 0.23 2003/2004 141,692 3.09 627,468 3.90 4.43 0.91 2004/2005 145,417 2.63 716,931 14.26 4.93 11.29 2005/2006 145,389-0.02 700,714-2.26 4.82-2.24 2006/2007 150,369 3.43 716,708 2.28 4.77-1.10 2007/2008 160,383 6.66 795,533 11.00 4.96 4.07 2008/2009 158,702-1.05 799,764 0.53 5.04 1.60 2009/2010 158,386-0.20 824,849 3.14 5.21 3.34 2010/2011 164,592 3.92 835,536 1.30 5.08-2.52 2011/2012 172,243 4.65 889,773 6.49 5.17 1.76 2012/2013 177,817 3.24 870,305-2.19 4.89-5.25 2013/2014 181,529 2.09 991,416 13.92 5.46 11.59 2014/2015 178,789-1.51 1,008,676 1.74 5.64 3.30 2015/2016 177,050-0.97 972,602-3.58 5.49-2.63 Rata-rata 157,765 1.75 843,567 3.50 5.12 1.71 Sumber : FAO (http://faostat3.fao.org/download/fb/fbs/e) 44

Berdasarkan data tahun 2009-2013 (Pusdatin, 2015), produsen jagung dunia didominasi oleh USA dan China. Dari sisi luas panen, ke-dua negara menguasai sekitar 39,35 persen dan dari sisi produksi menguasai 57,29 persen. Hal ini menunjukkan bahwa ke-dua negara tersebut unggul dalam produktivitas dibandingkan dengan negara lain. Data menunjukkan bahwa 10 negara produsen jagung terbesar dunia menguasai luas panen sekitar 65 persen dan menguasai produksi sekitar 77 persen. Dari sisi luas panen, Indonesia menduduki pe-ringkat ketujuh, dengan proporsi 2,32 persen dan dari sisi produksi menduduki peringkat kedelapan dengan proporsi 2,18 persen. Gambar 3.4. menunjukkan posisi 10 produsen jagung dunia dari sisi produksi. Sumber: USDA, 2015 (diolah) Gambar 3.1. Perkembangan Luas Panen Jagung Dunia, 2000-2015 Sumber: USDA, 2015 (diolah) Gambar 3.2. Perkembangan Provitas Jagung Dunia, 2000-2015 Sumber: USDA, 2015 (diolah) Gambar 3.3. Perkembangan Produksi Jagung Dunia, 2000-2015 Sumber: USDA, 2015 (diolah) Gambar 3.4. Proposi Produksi Jagung Dunia di 10 Negara Produsen 45

Kontribusi luas panen dan produksi jagung USA dan China terhadap jagung dunia sangat besar, dengan demikian dinamika produksi di tingkat global sangat dipengaruhi oleh kinerja luas panen dan produktivitas jagung di ke-dua Negara tersebut. Dari 10 negara produsen jagung dunia, yang konsisten berkontribusi terhadap luas panen dan produksi jagung dunia hanya 8 negara (2 negara berkontribusi dalam luas panen, namun tidak dalam produksi dan sebaliknya). Pada periode 2009-2013, luas panen dan produktivitas jagung di USA dan China cenderung meningkat, sehingga produksi jagung juga meningkat (Tabel 3.2). Peningkatan luas panen dan produktivitas jagung di China lebih tinggi dibandingkan dengan USA. Namun, tingkat produktivitas jagung di USA jauh lebih tinggi dibandingkan dengan China dan Negara lainnya Tabel 3.2. Rata-rata Luas Panen, Produksi, Produktivitas di 8 Negara Produsen Jagung Dunia, 2009-2013 No Negara Rata-rata 2009-2013 Luas Panen Produksi Provitas (000 Ha) Pertumbuhan (%) (000 Ton) Pertumbuhan (%) (Ton/Ha) Pertumbuhan (%) 1 USA 33,991 2.49 318,143 2.71 9.38 0.44 2 China 33,521 3.13 191,730 7.36 5.71 4.12 3 Brazil 13,840 3.33 62,671 12.68 4.50 9.25 4 India 8,761 3.61 21,151 9.26 2.41 5.53 5 Mexico 6,692 4.08 21,163 4.80 3.16-0.06 6 Indonesia 3,987-2.05 18,297 1.40 4.60 3.45 7 Argentina 3,513 20.67 20,449 17.01 5.98-2.85 8 Ukraine 3,496 23.59 19,438 36.12 5.44 10.21 Lainnya 63,764 3.78 214,616 5.07 3.36 1.24 Dunia 171,564 3.80 887,656 5.40 5.17 1.57 Sumber: Pusdatin (2015), diolah Perkembangan produktivitas jagung di Negara produsen utama dunia ditampilkan pada Gambar 3.5. Terlihat bahwa produktivitas berfluktuasi di semua Negara. Hal ini terutama disebabkan karena pengaruh iklim. Fluktuasi yang cukup besar terjadi di USA, Argentina dan Ukraine. Produktivitas di Indonesia relatif stabil dengan kecenderungan meningkat. Namun demikian, produktivitas jagung Indonesia masih di bawah rata-rata dunia (Gambar 3.6). Dari produsen utama dunia, produktivitasnya sebagian di bawah rata-rata dunia, yang produktivitas di atas rata-rata antara lain USA, China, Argentina 46

dan Ukraine. Hal ini mengindikasikan bahwa produktivitas di Negara-negara lain relatif tinggi. Sumber: FAO, 2015 (diolah) Gambar 3.5. Perkembangan Provitas Jagung di Negara Produsen Utama dan Dunia, 2009-2013 Sumber: FAO, 2015 (diolah) Gambar 3.6. Perkembangan Ratio Provitas Negara Produsen Utama terhadap Provitas Dunia, 2009-2013 47

3.1.2. Perkembangan Harga Pasar Dunia Harga jagung dunia mengacu pada harga jagung kuning kualitas nomor 2 USA, FOB Mexico. Hal ini disebabkan karena USA adalah produsen utama jagung dunia. Perkembangan harga bulanan jagung dunia pada periode tahun 2000-2015 (Oktober) terlihat berfluktuasi (Gambar 3.7). Tingkat CV pada periode tersebut sekitar 44 persen. Sumber: FAO, 2015 (diolah) Gambar 3.7. Perkembangan Harga Produsen Jagung Dunia, 2000-2015 (US$/Ton) Pada periode 2001-2013, harga produsen jagung di lima Negara produsen jagung dunia bervariasi dan berfluktuasi (Gambar 3.8.). Harga produsen jagung di Argentina, USA dan Brazil lebih rendah dibandingkan dengan Mexico dan China. Perbedaan harga yang cukup besar antara Argentina, USA dan Brazil dengan Mexico dan China disebabkan karena perbedaan sitem nilai tukar yang dianut Negara-negara tersebut. Argentina, USA dan Brazil menggunakan system floating rate, sementara Mexico dan China sistem fixed rate. 48

Sumber: FAO, 2015 (diolah) Gambar 3.8. Perkembangan Harga Produsen Jagung di Lima Negara Produsen Jagung Dunia, 2001-2013 (US$/Ton) Pada periode tersebut, harga di lima Negara produsen jagung dunia cenderung meningkat, dengan kisaran antara 5,92-11,63 persen. Pertumbuhan yang relatif rendah terjadi di Mexico, sementara yang relatif tinggi di Brazil dan China. Seperti sudah diungkapkan di atas, harga produsen di ke-lima Negara berfluktuasi, dengan CV berkisar antara 53-57 persen (Tabel 3.3). Fluktuasi harga antar Negara tidak berbeda jauh. Diduga ada keterkaitan antara harga acuan dengan harga-harga produsen jagung utama. Tabel 3.3. Perkembangan Harga Produsen Jagung di Lima Negara Produsen Jagung Dunia Tahun Harga Produsen (USD/Ton) Argentina Brazil China, Mainland Mexico USA 2001 84.04 69.13 155.85 155.31 78.00 2002 78.35 89.29 146.19 155.45 91.00 2004 81.10 103.58 189.69 148.81 81.00 2005 70.27 118.95 189.18 144.85 79.00 2006 92.79 120.67 252.11 184.54 120.00 2007 118.74 171.64 193.36 223.48 165.00 2008 140.61 215.84 218.32 253.11 160.00 2009 113.52 158.35 243.05 207.72 140.00 2010 134.97 169.89 273.26 223.00 204.00 2011 176.32 256.47 321.83 329.39 245.00 2012 203.44 226.92 383.52 304.68 271.00 2013 181.29 202.02 489.09 263.66 177.00 CV 54.62 55.39 56.81 53.39 57.36 Pertumbuhan (%/Tahun 8.05 11.54 11.63 5.92 9.96 Sumber: FAO, 2015 (diolah) 49

3.1.3. Pemanfaatan Jagung Dunia Jagung tidak hanya digunakan sebagai bahan pangan tetapi juga digunakan sebagai bahan pakan dan industri bahkan akhir-akhir sudah mulai digunakan sebagai bahan bakar alternatif (biofuel). Permintaan jagung terus mengalami peningkatan berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk, sebagai dampak dari peningkatan kebutuhan pangan, konsumsi protein hewani dan energi. Secara garis besar, pemanfaatan jagung dunia dalam pembahasan ini dibagi menjadi dua, yaitu pemanfaatan untuk pakan dan pangan, benih, industri pangan. Pada periode tahun 2000-2015, pemanfaatan untuk pakan cenderung meningkat, dengan laju peningkatan 2,37 persen per tahun. Pemanfaatan untuk pangan, benih, industri pangan juga cenderung meningkat, dengan laju peningkatan yang lebih besar (5,10 persen/tahun). Perkembangan pemanfaatan jagung dunia ditampilkan pada Tabel 3.4. Tabel 3.4. Perkembangan Penggunaan Jagung Dunia, 2000-2015 Tahun Pakan Makanan, Benih, Industri Pangan Total (000 Ton) Proporsi (%) (000 Ton) Proporsi (%) (000 Ton) 2000/2001 427,369 70.16 181,726 29.84 609,095 2001/2002 436,403 70.10 186,143 29.90 622,546 2002/2003 433,424 69.06 194,137 30.94 627,561 2003/2004 445,809 68.64 203,638 31.36 649,447 2004/2005 475,993 69.11 212,801 30.89 688,794 2005/2006 478,904 67.68 228,681 32.32 707,585 2006/2007 479,527 65.95 247,558 34.05 727,085 2007/2008 499,150 64.42 275,635 35.58 774,785 2008/2009 481,425 61.50 301,324 38.50 782,749 2009/2010 490,776 59.88 328,789 40.12 819,565 2010/2011 502,350 58.85 351,199 41.15 853,549 2011/2012 506,757 58.43 360,549 41.57 867,306 2012/2013 518,653 59.63 351,182 40.37 869,835 2013/2014 574,343 60.69 371,949 39.31 946,292 2014/2015 599,676 61.40 377,035 38.60 976,711 2015/2016 602,486 61.34 379,693 38.66 982,179 Pertumbuhan (%/Tahun 2.37 5.10 3.26 Sumber : FAO, 2015 (diolah) Pemanfaatan jagung untuk pangan dan nonpangan mengalami persaingan. Proporsi pemanfaatan untuk pakan cenderung menurun, dan sebaliknya untuk pangan, 50

benih, industri pangan. Perkembangan proporsi pemanfaatan jagung secara jelas terlihat pada Gambar 3.9. Sumber: USDA, 2015 (diolah) Gambar 3.9. Perkembangan Pemanfaatan Jagung Dunia, 2000-2015 (%) 3.1.4. Ekspor dan Impor Jagung Dunia Perdagangan jagung dunia terjadi karena adanya surplus dan defisit antara produksi dan kebutuhan jagung antar Negara di dunia. Jagung yang diperdagangkan di pasar dunia berkisar antara 10-12 persen dari produksi. Hal ini mengindikasikan bahwa di masing-masing negara, kebutuhan jagung juga cukup tinggi. Ekspor dan impor jagung dunia pada periode tahun 2000-2015 cenderung meningkat, meskipun terjadi fluktuasi antar tahun (Tabel 3.5 dan Gambar 3.9). Laju peningkatan ekspor jagung dunia pada periode tersebut 4,10 persen/tahun lebih tinggi dibandingkan laju peningkatan impornya (3,74 persen/tahun). Net ekspor yang merupakan volume ekspor dikurangi impor, pada periode yang sama juga menunjukkan fluktuasi. Net ekspor dunia merupakan pembentuk utama stok jagung dunia, yang cenderung menurun (25 persen/tahun). Pada periode tersebut, sampai dengan tahun 2009, terjadi surplus net ekspor. Pada tahun-tahun berikutnya, menunjukkan kecenderungan yang berfluktuasi. Apabila terjadi deficit net ekspor, maka perdagangan jagung akan memanfaatkan stok jagung yang ada. 51

Tabel 3.5. Perkembangan Impor dan Ekspor Jagung Dunia, 2000-2015 Tahun Export (1.000 Ton) Import (1.000 Ton) Net Ekspor (1.000 Ton) 2000/2001 76.722 74.896 1,826 2001/2002 74.579 71.482 3,097 2002/2003 76.746 75.699 1,047 2003/2004 77.135 76.883 252 2004/2005 77.659 76.042 1,617 2005/2006 80.904 80.182 722 2006/2007 93.905 90.225 3,680 2007/2008 98.554 98.290 264 2008/2009 84.174 82.513 1,661 2009/2010 96.644 89.865 6,779 2010/2011 91.290 92.585-1,295 2011/2012 116.899 100.154 16,745 2012/2013 95.124 99.772-4,648 2013/2014 131.100 123.936 7,164 2014/2015 133.040 121.220 11,820 2015/2016 121.927 123.312-1,385 Pertumbuhan (%/Tahun 4,10 3,74-25,02 Sumber : FAO, 2015 (diolah) Sumber: USDA, 2015 (diolah) Gambar 3.10. Perkembangan Ekspor dan Impor Jagung Dunia, 2000-2015 (000 Ton) Pada periode 2009-2013, sepuluh Negara eksportir jagung terbesar dunia menguasai lebih dari 90 persen ekspor jagung dunia. USA merupakan satu-satunya Negara yang menguasai lebih dari 40 persen jagung yang diekspor (Tabel 3.6). Indonesia juga melakukan ekspor, namun proporsinya relatif kecil. China dan Mexico 52

yang termasuk Negara produsen utama dunia, namun tidak berkontribusi terhadap ekspor dunia. Hal ini antara lain disebabkan karena harga di ke-dua Negara tersebut jauh lebih tinggi dari harga acuan dunia atau produksinya belum mencukupi kebutuhan. Tabel 3.6. Perkembangan Proporsi Ekspor dari Negara Eksportir Jagung Terbesar di Dunia, 2009-2013 Negara Proporsi Ekspor (%) Rata-rata Pertumbuhan (%) 2009 2010 2011 2012 2013 USA 47,53 47,22 41,86 42,35 41,94-0,02 Argentina 8,49 16,28 14,42 14,23 14,39 24,64 Brazil 7,74 10,03 8,65 10,73 11,56 15,51 Perancis 6,69 6,13 5,70 5,73 5,73-0,91 Ukraina 7,14 2,68 7,12 6,30 6,20 25,09 Hungaria 4,15 3,63 3,32 3,63 3,69 0,26 India 2,59 2,13 3,60 4,97 5,13 26,35 Paraguay 1,86 0,99 1,17 1,29 1,32-1,65 Rumania 1,68 1,91 2,11 2,43 2,77 16,77 Afrika Selatan 1,65 1,15 2,34 2,15 2,17 19,38 Indonesia 0,00006 0,00004 0,00001 0,00004 0,00004 44,50 Total Ekspor (000 Ton) 100.589 107.804 109.633 111.279 113.070 3,00 Sumber : FAO (diolah) Pada periode tersebut, kinerja ekspor Negara eksportir utama dunia bervariasi. Proporsi dan pertumbuhan ekspor jagung USA cenderung menurun. Sementara, Argentina, Brazil, India cenderung meningkat. Perkembangan proporsi ekspor dari Negara-negara eksportir utama dunia ditampilkan pada Gambar 3.10. Sumber: FAO, 2015 (diolah) Gambar 3.11. Perkembangan Proporsi Ekspor dari Sepuluh Eksporti Jagung Dunia, 2009-2013 (%) 53

Pada periode 2009-2013, sepuluh Negara importir jagung terbesar di dunia adalah Jepang, Mexico, Korea, mesir, Spanyol, China, Iran, Belanda, Colombia dan Malaysia. Ke-sepuluh Negara tersebut mengimpor sekitar 57-59 persen dari total impor dunia. Negara importer jagung yang proporsinya paling tinggi adalah Jepang, dengan kecenderungan yang menurun (Tabel 3.7. dan Gambar 3.11). Indonesia juga mengimpor jagung, dengan volume yang relatif kecil, dan terletak pada posisi ke-21. Selain Jepang, Negara importir yang impornya cenderung menurun adalah China dan Colombia. Sementara Negara-negara yang lain impornya cenderung meningkat dengan laju peningkatan berkisar antara 3-15 persen/tahun. Iran merupakan salah satu Negara yang pertumbuhan impornya cukup tinggi. Hal ini diduga disebabkan stabilitas Negara tersebut yang kurang kondusif. Impor jagung Indonesia juga cenderung meningkat, peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2011. Tabel 3.7. Perkembangan Proporsi Impor dari Negara Eksportir Jagung Terbesar di Dunia, 2009-2013 Negara Proporsi Impor (%) Rata-rata Pertumbuhan (%) 2009 2010 2011 2012 2013 Japan 16.31 15.26 14.58 14.08 13.72-1.74 Mexico 7.27 7.40 9.04 8.53 8.63 7.41 Korea 7.34 8.05 7.40 7.17 6.86 1.28 Mesir 5.42 5.82 6.72 6.22 6.32 6.85 Spanyol 4.05 3.73 4.60 4.36 4.37 4.94 China 4.60 4.72 3.96 3.90 3.83-1.52 Iran 3.74 5.46 3.48 4.56 4.92 15.94 Belanda 3.15 2.74 3.32 3.28 3.27 4.02 Colombia 3.25 3.41 2.69 2.69 2.71-1.10 Malaysia 2.63 2.90 2.73 2.72 2.73 3.87 Indonesia 0.34 1.44 3.06 1.02 1.03 2.84 Total Impor 99,893 106,107 104,859 108,842 110,600 99.50 (000 Ton) Sumber : FAO (diolah) 54

Sumber: FAO, 2015 (diolah) Gambar 3.12. Perkembangan Proporsi Impor dari Sepuluh Importir Jagung Dunia dan Indonesia, 2009-2013 (%) 3.1.5. Stok Jagung Dunia Stok jaging dunia merupakan cadangan jagung dunia untuk diperdagangkan, apabila permintaan lebih besar dari penawaran. Hal ini dimungkinkan karena produk komoditas pertanian termasuk jagung rentan terhadap perubahan iklim, serta bencana alam. Rata-rata besaran stok awal jagung dunia pada periode 2000-2015 sekitar 18 persen dari produksi jagung dunia. Pada periode 2000-2015, stok awal dan akhir jagung dunia berfluktuasi, secara rata-rata pertunbuhannya relatif kecil, sekitar 1,08 dan 1,45 persen/tahun (Tabel 3.8). Perubahan stok pada periode tersebut berfluktuasi (Gambar 3.12). Perubahan stok yang merupakan pengurangan stok akhir terhadap stok awal, pada tahun 2000-2005 cenderung negative (kecuali tahun 2003). Hal ini mengindikasikan bahwa perdagangan jagung dunia menggerus stok yang ada. Rata-rata pertumbuhan stok jagung dunia lebih kecil dibandingkan pertumbuhan produksi, ekspor dan impor jagung dunia. Hal ini menyebabkan proporsi stok terhadap produksi cenderung mengecil. Pada tahun 2000, proporsi stok awal jagung dunia sekitar 32 persen dan pada tahun 2015 sebesar 20 persen. Pada periode tersebut, 55

proporsi jagung dunia berfluktuasi, proporsi yang relatif rendah terjadi pada tahun 2004, 2007, 2011 dan 2013. Tabel 3.8. Perkembangan Stok Jagung Dunia, 2000-2015 Tahun Stok Awal (1.000 MT) Stok Akhir (1.000 MT) Perubahan Stok (1.000 MT) Proporsi Stok Awal terhadap Produksi (%) 2000/2001 194,384 175,295-19,089 32.84 2001/2002 175,295 151,496-23,799 29.13 2002/2003 151,496 126,817-24,679 25.09 2003/2004 126,817 104,586-22,231 20.21 2004/2005 104,586 131,106 26,520 14.59 2005/2006 131,106 123,513-7,593 18.71 2006/2007 123,513 109,456-14,057 17.23 2007/2008 109,456 129,940 20,484 13.76 2008/2009 129,940 145,294 15,354 16.25 2009/2010 145,294 143,799-1,495 17.61 2010/2011 143,799 127,081-16,718 17.21 2011/2012 127,081 132,803 5,722 14.28 2012/2013 132,803 137,921 5,118 15.26 2013/2014 137,921 175,881 37,960 13.91 2014/2015 175,881 196,026 20,145 17.44 2015/2016 196,026 187,834-8,192 20.15 Prtmb. (%/th) 1.08 1.45 Sumber : FAO, 2015 (diolah) Sumber: USDA, 2015 (diolah) Gambar 3.13. Perkembangan Perubahan Stok Jagung Dunia, 2000-2015 (000 Ton) 56

3.2. Dinamika Pasar Domestik Jagung 3.2.1. Kinerja dan Outlook Produksi Jagung Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan sebagai sumber karbohidrat kedua setelah beras yang sangat berperan dalam menunjang ketahanan pangan. Selain sebagai bahan komsumsi, jagung sangat berperan dalam industri pakan dan juga industri pangan yang memerlukan pasokan terbesar dibanding untuk konsumsi langsung. Kebutuhan jagung untuk industri setiap tahun terus meningkat secara signifikant. Kinerja produksi jagung Indonesia dalam periode tahun 2000-2015, cemderung meningkat (5,20 persen/tahun). Peningkatan produksi jagung Indonesia lebih disebabkan karena peningkatan produktivitas (4,23 %/tahun), sedangkan luas panen hanya meningkat 0,85 persen/tahun (Tabel 3.9 ). Tabel 3.9. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung di Indonesia, 2005-2015 Tahun Luas Panen (000 Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (000 Ton) Jawa Luar Jawa Indonesia Jawa Luar Jawa Indonesia Jawa Luar Jawa Indonesia 2000 1.957 1.543 3.500 30,0 25,0 27,65 5.787 3.890 9.677 2001 1.866 1420 3.286 30,0 26,0 28,45 5.663 3.684 9.347 2002 1.735 1.374 3.109 34,0 27,0 30,83 5.852 3.733 9.585 2003 1.908 1.451 3.359 36,0 28,0 32,41 6.781 4.106 10.886 2004 1.860 1.497 3.357 36,0 30,0 33,44 6.756 4.469 11.225 2005 2.003 1.623 3.626 37,0 31,0 34,54 7.456 5.068 12.524 2006 1.791 1.555 3.346 37,0 32,0 34,70 6.689 4.920 11.609 2007 1.915 1.715 3.630 38,0 35,0 36,60 7.343 5.945 13.288 2008 2.072 1930 4.002 42,0 40,0 40,78 8.678 7.639 16.317 2009 2.176 1.984 4.161 43,0 41,0 42,37 9.454 8.176 17.630 2010 2.139 1.993 4.132 46,0 42,0 44,36 9.944 8.383 18.328 2011 1.946 1.919 3.865 49,0 43,0 45,65 9.467 8.176 17.643 2012 2.011 1.946 3.958 53,0 45,0 48,99 10.712 8.675 19.387 2013 1.959 1.863 3.822 52,0 45,0 48,44 10.095 8.416 18.512 2014 1.954 1.883 3.837 52,0 47,0 49,54 10.159 8.850 19.008 2015**) 1.993 2.005 3.860 55,0 49,0 51,39 10.893 9.774 19.833 Rata-rata Pertumbuhan (%/tahun) 2000-2015 0,53 1,69 0,85 4,38 4,25 4,23 4,98 6,17 5,20 2000-2005 1,21 0,71 0,96 5,04 3,64 4,45 6,24 4,41 5,42 2006-2010 1,57 4,38 2,86 4,59 6,25 5,19 6,36 11,19 8,39 2011-2015 -1,31 0,20-1,30 3,39 3,00 3,02 2,09 3,25 1,73 Sumber : BPS, 2015 (diolah) **) Angka Ramalan II 57

Produksi jagung Indonesia sampai dengan 2015 masih didominasi produksi jagung di Jawa, namun demikian dalam perkembangannya, pertumbuhan produksi di Luar Jawa lebih besar sehingga kontribusinya semakin besar. Pada periode tahun 2000-2015, peningkatan produksi di Jawa lebih rendah (4,98%/tahun) dibandingkan Luar Jawa yang meningkat sebesar 6,17 persen/tahun. Perkembangan produksi jagung Indonesia menurut wilayah ditampilkan pada Gambar 3.13. Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2015a Gambar 3.14. Perkembangan Produksi Jagung Indonesia menurut Wilayah, 2000-2015 (000 Ton) Pertumbuhan produksi jagung juga bervariasi antar periode. Peningkatan produksi jagung Indonesia terbesar terjadi pada periode tahun 2001-2010 (8,39%/tahun). Hal ini disebabkan oleh peningkatan produksi di Luar Jawa yang relatif tinggi, yaitu 11,9 persen/tahun. Sementara peningkatan produksi yang terendah terjadi pada periode 2011-2015. Nampaknya program-program Pemerintah pada periode ini belum dapat mengakselerasi peningkatan produksi jagung. Diduga ada persaingan pemanfaatan lahan dengan komoditas lain. Luas panen jagung di Indonesi pada periode tahun 2000-2015 cenderung meningkat, dengan laju peningkatan 0,85 persen per tahun, pertumbuhan luas panen di Luar Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan jagung di Luar Jawa cukup berhasil. Apabila dicermati laju pertumbuhan per periode lima tahunan, terlihat bahwa pertumbuhan luas panen pada 58

tahun 2006-2010 lebih tinggi dibandingkan periode 2000-2005. Luas panen jagung di Indonesia pada periode 2011-2015 menunjukkan kecenderungan menurun, disebabkan karena penurunan luas panen di Jawa, sementara di Luar Jawa relatif tetap. Fluktuasi luas panen jagung menurut wilayah ditampilkan pada Gambar 3.14. Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2015a Gambar 3.15. Perkembangan Luas Panen Jagung Indonesia menurut Wilayah, 2000-2015 (000 Ha) Produktivitas jagung Indonesia pada periode 2000-2015 cenderung meningkat (4,23%/tahun), pertumbuhan produktivitas antar wilayah hampir sama. Secara umum, produktivitas jagung di Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan Luar Jawa (Gambar 3.15). Namun demikian, sudah diungkapkan pada uraian sebelumnya, bahwa produktivitas jagung Indonesia masih di bawah rata-rata dunia. Menurut Sudaryanto et al. (2010), hal ini disebabkan oleh sebagian besar petani masih menggunakan bibit varietas lokal. Padahal dengan varietas hibrida produkitvitas jagung dapat mencapai 5-10 ton per hektar, sedangkan jagung komposit kurang dari 5 ton/ha bahkan untuk jagung lokal hanya 2-3 ton/ha. Keengganan petani untuk memanfaatkan teknologi produksi jagung hibrida ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) harga bibit hibrida mahal dan hanya dapat ditanam sekali, (2) kebutuhan pupuk lebih banyak, sehingga biaya produksinya menjadi tinggi, semantara permodalan petani relatif terbatas (3) umurnya lebih panjang, (4) menghendaki lahan yang relatif subur, dan (5) 59

sering terlambatnya suplai benih sehingga tidak tepat waktu tanamnya. Akibatnya produksi jagung yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2015a Gambar 3.16. Perkembangan Produktivitas Jagung Indonesia menurut Wilayah, 2000-2015 (Ku/Ha) Setiyanto, et al. (2014), melakukan prediksi luas panen, produktivitas dan produksi jagung Indonesia tahun 2015-2019, berdasarkan kinerja luas panen dan produktivitas Indonesia dengan pendekatan multimarket dengan 3 asumsi, yaitu: (i) Skenario I: tidak terjadi perubahan iklim, dan pada periode 2015 2019 terpengaruh kebijakan kenaikan harga BBM 2014; (ii) Skenario II: kondisi iklim tidak normal dan terjadi gangguan iklim yang cenderung ke arah La Nina, dan pada periode 2015 2019 terpengaruh kebijakan kenaikan harga BBM 2014; dan (iii) Skenario III: kondisi iklim tidak normal dan terjadi gangguan iklim yang cenderung El Nino, dan pada periode 2015 2019 terpengaruh kebijakan kenaikan harga BBM 2014. Hasil prediksi menurut skenario ditampikan pada Tabel 3.10. Terlihat bahwa pada periode 2015-2019, luas panen jagung cenderung meningkat dengan laju peningkatan 1,72 persen/tahun pada skenario I dan III. Namun demikian, apabila terjadi El Nino pada periode tersebut, maka laju peningkatan luas panen jagung 60

sebesar 0,86 persen/tahun. Laju peningkatan luas panen pada pada periode 2015-2019 lebih tinggi dibandingkan dengan periode 2011-2015. Hasil prediksi menunjukkan bahwa produktivitas jagung pada periode 2015-2019 cenderung meningkat, dengan kisaran 0,30-0,43 persen/tahun. Pada kondisi normal, produktivitas meningkat 0,30 persen/tahun, peningkatan yang tertinggi terjadi El Nino (skenario II). Hal ini diduga disebabkan factor iklim, adanya El Nino akan memberikan pertumbuhan tanaman yang optimal, dan sebaliknya apabila terjadi La Nina. Berdasarkan prediksi luas panen dan produktivitas, maka pada lima tahun ke depan, produksi jagung nasional masih meningkat. Seperti kinerja produksi pada periode sebelumnya, ke depan peningkatan produksi jagung lebih disebakan karena peningkatan produktivitas. Tabel 3.10. Prediksi Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Komoditas Jagung, 2015-2019 Luas Panen (Ribu Ha) Provitas (Ton/Ha) Produksi (Ribu Ton) Tahun Skenario I Skenario II Skenario III Skenario I Skenario II Skenario III Skenario I Skenario II Skenario III 2015 5,340 5,410 5,340 3.66 3.61 3.31 19,545 19,257 17,696 2016 5,628 5,277 5,628 3.56 3.65 3.28 20,026 20,539 18,438 2017 5,656 5,363 5,656 3.67 3.83 3.38 20,734 21,662 19,137 2018 5,815 5,690 5,815 3.69 3.81 3.36 21,458 22,137 19,509 2019 5,709 5,586 5,709 3.88 3.96 3.48 22,163 22,623 19,890 R (%/Thn) 1.72 0.86 1.72 0.30 2.41 0.43 3.19 4.13 2.97 Setiyanto, et al (2014) 3.2.2. Kinerja dan Outlook Pemanfaatan Jagung Secara umum, jagung digunakan sebagai pangan pangan (konsumsi langsung dan tidak langsung) dan pakan ternak (langsung dan sebagai bahan baku industri pakan ternak). Karena perbedaan asumsi, definisi dan sumber data, neraca bahan makanan (NBM) jagung yang dipublikasikan oleh BPS dan Badan Ketahanan Pangan (BKP) berbeda dengan data yang dipublikasikan oleh FAO. Terkait dengan hal tersebut, BKP (2015) melakukan penghitungan ulang neraca jagung nasional. Asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut: (i) Konsumsi langsung, berdasarkan data konsumsi jagung, hasil Susenas yang dilakukan oleh BPS; 61

(ii) Kebutuhan Industri merupakan kebutuhan jagung untuk industri pangan dan non pakan sebesar 19,8 % dari produksi. Asumsi diambil berdasarkan Tabel I-O 2005; (iii) Kebutuhan benih/bibit sebesar 20 Kg/Ha dari luas tanam (Ditjen. TP); (iv) Kebutuhan jagung untuk pakan terdiri dari: kebutuhan jagung untuk industri pakan sebesar 50 % dari total produksi pakan nasional (Ditjen PKH) dan Kebutuhan jagung untuk pakan peternak lokal sebesar 32 % dari produksi. Mengacu pada pemanfaatan jagung dunia, pemanfaatan jagung dibagi menjadi dua, yaitu pemanfaatan untuk pakan dan pangan, benih, industri pangan. Menurut Tangenjaya, et.al. (2003), pada industri pakan, jagung merupakan bahan baku pakan terpenting dari sekitar 30 jenis bahan baku yang digunakan. Proporsi jagung dalam pakan rata-rata mencapai 51 persen terutama untuk pakan ayam broiler dan petelur. Penggunaan jagung yang relatif tinggi ini disebabkan oleh harganya yang relatif murah, mengandung kalori yang tinggi, mempunyai protein dengan kandungan asam amino yang lengkap, mudah diproduksi, dan digemari oleh ternak. Tabel 3.11. Perkembangan Penggunaan Jagung Nasional, 2000-2015 Tahun Pakan Makanan, Benih, Industri Pangan (000 Ton) Proporsi (%) (000 Ton) Proporsi (%) Total (000 Ton) 2000 6,338 57.96 4,598 42.04 10,936 2001 6,306 60.99 4,034 39.01 10,340 2002 6,032 55.99 4,742 44.01 10,774 2003 6,083 49.80 6,132 50.20 12,215 2004 5,940 48.32 6,353 51.68 12,293 2005 5,755 45.35 6,935 54.65 12,690 2006 6,496 48.44 6,915 51.56 13,411 2007 6,377 45.62 7,603 54.38 13,980 2008 7,395 44.36 9,275 55.64 16,670 2009 7,708 42.81 10,299 57.19 18,007 2010 8,068 43.54 10,464 56.46 18,532 2011 8,305 42.49 11,242 57.51 19,547 2012 8,764 44.32 11,012 55.68 19,776 2013 8,820 42.53 11,918 57.47 20,738 Pertumbuhan (%/tahun) 2.73 8.10 2.61 Sumber: FAO, 2015 (diolah) 62

Berdasarkan data FAO, pada periode 2000-2013 pemanfaatan jagung untuk pakan cenderung meningkat, pemanfaatan untuk makanan, benih dan industri pangan juga cenderung meningkat, dengan peningkatan yang lebih besar (Tabel 3.11). Hal ini juga terlihat dari proporsi jagung yang digunakan untuk kedua jenis tersebut. Pada tahun 2000, pemanfaatan jagung untuk pakan lebih tinggi dibandingkan pemanfaatan untuk pangan, benih dan industri pangan (Gambar 3.16). Namun mulai tahun 2003, pemanfaatan untuk pangan, benih dan industri pangan meningkat dengan tajam. Proporsi pemanfaatan untuk pangan, benih dan industri pangan yang lebih tinggi dibandingkan pemanfaatan untuk pakan juga dikemukakan oleh Agustian (2012). Namun, hasil penghitungan BKP, pada tahun 2015 pemanfaatan jagung untuk pakan mencapai 76, 6 persen. Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2015b Gambar 3.17. Perkembangan Pemanfaatan Jagung Indonesia, 2000-2013 (000 Ton) Hasil prediksi permintaan menurut jenis pemanfaatan dengan metoda multimarket menunjukkan bahwa pada periode 2015-2019. permintaan cenderung meningkat. Peningkatan terbesar pada ke-tiga skenario terjadi pada konsumsi tidak langsung, yang merupakan permintaan turunan dari industri makanan. Permintaan jagung untuk industri pakan pada lima tahun ke depan masih cenderung meningkat, 63

dengan laju peningkatan yang paling rendah. Hal ini berbeda dengan Gabungan Produsen Makanan Ternak (GPMT) yang memprediksikan kenaikan kebutuhan jagung untuk pakan ternak meningkat 10 persen pada tanun 2015 (Kontan, 2015). Tabel 3.12. Prediksi Permintaan (Rumahtangga dan Industri) Komoditas Jagung 2015 2019 No Uraian 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn) A Skenario I 1 Konsumsi Langsung Rumah Tangga 8,302 8,461 9,855 9,611 9,724 4.27 2 Konsumsi Tidak Langsung Rumah Tangga 3,736 3,807 3,856 4,475 5,223 8.99 3 Konsumsi Untuk Pakan Ternak 12,414 12,652 12,202 12,700 12,849 0.90 4 Konsumsi Benih dan Tercecer 1,868 1,904 1,975 2,078 2,102 3.01 5 Total 26,321 26,823 27,887 28,864 29,899 3.24 B Skenario II 1 Konsumsi Langsung Rumah Tangga 8,251 8,373 9,552 9,360 9,473 3.69 2 Konsumsi Tidak Langsung Rumah Tangga 3,713 3,768 3,738 4,359 5,089 8.51 3 Konsumsi Untuk Pakan Ternak 12,338 12,520 11,827 12,368 12,518 0.43 4 Konsumsi Benih dan Tercecer 1,856 1,884 1,914 2,024 2,048 2.50 5 Total 26,159 26,545 27,031 28,111 29,128 2.73 C Skenario III 1 Konsumsi Langsung Rumah Tangga 8,302 8,469 9,670 9,472 9,576 3.81 2 Konsumsi Tidak Langsung Rumah Tangga 3,736 3,811 3,784 4,411 5,144 8.62 3 Konsumsi Untuk Pakan Ternak 12,414 12,664 11,972 12,517 12,654 0.55 4 Konsumsi Benih dan Tercecer 1,868 1,906 1,938 2,048 2,070 2.62 5 Total 26,321 26,850 27,363 28,448 29,445 2.85 Setiyanto, et al (2014) 3.2.3. Kinerja dan Outlook Ekspor-Impor Jagung di Indonesia Permintaan jagung untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan bahan baku pakan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sementara itu, poduksi jagung nasional masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk menutup kekurangan yang jumlahnya cukup besar, maka Indonesia melakukan impor jagung dari negara lain, yang kecenderungannya dari tahun ke tahun semakin meningkat (Tabel 3.13). Pada periode 2000-2014, volume impor jagung Indonesia meningkat, dengan laju peningkatan 84,5 persen/tahun. Suatu peningkatan yang relatif besar. Apabila dilihat per periode lima tahunan, terlihat bahwa laju peningkatan impor yang paling tinggi terjadi 64

pada periode 2006-2010 dan terendah pada periode 2000-2005. Hal yang sama utnuk perkembangan nilai impor jagung. Menurut Sudaryanto et al. (2010), jika impor jagung semakin besar, maka akan memboroskan cadangan devisa Indonesia yang jumlahnya sangat terbatas. Selain itu, tidak terkendalinya impor jagung akan dapat mematikan petani jagung Indonesia, karena usahatani jagung Indonesia yang tradisional harus menghadapi usahatani jagung negara maju (seperti negara Amerika Serikat sebagai eksportir utama jagung). Dalam rangka pencapaian swasembada jagung yang dicanangkan sejak tahun 2009, Pemerintah pada tahun 2015 membatasi impor jagung. Kebijakan pengendalian impor juga dimaksudkan untuk melindungi harga di tingkat produsen. Namun kebijakan ini meresahkan para pengusaha pakan ternak (Detik.com, 2015). Tabel 3.13. Perkembangan Ekspor-Impor Jagung di Indonesia, 2000-2015 Tahun Volume (000 Ton) Nilai (000US$) Ekspor Impor Neraca Ekspor Impor Neraca 2000 28.07 1,265-1,237 4,984 157,949-152,965 2001 90.47 1,036-945 105 125,512-115,012 2002 16.31 1,154-1,138 3,334 137,982-134,648 2003 33.69 1,345-1,312 5,517 168,658-163,141 2004 32.68 1,089-1,056 9,074 177,675-168,601 2005 54.01 186-132 9,048 30,850-21,802 2006 28.07 1,775-1,747 4,306 277,498-273,192 2007 101.46 702-600 18,463 151,613-13,315 2008 107.00 265-158 28,906 87,395-58,489 2009 75.28 339-264 18,841 77,841-59 2010 41.95 1,528-1,486 11,321 369,077-357,756 2011 12.47 3,208-3,195 9,464 1,028,527-1,019,063 2012 39.82 1,805-1,766 20,586 537,009-516,423 2013 11.42 3,194-3,183 11,895 921,883-909,988 2014 37.89 3,175-3,137 13,264 791,038-777,774 2015*) 18.22 1,118-1,099 5,273 253,605-248,332 2000-2015 40.05 84.52 225.38 86.29 2000-2005 39.72 2.08 508.69 5.17 2006-2010 28.99 222.53 51.64 215.00 2011-2015 51.52 35.65 17.60 47.09 Sumber : Pusdatin (2015), *) Data sampai dengan triwulan 1 65

Indonesia juga melakukan ekspor meskipun volumenya relatif kecil, dengan kecenderungan yang meningkat. Dengan kinerja ekspor dan impor yang demikian, sehingga menempatkan Indonesia sebagai net importer jagung. Apabila dicermati perkembangan impor pada periode 2000-2014, menunjukkan bahwa impor jagung Indonesia berfluktuasi, sementara ekspor relatif tetap dengan volume yang relatif kecil (Gambar 3.17). Sumber: FAO, 2015 (diolah) Gambar 3.18. Perkembangan Ekspor dan Impor Jagung Indonesia, 2000-2013 (000 Ton) Berdasarkan perkembangan kinerja ekspor dan impor Indonesia, dimana Indonesia merupakan net importer, meskipun proporsi impor jagung Indonesia terhadap total impor dunia relatif kecil. Nampaknya pada lima tahun ke depan, Indonesia masih pada posisi net importer, dengan kecenderungan meningkat (Tabel 3.14). Net impor akan meningkat lebih besar apabila terjadi gangguan iklim, baik El Nino maupun La Nina. Hal ini terlihat dari laju peningkatan net impor Skenario II dan III yang lebih besar dari Skenario I. Tabel 3.14 Prediksi Net Impor Komoditas Jagung, 2015 2019 (000 Ton) Tahun Skenario I Skenario II Skenario III 2015 6,705 6,452 6,776 2016 6,956 6,649 6,924 2017 7,174 6,907 7,184 2018 7,281 7,095 7,435 2019 7,394 7,292 7,690 Pertumbuhan (%/Tahun) 2.48 3.11 3.22 Setiyanto, et al (2014) 66

3.2.4. Outlook Neraca Jagung di Indonesia Neraca suatu komoditas adalah gambaran tentang keseimbangan antara penawaran/ketersediaan dengan permintaan. Penawaran jagung Indonesia terdiri atas produksi domestic ditambah impor, sementara permintaan dibedakan atas perimtaan untuk pangan dan nonpangan. Neraca domestic merupakan keseimbangan antara produksi domestic dengan permintaan domestic, artinya tidak menyertakan perdagangan. Pada periode 2000-2013, secara umum neraca jagung Indonesia berfluktuasi. Berdasarkan data yang ada, terjadi surplus jagung pada tahun 2006, 2010-2013, selebihnya deficit (Tabel 3.15). Sementara neraca jagung domestic menunjukkan deficit sepanjang tahun (Tabel 3.15 dan Gambar 3.18). Hal ini mengindikasikan bahwa produksi jagung Indonesia belum cukup untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Tabel 3.15. Perkembangan Surplus/Defisit Penawaran dan Permintaan Komoditas Jagung Indonesia, 2000 2013 Tahun Penawaran (000 Permintaan (000 Ton) Ton) Neraca (000 Ton) Neraca (000 Produksi Impor Pangan+Nonpangan Ton) Neraca Domestik (000 Ton) 2000 9,677 1,265 10,936 28-22 -1,259 2001 9,347 1,036 10,340 90-47 -993 2002 9,585 1,154 10,774 16-51 -1,189 2003 10,886 1,345 12,215 34-18 -1,329 2004 11,225 1,089 12,293 33-12 -1,068 2005 12,524 1,860 12,690 54 1,640-166 2006 11,609 1,775 13,411 28-55 -1,802 2007 13,288 702 13,980 101-91 -692 2008 16,317 265 16,670 107-195 -353 2009 17,630 339 18,007 75-113 -377 2010 18,328 1,528 18,532 42 1,282-204 2011 17,643 3,208 19,547 12 1,292-1,904 2012 19,387 1,805 19,776 40 1,376-389 2013 18,512 3,194 20,738 11 957-2,226 Sumber: FAO, 2015 (diolah) 67

Surplus pada neraca jagung total mengindikasikan bahwa impor jagung pada saat itu melebihi kebutuhan. Hal ini akan berdampak negative terhadap harga jagung domestic. Ke depan, diperlukan dukungan data yang akurat terutama tentang permintaan jagung, sehingga impor jagung tidak memberikan dampak negative terhadap harga produsen jagung dalam negeri. Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2015a (diolah) Gambar 3.19. Perkembangan Produksi, Permintaan, Ekspor dan Impor Jagung Indonesia, 2000-2013 (000 Ton) Tabel 3.16. Prediksi Surplus/Defisit Penawaran dan Permintaan Komoditas Jagung, 2015 2019 (000 Ton) Tahun Skenario I Skenario II Skenario III 2015-6,776-6,902-8,625 2016-6,797-6,006-8,413 2017-7,153-5,369-8,226 2018-7,406-5,973-8,939 2019-7,736-6,505-9,555 Pertumbuhan (%/Tahun) 3.38-0.86 2.72 Setiyanto, et al (2014) Hasil analisis Setiyanto, et.al. (2014) menunjukkan bahwa pada periode ke depan akan terjadi deficit yang cukup besar (Tabel 3.16). Defisit semakin membesar 68

apabila terjadi La Nina, dan cenderung kecil pada saat El Nino. Keadaan deficit yang besar tentu saja akan mengkhwatirkan. Hal ini diperkuat dengan kinerja perdagangan jagung dunia yang juga mengalami deficit. Implikasinya adalah peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas sangat diperlukan. 3.2.5. Kinerja dan Outlook Harga Jagung Indonesia Harga komoditas pertanian menjadi salah factor yang berperanan dalam pengembangan komoditas. Apabila harga relatif tinggi, maka komoditas tersebut akan menarik untuk diusahakan. Harga produsen jagung tahunan pada periode 2000-2014 secara nominal meningkat, dengan laju peningkatan 9,22 persen/tahun, dengan CV sebesar 31,88 persen (Tabel 3.17.). Tabel 3.17. Perkembangan Harga Produsen dan Konsumen Jagung Indonesia, 2000 2014 Tahun Harga Produsen (Rp/Kg) Harga Konsumen (Rp/Kg) 2000 1,029 1,466 2001 1,139 1,747 2002 1,212 2,002 2003 1,255 1,738 2004 1,367 1,700 2005 1,543 1,896 2006 1,802 2,164 2007 2,238 2,631 2008 2,501 3,573 2009 2,745 3,952 2010 2,934 4,616 2011 3,107 4,885 2012 4,093 5,501 2013 3,486 5,727 2014 3,670 5,786 CV 31.88 39.97 Pertumbuhan (%/tahun) 9.22 10.57 Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2015b (diolah) Secara tahunan, fluktuasi harga jagung relatif sedang. Harga produsen jagung yang meningkat relatif tinggi terjadi pada tahun 2007 dan 2012, dan cenderung menurun pada tahun 2013. Rendahnya pertumbuhan jagung domestik tidak terlepas dari kurangnya insentif produksi yang diberikan oleh pasar kepada petani jagung. Harga 69

jagung yang sering rendah dan cenderung ditentukan sepihak oleh pabrik pakan/pedagang, tidak memberi insentif yang cukup kepada petani untuk menggunakan teknologi produksi yang lebih baik, sehingga produktivitasnya rendah. Harga jagung yang rendah juga tidak memberikan insentif bagi petani untuk menanam jagung dalam areal yang lebih luas. Akibatnya secara keseluruhan produksi jagung relatif stagnan. Harga produsen jagung bulanan pada periode 2005-2014 ditampilkan pada Tabel 3.18. Terlihat bahwa CV harga produsen bulanan relatif sama, dengan kisaran 50-51 persen. CV harga produsen bulanan lebih tinggi dibandingkan dengan CV tahunan. Fluktuasi bulanan yang lebih tinggi berkaitan sifat musiman dair komoditas jagung. Harga cenderung turun pada saat panen raya, dan meningkat pada saat tidak ada panen. Perkembangan harga produsen jagung bulanan secara grafis ditampilkan pada Gambar 3.19. Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2015a (diolah) Gambar 3.20. Perkembangan Harga Produsen dan Konsumen Jagung Indonesia menurut Bulan, 2000-2014 (Rp/Kg) 70

Tabel 3.18. Perkembangan Harga Produsen, 2005-2014 (Rp/Kg) Tahun Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember CV (%) 2005 1,643.54 1,615.09 1,599.07 1,603.89 1,589.82 1,614.95 1,659.67 1,685.58 1,728.54 1,808.59 1,736.83 1,735.27 50.96 2006 1,745.37 1,701.60 1,683.80 1,712.52 1,746.18 1,778.04 1,793.69 1,814.87 1,844.44 1,901.18 1,921.88 1,980.63 51.02 2007 2,146.36 2,174.55 2,222.47 2,197.32 2,226.08 2,191.54 2,183.49 2,216.70 2,279.79 2,334.22 2,316.54 2,372.07 50.97 2008 2,378.54 2,325.54 2,329.66 2,340.29 2,401.82 2,471.42 2,614.04 2,602.10 2,672.86 2,649.07 2,622.81 2,609.53 51.09 2009 2,714.44 2,682.36 2,661.52 2,681.42 2,703.58 2,734.76 2,748.97 2,757.70 2,796.06 2,795.86 2,820.68 2,838.13 50.98 2010 2,881.07 2,872.57 2,827.79 2,895.67 2,897.66 2,915.82 2,933.48 2,948.57 2,871.18 3,003.75 3,003.12 2,992.24 50.98 2011 3,020.72 3,039.58 3,051.44 3,074.00 3,092.69 3,108.97 3,104.14 3,139.32 3,147.56 3,159.00 3,043.31 3,177.45 50.98 2012 3,265.20 3,245.30 3,237.52 3,251.51 3,265.77 3,281.39 3,282.53 3,313.54 3,353.80 3,375.47 3,389.16 3,409.35 50.99 2013 3,433.54 3,445.16 3,435.14 3,448.00 3,454.49 3,469.08 3,516.67 3,520.47 3,518.72 3,527.68 3,524.12 3,533.40 50.99 2014 3,636.00 3,628.75 3,629.64 3,645.17 3,647.64 3,640.96 3,663.10 3,668.97 3,678.36 3,698.63 3,735.98 3,771.85 50.99 Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2015a (diolah) Tabel 3.19. Perkembangan Harga Konsumen, 2005-2015 (Rp/Kg) Tahun Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember CV (%) 2005 3,378.75 3,139.29 2,912.04 2,822.02 2,862.95 2,928.69 2,855.13 2,630.19 2,650.40 3,002.33 3,423.58 3,648.90 51.48 2006 2,025.96 2,034.07 2,045.04 2,081.44 2,094.24 2,134.38 2,168.48 2,200.29 2,205.67 2,262.80 2,320.70 2,389.43 51.06 2007 2,604.55 2,658.54 2,635.10 2,583.34 2,564.97 2,620.56 2,597.46 2,626.55 2,662.96 2,673.98 2,659.42 2,683.74 50.96 2008 3,355.00 3,383.00 3,385.00 3,408.00 3,457.00 3,559.00 3,663.00 3,708.00 3,721.00 3,746.00 3,742.00 3,746.00 51.08 2009 3,855.47 3,864.06 3,934.78 3,952.81 3,981.41 3,933.44 3,933.25 3,964.13 3,970.81 3,963.97 4,014.88 4,053.66 51.00 2010 4,383.16 4,445.16 4,499.13 4,507.50 4,508.56 4,551.94 4,623.66 4,676.16 4,708.03 4,756.81 4,821.28 4,908.25 51.06 2011 4,806.59 4,537.06 4,707.97 4,825.78 4,697.47 4,813.72 4,779.75 4,818.97 4,927.22 4,342.50 5,084.78 5,224.13 51.11 2012 5,517.00 5,497.72 5,411.59 5,400.91 5,420.41 5,426.69 5,482.22 5,483.31 5,540.19 5,574.56 5,594.78 5,665.66 51.03 2013 8,438.00 8,465.00 8,423.00 8,369.00 8,352.00 8,387.00 8,481.00 8,530.00 8,557.00 8,584.00 8,632.00 8,680.00 51.04 2014 5,737.22 5,774.91 5,751.88 5,773.16 5,761.28 5,758.84 5,796.56 5,824.75 5,809.03 5,791.25 5,773.59 5,870.34 51.02 2015 6,418.91 6,399.26 6,524.84 6,521.29 6,454.47 6,357.48 8,000.00 49.77 Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2015a (diolah) 71

Seperti halnya harga produsen, harga konsumen jagung juga cenderung meningkat, dengan pertumbuhan dan CV yang lebih tinggi dibandingkan harga produsen. Harga konsumen jagung secara bulanan periode 2005-2014, juga menunjukkan fluktuasi, dengan CV sekitar 50-51 persen. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi harga produsen dan konsumen relatif sama. Namun, dalam perkembangnya (Gambar 3.19), jarak antara harga produsen dan konsumen semakin lebar. Hal ini mengindikasikan bahwa margin pedagang semakin besar. Berdasarkan kinerja harga bulanan, prediksi harga produsen dan konsumen bulanan pada periode lima tahun ke depan ditampilkan pada Tabel 3.20-3.22. Pada kondisi normal, harga produsen riil pada periode 2015-2019 relatif tetap, laju peningkatan harga sekitar 1,32 persen per tahun. Laju peningkatan harga produsen riil pada saat El Nino dan La Nina lebih tinggi, yaitu sekitar 5 persen/tahun. Tabel 3.20. Prediksi Harga Produsen Riil Jagung Bulanan Skenario I, 2015-2019 (Rp000/kg) Bulan Skenario I (Rp.000) 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Th) Rata-rata 4.28 4.37 4.44 4.45 4.51 1.32 Januari 3.65 5.11 4.75 4.48 4.05 Februari 4.87 4.58 4.43 4.55 4.72 Maret 3.84 3.2 4.26 4.72 4.58 April 4.43 5.13 4.99 4.31 4.55 Mei 4.56 3.91 3.7 4.13 5.06 Juni 3.85 5.32 5.08 4.55 2.96 Juli 4 3.38 4.09 4.66 5.47 Agustus 5.13 4.7 4.67 4.04 5.22 September 3.97 4.29 4.25 4.7 3.37 Oktober 4.2 4.5 4.44 4.45 4.99 November 4.14 4.63 4.58 4.31 4.46 Desember 4.03 3.77 4.27 4.73 4.58 Sumber: Setiyanto, et al (2014) 72

Tabel 3.21. Prediksi Harga Produsen Riil Jagung Bulanan Skenario II, 2015-2019 (Rp000/kg) Bulan Skenario II (Rp.000) 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Th) Rata-rata 4.31 4.57 4.82 5.09 5.25 5.03 Januari 3.68 5.32 5.13 5.12 4.79 Februari 4.9 4.79 4.8 5.19 5.45 Maret 3.88 3.41 4.64 5.36 5.32 April 4.46 5.34 5.37 4.95 5.29 Mei 4.59 4.11 4.08 4.77 5.79 Juni 3.88 5.53 5.46 5.19 3.7 Juli 4.03 3.59 4.47 5.3 6.21 Agustus 5.16 4.91 5.04 4.68 5.95 September 4 4.49 4.63 5.34 4.1 Oktober 4.23 4.7 4.82 5.09 5.73 November 4.17 4.83 4.96 4.95 5.2 Desember 4.06 3.97 4.64 5.37 5.32 Sumber: Setiyanto, et al (2014) Tabel 3.22. Prediksi Harga Produsen Jagung Riil Bulanan Skenario III, 2015-2019 (Rp000/kg) Bulan Skenario III (Rp.000) 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Th) Rata-rata 4.31 4.57 4.82 5.09 5.25 5.03 Januari 3.68 5.32 5.13 5.12 4.79 Februari 4.9 4.79 4.8 5.19 5.45 Maret 3.88 3.41 4.64 5.36 5.32 April 4.46 5.34 5.37 4.95 5.29 Mei 4.59 4.11 4.08 4.77 5.79 Juni 3.88 5.53 5.46 5.19 3.7 Juli 4.03 3.59 4.47 5.3 6.21 Agustus 5.16 4.91 5.04 4.68 5.95 September 4 4.49 4.63 5.34 4.1 Oktober 4.23 4.7 4.82 5.09 5.73 November 4.17 4.83 4.96 4.95 5.2 Desember 4.06 3.97 4.64 5.37 5.32 Sumber: Setiyanto, et al (2014) 3.3. Kebijakan Pengembangan Jagung Kebijakan pengembangan jagung secara umum dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Dalam rangka intensifikasi, Kementerian Pertanian meluncurkan program PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu). PTT merupakan suatu pendekatan 73

inovatif dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani Jagung melalui perbaikan sistem/pendekatan dalam perakitan paket teknologi. Dalam PTT perakitan teknologi dilakukan secara sinergis antar komponen teknologi, dilakukan secara partisipatif oleh petani serta bersifat spesifik lokasi. Terdapat empat prinsip utama dari penerapan PTT, yaitu: (a) terpadu, mengandung arti keterpaduan dalam pengelolaan agar sumberdaya tanaman, tanah dan air dapat dikelola dengan sebaikbaiknya, (b) sinergis, dalam arti dapat memanfaatkan teknologi pertanian terbaik dengan keterkaitan yang saling mendukung antar komponen teknologi, (c) spesifik lokasi, yaitu teknologi yang diterapkan sesuai dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi pertanian setempat, dan (d) partisipatif, dalam arti petani turut berperan serta dalam memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kemampuan petani dan kondisi setempat melalui proses pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapangan. Dalam rangka pencapaian swasembada berkelanjutan jagung, program utama yang diprogramkan oleh Kementerian Pertanian mulai tahun 2007/2008, yaitu: (a) SL-PTT), (b) Akselerasi Produksi Jagung, (c) CBN jagung Hibrida dan Komposit, (d) Kemitraan untuk jagung Hibrida, dan (e) Swadaya. Disamping itu untuk mendukung peningkatan produksi jagung secara keseluruhan juga difasilitasi bantuan sarana pasca panen dan penguatan perlindungan tanaman dari gangguan OPT. Peningkatan produksi jagung juga dilakukan melalui perluasan areal secara swadaya. Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) merupakan program utama pemerintah sebagai sarana pembelajaran bagi masyarakat untuk perbaikan paket teknologi jagung yang disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas jagung. Kegiatan CBN merupakan kegiatan yang lebih bersifat membantu petani dalam penyediaan benih unggul jagung hibrida maupun komposit bagi wilayah yang terkena bencana (kekeringan, banjir dll). SL-PTT merupakan media pendidikan non formal /proses pembelajaran dalam penerapan PTT. Proses pembelajaran tersebut berupa peningkatan pengetahuan untuk mengenali potensi, menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan, 74

mengembil keputusan dan menerapkan teknologi sesuai dengn prinsip PTT. Kegiatan SL-PTT Jagung hibrida umumnya dilaksanakan di lahan sawah dan lahan kering. Guna memenuhi kebutuhan jagung nasional tersebut, maka pemerintah pada tahun 2015 melancarkan upaya peningkatan produksi jagung berbasis kawasan agribisnis melalui Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT) Jagung. Gerakan ini merupakan program nasional untuk meningkatkan produksi jagung melalui pendekatan gerakan atau anjuran secara massal kepada petani/kelompoktani untuk melaksanakan teknologi PTT jagung. Pelaksanaan GP- PTT Jagung dilakukan dengan pola kawasan yang terintegrasi dari hulu sampai hilir, didukung dengan penyediaan paket bantuan sebagai instrumen stimulan, serta pendampingan dan pengawalan. Tujuan yang akan dicapai melalui GP-PTT Jagung, yaitu: (1) mensinergikan semua instansi terkait mulai dari hulu sampai hilir (pusat, daerah, swasta) dalam meningkatkan produksi jagung; dan (2) meningkatkan produksi dan produktivitas jagung di daerah pelaksana GP-PTT Jagung menuju swasembada berkelanjutan. Adapun sasaran GP-PTT Jagung, yaitu: (1) terbangunnya embrio kawasan agribisnis jagung di daerah pelaksana; dan (2) meningkatnya produksi jagung di daerah pelaksana GP-PTT. Sebagai upaya sistematis untuk meningkatkan produksi jagung, pemerintah melaksanakan strategi umum pengembangan kawasan pangan terpadu. Pendekatan terpadu ini dilaksanakan pada suatu kawasan dengan luasan minimal tertentu yang memenuhi skala ekonomis, dengan berbagai upaya simultan, antara lain: (1) peningkatan produktivitas; (2) peningkatan luas tanam; (3) penurunan tingkat kehilangan (susut) hasil; (4) peningkatan kualitas hasil; dan (5) penguatan manajemen kawasan. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui upaya penerapan PTT dengan komponen utama penggunaan benih varietas unggul bermutu (termasuk jagung hibrida dan jagung komposit); peningkatan populasi dengan pengaturan jarak tanam; pemupukan berimbang dan pemakaian pupuk organik, pupuk bio-hayati; pengapuran pada tanah masam; dan pengelolaan pengairan. Selain itu, untuk memastikan agar PTT diterapkan di tingkat petani, maka dilakukan pula pengawalan, pendampingan. Peningkatan produktivitas terutama dilaksanakan di 75

wilayah yang sudah tidak memungkinkan dilakukan perluasan areal tanam, sehingga dengan penerapan teknologi spesifik lokasi produktivitas tanaman diharapkan masih dapat ditingkatkan. Peningkatan produktivitas juga dilakukan dengan upaya pengamanan produksi, yaitu dengan mengurangi dampak perubahan iklim seperti kebanjiran dan kekeringan serta pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Penggunaan benih jagung hibrida pada 2009 meningkat hingga 10 persen untuk menaikkan produksi jagung nasional. Luas areal tanaman jagung yang memanfaatkan benih hibrida saat ini baru sekitar 40 persen dari total lahan jagung nasional. Dengan peningkatan areal jagung yang memanfaatkan benih hibrida sebesar 10 persen dari saat ini diharapkan produksi nasional pada 2009 naik 20 persen (Ekonomi dan Bisnis, 2008 dalam Sudaryanto, et.al., 2010). Perluasan areal tanam dilakukan melalui upaya penanaman di areal tanam baru atau dengan melakukan peningkatan indeks pertanaman (IP), baik di lahan kering atau lahan sawah, pada musim kemarau. Perluasan areal tanam baru bisa dilakukan di lahan yang baru dibuka (misalnya lahan eks peremajaan perkebunan, Perhutani, dan lain-lain) atau di daerah yang selama ini belum pernah membudidayakan jagung. Peningkatan IP dapat dilakukan dengan pengaturan pola tanam di lahan kering yang sebelumnya digunakan untuk satu kali pertanaman jagung menjadi dua kali atau dengan pengaturan pola tanam di lahan sawah pada musim kemarau, dari sebelumnya digunakan hanya untuk dua kali pertanaman padi menjadi dua kali padi dan satu kali jagung (padi-padi-jagung). Perluasan areal tanam juga dapat dilakukan di daerah eks pengembangan/perbaikan irigasi (seperti JITUT, JIDES dan Tata Air Mikro), dan di kawasan yang merupakan lokasi program pengembangan irigasi air tanah (pompanisasi). Penurunan kehilangan (susut) hasil dapat ditekan dengan melakukan panen pada waktu yang tepat. Pada jagung umur panen yang cukup yaitu sekitar 120 hari. Selain itu, penggunaan alat panen dan alat pemipil yang baik dapat pula menghindari kehilangan dan kerusakan hasil akibat pemipilan, seperti patah, pecah, dan sebagainya. Peningkatan produksi jagung juga diupayakan dengan mempertahankan dan meningkatkan mutu produk sehingga memenuhi spesifikasi yang diinginkan pasar. 76

Dalam kaitan ini, budidaya jagung yang baik juga harus diikuti dengan perlakuan pasca panen yang tepat, khususnya pengeringan dan penyimpanan untuk mencegah tumbuhnya jamur yang menghasilkan aflatoxin. Kriteria khusus kawasan tanaman pangan/jagung dalam aspek luas agregat adalah 3.000 ha dalam wilayah yang meliputi 2-4 kecamatan dan atau disesuaikan dengan kondisi lapangan, dengan fasilitasi GP-PTT seluas 1.500 ha. Rancangan kawasan jagung tahun 2015 dialokasikan di 166 kabupaten/kota pada 26 provinsi seluas 102.000 ha. Kelompok tani di areal GP-PTT Jagung berbasis kawasan maupun non kawasan mendapatkan sarana produksi (benih, pupuk, pestisida, dan pertemuan kelompok tani) sebagai stimulan, dan insentif/bantuan transpor bagi petugas pendamping (petugas dinas dan atau aparat/disesuaikan dengan kebutuhan lapangan). Papan nama dan ubinan juga diberikan pada setiap 25 ha. 3.4. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan 1. Produksi jagung dunia pada periode 2000-2015 cenderung meningkat. Produktivitas jagung dunia mempunyai kontribusi lebih besar dibandingkan dengan luas panen terhadap peningkatan produksi. 2. Berdasarkan data 2009-2013, produsen utama jagung dunia adalah USA dan China, yang menguasai sekitar 39,35 persen luas panen dan 57,29 persen produksi jagung dunia. Indonesia berkontribusi sebesar 2,32 persen terhadap luas panen dan 2,18 persen terhadap produksi jagung dunia, dengan produktivitas sekitar 0,89 dibandingkan rata-rata produktivitas dunia. Produktivitas jagung Indonesia lebih tinggi dibandingkan produktivitas jagung India dan Mexico, namun lebih rendah dibandingkan USA, China, Argentina dan Ukraine. 3. Perkembangan harga bulanan jagung dunia pada periode tahun 2000-2015 (Oktober) berfluktuasi, dengan CV pada periode tersebut sekitar 44 persen. Pada periode 2001-2013, harga di lima Negara produsen jagung dunia berfluktuasi (CV berkisar antara 53-57 persen) dan cenderung meningkat, dengan laju peningkatan antara 5,92-11,63 persen/tahun. Pertumbuhan yang 77

relatif rendah terjadi di Mexico, sementara yang relatif tinggi di Brazil dan China. Fluktuasi harga antar Negara tidak berbeda jauh. 4. Pemanfaatan jagung untuk pangan dan nonpangan mengalami persaingan. Proporsi pemanfaatan untuk pakan cenderung menurun, dan meningkat untuk pangan, benih, industri pangan. 5. Jagung yang diperdagangkan di pasar dunia berkisar antara 10-12 persen dari produksi. Ekspor dan impor jagung dunia pada periode tahun 2000-2015 cenderung meningkat, meskipun terjadi fluktuasi antar tahun. Laju peningkatan ekspor jagung dunia pada periode tersebut lebih tinggi dibandingkan laju peningkatan impornya. Hal ini menunjukkan terjadinya deficit net ekspor di pasar jagung dunia, sehingga perdagangan jagung akan memanfaatkan stok jagung yang ada. Hal ini sesuai dengan perkembangan perubahan stok pada tahun 2000-2015 yang cenderung negative (kecuali tahun 2003). 6. Pada periode 2009-2013, sepuluh Negara eksportir jagung terbesar dunia menguasai lebih dari 90 persen ekspor jagung dunia, dan USA berkontribusi sekitar 40 persen. Kontribusi Indonesia dalam ekspor jagung relatif kecil. China dan Mexico yang termasuk Negara produsen utama dunia, namun tidak berkontribusi terhadap ekspor dunia. 7. Pada periode 2009-2013, sepuluh Negara importir jagung terbesar di dunia mengimpor sekitar 57-59 persen dari total impor dunia. Indonesia juga mengimpor jagung, dengan volume yang relatif kecil, dan terletak pada posisi ke-21. 8. Kinerja produksi jagung Indonesia dalam periode tahun 2000-2015, cenderung meningkat. Perkembangan produktivitas berkontribusi lebih besar dibandingkan luas panen terhadap produksi jagung Indonesia. Produksi jagung Indonesia sampai dengan 2015 masih didominasi produksi jagung di Jawa, namun demikian dalam perkembangannya, pertumbuhan produksi di Luar Jawa lebih besar sehingga kontribusinya semakin besar. 9. Hasil prediksi pada periode 2015-2019: (i) Luas panen jagung cenderung meningkat dengan laju peningkatan 1,72 persen/tahun pada skenario I dan III. Namun demikian, apabila terjadi El Nino pada periode tersebut, maka laju 78

peningkatan luas panen jagung sebesar 0,86 persen/tahun; (ii) Produktivitas jagung pada periode 2015-2019 cenderung meningkat, dengan kisaran 0,30-0,43 persen/tahun. Pada kondisi normal, produktivitas meningkat 0,30 persen/tahun; (iii) Produksi jagung nasional masih meningkat, ke depan peningkatan produksi jagung lebih disebabkan karena peningkatan produktivitas. 10. Pada periode 2000-2013 pemanfaatan jagung untuk pakan cenderung meningkat, pemanfaatan untuk makanan, benih dan industri pangan juga cenderung meningkat, dengan peningkatan yang lebih besar. Hal ini mengindikasikan kebutuhan jagung semakin meningkat. 11. Pada periode 2000-2014, volume impor jagung Indonesia meningkat tajam (84,5 persen/tahun), laju peningkatan impor yang paling tinggi terjadi pada periode 2006-2010 dan terendah pada periode 2000-2005. Ekspor jagung Indonesia relatif kecil, dengan kecenderungan yang meningkat. Sampai saat ini Indonesia sebagai net importer jagung. 12. Hasil prediksi menunjukkan bahwa pada lima tahun ke depan, Indonesia masih pada posisi net importer, dengan kecenderungan meningkat. Net impor akan meningkat lebih besar apabila terjadi gangguan iklim, bail El Nino maupun La Nina. 13. Neraca jagung domestic menunjukkan deficit sepanjang tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa produksi jagung Indonesia belum cukup untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Neraca jagung total (dengan memperhitungkan ekspor dan impor jagung) menunjukkan surplus jagung pada tahun 2006, 2010-2013, selebihnya deficit. Surplus pada neraca jagung total mengindikasikan bahwa impor jagung pada saat itu melebihi kebutuhan. Hal ini akan berdampak negative terhadap harga jagung domestic. 14. Prediksi neraca jagung lima tahun ke depan akan terjadi deficit yang cukup besar. Defisit semakin membesar apabila terjadi La Nina, dan cenderung kecil pada saat El Nino. Keadaan deficit yang besar tentu saja akan mengkhawatirkan. Hal ini diperkuat dengan kinerja perdagangan jagung dunia yang juga mengalami deficit. 79

15. Fluktuasi harga produsen jagung pada periode 2000-2014 relatif sedang. Harga produsen jagung yang meningkat relatif tinggi terjadi pada tahun 2007 dan 2012, dan cenderung menurun pada tahun 2013. CV harga produsen jagung bulanan pada periode 2005-2014 relatif sama (kisaran 50-51 persen). CV harga produsen bulanan lebih tinggi dibandingkan dengan CV tahunan. 16. Harga konsumen jagung juga cenderung meningkat, dengan pertumbuhan dan CV yang lebih tinggi dibandingkan harga produsen. Harga konsumen jagung secara bulanan periode 2005-2014, juga menunjukkan fluktuasi, dengan CV sekitar 50-51 persen. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi harga produsen dan konsumen relatif sama. Namun, dalam perkembangnya, jarak antara harga produsen dan konsumen semakin lebar. Hal ini mengindikasikan bahwa margin pedagang semakin besar. 17. Pada kondisi normal, harga produsen riil pada periode 2015-2019 relatif tetap, laju peningkatan harga sekitar 1,32 persen per tahun. Laju peningkatan harga produsen riil pada saat El Nino dan La Nina lebih tinggi, yaitu sekitar 5 persen/tahun. 18. Program pemerintah untuk meningkatkan produksi jagung Indonesia ditempuh melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan melalui SL-PTT, GP-PTT. Ekstensifikasi dilakukan melalui upaya penanaman di areal tanam baru atau dengan melakukan peningkatan indeks pertanaman (IP), baik di lahan kering atau lahan sawah, pada musim kemarau. 19. Program-program yang diluncurkan Pemerintah belum mampu memberikan peningkatan produksi yang signifikan, produksi yang mampu untuk memenuhi kebutuhan jagung nasional. Untuk itu program-program Pemerintah perlu diperluas ke daerah-daerah Luar Jawa yang potensial. Program Pemerintah perlu dukungan pembangunan infrastruktur dan jaminan harga yang menguntungkan bagi petani. 80

IV. OUTLOOK KOMODITAS KEDELAI 4.1. Dinamika Pasar Internasional Kedelai 4.1.1. Produksi Dunia Berdasarkan data FAO menunjukkan bahwa selama periode 2000-2013 luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai di dunia cenderung meningkat (Gambar 4.1 dan Tabel 4.1) Selama periode tersebut, luas panen, produktivitas dan produksi kedelai rata-rata meningkat masing-masing 3,21%/th, 1,22%/th, dan 4,46%/th. Perkembangan produktivitas kedelai tampaknya lebih stabil dibandingkan dengan luas panen kedelai, hal ini terlihat dari nilai CV pada luas panen lebih besar dibanding produktivitas (0,121 vs. 0,049). Dari besaran rata-rata peningkatan tersebut tampak bahwa secara umum peningkatan produksi kedelai dunia masih lebih banyak ditentukan oleh adanya peningkatan luas panen dibanding peningkatan produktivitas. Pada tahun 2000, luas panen kedelai dunia hanya sekitar 74,37 juta ha dan terus meningkat sampai pada tahun 2006. Pada 2007 mengalami penurun dan setelah itu kembali terus meningkat tahun 2013 dan menjadi 11,13 juta ha. Selama periode 2000-2013, peningkatan luas panen tertinggi terjadi tahun 2004 sebesar 9,52%. Produktivitas kedelai selama tahun 2000-2013 juga berfluktuasi seperti halmya dengan luas panen. Pada tahun 2000, produkvitas kedelai dunia sebesar 2,17 ton/ha dan meningkat 7,01% menjadi 2,32 ton/ha pada tahun 2001. Mulai tahun 2002 produktivitas kedelai dunia terus menurun sampai tahun 2004, dan kembali meningkat lagi sejak tahun 2005 sampai tahun 2007. Dalam dua tahun berikutnya produktivitas kedelai turun kembali, namun demikian setelah itu, pada tahun 2010 produktivitas kedelai sempat mencapai 2,58 ton/ha, atau mengalami peningkatan tertinggi dibandingkan tahun sebelumnya (14,63%) dan sekaligus juga merupakan produktivitas tertinggi dalam periode 2000-2013. Pada tahun 2011, produktivitas kedelai sedikit menurun, namun demikian pada tahun 2012 mengalami penurunan sangat tajam (8,92%), walaupun setelah itu (2013) mengalami peningkatan sebesar 8,09% dan menjadi 2,48 ton/ha. 81

Sejalan dengan peningkatan luas panen dan produktivitas kedelai yang flultuatif, produksi kedelai dunia juga menjadi berfluktuasi. Pada tahun 2000, produksi kedelai dunia sebesar 161,30 juta ton dan terus meningkat sampai tahun tahun 2006 dengan kisaran 1,93% - 10,51%/th. Pada tahun 2007 produksi kedelai dunia menurun dan naik lagi pada tahun berikutnya (2008), turun dan naik kembali masing-masing pada tahun 2009 dan 2010, dan turun berturut-turut pada dua berikutnya (20001 dan 20012, dan meningkat kembali pada tahun 2013). Peningkatan produksi kedelai dunia tertinggi terjadi pada tahun 2010, yaitu 18,63%, karena pada tahun ini baik luas panen dan produktivitas kedelai mengalami peningkatan yang cukup tinggi, masing-masing 3,49% dan 14,63%. Sumber: FAO, 2015 (diolah) Gambar 4.1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai Dunia, 2000-2013 Keragaan sebaran produksi kedelai dunia menurut negara produsen utama dalam lima tahun terakhir (2009-2013) menunjukkan bahwa dari rata-rata produksi kedelai dunia sebesar 253,59 juta ton/tahun, hampir 90% (228,23 juta ton) terdapat di 5 negara, yaitu: Amerika, Brazil, Argentina, China, dan India (Gambar 4.2). Hanya sekitar 10% (25,36 juta ton) tersebar di negara lainnya, termasuk di Indonesia sekitar 0,3%. Produksi kedelai dunia tertinggi terdapat di Amerika (34,5%), diikuti Brasil (27,5%), Argentina (17,4%), China (5,5%), dan India (4,9%). 82

Tabel 4.1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai Dunia, 2000-2013 Tahun Luas Panen (000Ha) Produktivitas (Ku/ha) Produksi (000 Ton) 2000 74367 21,69 161299 2001 76810 23,21 178245 2002 78960 23,01 181678 2003 83640 22,79 190652 2004 91602 22,44 205524 2005 92567 23,18 214561 2006 95315 23,29 221966 2007 90163 24,37 219727 2008 96468 23,97 231272 2009 99338 22,49 223411 2010 102808 25,78 265042 2011 103806 25,23 261940 2012 104918 22,98 241142 2013 111273 24,84 276396 r(%/th) 3,21 1,22 4,46 CV 0,121 0,049 0,156 Sumber: FAO, 2015 (diolah). Sejalan dengan sebaran produksi kedelai, luas panen kedelai dunia juga terkonsentrasi di 5 negara, yaitu Amerika, Brazil, Argentina, India, dan China, dengan pangsa mencapai 87,6% (91,48 juta ha) dari total luas panen kedelai dunia (104,43 juta ha), dan sisanya 12,4% tersebar di negara lainnya, termasuk di Indonesia sekitar 0,6% (Gambar 5.3). Luas panen kedelai tertinggi ada di Amerika (29,4%), diikuti Brazil (23,3%), Argentina (17,4%), India (10,06%), dan China (7,5%). Sumber: FAO, 2015 (diolah) Gambar 4.2. Kontribusi Negara Penghasil Kedelai Utama Terhadap Produksi Kedelai Dunia, 2009-2013 83

Sumber: FAO 2015 (diolah) Gambar 4.3. Sebaran Luas Panen Kedelai di Dunia, 2009-2013 Dari keragaan sebaran pangsa produksi dan luas panen kedelai dunia, menarik untuk diperhatikan bahwa, kecuali di Amerika, produksi kedelai di negara produsen utama lebih banyak ditentukan oleh luas panen dari pada produktivitas. Hal ini terlihat dari perbandingan pangsa luas panen kedelai pada negara tersebut lebih besar dari pangsa produksinya. Dengan demikian, kecuali Amerika, negaranegara produsen utama kedelai di dunia tidak secara otomatis mempunyai produktivitas kedelai yang tinggi (Gambar 4.4). Sebaliknya enam negara dengan produktivitas kedelai tertinggi di dunia ditempati oleh negara Turki, Italia, Mesir, Amerika, Brazil, dan Canada. Turki menempati urutan pertama dengan rata-rata produktivitas 3,80 ton/ha atau 57% di atas rata-rata dunia (2,43 ton/ha), diikuti oleh Italia (3,32 ton/ha), Mesir (2,96 ton/ha), Amerika dan Brazil (2,86 ton/ha)), dan Kanada (2,82 ton/ha). Sementara produktivitas kedelai Indonesia baru sekitar 57% (1,4 ton/ha) dari rata-rata produktivitas dunia. Sumber: FAO 2015 (diolah) Gambar 4.4. Produktivitas Kedelai Tertinggi di Dunia, 2009-2013 84

4.1.2. Perkembangan Harga Kedelai di Pasar Dunia Perkembangan harga nominal kedelai di negara produsen utama kedelai (Argentina, Brazil, China, dan Amerika) selama periode 2000-2013 sangat berfluktuatif, seperti ditunjukkan oleh nilai CV yang berkisar 0,29 0,43, dengan kecenderungan meningkat rata-rata 5,57%/th di Argentina, 11,47%/th di Brazil, 8,38%/th di China, dan 9,98%/th di Amerika (Tabel 5.2). Pada tahun 2001 dan 2005, dan 2013, harga nominal kedelai di tingkat produsen di semua negara produsen utama mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, sementara pada tahun-tahun lainnya mengalami penigkatan (Gambar 5.5). Demikian juga pada tahun 2009, kecuali di China, harga kedelai di tingkat produsen menurun dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2010, harga produsen kedelai di Brazil juga mengalami penurunan yang cukup tajam, padahal di negara produsen kedelai lainnya malahan mengalami peningkatan. Sumber: FAO 2015 (diolah) Gambar 4.5. Perkembangan Harga Produsen Kedelai di Beberapa Produsen Kedelai Dunia,2000-2013 85

Tabel 4.2. Perkembangan Harga Produsen Kedelai di Beberapa Produsen Kedelai Dunia, 2000-2013 Tahun Harga (USD/Ton) Argentina Brazil China USA 2000 180,09 156,27 287,49 167,00 2001 169,08 150,15 237,77 161,00 2002 153,11 171,77 267,01 203,00 2003 179,62 200,42 364,86 270,00 2004 194,35 226,27 453,07 211,00 2005 170,51 199,78 401,55 208,00 2006 176,51 193,07 412,65 236,00 2007 216,03 260,65 552,27 371,00 2008 274,23 388,54 500,85 366,00 2009 255,40 367,10 582,72 352,00 2010 262,47 259,83 738,55 415,00 2011 308,78 426,17 803,41 459,00 2012 363,66 508,56 841,52 529,00 2013 329,51 465,08 677,94 467,00 r (%/th) 5,57 11,47 8,38 9,98 CV 0,29 0,43 0,39 0,39 Sumber: FAO, 2015 (diolah). 4.1.3. Konsumsi Kedelai Dunia Dalam periode 2000-2011, konsumsi/penggunaan kedelai dunia rata-rata 211,7 juta ton dan cenderung meningkat sebesar 4,33%/th (Tabel 4.3). Penggunaan kedelai untuk industri pangan menempati pangsa yang paling tinggi (85,81%), disusul untuk pakan (44,50%), pangan (4,30%), benih (2,94%), tercecer (1,88%), dan penggunaan lainnya (0,57%). Jumlah konsumsi kedelai menurut penggunaannya juga cenderung meningkat, kecuali untuk penggunaan lainnya yang menurun 2,10%/th. Penggunaan kedelai untuk pakan bahkan mengalami peningkatan yang cukup tinggi (9,77%/th), demikian untuk industri pangan (4,56%/th), sementara untuk kebutuhan pangan, benih dan tercecer meningkat masing-masing 1,56%/th; 2,00%/th; dan 2,24%/th. Jumlah penggunaan kedelai untuk industri pangan selalu paling besar setiap tahun dan terus meningkat setiap tahunnya, kecuali pada tahun 2008 sempat menurun (Gambar 4.6). Sementara penggunaan kedelai untuk pakan terus meningkat sampai tahun 2004 dan bahkan pada tahun ini jumlah sempat lebih besar 86

dari penggunaan kedelai untuk pangan. Penggunaan kedelai untuk pakan juga sempat mengalami penurunan pada tahun 2007 dan 2011. Sejak tahun 2008 penggunaan kedelai untuk pakan kembali lebih besar dari pangan. Penggunaan kedelai untuk pangan setiap tahunnya terus meningkat dengan sangat stabil (CV=0,07). Hal yang sama juga terjadi pada penggunaan kedelai untuk benih terus meningkat dengan stabil (CV=0,07), kecuali pada tahun sempat sedikit menurun. Tabel 4.3. Perkembangan Penggunaan Kedelai Dunia, 2000-2011 (000 Ton) Tahun Pangan Industri Pangan Pakan Benih Tercecer Lainnya Total 2000 8.558 138.464 5.876 5.459 3.926 1.497 163.780 2001 8.528 149.765 6.433 5.509 3.814 1.989 176.038 2002 8.190 155.693 6.318 5.694 4.628 1.971 182.494 2003 8.381 165.811 7.402 6.211 3.747 1.979 193.531 2004 8.513 168.842 10.537 6.230 4.688 1.181 199.991 2005 9.185 181.858 9.245 6.437 4.725 1.125 212.575 2006 9.212 187.912 9.880 6.016 4.619 929 218.568 2007 9.405 200.650 8.119 6.492 2.984 601 228.251 2008 9.498 193.433 9.957 6.550 3.801 890 224.129 2009 9.595 194.646 10.969 6.655 3.098 684 225.647 2010 9.965 218.734 16.385 6.730 3.612 1.058 256.484 2011 10.107 224.105 13.320 6.729 4.027 663 258.951 Rataan 9.095 181.659 9.537 6.226 3.972 1.214 211.703 Pangsa (%) 4,30 85,81 4,50 2,94 1,88 0,57 100,00 r(%/th) 1,56 4,56 9,77 2,00 2,24 (2,10) 4,33 CV 0,07 0,15 0,32 0,07 0,15 0,43 0,14 Sumber: FAO, 2015 (diolah). Sumber: FAO, 2015 (diolah) Gambar 4.6. Perkembangan Penggunaan Kedelai Dunia, 2000-2011 87

4.1.4. Ekspor Impor Dalam periode 2000/2001 2015/2016, perkembangan volume ekspor dan impor kedelai dunia cukup berfluktuasi, seperti ditunjukkan oleh nilai CV masingmasing 0,154 dan 0,150, yang cenderung meningkat dengan besaran yang seimbang. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan yang hampir sama, yaitu masingmasing 4,16%/th dan 4,05%/th (Tabel 4.4). Tabel 4.4. Perkembangan Ekspor dan Impor Kedelai Dunia, 2000/01-2015/16 Tahun Ekspor (1000 MT) Impor (1000 MT) Net Ekspor (1000 MT) 2000/2001 36.261 35.879 382 2001/2002 41.784 40.513 1.271 2002/2003 43.044 42.410 634 2003/2004 46.075 44.924 1.151 2004/2005 47.699 46.023 1.676 2005/2006 52.245 51.426 819 2006/2007 54.699 52.812 1.887 2007/2008 56.063 54.860 1.203 2008/2009 52.844 51.686 1.158 2009/2010 55.606 53.480 2.126 2010/2011 58.545 56.908 1.637 2011/2012 58.274 56.978 1.296 2012/2013 57.906 53.828 4.078 2013/2014 60.027 57.857 2.170 2014/2015 63.271 61.179 2.092 2015/2016 65.843 63.982 1.861 r(%/th) 4,16 4,05 36,14 CV 0,154 0,150 0,537 Sumber: USDA, 2015 (diolah). Sejak tahun 2000/01 sampai tahun 2007/08, volume eskpor dan impor kedelai dunia terus meningkat. Namun pada tahun 2008/09 mengalami penurun dan kembali meningkat pada dua tahun berikutnya (2009/10 dan 2010/11). Pada tahun 2011/12, volume ekspor kedelai dunia mengalami penurunan, sebaliknya volume impor masih tetap meningkat seperti dua tahun sebelumnya, namun demikian pada tahun 2012/13, baik volume ekspor dan impor kedelai dunia menurun. Sejak tahun 2013/14 sampai 2015/16, baik volume ekspor dan impor terus mengalami pemingkatan. Dalam periode 2000/01 2015/16, peningkatan ekspor dan impor tertinggi terjadi pada tahun 2001/2012, yaitu masing-masing 88

15,23% dan 12,92%. Peningkatan volume ekspor yang cukup tinggi juga terjadi pada tahun 2005/06, yaitu 9,53%, disusul pada tahun 2003/04 sebesar 7,04%, sementara pada tahun-tahun lainya berkisar antara 2,49% - 5,4%. Peningkatan volume impor yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2005/08 sebesar 11,74$, disusul tahun 2013/14 sebesar 7,48%, dan tahun 2010/11 sebesar 6,41%, sementara pada tahun lainnya berkisar 0,12% - 5,93%. Secara umum juga terlihat bahwa volmue ekspor kedelai dunia selalu lebih besar dari volume impor, sehingga neraca perdagangan kedelai dunia adalah net ekspor. Berdasarkan data FAO, dalam 5 tahun terakhir (2008-2012), negara pengekspor kedelai dunia didominasi oleh lima negara dengan total pangsa mencapai 94,5% (Gambar 4.7). Pangsa volume eskpor kedelai tertinggi adalah Amerika (43,8%) dan berikutnya adalah Brazil (33,1%). Sementara pangsa volume ekspor kedelai Argentina, Paraguay, dan Kanada berturut-turut 10,5%; 4,2%; dan 3,0%. Sumber: FAO, 2015 (diolah). Gambar 4.7. Sebaran Volume Ekspor Kedelai Pada 5 Ekportir Terbesar di Dunia, 2008-2012 Sebaran pangsa volume impor dunia tahun 2007 2011 disajikan pada Gambar 4.8. Tampak bahwa selama periode tersebut, China merupakan importir kedelai terbesar di dunia dengan pangsa mencapi 51,9%. Volume impor negara importir terbesar kedua sampai ke tiga adalah hampir sama, yaitu: Belanda, Meksiko, dan Jepang dengan pangsa impor masing-masing sebesar 4,2%. Pangsa volume impor kedelai Jerman dan Spanyol masing-masing 4,0% dan 3,6%, 89

Sementara Taiwan, Thailand, Indonesia, serta Italia berkisar 1,7% - 2,8% dari total volume impor kedelai dunia. Sumber: FAO, 2015 (diolah). Gambar 4.8. Sebaran Volume Impor Kedelai Pada 10 Importir Terbesar di Dunia, 2007-2011 4.1.5. Stok Kedelai Dunia Perkembangan stok kedelai dunia baik pada awal tahun dan akhir dari tahun ke tahun selama periode 2000/01 2015/16 menunjukkan kondisi yang tidak stabil (CV=0,294 dan CV=0,308), walaupun cenderung meningkat dengan besaran yang hampir sama, masing-masing 6,43%/th dan 6,39%/th (Tabel 4.4). Rata-rata stok kedelai pada awal tahun selama periode tersebut adalah 7,23 juta ton dan pada akhir tahun adalah 7,62 juta ton, sehingga ada taambahan stok kedelai sekitar 384 ribu ton/th. Selama tahun 2000/01-2015/16, stok kedelai pada akhir tahun selalu lebih besar dari awal tahun, kecuali pada tahun 2000/01, 2002/03, 2008/09, 2012/13, dan 2015/16 (Gambar 4.9). Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan kedelai pada tahun-tahun tersebut lebih banyak dari yang diproduksi sehingga harus menggunakan stok yang ada pada awal tahun. Pemanfaatan stok kedelai paling tinggi terjadi pada tahun 2008/09, yaitu mencapai 2,2 juta ton. 90

Tabel 4.5. Perkembangan Stok Kedelai Dunia, 2000/01-2015/16 (1000 MT) Year Stok Awal Stok Akhir Perubahan Stok 2000/2001 5.575 5.425 (150) 2001/2002 5.425 5.841 416 2002/2003 5.841 5.519 (322) 2003/2004 5.519 5.644 125 2004/2005 5.644 5.839 195 2005/2006 5.839 6.149 310 2006/2007 6.149 7.089 940 2007/2008 7.089 7.176 87 2008/2009 7.176 4.936 (2.240) 2009/2010 4.936 6.598 1.662 2010/2011 6.598 8.448 1.850 2011/2012 8.448 9.685 1.237 2012/2013 9.685 9.398 (287) 2013/2014 9.398 10.293 895 2014/2015 10.293 12.119 1.826 2015/2016 12.119 11.715 (404) Rataan 7.233 7.617 384 r (%/th) 6,43 6,39 - CV 0,294 0,308 2,699 Sumber: USDA, 2015 (diolah). Sumber: USDA, 2015 (diolah). Gambar 4.9. Perkembangan Stok Kedelai Dunia, 2000/01-2015/16 (1000 MT) 4.2. Dinamika Pasar Domestik Kedelai 4.2.2. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai di Indonesia Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai di Indonesia selama periode 2000-2015 disajikan pada Gambar 5.10 dan Tabel 5.5. Selama 91

periode tersebut luas panen kedelai sangat fluktuatif (CV=0,145) dan cenderung menurun sebesar 0,86%/th. Pada tahun 2000 luas panen kedelai 824 ribu ha dan setelah itu terus menurun sampai sampai tahun 2003, dan setelah itu mengalami peningkatan sampai tahun 2005, kembali turun sampai tahun 2007. Pada tahun 2008 dan 2009 luas panen kedelai mengalami peningkatan, namun setelah itu sampai tahun 2003 terus mengalami penurunan, dan baru dalam dua tahun terakhir (2014 dan 2015) sedikit meningkat menjadi 616 ribu ha dan 625 ribu ha, sekalipun luasnya masih jauh lebih rendah dari tahun 2000. Penurunan ini diduga selain disebabkan adanya konversi lahan ke penggunaan non pertanian dan puso akibat perubahan iklim yang ekstrim, juga akibat harga kedelai di tingkat petani kurang memberikan insentif bagi petani untuk memperluas lahan pertanaman kedelai dibandingkan dengan komoditas pesaingnya. Sumber: Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2015c (diolah) Gambar 4.10. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai di Indonesia, 2000-2015 Secara umum produktivitas kedelai di Indonesia masih rendah, dan menurut data BPS selama periode 2000-2015 rata-rata produktivitas kedelai di Indonesia baru sekitar 1,3 ton per hektar. Namun demikian, produktivitas kedelai di Indonesia cenderung meningkat sekitar 1,7%/th secara stabil (CV=0,071). Pada tahun 2000 produktivitas kedelai hanya sekitar 1,23 ton/ha dan tahun 2014 menjadi 1,55 ton/ha dan pada tahun 2015 sekikit meningkat menjadi 1,57 ton/ha. 92

Tabel 4.6. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai di Indonesia, 2000-2015 Tahun Luas Panen (Ha) Prooduktiivtas (Ku/ha) Produksi (Ton) 2000 824484 12,34 1017634 2001 678848 12,18 826932 2002 544522 12,36 673056 2003 526800 12,75 671600 2004 565155 12,80 723483 2005 621541 13,01 808353 2006 580534 12,88 747611 2007 459116 12,91 592534 2008 590956 13,13 775710 2009 722791 13,48 974512 2010 660823 13,73 907031 2011 622254 13,68 851286 2012 567624 14,85 843153 2013 550793 14,16 779992 2014 615685 15,51 954997 2015* 624848 15,73 982967 r (%/th -0,855 1,688 0,935 CV 0,145 0,071 0,148 Keterangan: * Angka ARAM II Sumber: BPS, 2015 (diolah) Peningkatan produktivitas sebesar 1,7%/th ternyata belum mampu mengangkat produksi kedelai di Indonesia secara signifikan. Rata-rata peningkatan produksi kedelai selama periode 2000-2015 masih dibawah 0,94%/th dengan CV=0,148. Pada tahun 2000, produksi kedelai mencapai 1,02 juta ton dan tahun 2014 tidak banyak bergerak dan bahkan tururn menjadi 955 ribu ton. Demikian juga, walaupun lebih tinggi dari tahun 2014, produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2015 sebesar 983,0 ribu ton masih lebih rendah dari yang pernah dicapai tahun 2000. Dari penomena ini tampak bahwa peningkatan produksi kedelai di Indonesia masih lebih banyak tergantung pada luas tanam/panen. Produksi kedelai Indonesia sebagian besar berasal dari enam provinsi. Hal ini terlihat enam provinsi tersebut selama lima tahun terakhir memberikan kontribusi sebesar 84,20% terhadap produksi kedelai nasional, sementara 27 provinsi lainnya menyumbang 15,8% (Gambar 4.11). Kontribusi terbesar berasal dari Provinsi Jawa Timur (39,7%), disusul Jawa Tengah (14,0%), dan NTB (10,7%). Tiga provinsi 93

sentra lain berkontribusi masing-masing Jawa Barat (8,8%), Aceh (6,0%), dan Sulawesi Selatan (5,1%). Sumber: Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2015c (diolah) Gambar 4.11. Kontribusi Provinsi Sentra Produksi Kedelai Terhadap Produksi Kedelai Nasional, 2010-2015 4.2.2. Perkembangan Harga Kedelai di Pasar Indonesia Perkembangan harga kedelai nasional di tingkat produsen dan konsumen dalam periode 2002-2014 disajikan pada Gambar 4.12 dan Tabel 4.6. Secara nominal, rata-rata harga kedelai yang diterima petani/produsen mengalami peningkatan sekitar 8,8%/th dan tidak stabil, seperti dtunjukkan oleh CV masingmasing 0,377 dan 0,438. Pada tahun 2000, harga kedelai di tingkat produsen sebesar Rp 2.696/kg dan terus meningkat sampai tahun 2012 dan menjadi Rp 7.514/Kg. Pada tahun 2013 harga kedelai di tingkat produsen lebih rendah sekitar 8,8% (Rp 6.905/Kg) dibanding tahun sebelumnya, walaupun pada tahun 2014 kembali naik (Rp 8.326/Kg). Pada periode yang sama, rata-rata harga nominal kedelai di tingkat konsumen juga cenderung meningkat dengan besaran yang sama, 8,90%/th, yaitu dari Rp 3.479/kg pada tahun 2000 menjadi Rp 10.120/kg pada tahun 2014. Namun demikian, pada tahun 2003 dan 2014, harga nominal kedelai di tingkat konsumen sempat lebih rendah masing-masing 12,07% dan 8,41% dari tahun sebelumnya, padahal pada dua tahun tersebut harga kedelai di tingkat produsen cenderung meningkat. Sebaliknya harga kedelai di tingkat konsumen malah tetap meningkat 94

pada tahun 2013, sekalipun harga di tingkat produsen menurun. Kondisi ini menunjukkan bahwa dinamika harga kedelai yang terjadi di tingkat produsen tidak secara baik ditansmisikan ke tingkat konsumen, demikian sebaliknya. Sumber: Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2015c (diolah) Gambar 4.12. Perkembangan Harga kedelai di Tingkat Produsen dan Konsumsen, 2000-2014 Tabel 4.7. Perkembangan Harga kedelai di Tingkat Produsen dan Konsumsen, 2000-2014 Tahun Produsen (Rp/Kg) Konsumen (Rp/Kg) Rasio (Konsumen/ Produsen) 2000 2.696 3.479 1,29 2001 2.992 3.797 1,27 2002 3.084 4.283 1,39 2003 3.278 3.766 1,15 2004 3.499 3.993 1,14 2005 3.876 4.228 1,09 2006 4.036 4.472 1,11 2007 4.588 4.847 1,06 2008 6.212 7.788 1,25 2009 6.588 8.525 1,29 2010 6.664 8.912 1,34 2011 7.254 9.779 1,35 2012 7.514 10.316 1,37 2013 6.905 11.049 1,60 2014 8.326 10.120 1,22 r(%/th) 8,80 8,90 0,20 CV 0,377 0,438 0,113 Sumber: BPS, 2015 (diolah) Berfluktuasinya harga kedelai di tingkat produsen dan konsumen, serta tidak terintegrasinya pasar produsen dan konsumen kedelai secara baik menyebabkan ratio atau selisih harga di tingkat konsumen dan produsen juga bervariasi. Hal ini terlihat bahwa dari selisih harga di tingkat produsen dan konsumen berkisar 6,0% sampai 60%. 95

4.3.2. Perkembangan Ketersediaan dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan penting setelah padi dan jagung, karena mempunyai banyak kegunaan. Namun demikian, pemanfaatan kedelai secara umum dikelompokkan menjadi dua, yaitu konsumsi langsung dan tidak langsung. Konsumsi tidak langsung yaitu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan industri pangan dan industri pakan. Di sisi lain, ketersediaan yang dimaksud dalam NBM adalah selisih produksi ditambah impor, dikurangi ekspor, tercecer, penggunaan pakan, bibit dan untuk industri (diolah untuk bukan makanan). Dengan mengacu pada pendekatan tersebut, maka perkembangan dan konsumsi kedelai selama periode 2002-2014 seperti disajikan pada Tabel C. Selama periode 2002 2014 konsumsi per kapita kedelai relatif stabil dan tidak banyak berubah (CV=0,073), namun cenderung menurun sebesar 1,15%/th. Selama periode tersebut, rata-rata konsumsi kedelai sebesar 7,62 kg/kapita/tahun, dimana konsumsi tertinggi sebesar 8,63 kg/kap/th terjadi pada tahun 2007 dan terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 7,01 Kg/kap/th. Tabel 4.8. Ketersediaan dan Konsumsi Kedelai Per Kapita di Indonesia, 2000-2014 Tahun Ketersediaan (Kg/Kap/Th) Konsumsi Rasio (Kg/Kap/Th) (Ketersediaan/ Konsumsi) 2002 8,68 8,4 1,03 2003 7,89 7,98 0,99 2004 7,58 7,22 1,05 2005 7,75 7,79 0,99 2006 7,11 8,3 0,86 2007 7,09 8,63 0,82 2008 7,56 7,67 0,97 2009 8,73 7,16 1,22 2010 9,76 7,01 1,39 2011 10,91 7,56 1,44 2012 10,06 7,12 1,41 2013 8,83 7,15 1,24 2014 8,65 7,13 1,21 Rataan 8,51 7,62 1,13 r(%/th) 0,36-1,15 1,98 CV 0,138 0,073 0,184 Sumber: BPS, 2015 (diolah) Berbedanya halnya dengan konsumsi per kapita, ketersediaan kedelai per kapita per tahun selama periode 2002-2014 relatif berfkultuasi dengan CV=0,138 96

dan cenderung sedikit meningkat (0,36%/th). Selama periode tersebut, rata-rata ketersediaan kedelai adalah 8,51 Kg/kap/th dan sekitar 13,0% lebih tinggi dari konsumsi kedelai (7,62 Kg/kap/th). Ketersediaan kedelai tertinggi terjadi pada tahun 2011 (10,91 Kg/kap/th) dan pada tahun ini juga ketersediaan relatif paling tinggi dibanding konsumsi, seperti yang ditunjukkan oleh ratio antara ketersediaan dan konsumsi sebesar 1,44. Sebaliknya ketersediaan kedelai terendah terjadi pada tahun 2007 (7,09 Kg/kap/th) dan pada tahun ini juga ketersediaan paling rendah relatif terhadap konsumsi, seperti diperlihatkan oleh nilai rasio antara ketersediaan dan konsumsi hanya 0,82. 4.2.4. Ekspor Impor Kedelai Indonesia Selama periode 2000-2014, tercatat volume ekspor dan impor kedelai Indonesia sangat fluktuatif, khususnya volume ekspor yang tumbuh sangat fantastis, dengan kecenderung meningkat rata-rata sebesar 240,58%/th, sementara untuk impor meningkat rata-rata sebesar 1,24%/th (Tabel 5.8). Hal yang sama juga terjadi pada nilai ekpsor dan impor. Nilai ekspor kedelai pada periode tersebut cenderung meningkat sangat fantastis, rata-rata 384,20%/th dan untuk nilai impor cenderung meningkat rata-rata 29,51%/th. Tabel 4.9. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia, 2000-2014 Tahun Volume (Ton) Nilai (000 US) Eskpor Impor Neraca Eskpor Impor Neraca 2000 521 2.574.001-2.573.480 117 557.148-557.031 2001 188 2.224.712-2.224.524 345 494.232-493.887 2002 235 1.365.252-1.365.017 152 582.475-582.323 2003 169 1.192.717-1.192.548 6.303 706.753-700.450 2004 1.360 1.115.793-1.114.433 6.703 967.957-961.254 2005 876 1.086.178-1.085.302 6.564 801.779-795.214 2006 1.732 1.132.144-1.130.412 8.406 809.056-800.650 2007 2.390 1.420.256-1.417.866 8.613 500.879-492.267 2008 1.775 1.176.863-1.175.088 8.252 732.722-724.470 2009 2.131 1.320.865-1.318.734 8.030 647.703-639.672 2010 385 1.740.505-1.740.120 9.979 871.173-861.194 2011 8.996 2.088.616-2.079.620 11.390 1.290.079-1.278.689 2012 33.950 1.220.120-1.186.170 15.792 3.224.915-3.209.123 2013 11.133 1.785.385-1.774.252 185.960 7.519.061-7.333.101 2014 41.304 1.964.081-1.922.777 205.531 7.690.127-7.484.596 Rataan 7.143 1.560.499-1.553.356 32.143 1.826.404-1.794.261 r(%/th) 240,58 1,24 1,22 384,20 29,51 29,22 Sumber: BPS, 2015 (diolah) 97

Rata-rata volume ekspor kedelai Indonesia sebesar 7,14 ribu ton, dimana tertinggi terjadi pada tahun 2014 (41,3 ribu ton) dan terendah pada tahun 2001 (188 ton). Peningkatan volume ekspor lebih dari dua kali pernah terjadi pada tahun 2004 sekitar 7,0 kali lipat, tahun 2012 sekitar 2,8 kali lipat, tahun 2014 sekitar 2,7 kali lipat, dan bahkan pada tahun 2011 lebih dari 22 kali lipat. Walaupun demikian, volume ekspor kedelai sangat kecil bila dibandingkan dengan volume impor kedelai. Selama periode 2000-2014, rata-rata volume impor kedelai Indonesia mencapai 1,57 juta ton, dimana tertinggi terjadi pada tahun pada tahun 2000 (2,57 juta ton) dan terendah terjadi pada tahun 2005 (1,1 juta ton). Peningkatan volume impor tertinggi terjadi pada tahun 2013 (49,58%). Namun demikian, volume impor juga pernah mengalami penurunan yaitu masing-masing pada tahun 2001-2005, tahun 2008, dan terakhir pada tahun 2012 dan tahun ini sekaligus merupakan penurunan volume impor kedelai yang tertinggi, 41,58%. Neraca ekspor dan impor kedelai Indonesia selama periode 2000-2014 menunjukkan adanya fluktuasi defisit ekspor yang cukup tinggi, dengan rata-rata sekitar 1,55 juta ton per tahun dengan kecenderungan meningkat 1,22 persen per tahun. Defisit volume kedelai tertinggi terjadi pada tahun 2000 (2,57 juta ton) dan terendah (1,08 juta ton ) pada tahun 2005. Sejalan dengan meningkatnya defisit volume neraca perdagangan kedelai Indonesia, defisit nilai neraca perdagangan kedelai Indonesia juga mengalami rata-rata peningkatan cukup tinggi (29,22%/th), dan bahkan dalam pada tahun 2012 dan 2013 lebih dari 100%, yaitu masingmasing 150,97% dan 128,51%. 4.3. Kebijakan Pengembangan Kedelai Dalam upaya meningkatkan produksi kedelai dalam negeri, berbagai kebijakan dan program telah dan sedangkan dilakukan permintah. Dalam sejarah perkedelaian, luas panen dan produksi kedelai tertinggi pernah dicapai Indonesia pada tahun 1992, yaitu 1,67 juta ha dan 1,87 juta ton, sehingga pada saat itu Indonesia mengalami swasembada kedelai, yang tidak pernah terulang lagi sampai saat ini. Pencapaian yang luar bisa tersebut didukung beberapa kebijakan antara lain: (a) kebijakan harga dasar (HPP), (b) adanya campur tangan pemerintah dalam 98

monopoli (Bulog), (c) program intensifikasi dan ekstensifikasi; serta (d) pengenaan tarif bea masuk (BM) yang tinggi (10%). Namun dalam perjalanannya, arah dan program terus mengalami perubahan. Seperti pada periode 1998 sampai 2004 terdapat beberapa perubahan kebijakan, antara lain penghapusan peran Bulog dan HPP serta adanya kebijakan penurunan tarif bea masuk berkisar 0 s.d. 5 % yang mengakibatkan terjadinya pergeseran pemenuhan kedelai produksi lokal ke impor menjadi lebih dari 60%. Pemerintah kembali melakukan penyesuaian tarif bea masuk sejak tahun 2005 menjadi 10% dan dihapuskan lagi kembali menjadi 0% sejak tahun 2008. Mulai tahun 2010, pemeritah kembali mengenakan tarif besa masuk/impor kedelai sebesar 5% dan dan dihapuskan kembali sejak 24 Januari 2011, dan setelah itu kembali lagi dengan besaran yang sama (5%) diberlakukan mulai 1 Januari 2012. Dalam rangka menjaga stabilitas harga kedelai di dalam negeri dengan tetap memperhatikan kepentingan petani dan konsumen, Menteri Perdagangan melalui surat Nomor: 1906/M-DAG/SD/9/2013 tanggal 19 September 2013 kembali mengeluarkan kebijakan baru, yaitu memberlakukan penyesuaian tarif bea masuk atas barang impor berupa kedelai dari 5% menjadi 0% dan sampai saat ini masih berlaku. Untuk mengimbangi penghapusan kebijakan tarif impor tersebut, maka sejak tahun 2013 dalam rangka stabilisasi harga dan dalam upaya mendorong petani agar bersedia menanam kedelai lebih banyak lagi dan mengelolanya secara intensif, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indonesia, akhirnya pada tanggal 13 Juni 2013 secara resmi menetapkan Harga Beli Petani (HBP) kedelai sebesar Rp 7.000 per kg melalui Permendag No. 23/2013 dimana HBP sebesar 7.000/kg tersebut berlaku selama periode Juli September 2013. Mengingat HBP kedelai sebesar Rp 7000/kg belum mampu mendorong petani untuk meningkatkan produksinya, sampai tahun 2015 pemerintah beberapa kali kembali menyesuaikan kebijakan besaran HBP tersebut, yaitu: (i) Permendag No. 59/2013 yang mengatur HBP kedelai sebesar Rp 7.400/kg dan berlaku periode Oktober Desember); (ii) Permendag No.18/2013 dimana HBP sebesar Rp 7.500/kg dan berlaku Januari Juni 2014); (iii) Permendag No.38/2014 dimana HBP sebesar Rp 7.600/kg dan berlaku 99

dalam periode Juli September 2014; (iv) Permendag No.62/2014 yang mengatur HBP sebesar Rp 7.600/kg dan berlaku periode Oktober Desember 2014, (v) Permendag No 1/2015 yang menetapkan HBP kedelai sebesar Rp 7.700/kg dan berlaku selama periode Januari- Maret 2015, dan (vi) pada tanggal 8 April 2015 melalui Permendag No 28/2015, pemerintahan menetapkan HBP kedelai sama sebesar Rp 7.700/kg dan berlaku selama periode 9 April 30 Juni 2015. Selain mengeluarkan HBP, permintah mulai tahun 2014 melakukan upaya khusus (UPSUS) peningkatan produksi kedelai yang berbarengan program UPSUS dengan padi dan jagung. Dalam program UPSUS ini, untuk kedelai difokuskan pada peningkatan produksi dalam upaya mengurangi impor, sementara untuk padi dan jagung adalah untuk memperkuat pencapaian swasembada. Peningkatan produksi kedelai dalam program UPSUS dilakukan melalui perbaikan irigasi dan sarana pendukungnya, seperti Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT) Kedelai, Optimasi perluasan aeral tanam kedelai melalui Peningkatan Indeks Pertanaman (PAT-PIP Kedelai), Penyediaan Bantuan Benih dan Alsin, Pengendalian OPT dan Dampak Perubahan Iklim, Asuransi Pertanian, Pengawalan/Pendampingan (Ditjen PSP, 2015). PAT-PIP Kedelai ditujukan untuk perluasan areal tanam kedelai pada lahan yang sebelumnya tidak pernah ditanami kedelai atau sebelumnya pernah ditanami kedelai tetapi kemudian tidak ditanami lagi (peningkatan IP) pada lahan sawah beririgasi, sawah tadah hujan, lawan rawa, pasang surut dan rawa lebak, lahan kering, lahan Perhutani, lahan perkebunan, kehutanan, dan lain-lain. Sasarannya atau indikator keberhasilan dari program UPSUS kedelai adalah produktiivtas kedelai minimal 1,57 ton/ha pada areal tanam baru dan meningkatkan produktivitas kedelai sebesar 0,2 ton/ha pada aeral kedelai yang sudah ada. 4.4. Outlook Komoditas Kedelai Dalam analisis outlook dengan menggunakan base line data tahun 2013, ada tiga skenario yang digunakan untuk memprediksi kondisi kedelai dalam 5 (lima) tahun ke depan, 2015-2019. Ketiga skenario tersebut, yaitu: (i) Skenario I: tidak terjadi perubahan iklim dan pada periode 2015 2019 terpengaruh kebijakan kenaikan harga BBM 2014; (ii) Skenario II: kondisi iklim tidak normal dan terjadi 100

gangguan iklim yang cenderung ke arah La Nina (sesuai prediksi Bappenas, 2009) dan pada periode 2015 2019 terpengaruh kebijakan kenaikan harga BBM 2014; dan (iii) Skenario III: kondisi iklim tidak normal dan terjadi gangguan iklim yang cenderung El Nino (sesuai prediksi Bappenas, 2010) dan pada periode 2015 2019 terpengaruh kebijakan kenaikan harga BBM 2014. Pada kondisi normal (Skenario I), luas panen kedelai dalam 5 (lima) tahun ke depan diperkirakan akan terus meningkat dengan laju sebesar 1,68%/th (Tabel 4.9). Peningkatkan luas panen kedelai akan lebih tinggi, yaitu diperkirakan sebesar 3,81%/th ketika terjadi perubahan iklim yang mengarah kepada El Nino (Skenario III). Kondisi sebaliknya terjadi, dimana luas panen kedelai akan diperkirakan menurun sebesar 0,41%/th ketika terjadi La Nina/bulan basah (Skenario II). Kondisi ini bisa dipahami dengan mudah bahwa ketika terjadi La Nina/bulan basah ada kecenderung petani akan mengurangi luas tanaman kedelai dan menggantikan dengan tanaman pangan yang lebih menguntungkan dan membutuhkan lebih banyak air. Tabel 4.10. Prediksi Luas Panen Komoditas, Produktivitas dan Produksi Komoditas Kedelai, 2015-2019 Luas Panen (000 ha) Produktivitas (Ton/Ha) Produksi (Ton) Tahun Skenario Skenario Skenario I II III I II III I II III 2015 637 735 637 1,23 1,13 1,14 784 831 726 2016 629 616 629 1,27 1,17 1,21 798 721 761 2017 633 659 672 1,29 1,11 1,19 817 731 799 2018 666 709 723 1,27 1,05 1,06 846 745 767 2019 680 709 738 1,28 1,07 1,09 871 759 805 r(%/th) 1,68-0,41 3,81 1,02-1,27-0,90 2,67-2,02 2,67 Sumber: Setiyanto et al., 2004. Produktivititas kedelai diperkirakan akan meningkat pada kondisi normal, yaitu 1,02%/th, sementara pada kondisi baik La Nina (Skenario II) dan El Nino (Skenario III) produktivitas kedelai diperkirakan dalam lima tahun ke depan mengalami penurunan masing-masing 1,27%/th dan 0,90%/th. Dalam lima tahun ke depan pada kondisi normal diperkirakan produksi kedelai akan meningkat sebesar 2,67%. Sekalipun produktivitas kedelai diperkirakan menurun dalam lima tahun ke depan jika terjadi El Nino, namun demikian produksi kedelai diperkirakan akan tetap 101

meningkat sebesar 2,67%/th dan sama dengan kondisi normal, karena diperkirakan akan terjadi peningkatan luas panen yang cukup besar. Sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan industri pakan dan pangan yang berbahan baku kedelai, diperkirakan permintaan kedelai dalam lima tahun ke depan akan terus meningkat dengan besar yang berbeda pada semua skenario (Tabel 4.10). Pada kondisi normal (Skenario I), permintaan kedelai diperkirakan meningkat sebesar 2,12%/th dan lebih tinggi dibandingkan Skenario III dan II, yang masing-masing 2,02%/th dan 1,79%/th. Dalam lima tahun ke depan pada semua Skenario Indonesia diperkirakan akan tetap mengalami defisit produksi kedelai yang terus meingkat relatif terhadap permintaan, yaitu 1,88%/th pada Skenario I; 3,60%/th pada Skenario II; dan 1,82%/th pada Skenario III. Tabel 4.11. Prediksi Produksi,Permintaan dan Defisit Produksi Komoditas Kedelai di Indonesia, 2015-2019 (ton) Tahun Produksi Dalam Negeri Permintaan Defisit Produksi Dlm Negeri Skenario Skenario Skenario I II III I II III I II III 2015 784 831 726 2584 2576 2584 1801 1745 1858 2016 798 721 761 2635 2615 2627 1837 1894 1866 2017 817 731 799 2707 2655 2679 1890 1924 1879 2018 846 745 767 2754 2718 2752 1909 1973 1985 2019 871 759 805 2811 2766 2800 1940 2007 1995 r(%/th) 2,67-2,02 2,67 2,12 1,79 2,02 1,88 3,60 1,82 Sumber: Setiyanto et al., 2004. Dalam perdagangan kedelai dunia, dalam lima tahun ke depan (2015-2019) Indonesia diperkirakan akan tetap sebagai negara net impor kedelai (Tabel 4.11). Pada kondisi normal diperkirakan net impor kedelai Indonesia akan meningkat sebesar 1,59%/th dari sebanyak 1,72 juta ton pada tahun 2015 dan menjadi 1,84 juta ton pada tahun 2019. Pada kondisi La Nina dan El Nino, net impor kedelai diperkirakan akan lebih besar dari kondisi normal, yaitu masing-masing 2,44%/th dan Rp 2,36%/th. Dalam lima tahun ke depan, pada semua Skenario harga riil kedelai pada tingkat produsen di Jawa lebih rendah dibanding di luar Jawa, namun demikian besaran peningkatan harga kedelai riil pada tingkat produsen pada masing-masing skenario adalah sama (Tabel 4.12). Pada kondisi normal harga riil kedelai di tingkat 102

produsen baik di Jawa dan lua Jawa diperkirakan akan meningkat 2,09%/th, sementara pada Skenario II dan III masing-masing 4,41%/th dan 4,90%/th. Tabel 4.12. Prediksi Net Impor Komoditas Kedelai dari Indonesia, 2015-2019 (000 ton) Tahun Skenario I II III 2015 1723 1734 1801 2016 1751 1795 1838 2017 1774 1860 1885 2018 1795 1837 1928 2019 1836 1908 1977 r(%/th) 1,59 2,44 2,36 Sumber: Setiyanto et al., 2004. Dengan pendekatan yang sama, dalam lima tahun kedepan, 2015-2019, diperkirakan harga kedelai riil pada tingkat konsumen di wilayah perkotaan akan tetap lebih mahal dari wilayah perdesaan (Tabel 4.13). Bahkan pada kondisi normal, perbedaan harga riil kedelai pada pada tingkat konsumen di perkotaan akan semakin tinggi dibanding perdesaan, hal ini ditunjukkan oleh tingkat kenaikannya lebih tinggi dari wilayah perdesaan, yaitu 3,9%/th, sementara di wilayah perdesaan sebesar 2,29%/th. Tabel 4.13. Prediksi Harga Produsen Riil Komoditas Kedelai menurut Wilayah 2015 2019 Tahun Jawa (Rp/Kg) Luar Jawa (Rp/Kg) I II III I II III 2015 8779 9150 9064 9348 9743 9651 2016 9022 9707 9615 9606 10336 10238 2017 9216 10165 10069 9813 10824 10722 2018 9373 10537 10635 9980 11219 11325 2019 9536 10872 10974 10154 11577 11685 r(%/th) 2,09 4,41 4,90 2,09 4,41 4,90 Sumber: Setiyanto et al., 2004. Lebih lanjut kalau dilihat di wilayah perdesaan sendiri, rata-rata harga riil kedelai pada tingkat konsumen di perdesaan luar Jawa lebih mahal dari di perdesaan Jawa dan meningkat dengan besaran yang berbeda menurut Skenario, akan tetapi dengan besaran yang sama baik di Jawa dan luar Jawa pada skenario yang sama. Pada kondisi normal, harga riil kedelai pada tingkat konsumen baik di Jawa dan luar 103

Jawa akan meningkat sebesar 2,29% dan lebih besar dibanding pada kondisi La Nina dan El Nino yang masing-masing 1,74%/th dan 1,46%/th. Prediksi penggunaan kedelai di Indonesia selama lima tahun ke depan, 2015-2019, menurut skenario disajikan pada Tabel 4.14 Penggunaan kedelai untuk konsumsi tidak langsung rumah tangga dan untuk pakan ternak diperkirakan akan terus meningkat pada semua skenario, sementara untuk konsumsi langsung rumah tangga hanya meningkat pada skenario I dan III, sementara pada skenario II (La Nina) sebaliknya diperkirakan akan sedikit menurun (0,01%/th). Kedelai yang tercecer diperkirakan akan menurun dalam lima tahun ke depan seiring semakin berkembangnya teknologi panen dan pasca panen. Tabel 4.14. Prediksi Harga Konsumen Riil Komoditas Kedelai menurut Wilayah 2015 2019 Tahun Perkotaan (Rp/Kg) Perdesaan Jawa (Rp/Kg) Perdesaan Luar Jawa (Rp/Kg) I II III I II III I II III 2015 15028 15251 15366 13068 13262 13362 13915 14122 14228 2016 15500 15633 15701 13478 13594 13653 14351 14475 14538 2017 15748 15877 15943 13694 13806 13864 14582 14701 14762 2018 16282 16187 16140 14158 14075 14034 15076 14988 14944 2019 17498 16338 16284 14303 14207 14160 15230 15128 15077 r(%/th) 3,9 1,74 1,46 2,29 1,74 1,46 2,29 1,74 1,46 Sumber: Setiyanto et al., 2004. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, dalam lima tahun ke depan diperkirakan rata-rata penggunaan kedelai untuk pakan merupakan paling tinggi, yaitu mencapai 48,87% (Gambar 4.13). Penggunaan terbesar kedua adalah konsumsi langsung rumah tangga sebesar 34,23%, disusul konsumsi tidak langsung rumah tangga sebesar 14,87%, sementara terendah untuk kebutuhan benih dan tercecer, sekitar 2,0%. 104

Sumber: Setiyanto et al., 2004. Gambar 4.13. Rataan Pangsa Penggunaan Kedelai, 2015-2019 Tabel 4.15. Prediksi Penggunaan Kedelai di Indonesia, 2015 2019 (ribu ton) No Keterangan 2015 2016 2017 2018 2019 A B C Skenario I r (%/ Thn) 1 Konsumsi Langsung Rumah Tangga 913,8 934,2 909,4 937,3 923,8 0,30 Konsumsi Tidak Langsung Rumah 2 Tangga 390,5 420,2 405,4 393,2 396,8 0,50 3 Konsumsi Untuk Pakan Ternak 1220,6 1224,9 1338,3 1371,0 1438,4 4,24 4 Konsumsi Benih dan Tercecer 59,5 56,0 54,0 52,9 51,9-3,37 5 Total 2584,4 2635,3 2707,1 2754,4 2810,8 2,12 Skenario II 1 Konsumsi Langsung Rumah Tangga 910,9 927,0 891,9 924,8 909,0-0,01 Konsumsi Tidak Langsung Rumah 2 Tangga 389,2 417,0 397,6 388,0 390,4 0,17 3 Konsumsi Untuk Pakan Ternak 1216,7 1215,6 1312,5 1352,8 1415,5 3,90 4 Konsumsi Benih dan Tercecer 59,3 55,6 53,0 52,2 51,0-3,67 5 Total 2576,1 2615,2 2655,0 2717,9 2765,9 1,79 Skenario III 1 Konsumsi Langsung Rumah Tangga 913,8 931,2 899,8 936,3 920,1 0,21 Konsumsi Tidak Langsung Rumah 2 Tangga 390,5 418,9 401,1 392,8 395,2 0,39 3 Konsumsi Untuk Pakan Ternak 1220,6 1221,0 1324,9 1369,6 1432,7 4,13 4 Konsumsi Benih dan Tercecer 59,5 55,8 53,5 52,9 51,7-3,46 5 Total 2584,4 2626,9 2678,6 2751,6 2799,7 2,02 Sumber: Setiyanto et al., 2004. 105

4.5. Kesimpulan Dan Implikasi Kebijakan 1. Permintaan kedelai dunia terus meningkat dari tahun ke tahun, terutama untuk memenuhi kebutuhan industri pangan dan pakan yang pangsanya mencapai lebh dari 90%. Di sisi lain, peningkatan produksi kedelai dunia termasuk di negara-negara produsen utama kedelai, kecuali Amerika, masih lebih banyak ditentukan oleh adanya peningkatan luas panen dibanding perbaikan produktivitas. Oleh karena itu, tantangan dalam perkedelaian dunia ke depan adalah peningkatan produktivitas melalui penemuan-penemuan varietas unggul yang adatif dan mempunyai potensi tinggi. 2. Di Indonesia kedelai merupakan salah satu komoditi pangan utama setelah beras dan jagung, dan juga termasuk komoditas yang mendapat prioritas produksinya untuk ditingkatkan. Kebutuhan terhadap komoditi ini terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara produksi dalam negeri baru mencapai sekitar 30%-40% dari jumlah yang dibutuhkan, sehingga ketergantungan Indonesia terhadap pasar impor masih sangat tinggi. 3. Laju peningkatan produksi kedelai di Indonesia sangat lamban dibandingkan permintaanya, akibat ada kecenderungan luas tanam/panen kedelai semakin menurun, padahal di sisi lain telah terjadi perbaikan produktivitas. Hal ini akibat harga kedelai yang diterima petani relatif rendah dan bahkan dibawah harga beli yang ditetapkan pemerintah, sehingga tidak mampu mendorong petani untuk memperluas tanaman kedelainya dan mengelola kedelainya secara intensif. Oleh krena itu, tanpa ada upaya khusus dalam meningkatkan produksi kedelai dalam negeri, Indonesia diperkirakan masih akan mengimpor kedelai dalam 5 tahun ke depan, 2015-2019 dengan jumlah yang semakin membesar. 4. Melihat kenyataan ini, maka arah kebijakan pengembangan produksi kedelai dalam jangka pendek sebaiknya diarahkan untuk peningkatan produksi dalam rangka mengurangi volume impor, bukan untuk swasembada kedelai. Namun demikian, upaya-upaya untuk mencapai swasembada kedelai perlu terus dilakukan terutama melalui memperkuat penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan varietas-varietas unggul baru kedelai yang mempunyai potensi tinggi serta mendorong petani untuk menerapkan teknologi produksi, panen 106

dan pasca panen secara baik, mengingat penggunaan lahan akan semakin kompetitif dengan tanaman pangan lainnya. 5. Program dan kebijakan peningkatan produksi kedelai sebaiknya dilakukan secara komprehensif agar kinerja menjadi lebih efektif. Seperti program UPSUS kedelai yang sedang dijalankan pemerintah sebaiknya dikombinasikan dengan kebijakan HBP yang layak untuk mendorong petani menanam kedelai, serta ada upaya untuk menekan impor melalui kebijakan tarif impor yang saat ini masih sebesar 0%. Kemampuan BULOG dalam membeli kedelai ketika harga di HBP perlu juga diperkuat, agar HBP menjadi bermanfaat dan tidak hanya sebatas himbauan saja. Selain HBP, kebijakan yang bisa dipertimbangan dalam upaya stabilisasi harga adalah pengembangan resi gudang. 6. Bebeberapa instrument kebijakan lainnya juga harus dibangun dan dikembangkan secara simultan, seperti kebijakan penyediaan benih bermutu dan teknologi spesifik lokasi di tingkat petani, perbaikan infrastruktur dan peningkatan akses pasar, dan permodalan. Kebijakan penyediaan benih dapat dilakukan melalui penumbuhan dan pemberdayaan penangkar-penangkar formal dan lokal yang berbasis komunal. Kebijakan perbaikan infrastruktur dan akses pasar dapat difokuskan pada perbaikan infrastruktur jalan dan pasar agar biaya transportasi bisa ditekan serta memberi petani lebih akses terhadap informasi pasar input dan output. Kebijakan permodalan dapat ditempuh melalui penyediaan kredit bersubsidi dengan proses yang sangat sederhana untuk mendorong petani dapat menggunakan input produksi lebih baik ataupun mendorong petani agar menjadi akses terhadap sumber-sumber permodalan formal yang ada. 107

V. OUTLOOK KOMODITAS KELAPA SAWIT Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis) merupakan tanaman penghasil utama minyak nabati berasal dari Afrika Barat yang mengalami perkembangan pesat di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan Malaysia. Budidaya tanaman kelapa sawit untuk tujuan komersial dimulai tahun 1911 dengan lokasi perkebunan kelapa sawit pertama di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan NAD dengan luas areal mencapai 5.123 ha. Perkembangannya kemudian mengalami pasang surut baik lahan maupun produksi dan produktivitasnya. Tahun 1957 setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia, pemerintah mengambil alih perkebunan dengan alasan politik dan keamanan. Perubahan menejemen dan kondisi sosial politik serta keamanan dalam negeri yang tidak kondusif menyebabkan produksi kelapa sawit mengalami penurunan. Pada era pemerintahan orde baru, pembangunan perkebunan digerakkan kembali dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menghasilkan devisa negara. Potensi komoditi kelapa sawit Indonesia dilihat dari sisi komparatif sebenarnya memiliki prospek yang baik, karena tanah, ketersediaan lahan, iklim serta cuaca yang cocok untuk budidaya komoditi ini. Itu sebabnya sejak tahun 1980, pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Luas lahan perkebunan mencapai 294.560 ha dengan produksi Crude Palm Oil (CPO) sebesar 721.172 ton. Sejak itu, lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia mengalami perkembangan pesat, terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang melaksanakan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (Pir bun) (Badrun, 2010). Periode 1999 2009, pertumbuhan luas areal tanaman kelapa sawit perkebunan besar negara relatif kecil, rata-rata hanya sekitar 1,73% per tahun. Sebaliknya pertumbuhan perkebunan rakyat mencapai rata- rata 12,01% per tahun dan pertumbuhan perkebunan besar swasta sekitar 5,04% per tahun. Selama dasawarsa terakhir perkebunan kelapa sawit mengalami pertumubuhan luar biasa. Luas areal perkebunan sawit di Indonesia didominasi Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan yang diusahakan oleh Perkebunan Rakyat. Menurut data FAO (2012) luas tanaman kelapa sawit di Indonesia menduduki peringkat pertama terluas didunia. Pada tahun 2014, luas lahan sawit Indonesia 108

telah mencapai 10,9 juta hektar. Status ini mendorong Indonesia terus melakukan pengembangan perkebunan kelapa sawit, dikarenakan antara lain: (1). Kebutuhan minyak nabati dunia cukup besar dan akan terus meningkat, sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk maupun peningkatan konsumsi per kapita. (2). Di antara berbagai jenis tanaman penghasil minyak nabati, kelapa sawit memiliki potensi produksi minyak tertinggi. (3). Semakin berkembangnya jenis-jenis industri hulu pabrik-pabrik kelapa sawit maupun industri hilir oleokimia dan oleomakanan (oleochemical dan oleofoods), hingga industri konversi minyak sawit sebagai bahan bakar biodiesel. Industri dan perkebunan kelapa sawit mampu memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan sosial secara signifikan di Indonesia. Kelapa sawit merupakan produk pertanian paling sukses kedua setelah padi. Komoditi ini juga merupakan komoditas ekspor pertanian terbesar. Industri kelapa sawit menjadi sarana memperoleh nafkah dan perkembangan ekonomi bagi sebagian besar masyarakat di pedesaan Indonesia dan masih akan terus berkembang. Kebutuhan minyak sawit dunia mengalami pertumbuhan pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir dengan produksi minyak sawit saat ini diperkirakan lebih dari 45 juta ton. Produksi minyak sawit dunia diperkirakan meningkat 32% menjadi hampir 60 juta ton menjelang 2020. Saat ini, Indonesia merupakan produsen, konsumen dan dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia. Industri dan perkebunan kelapa sawit memiliki peran yang cukup strategis, karena: (1) Minyak sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng, sehingga pasokan yang kontinyu ikut menjaga kestabilan harga dari minyak goreng tersebut. Kondisi ini penting sebab minyak goreng merupakan salah satu dari 9 (sembilan) bahan pokok kebutuhan masyarakat sehinga harganya harus terjangkau oleh seluruh lapisan masarakat. (2) Sebagai salah satu komoditas pertanian andalan ekspor non migas, kelapa sawit mempunyai prospek yang baik sebagai sumber perolehan devisa maupun pajak. (3) Dalam proses produksi maupun pengolahan industri, perkebunan kelapa sawit juga mampu menciptakan kesempatan kerja dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 109

5.1. Dinamika Pasar CPO Dunia 5.1.1. Produksi dan Konsumsi CPO Dunia Produksi CPO dunia mengalami lonjakan pertumbuhan yang cukup mengesankan dalam beberapa tahun terakhir, yakni dari 33,5 juta ton pada 2004 menjadi 42,6 juta ton pada 2008 dan menjadi 50,4 juta ton pada tahun 2012 atau tumbuh rata-rata 6,6 persen per tahun. Lonjakan pertumbuhan ini terutama disebabkan produksi CPO Indonesia yang meningkat 5,9 juta ton pada periode yang sama yakni dari 10,8 juta ton pada 2004 menjadi 17,5 juta ton pada 2008 dan menjadi 26,0 juta ton pada tahun 2012 atau bertumbuh rata-rata 6,65 persen per tahun. Produksi CPO dunia diperkirakan akan terus mengalami kenaikan, yakni mencapai 47,9 juta ton pada 2011 dan 50,4 juta ton pada 2012 yang dipicu oleh semakin meningkatnya permintaan India, Uni Eropa dan China sebagai konsumen CPO terbesar dunia (FAO dan diolah Pusdatin 2014). Permintaan minyak kelapa sawit dunia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, total volume perdagangan minyak nabati dunia mencapai 160 juta ton, dimana 48 juta ton (30 persen) diantaranya berasal dari minyak kelapa sawit, disusul oleh minyak kedelai (23 persen). Tingginya permintaan minyak kelapa sawit ini terjadi karena banyaknya produk yang dihasilkan dengan menggunakan bahan baku minyak kelapa sawit (Syaukat, 2010) di samping harga CPO yang jauh lebih murah hingga mencapai 200 USD/ton, dibandingkan dengan harga rapeseed oil (Tan et al., 2009). Konsumsi CPO dunia meningkat pesat dari 29,2 juta ton pada 2004 menjadi 43,3 juta ton pada 2008 dan menjadi 51,3 juta atau bertumbuh rata-rata 9,9 persen per tahun, jauh diatas pertumbuhan produksi yang hanya rata-rata 6,65 persen pertahun. Oil World memperkirakan konsumsi CPO dunia akan terus bertumbuh menjadi 49,1 juta ton pada 2011 dan 51,3 juta ton pada 2012, sejalan dengan meningkat pesatnya permintaan CPO di negara-negara konsumen khususnya China, India, dan Uni Eropa (USDA, 2009; 2010; Miranti, 2010). Perkembangan produksi dan konsumsi CPO dunia disajikan pada Tabel 5.1. Produksi CPO Indonesia tumbuh signifikan rata-rata 6,65 persen selama satu dasawarsa terakhir, yang didukung oleh pertumbuhan areal tanam rata-rata 6,45 110

persen per tahun. Pangsa produksi CPO Indonesia di pasar internasional senantiasa menunjukkan tren peningkatan. Total produksi Minyak Sawit (CPO dan CPKO) dunia pada 2012 sebesar 50,4 juta ton, di mana Indonesia dan Malaysia menguasai lebih dari 84 persen produksi minyak sawit dunia. Pangsa CPO Indonesia sebesar 47,0 persen sedangkan Malaysia sebesar 37,3 persen, sisanya sebesar 15,7 persen merupakan share sejumlah negara-negara lain. Tabel 5.1.Perkembangan Produksi dan Konsumsi CPO Dunia Tahun Kontribusi Negara Produsen Produksi Konsumsi Indonesia Malaysia Lainnya (juta ton) (juta ton) (%) (%) (%) 2004 33,5 29,2 40,6 45,4 14,0 2005 36,0 32,5 43,3 43,1 13,6 2006 37,3 35,5 44,5 41,0 14,5 2007 41,0 37,8 43,9 42,9 13,2 2008 42,8 42,6 44,3 40,9 14,8 2009 45,1 45,3 46,3 38,9 14,7 2010 47,1 47,5 47,0 38,2 14,8 2011 47,9 49,1 44,7 39,4 15,9 2012 50,4 51,3 47,0 37,3 15,7 2013 56,3 57,7 2014 59,2 59,1 Sumber : Miranti (2010) diolah. 5.1.2. Ekspor dan Impor Perkembangan volume ekspor kelapa sawit dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 23,52% (Pusdatin 1980-2013). Ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 2014 sebesar 23,6 juta metrik ton, meningkat 3,3 juta metrik ton dari tahun sebelumnya (meningkat 13,98 persen). Ekspor minyak kelapa sawit terdiri dari minyak sawit mentah (CPO) sebanyak 9,9 juta metrik ton (42%) dan minyak kernel olahan (PPO) sebanyak 13,7 metrik ton (58%). Namun, apabila dibandingkan dengan ekspor 2010, persentase minyak sawit olahan mengalami penurunan, di sisi lain persentase minyak sawit mentah telah meningkat. Pada 2010, ekspor minyak sawit olahan 46,19 persen dari ekspor total minyak sawit dan minyak sawit mentah 53,81 persen. Kondisi sebaliknya terjadi pada ekspor minyak kernel, di mana ada peningkatan ekspor minyak kernel yang telah diproses, sementara minyak kernel mentah menurun. Dari kedua jenis minyak sawit tersebut Indonesia mengekspor lebih banyak minyak mentah dibandingkan 111

dengan minyak olahan. Pangsa ekspor minyak sawit di Indonesia sebesar 92,07 persen sedangkan pangsa minyak kernel hanya 7,97 persen. Peningkatan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia didorong oleh kenaikan impor ke India, Uni Eropa dan China. India membeli separoh dari volume impor minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia. India telah melampaui China sebagai pembeli terbesar di dunia minyak sawit. Sumber: USDA, 2015 (diolah) Gambar 5.1. Perkembangan Ekspor dan Impor CPO Dunia, 2005-2014 Lonjakan Pertumbuhan ekspor dan impor kelapa sawit dunia terjadi pada tahun 2007 dengan laju pertumbuhan impor sebesar 13 persen sedangkan laju pertumbuhan ekspor adalah sebesar 14,4 persen. Namun laju pertumbuhan ekspor dan impor menunjukkan penurunan pada tahun 2013, hal ini sejalan dengan penurunan harga minyak fossil dunia. 5.1.3. Perkembangan Harga CPO Dunia Perkembangan harga CPO dunia dapat dilihat dari Gamba2 5.2. Terlihat bahwa selama periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2014 telah terjadi dua kali lonjakan harga CPO dunia. Lonjakan pertama terjadi pada tahun 2008, kemudian turun lagi sampai titik terendah pada tahun 2010. Harga CPO dunia kembali melonjak sampai pada posisi tertinggi pada tahun 2012 kemudian turun kembali pada tahun 2013. Setelah itu sejek tahun 2013 harga CPO dunia cenderung 112

melandai dan turun. Lonjakan harga CPO dunia cenedrung berkorelasi erat dengan lonjakan BBM dunia. Sumber: FAO, 2015 (diolah) Gambar 5.2. Perkembangan Harga CPO Dunia, 2005-2014 (US$/MT) 5.2. Dinamika Pasar Domestik 5.2.1 Luas Panen Pengembangan tanaman kelapa sawit di Indonesia masih terbuka lebar dan masih banyak lahan yang bisa ditanami. Beberapa faktor yang menjadi pembatas dalam pengembangan perkebunan sawit antara lain: (i) faktor iklim yaitu jumlah bulan kering yang berkisar 2-3 bulan/tahun yang menggambarkan penyebaran curah hujan yang tidak merata dalam setahun; (ii) topografi areal yang berbukitbergunung dengan kelerengan 25-40% (areal dengan kemiringan lereng diatas 40% tidak disarankan untuk pengembangan tanaman kelapa sawit); (iii) kedalaman efektif tanah yang dangkal, terutama pada daerah dengan jenis tanah yang memiliki kandungan batuan yang tinggi dan kondisi drainase kurang baik; (iv) lahan gambut; (v) drainase yang jelek pada dataran pasang surut, dataran aluvium dan lahan gambut; dan (vi) Potensi tanah sulfat masam pada daerah dataran pasang surut Kalau dilihat dari bentuk pengusahaannya, budidaya tanaman perkebunan dilaksanakan dalam bentuk usaha sebagai perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Yang dimaksud dengan usaha perkebunan rakyat (PR) ialah usaha budidaya tanaman perkebunan yang dilakukan oleh petani/pekebun pada tanah milik yang dimiliki oleh petani. Sedangkan yang dimaksud dengan usaha perkebunan besar ialah usaha budidaya tanaman perkebunan yang dilakukan oleh Badan Hukum 113

Indonesia diatas tanah Hak Guna Usaha (HGU). Kalau dilihat dari segi kepemilikan perkebunan besar digolongkan menjadi Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). PBS dapat dibagi lagi menjadi Perkebunan Besar Swasta Nasional dan Perkebunan Besar Swasta Asing. Perkembangan luas areal kelapa sawit selama 34 tahun (1980-2014) mengalami penambahan yang cukup signifikan yaitu dari 294.560 ha pada tahun 1980 menjadi 10.956.231 ha pada tahun 2014 atau rata-rata mengalami pertambahan luas areal sebesar 11,73% pertahun (Lampiran 1). Persentase ratarata penambahan luas areal sawit ini paling banyak terjadi di perkebunan rakyat, kemudian terjadi di perkebunan swasta dan perkebunan milik negara. Adapun masing-masing penambahan rata-rata dalam setahun adalah 25,54%; 14,90% dan 5,47%. Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah) Gambar 5.3. Tren Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia, 1980-2014 (Ha) Pada tahun 2014, luas areal kelapa sawit Indonesia 10,95 juta hektar yang terdiri dari perkebunan rakyat (PR) seluas 4,55 juta hektar (44%), perkebunan besar swasta (PBS) seluas 5,65 juta hektar (49%) dan perkebunan besar negara (PBN) seluas 0,74 juta hektar (7%). Perkembangan Luas Areal Kepala Sawit Indonesia periode 1980-2014 dapat dilihat pada Gambar 5.3. 114

5.2.2 Produksi Karakteristik produk kelapa sawit berupa tandan buah segar (TBS) bersifat cepat rusak (perishable) dan ruah (bulky) sehingga agribisnis produk ini harus terintegrasi secara vertikal antara usaha di bidang produksi dengan usaha dibidang pengolahan dan pemasaran hasil. Dengan karakteristik tersebut maka seyogyanya ada kerjasama antara petani sawit rakyat dengan perkebunan swasta atau pemerintah. Melalui kemitraan ini diharapkan kendala-kendala bersifat teknis (teknologi) maupun non teknis (finansial, manajemen) dapat diatasi dan menguntungkan kedua pihak yang bermitra baik petani sebagai pemasok TBS maupun perusahaan sebagai pembeli dan penghasil minyak sawit. Produksi TBS bulanan tidak rata sepanjang tahun, tetapi memiliki pola tertentu. Panen puncak umumnya berlangsung selama 2-3 bulan dengan produksi sekitar 12-13% dari produksi tahunan, sedangkan panen produksi rendah dapat mencapai sekitar 3-4% produksi tahunan. Distribusi produksi bulanan dapat bervariasi menurut lokasi dan umumnya produksi puncak terjadi pada sekitar bulan September, Oktober dan Desember. Sebaliknya bulan Januari merupakan bulan produksi terendah. Dalam kurun waktu 34 tahun produksi minyak sawit Indonesia mengalami pertumbuhan dari 721.172 ton pada tahun 1980 menjadi 29.344.479 ton pada tahun 2014 atau mengalami peningkatan sebesar 28.623.307 ton (Lampiran 2). Produksi minyak sawit paling banyak dihasilkan oleh perusahaan swasta, kemudian kelapa sawit rakyat dan sawit perusahaan milik negara. Dalam kurun waktu yang sama periode 1980-1984 merupakan periode yang paling tinggi pertumbuhan rata-rata produksi sawit milik rakyat dan negara. Sementara periode yang paling tinggi pertumbuhan sawit milik swasta terjadi pada periode tahun 1990-1994 dengan ratarata pertumbuhan pertahun sebesar 19,43%. Perkembangan pertumbuhan produksi minyak sawit milik negara pada periode tahun 1995-1999, dimana pada periode tersebut produksi minyak sawit perusahaan milik negara justru mengalami pengurangan dengan rata-rata 2.20 persen pertahun. Pada periode 2009-2013, Perkebunan besar swasta memberikan kontribusi sebesar 54,35 persen terhadap produksi kelapa sawit Indonesia, 115

sedangkan perkebunan rakyat menyumbang 36,80 persen dan perkebunan milik negara hanya menyumbang sebesar 8,8 persen. Secara grafis, tren perkembangan produksi minyak sawit Indonesia periode 1980-2014 disajikan pada Gambar 5.4. Sumber: Dirjen Perkebunan dan Pusdatin, 2015 (diolah) Gambar 5.4. Tren Perkembangan Produksi CPO di Indonesia, 1980-2014 (Ton) 5.2.3 Produktivitas Produktivitas kelapa sawit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor lingkungan, faktor genetik dan faktor teknik budidaya tanaman. Faktor lingkungan (enforce) yang mempengaruhi produktivitas kelapa sawit meliputi faktor abiotik (curah hujan, hari hujan, tanah, topografi) dan faktor biotik (gulma, hama, jumlah populasi tanaman/ha). Faktor genetik (innate) meliputi varietas bibit yang digunakan dan umur tanaman kelapa sawit. Faktor teknik budidaya (induce) meliputi pemupukan, konversi tanah dan air, pengendalian gulma, hama dan penyakit tanaman serta kegiatan pemeliharaan lainnya. Faktor-faktor tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain (Pahan. 2010). Produksi kelapa sawit rakyat saat ini rata-rata 13-14 ton TBS/ha dan produksi ini masih bisa ditingkatkan menjadi 18-20 ton TBS/ha. Untuk meningkatkan produktivitas ada lima faktor yang harus diperhatikan, (i) kecambah, petani belum mengetahui secara persis tentang pentingnya memilih bibit unggul dan bagaimana membuat pembibitan yang baik; (ii) tanah, persiapan lahan untuk mendukung pertumbuhan tanaman sawit tidak dilakukan sesuai petunjuk good agricultural practises (GAP). Land clearing tidak bersih, sering dengan cara pembakaran sehingga unsur hara terbakar dan lahan menjadi miskin hara serta mikroorganisme 116

yang bertugas untuk mempercepat proses pelapukan ikut terbakar dan mati; (iii) iklim yang cocok adalah curah hujan (1.500-2.500 mm/thn), bulan kering (< 3bln), suhu udara (22-23 0 c), kelembaban (80%), angin (sedang); (iv) harus melakukan pemeliharaan tanam seperti: pembersihan gawang, rawat LCC, wiping lalang, piringan, pemupukan dan pengendalian HPT; (v) teknik panen, umumnya petani memanen dengan cara diborongkan yang dikerjakan oleh pemborong yang kadang tidak sesuai dengan standariasi panen yang seharusnya. Dalam kurun waktu 19 tahun (1995-2013) produktivitas kelapa sawit rata-rata dalam satu hektar sebesar 3,334 ton atau mengalami rata-rata peningkatan produktivitas sebesar 0,57 persen per tahun (Tabel 5.2). Kalau kita lihat pertahunnya dalam masa 19 tahun tersebut ada 7 tahun produktvitas kelapa sawit mengalami penurunan, yaitu tahun 1996, 1999, 2000, 2001, 2004, 2008 dan 2011. Pertumbuhan negatif yang paling besar terjadi di tahun 2000, turun sebesar 11,28 persen dibandingkan tahun 1999. Sebaliknya produktivitas yang paling tinggi terjadi pada tahun 2006, yaitu meningkat sebesar 19,57 persen dibandingkan tahun 2005. Tabel 5.2 Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit Indonesia, 1995-2013 Tahun Produktivitas Kelapa Sawit Indonesia (Ton/Ha) Rakyat Negara Swasta Total 1995 1,52 3,99 1,94 2,21 1996 1,53 4,00 1,90 2,18 1997 1,58 3,07 1,62 1,86 1998 1,51 2,70 1,46 1,67 1999 1,49 2,55 1,51 1,65 2000 1,63 2,48 1,51 1,68 2001 1,79 2,49 1,60 1,78 2002 1,89 2,55 1,75 1,90 2003 1,90 2,64 1,87 1,98 2004 1,73 2,67 2,18 2,05 2005 1,91 2,74 2,30 2,17 2006 2,27 3,37 2,76 2,63 2007 2,31 3,49 2,70 2,61 2008 2,40 3,21 2,24 2,38 2009 2,46 3,18 2,34 2,45 2010 2,50 2,99 2,66 2,62 2011 2,34 3,02 2,69 2,57 2012 2,22 3,12 3,09 2,72 2013 2,30 2,95 2,90 2,65 Sumber : Dirjen Perkebunan, 2015 (diolah) 117

Menurut Kementerian Pertanian produktivitas kelapa sawit berbeda antara satu kelembagaan dengan kelembagaan lainnya. Produktivitas kelapa sawit perusahaan lokal 3,888 ton/ha, perusahaan milik asing 3,601 ton/ha, PTPN 3,872 ton/ha, lainnya 3,404 ton/ha atau rata-rata produktivitas kelapa sawit di Indonesia dalam satu hektar sebanyak 3,689 ton. Produktivitas Tanaman kelapa sawit Indonesia secara rata rata baru mencapai 3,7 ton CPO per hektar, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas di Malaysia yaitu 4,5 ton CPO per hektar. Adapun potensi produktivitas rata rata berdasrkan hasil penelitian Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) adalah sebesar 6,5 ton per hektar, sedangkan potensi maksmum adalah 8,4 ton CPO per hektar. Pada saat ini rata rata produktivitas di PT. Perkebunaan Nusantara IV adalah 5,26 ton CPO per herktar. Perbandingan produktivitas CPO Indonesia dan Malaysia disajikan pada Gambar 5.5. Sumber: PTPN IV, 2015 Gambar 5.5 Perbandingan produktivitas CPO Indonesia dan Malaysia, 1995-2013 Produksi CPO Indonesia masih bisa ditingkatkan karena produktivitas secara nasional baru mencapai 3,7 ton CPO/ha/tahun, sementara potensi produktivitasnya bisa mencapai 7-8 ton CPO/ha/tahun. Salah satu sebab rendahnya produktivitas karena banyak tanaman yang sudah tua (Kompas, 29/1/15) dan masih banyak petani belum menerapkan budidaya secara benar atau best management practices 118

kurang konsisten. Selain itu beberapa hal yang menjadi faktor penghambat produktivitas kelapa sawit antara lain: infrastruktur pendukung seperti jalan atau pelabuhan masih kurang, harga CPO yang fluktuatif dan belum berkembangnya indutri hilir. Dari aspek sosial ekonomi, permasalahan yang dirasakan antara lain: kurangnya akses atau pemakaian benih bersertifikat, kurangnya adopsi teknologi budidaya yang benar, kekurangan dana operasional, dan kurangnya koordinasi sehingga mempermudah terjadinya konflik sosial. 5.2.4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kelapa Sawit, 2005-2014 Selama 10 tahun terakhir perkembangan produksi dan konsumsi kelapa sawit Indonesia terus mengalami pertumbuhan. Berdasarkan Tabel 5.3, produksi minyak sawit Indonesia tahun 2015 sebesar 13,5 juta ton sementara jumlah konsumsi adalah 4,05 juta ton. Pertumbuhan produksi tertinggi terjadi pada periode tahun 2006 dan 2009 masing-masing sebesar 14,7 persen dan 13,9 persen. Sementara pertumbuhan konsumsi tertinggi terjadi pada tahun 2011, dimana konsumsi meningkat dari 5,494 juta ton menjadi 6,414 juta ton atau meningkat 16,7 persen. Tabel 5.3. Perbandingan Produksi dan Konsumsi CPO Indonesia, 2005-2014 Tahun Produksi Konsumsi (MT) (MT) 2005 13.560 4.055 2006 15.560 4.215 2007 16.600 4.445 2008 18.000 4.912 2009 20.500 4.905 2010 22.000 5.494 2011 23.600 6.414 2012 26.200 7.129 2013 28.500 7.852 2014 30.500 8.900 r (%/tahun) 9,46 9,24 Sumber: FAO, 2015 (diolah) 5.2.5. Perkembangan Harga Sawit Indonesia Harga CPO di Indonesia selama 10 tahun periode 20004 sd 2013 menunjukkan peningkatan yaitu dari 62,20 US$ per ton tahun 2004 menjadi 145,74 US$ per ton pada tahun atau meningkat dengan trend pertumbuhan 9 persen. 119

Lonjakan kenaikan harga tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu naik dari 58,66 US$?ton menjadi 91,92 US$ per ton dan meningkat dari US$ 103,90 US$ per ton menjadi US$ 150,59 US$ per ton atau masing masing naik dengan 29 dan 41 persen. Harga CPO mengalami penurunan pada tahun 2011 dan 2012, masing masing menurun menjadi 133.28 US$ pada tahun 2013, namun meningkat kembali menjadi 145,74 US $ per ton pada tahun 2014 (Tabel 5.4). Tabel 5.4. Perkembangan Harga CPO Indonesia, 2004-2013 Tahun Harga (US$/Ton) Pertumbuhan (%) 2004 62,2 2005 58,66-5,69 2006 75,72 29,08 2007 91,92 21,39 2008 102,98 12,03 2009 103,9 0,89 2010 150,59 44,94 2011 137,77-8,51 2012 133,28-3,26 2013 145,74 9,35 Sumber: FAO, 2015 (diolah) Perkembangan harga CPO di Malaysia, Rotterdan dan Indonesia menunjukkan dinamika fluktuasi yang seirama, walaupun harga ekspor CPO Indonesia mengalami dinamika yang fluktuatif dikarenakan pengaruh iklim pada jumlah CPO yang dapat di produksi. Situasi ini menunjukkan pasar CPO di pasar regional maupun internasional yang semakin terbuka dan informasi yang didapatkan pelaku usaha semakin simetris (Gambar 5.6). 120

Sumber:...? Gambar 5.6. Perbandingan Harga CPO Indonesia, Malaysia, dan Rotterdam, 2010-2015 5.2.6. Perkembangan Ekspor Kelapa Sawit di Indonesia Ekspor kelapa sawit Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun yaitu sebesar 9,6 juta ton pada tahun 2005 menjadi sebesar 21,719 juta ton pada tahun 2014 dengan rata rata peningkatan sebesar 5,7 persen per tahun. Lonjakan ekspor kelapa sawit Indonesia terjadi pada tahun 2006 dan 2008, masing masing dengan kenaikan sebesar 22 persen dan 14 persen (Tabel 5.5). Tabel 5.5. Perkembangan Ekspor CPO Indonesia, 2005-2014 Tahun Ekspor (MT) Pertumbuhan (%) 2005 9.621 2006 11.696 21,57 2007 11.419-2,37 2008 13.969 22,33 2009 15.964 14,28 2010 16.573 3,81 2011 16.423-0,91 2012 18.452 12,35 2013 20.373 10,41 2014 21.719 6,61 Sumber: FAO, 2015 (diolah) Ekspor sawit Indonesia adalah dalam bentuk minyak sawit serta turunanya. Perkembangan volume ekspor minyak sawit Indonea pada tahun 1980-2013 121

cenderung terus meningkat dengan rata rata pertumbuhan sebesar 23,52% per tahun. Negara tujuan ekspor sawit Indonesia yang terbesar adalah India, diikuti oleh Netherland, Italy dan Jepang. Namun volume dan nilai ekspor CPO Indonesia ke India selama periode 2010-2014 menunjukkan penurunan (Gambar 5.7) Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2014 Gambar 5.7. Negara Tujuan Ekspor Minyak Sawit Indonesia, 2014 Indonesia dan Malaysia merupakan negara produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia. Sejak tahun 2011, ekspor minyak sawit Indonesia telah lebih besar dibandingkan ekspor minyak sawit Malaysia. Pada tahun 2015, ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 23,5 juta ton sementara ekspor minyak sawit Malaysia mencapai 18 juta ton (Gambar 5.8). Indonesia dan Malaysia juga bersaing dalam mengekspor produk turunan sawit lainnya. Indonesia, 2015: 23.500.000 Ton Malaysia, 2015: 18.000.000 Ton Sumber: USDA, 2015 (diolah) Gambar 5.8. Ekspor Minyak Sawit Indonesia dan Malaysia, 2000-2015 122

5.2.7. Perkembangan Impor Kelapa Sawit di Indonesia Indonesia walaupun sebagai negara eksportir terbesar kelapa sawit, tetap juga melakukan impor, walaupun dalam jumlah yang relatif kecil jika dibandingkan dengan volume ekspornya. Impor CPO Indonesia pada tahun 2005 hanya 19 ton dan meningkat menjadi 38 ton pada tahun 2013. Impor CPO Indonesia turun menjadi 1 ton pada tahun 2012, dan meningkat kembali menjadi 49 ton tahun 2013 (Tabel 5.6). Tabel 5.6. Perkembangan Impor Sawit Indonesia, 2005-2014 Tahun Impor (MT) 2005 19 2006 40 2007 3 2008 7 2009 21 2010 49 2011 23 2012 1 2013 38 2014 27 Sumber: FAO, 2015 (diolah) 5.2.8. Sentra Produksi Sawit Indonesia Sentra produksi kelapa sawit Indonesia terutama berasal dari 6 (enam) provinsi sentra produksi yang memberikan kontribusi sebesar 75,26% terhadap total produksi kelapa sawit Indonesia yang rata-rata produksinya (2009 2013) mencapai mencapai 23,6 juta ton per tahun. Provinsi Riau dan Sumatera Utara merupakan Provinsi sentra produksi terbesar di Indonesia dengan kontribusi 26,31% dan 16,05%. Peringkat berikutnya berturut-turut adalah Provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Jambi dan Kalimantan Barat dengan kontribusi masing-masing sebesar 10,02%, 10,00%, 7,12%, dan 5,77%. Secara rinci rata-rata produksi kelapa sawit per provinsi tahun 2009-2013, dapat dilihat pada Tabel 5.7. 123

Tabel 5.7. Produksi CPO di Provinsi Sentra Produksi di Indonesia, 2009 2013 N0. Provinsi Rata-rata Produksi (Ton) Share (%) Komulatif (%) 1 Riau 6.215.765 26,31 26,31 2 Sumatera Utara 3.791.391 16,05 42,36 3 Kalimantan Tengah 2.366.264 10,02 52,37 4 Sumatera Selatan 2.361.730 10,00 62,37 5 Jambi 1.682.047 7,12 69,49 6 Kalimantan Barat 1.362.432 5,77 75,26 7 Lainya 5.845.467 24,74 100,00 Indonesia 23.625.098 100 Sumber : Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2014 Taher et al, (2000), telah mengidentifikasi ketersediaan lahan untuk perluasan kelapa sawit mencapai 2,96 juta hektar, secara rinci ketersediaan lahan untuk perluasan kelapa sawit tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.8. Tabel 5.8. Ketersediaan lahan untuk perluasan kelapa sawit di Indonesia No. Propinsi Luas lahan (000 ha) 1 Jambi 50 2 Kalimantan Tengah 310 3 Kalimantan Timur 370 4 Sulawesi Selatan 130 5 Sulawesi Tengah 200 6 Papua Barat 2.000 Total 2.960 Sumber : Taher, et al. 2000 5.2.9. Minyak Sawit sebagai Komoditas Strategis Minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling tinggi kandungan minyaknya, dibandingkan dengan minyak lainnya. Produktivitas minyak sawit dunia mencapai 4,28 ton per hektar per tahun, sedangkan canola, rapeseed dan kedele masing masing adalah 0,66; 0,43 dan 0,41 ton per hektar per tahun (Gambar 5.9). Anugrah Tuhan, akan keunggulan kelapa sawit sering kali justru menjadikan sawit sebagai target kampanye negatif dalam persaingan perdagangan minyak nabati. 124

Sumber: Oil World (2009) Gambar 5.9. Perbandingan Produktivitas Minyak Nabati, 2009 Indonesia merupakan negara produsen utama penghasil kelapa sawit dunia sekaligus merupakan eksportir terbesar, hal ini direpresentasikan dari luas areal kebun sawit Indonesia pada tahun 2013 sebesar 9,15 juta ha atau 61 persen dari total luas areal kebun sawit dunia. Produksi CPO sebesar 26 juta MT atau 47 persen dari total produksi CPO dunia. Produksi CPO tersebut 77 persennya diperuntukkan untuk konsumsi ekspor dengan menghasilkan devisa sekitar 21 milyar US$. Perkembangan ekspor kelapa sawit Indonesia terus mengalami kenaikan dari 16,938 MT pada tahun 2009 menjadi 20,500 MT pada tahun 2013. 5.2.10. Peningkatan Nilai Tambah Dilihat dari nilai tambah bisnis, industri pengolahan CPO menjadi salah satu industri yang prospektif untuk dikembangkan ke depan. Selain untuk industri minyak makanan dan industri oleokimia, kelapa sawit dapat juga menjadi sumber energi alternatif. Kementerian Pertanian mencatat bahwa pada saat ini, konsumsi minyak sawit domestik mencapai 50-60 persen dari produksi. Sebagian besar penggunaannya, hampir 85 persen, untuk pangan sedangkan untuk industri oleokomia hanya sekitar 125