Jurnal Penelitian Teknik Elektro dan Teknologi Informasi SIMULASI DISTRIBUSI TEGANGAN PETIR DI JARINGAN DISTRIBUSI TEGANGAN MENENGAH 20 KV PENYULANG KENTUNGAN 2 YOGYAKARTA Chandra Fadlilah 1, T. Haryono 2, Suharyanto 2 Abstract In an electrical power system having a voltage of less than 20 kv, lightning surge is more dominant factor causing a transient over voltage more than the switching surge. Because of that, the knowledge of lightning strike effect occurring in 20 kv medium voltage distribution line is a very important thing so that the lightning strike effect can be anticipated to avoid the damage on distribution line equipment. In this research, a lightning strike simulation were done on Yogyakarta s Kentungan 2 feeder. The results show that a lightning strike occuring in one phase created a transient over voltage having the peak value of two times the lightning peak voltage s generated. In the other side, the magnitude of transient over voltage occuring in the other phases were 1%-76% smaller than the lightning peak voltage. Furthermore, the changes of peak voltage, front time, and tail time of the lightning impulse affected the transient over voltage values. Intisari Surja Petir merupakan faktor yang lebih dominan dalam menimbulkan tegangan lebih transien pada jaringan tenaga listrik dengan tingkat tegangan di bawah 20 kv, dibandingkan dengan faktor Surja Hubung. Oleh karena itu, pemahaman tentang pengaruh sambaran petir yang terjadi di jaringan distribusi tegangan menengah 20 kv sangat diperlukan agar efek sambaran petir bisa diantisipasi sehingga peralatan dan komponen yang ada di jaringan ditribusi tersebut tidak rusak. Pada penelitian ini, dilakukan simulasi sambaran petir terhadap jaringan distribusi tegangan menengah 20 kv penyulang Kentungan 2 Yogyakarta. Hasil simulasi menunjukkan bahwa sambaran petir yang terjadi di salah satu fasa menimbulkan tegangan lebih yang nilainya mencapai 2 kali tegangan puncak petir itu. Di fasa yang tidak tersambar muncul tegangan lebih yang nilainya 1%-76% lebih kecil dari tegangan puncak petir. Perubahan nilai tegangan puncak petir, waktu muka dan waktu ekor gelombang impuls petir berpengaruh pada tegangan lebih yang dihasilkan. Kata Kunci Surja petir, jaringan distribusi, transien, ATP, parameter gelombang impuls. 1 Mahasiswa, Universitas Gadjah Mada, Jln. Kaliurang km 8, Gang Harjuna 6 Sleman 55581 INDONESIA(telp: 08564098495; e-mail: chandrafadlilah@gmail.com) 2 Dosen, Jurusan Teknik Elektro dan Teknnologi Informasi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Jln. Grafika 2 Yogyakarta 55281 INDONESIA (telp: 0274-6492201; fax: 0274-55205) I. PENDAHULUAN Daerah dengan lingkungan yang lembab seperti di Indonesia ini, kemungkinan terjadinya sambaran petir sangatlah tinggi. Seiring dengan tingginya curah hujan, semakin tinggi pula intensitas sambaran petir yang terjadi. Hal ini disebabkan karena hujan akan membuat udara menjadi lembab dan petir akan semakin mudah menyambar bumi. Tercatat bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah hari guruh terbanyak di dunia yaitu mencapai 180-260 hari guruh per tahun.oleh karena itu gangguan terhadap jaringan tenaga listrik akibat sambaran petir atau yang disebut dengan surja petir, juga banyak terjadi [1]. Surja petir merupakan faktor yang lebih dominan dalam menimbulkan tegangan lebih transien pada jaringan tenaga listrik dengan tingkat tegangan di bawah 20 kv, dibandingkan dengan faktor surja hubung. Sedangkan pada tingkat tegangan 20 kv ke atas, surja hubung merupakan faktor yang lebih dominan dalam menimbulkan tegangan lebih transien dibandingkan dengan faktor surja petir [2]. Maka penelitian mengenai tegangan lebih transien akibat sambaran petir yang terjadi di sepanjang saluran distribusi tegangan menengah 20 kv sangat diperlukan untuk mengetahui profil dan karakteristik tegangan lebih tersebut. Karena informasi mengenai profil dan karakteristik tegangan lebih transien yang terjadi pada suatu jaringan tenaga listrik diperlukan sekali dalam perencanaan koordinasi isolasi dan sistem proteksi []. Dalam penelitian ini distribusi tegangan surja petir yang terjadi di penyulang Kentungan 2 diamati ketika terjadi sambaran petir. Hal ini dapat digunakan untuk bahan pertimbangan dalam merencanakan peralatan perlindungan terhadap kerusakan peralatan karena sambaaran petir. II. DASAR TEORI A. Petir Muatan awan bawah yang negatif akan menginduksi permukaan tanah menjadi positif sehingga terbentuklah medan listrik antara awan dan tanah (permukaan bumi). Semakin besar muatan yang terdapat di awan, semakin besar pula medan listrik Volume 1 Nomor 1, April 2014 1
Artikel Reguler yang terjadi dan bila kuat medan listrik tersebut telah melebihi kemampuan isolasi udara antara awan dan tanah, maka akan terjadi pelepasan muatan listrik. Peristiwa inilah yang disebut dengan petir [4]. Secara lebih detil, proses sambaran petir digambarkan seperti Gambar 1. Gambar 1.Proses terjadinya petir B. Jaringan Distribusi Sistem Distribusi Tegangan Menengah mempunyai tegangan kerja di atas 1 kv dan setinggi-tingginya 5 kv. Jaringan distribusi Tegangan Menengah berawal dari Gardu Induk/Pusat Listrik pada sistem terpisah/isolated. Pada beberapa tempat berawal dari pembangkit listrik. Bentuk jaringan dapat berbentuk radial atau tertutup (radial open loop) seperti tampak padagambar 2. Gambar 2. Konsep umum sisten tenaga listrik [5] C. Teori Tega ngan Lebih Dalam pengoperasian sistem tenaga listrik perlu mendapat perhatian lebih mengenai proteksi terhadap tegangan lebih [6].Magnitude tegangan lebih tersebut di atas sangat berpengaruh terhadap ketahanan bahan isolasi pada peralatan sistem tenaga listrik. 1) Surja Petir : Surja Petir adalah gejala tegangan lebih transien yang disebabkan oleh sambaran petir baik secara langsung maupun tidak langsung yang terjadi pada sebuah rangkaian listrik. Bentuk gelombang Surja Petir dapat didefinisikan sebagai sebuah tegangan impuls yaitu, tegangan yang naik dalam waktu yang sangat singkat disusul dengan penurunan ke nilai tegangan nol yang lambat. Bentuk gelombang Surja Petir seperti tampak pada Gambar. Gambar. Bentuk gelombang impuls petir Menurut Gambar ini, Vs adalah tegangan puncak (volt), V adalah tegangan overshoot (lebih) yang nilainya kurang lebih 5% dari tegangan puncak (volt), Tf adalah waktu muka yang dalam hal ini bernilai 1,2 µs dan Tt adalah waktu ekor yang bernilai 50 µs. 2) Gelombang Berjalan: Gelombang tegangan bergerak maju secara gradual ke ujung saluran dengan menimbulkan gelombang arus ekivalen juga akibat dari proses pemuatan-peluahan (charge-discharge) komponen kapasitans dan induktans yang ada pada saluran distribusi. Propagasi gelombang tegangan dan arus ini disebut gelombang berjalan (traveling wave) dan gelombang ini kelihatan seolah-olah tegangan dan arus berjalan sepanjang saluran. Propagasi gelombang berjalan bergantung pada impedans karakteristik saluran yang nilainya dapat dihitung dengan persamaan (1). Z c = L C (1) denganzc adalah impedans surja atau karakteristik (ohm), L adalah induktans saluran (H/m), dan C adalah kapasitans saluran (F/m) ) Gelombang Pantul: Jika suatu saluran distribusi tersambar petir pada salah satu ujungnya, maka suatu gelombang tegangan V + R mulai berjalan sepanjang saluran kemudian diikuti oleh suatu gelombang arus I + R. Dengan adanya resistansi penutup Z R akan menimbulkan gelombang-gelombang yang berjalan ke belakang atau gelombang-gelombang pantulan yang - nilainya di ujung adalah V R dan I - R. Persamaan(2) menunjukkan ρ R sebagai perbandingan amplitudo gelombang pantul terhadap gelombang datang yang disebut dengan koefisien pantul. Dengan menghitung nilai koefisien pantul menggunakan persamaan(), maka nilai amplitudo gelombang pantul bisa dihitung. Kemudian, nilai amplitudo gelombang yang ditimbulkan di sisi penerima merupakan penjumlahan amplitudo gelombang datang dan gelombang pantul seperti persamaan(4). V = ρ R. V + (2) ρ R = Z R Z c Z R + Z c () V = V + + V (4) 2 Volume 1 Nomor 1, April 2014
Jurnal Penelitian Teknik Elektro dan Teknologi Informasi dengan V - adalah amplitude gelombang pantul (volt), V + adalah amplitude gelombang datang (volt), ρ R adalah koefisien gelombang pantul, Z R adalah impedans penutup sisi penerima (ohm), dan Z C adalah impedans karakteristik atau surja(ohm). D. Parameter Saluran 1) Resistans :Jika tidak ada keterangan lain, maka yang dimaksud dengan istilah resistans adalah resistans efektif. Resistan efektif sebuah penghantar adalah sama dengan resistans arus searah (DC) pada penghantar tersebut jika terdapat distribusi arus yang merata di seluruh penghantar. Resistans DC diberikan oleh persamaan. Resistans dari suatu penghantar saluran tenaga listrik adalah penyebab yang utama untuk rugi-rugi daya pada saluran tersebut. 2) Induktans :Suatu penghantar yang dialiri arus listrik akan menghasilkan fluks gandeng (flus linkages) per satuan arus saluran sepanjang penghantar tersebut. Di sisi lain, sebuah penghantar juga bersifat layaknya sebuah induktor karena bentuknya yang berserat. Nilai induktans saluran bisa dihitung dengan persamaan(5) dengan nilai jarak ekivalen yang bisa dihitung dengan persamaan(6). d eq = d 1 d 2 d (5) L = 2 x10 7 ln ( d eq d s ) (6) Dengan d eq adalah nilai jarak ekivalen (m), d 1 d 2 dan d adalah jarak antar penghantar (m), dan L adalah indukatns saluran (H/m) ) Kapasitans : Suatu penghantar pada saluran tenaga listrik mempunyai beda potensial antara penghantar yang satu dengan penghantar yang lainnya. Apabila dua buah penghantar yang mempunyai beda potensial dan dipisahkan oleh suatu ruang bebas atau bahan dielektrik, maka akan menghasilkan muatan kapasitif di antara kedua penghantar tersebut yang nilainya biasa dihitung dengan persamaan(7). C = 2πk ln ( d eq ) (7) r dengan C adalah kapasitansi saluran (F/m), k adalah permitivitas bahan dielektrik (8,855x10-12 ), d eq adalah nilai jarak ekivalen (m), dan r adalah jari-jari penghantar (m) E. Analysis Transients Program Analisis mengenai tegangan lebih transien secara numeris merupakan permasalahan yang sangat rumit. Untuk itu, digunakan ATP (Analysis Transients Program) untuk mensimulasikan kondisi transien tersebut, karena ATP sangat baik digunakan untuk analisis tegangan lebih transien yang diakibatkan oleh surja hubung dan surja petir. ATP menyediakan fasilitas pemodelan yang cukup lengkap seperti, pemodelan generator, pemutus tenaga, arrester, sumber surja hubung maupun petir, serta pemodelan untuk saluran tenaga listrik [7]. III. METODE PENELITIAN Permasalahan yang dikaji pada penelitian ini adalah mengenai distribusi tegangan lebih transien yang terjadi pada jaringan distribusi tegangan menengah 20 kv penyulang Kentungan 2 Yogyakarta, yang memiliki panjang kurang lebih 17, kms, pada saat terjadi sambaran petir pada saluran tersebut. Untuk itu dilakukan simulasi terhadap jaringan distribusi tegangan menengah 20 kv penyulang Kentungan 2 Yogyakarta dengan menggunakan ATP. Diawali dengan memodelkan saluran tersebut menjadi rangkaian ekivalen seperti Gambar 4 Gambar 4. Rangkaian ekivalen jaringan tegangan menengah 20 kv penyulang Kentungan 2 Yogyakarta Dari gambar tersebut, satu unit LCC mewakili saluran distribusi 20 kv fasa 4 kawat dengan panjang yang berbeda-beda, yaitu: 1. Antara A dan B panjangnya 2,44 km 2. Antara B dan C panjangnya 0,90 km. Antara C dan D panjangnya 1,0 km 4. Antara D dan E panjangnya 0,65 km 5. Antara E dan F panjangnya 0,20 km 6. Antara F dan G panjangnya 2,00 km 7. Antara B dan H panjangnya 0,10 km 8. Antara C dan I panjangnya 2,44 km 9. Antara D dan J panjangnya 2,44 km 10. Antara E dan K panjangnya 2,44 km 11. Antara F dan L panjangnya 2,44 km Kemudian dilanjutkan dengan simulasi dengan memvariasikan lokasi sambaran, tegangan puncak, waktu muka dan waktu ekor gelombang impuls petir. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui diagram alir Volume 1 Nomor 1, April 2014
Artikel Reguler pada Gambar 5 Gambar 6. Konfigurasi kawat jaringan distribusi fasa 4 kawat tampak depan yang terpisah jarak d 1, d 2, dan d Jaringan distibusi tegangan menengah 20 kv penyulang Kentungan 2 menggunakan kawat dengan spesifikasi: luas penamp. : 240 mm2 GMR : 6.628 mm = 0.6628 cm (Sabdulah,2005) diameter : 20 mm = 2 cm jari-jari : 10 mm = 1 cm d1, d2 : 84.8 cm d : 111.6 cm maka nilai induktansi dan kapasitansinya adalah, d eq = d 1 d 2 d d eq = 84.88 x 84.88 x 111.6 d eq = 92.624 cm d s = 0.6628 cm Gambar 5.Diagram alir penelitian IV. HASIL PEMBAHASAN Pada kenyataannya petir tidak bisa diprediksi.petir bisa menyambar dimana saja dan dengan spesifikasi gelombang impuls yang sangat bervariasi. Oleh karena itu, pada penelitian ini, akan disimulasikan berbagai kondisi yang mungkin terjadi. A. Variasi Lokasi Sambaran Variable yang divariasikan pertama adalah lokasi sambaran petir. Dilakukan simulasi sambaran petir di setiap titik yang sudah didefinisikan sebelumnya yaitu titik A hingga L. Hingga diperoleh hasil nilai tegangan lebih surja petir di seluruh titik pengukuran (A hingga L). Sebagai bahan untuk perhitungan, diambil sebuah nilai yaitu ketika petir menyambar fasa C di titik B. Kemudian dilakukan pengukuran tegangan lebih fasa C di titik A. Dari hasil simulasi dengan ATP diperoleh nilai tegangan lebih surja petir yang timbul sebesar 67048 V. Nilai tersebut bisa dihitung dengan teori gelombang berjalan dan gelombang pantul maka harus menghitung nilai indutansi dan kapasitansi saluran terlebih dahulu. Nilai induktansi dan kapasitansi saluran bisa kita hitung jika kita tahu nilai d1, d2, dan d pada Gambar 6 L = 2 x10 7 ln ( d eq d s ) L = 2 x10 7 ln ( 92.624 0.6628 ) L = 9.881 x10 7 H m C = 2πk ln ( d eq r ) 2 xπx 8.85 x10 12 C = ln ( 92.624 ) 1 C = 12.279 x10 12 F m Setelah diketahui nilai induktans dan kapasitans saluran, maka bisa dihitung nilai impedans karakteristiknya (Zc). Z c = L C = 9.881 x10 7 12.279 x10 12 Z c = 28.676 Ω Nilai koefisien pantul di ujung penerima bisa dihitung dengan persamaan 2.6, dengan asumsi nilai impedans di ujung penerima adalah impedans standar (default) yang diberikan oleh ATP sama yaitu 500 Ω, maka Karena maka ρ R = Z R Z c Z R + Z c 500 28.676 ρ R = 500 + 28.676 ρ R = 0.89262 V = ρ R. V + 4 Volume 1 Nomor 1, April 2014
Jurnal Penelitian Teknik Elektro dan Teknologi Informasi V = 0.89262 x 5 kv V = 1.251805 kv sehingga tegangan di ujung penerima, dalam hal ini adalah fasa C di titik A, adalah V = V + + V V = 5 + 1.251805 V = 66.251805 kv Jika dibandingkan dengan hasil simulasi dengan ATP yang bernilai 67.048 kv maka error yang terjadi sebesar 67.048 66.251805 error = x100% 67.048 error = 1.1875% Hasil lain yang diperoleh yaitu lokasi sambaran petir yang menghasilkan tegangan lebih surja petir yang paling tinggi di tiap fasanya seperti yang tampak pada Tabel 1. TABEL 1.LOKASI SAMBARAN PETIR DENGAN TEGANGAN LEBIH SURJA PETIR TERTINGGI DI TIAP FASA Gelombang Impuls Petir Lokasi Sambaran Lokasi Pengukuran Vp fasa A (volt) Vp fasa B (volt) Vp fasa C (volt) E K 1875 1,2x50 µs F L 491 5000 volt C A 765 Disisi lain, fasa A dan B akan mengalami tegangan lebih yang disebabkan oleh induksi elektromagnetik, kopling kapasitif, dan beberapa faktor lain. Induksi elektromagnetik disebabkan oleh adanya arus yang mengalir di fasa C akibat sambaran petir, Ketika ada arus mengalir pada sebuah penghantar, maka akan timbul fluks magnet dan menginduksi penghantar lain di dekatnya. Sedangkan kopling kapasitif disebabkan oleh timbulnya kapasitansi karena adanya perbedaan tegangan antara dua penghantar (antar fasa) yang terpisah oleh udara (bahan dielektrik) atau bisa disebut dengan stray capacitors. B. Variasi Tegangan Puncak Gelombang Impuls Petir Variabel kedua yang divariasikan dalam simulasi ini adalah tegangan puncak gelombang impuls petir.tidak semua lokasi sambaran disimulasikan lagi dengan tegangan puncak gelombang impuls petir yang berbeda. Dari hasil simulasi dengan variasi lokasi sambaran sebelumnya diperoleh lokasi sambaran dengan nilai tegangan lebih surja petir yang paling tinggi di setiap fasanya seperti yang ditunjukkan Tabel 1.Hasilnya bisa dilihat pada Gambar 7 Gambar 7. Grafik pengaruh perubahan tegangan puncak petir terhadap tegangan lebih surja petir Hasilnya menunjukkan bahwa kenaikan tegangan puncak gelombang impuls petir akan menyebabkan kenaikan tegangan lebih surja petir yang bersifat linear. Hal ini disebabkan karena jaringan dalam kondisi tidak bertegangan sehingga ketika tegangan puncak sambaran petir naik, tegangan lebih juga akan meningkat. Kondisi ini berlaku untuk semua kondisi dan lokasi baik untuk sambaran langsung maupun tidak langsung (tegangan lebih surja petir akibat induksi). Standard PT. PLN menyebutkan bahwa BIL untuk trafo distribusi adalah 125 kv, maka sistem proteksi petir untuk jaringan distribusi tegangan menengah 20 kv harus mampu mengatasi sambaran petir langsung dengan tegangan puncak 70 kv (menimbulkan tegangan lebih sebesar 146 kv) dan sambaran petir tidak langsung dengantegangan puncak 140 kv (menimbulkan tegangan lebih sebesar 127-19 kv). Karena tegangan lebih surja petir yang timbul dari hasil simulasi menunjukkan nilai yang melebihi BIL. C. Variasi Waktu Muka Masih dengan asumsi yang sama, yaitu menggunakan lokasi dimana diperoleh nilai tegangan lebih surja petir yang tertinggi di tiap fasanya, maka dilakukan simulasi selanjutnya dengan memvariasikan nilai waktu muka gelombang impuls petir. Waktu muka divariasikan dengan nilai mulai dari 0,5-0 µs. Sedangkan waktu ekor tetap sesuai dengan standar IEC yaitu 50 µs (Arismunandar, 2001). Hasil simulasi, digambarkan dalam bentuk grafik seperti di tunjukkan pada Gambar 8 Gambar 8. Grafik pengaruh perubahan waktu muka gelombang impuls petir terhadap tegangan lebih surja petir Hasilnya menunjukkan bahwa Kenaikan waktu muka dimulai dari 10 µs akan menurunkan tegangan lebih surja petir yang timbul, sebelum itu kenaikan waktu muka akan meningkatkan tegangan lebih surja petir yang timbul.hal ini disebabkan karena waktu muka yang singkat membuat osilasi yang terjadi belum maksimal. Sedangkan ketika waktu mukalebih besar dari 10 µs, membuat gelombang impuls secara keseluruha akan semakin landai sehingga osilasi yang terjadi juga tidak maksimal. D. Variasi Waktu Ekor Variable terakhir yang divariasikan dalam tugas akhir ini adalah waktu ekor gelombang impuls petir. Waktu ekor gelombang impuls petir divariasikan dari 25 µs-10 ms. Dengan nilai waktu muka tetap sesuai Volume 1 Nomor 1, April 2014 5
Artikel Reguler standar IEC yaitu 1,2 µs.skenario yang digunakan pada simulasi ini juga masih sama yaitumenggunakan lokasi dimana diperoleh nilai tegangan lebih surja petir yang tertinggi di tiap fasanya. Hasilnya ditampilkan melalui grafik garis pada Gambar 9. Gambar 9. Grafik pengaruh perubahan waktu ekor gelombang impuls petir terhadap tegangan lebih surja petir Hasilnya menunjukkan bahwa perubahan nilai tegangan lebih surja petir sebanding dengan perubahan waktu ekor gelombang impuls petir.semakin besar nilai waktu ekor gelombang impuls petir menyebabkan nilai tegangan lebih surja petir juga meningkat.hal ini disebabkan karena waktu ekor yang panjang akan menghasilkan osilasi yang lama sehingga amplitude puncaknya akan lebih besar. Layaknya memberikan kesempatan lebih lama untuk gelombang impuls petir membentuk osilasi.kondisi ini terjadi pada semua fasa baik A, B, maupun C. V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan yang bisa diperoleh dari penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Sambaran petir pada jaringan distribusi tegangan menengah 20 kv baik secara langsung maupun tidak langsung, akan menimbulkan tegangan lebih surja petir di sepanjang saluran tersebut. 2. Tegangan lebih surja petir paling tinggi yang timbul di fasa A terjadi di titik K ketika petir menyambar titik E yaitu 1875 V, di fasa B terjadi di titik L ketika petir menyambar titik F yaitu 491 V, dan di fasa C terjadi di titik A ketika petir meynabar titik C yaitu 765 V.. Kenaikan tegangan puncak gelombang impuls petir akan meningkatkan tegangan lebih surja petir secara linear. Hal ini disebabkan karena jaringan dalam kondisi tidak bertegangan sehingga ketika tegangan puncak sambaran petir naik, tegangan lebih juga akan meningkat. 4. Kenaikan waktu muka dimulai dari 10 µs akan menurunkan tegangan lebih surja petir yang timbul, sebelum itu kenaikan waktu muka akan meningkatkan tegangan lebih surja petir yang timbul. Hal ini disebabkan karena waktu muka yang singkat membuat osilasi yang terjadi belum maksimal. Sedangkan ketika waktu mukalebih besar dari 10 µs, membuat gelombang impuls secara keseluruha akan semakin landai sehingga osilasi yang terjadi juga tidak maksimal. 5. Semakin lama waktu ekor sebuah gelombang impuls petir, akan meningkatkan tegangan lebih surja petir yang timbul. Hal ini disebabkan karena waktu ekor yang panjang akan menghasilkan osilasi yang lama sehingga amplitude puncaknya akan lebih besar. B. Saran Beberapa saran yang bisa penulis sampaikan berdasarkan penelitian ini adalah: 1. Ada jenis konfigurasi jaringan distribusi lain yang ada di Indonesia seperti konfigurasi loop yang mempunyai karakteristik yang berbeda sehingga tegangan lebih surja petir yang timbul juga akan berbeda. 2. Selain jenis jaringan distribusi fasa 4 kawat, masih ada jenis fasa kawat yang akan mengasilkan karakteristik tegangan lebih surja petir yang berbeda pula. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada laboran Lab. Teknik Tenaga Listrik dan Teknik Tegangan Tinggi yang telah mempersilakan penulis untuk belajardi Lab. Teknik Tenaga Listrik dan Teknik Tegangan Tinggi. REFERENSI [1] Hermawan, A. D. (2010). Optimalisasi Sistem Penangkal Petir Eksternal Menggunakan Jenis Early Streamer (Studi Kasus UPT LAGG BPPT). Jakarta: Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia. [2] Stevenson, W. D. (1990). Analisis Sistem Tenaga Listrik. Jakarta: Penerbit Erlangga. [] Yuniarto. (2002). Analisis Tegangan Lebih Transien Karena Proses Pemberian Tenaga Pada Saluran Transmisi 500 kv Dengan Menggunakan EMTP. Semarang: Program Studi Diploma III Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. [4] BMKG, B. M. (2010). Petir. Retrieved Oktober 12, 201, from Badan Meteorolodi, Klimatologi dan Geofisika: http://www.bmkg.go.id/rbmkg_wilayah_10/geofisika/petir.bmkg [5] PT PLN, P. (2010). Buku 1 Kriteria Disain Enjinering Konstruksi Jaringan Distribusi Tenaga Listrik. Jakarta: PT PLN (Persero). [6] Arismunandar, A. (2001). Teknik Tegangan Tinggi. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. [7] Herman W., a. D. (1996). Electromagnetic Transient Program. Vancouver, Canada.. 6 Volume 1 Nomor 1, April 2014