TUGAS ILMUWAN POLITIK DALAM PENGAWALAN POTENSI RESIKO JELANG PEMILUKADA 2015 Oleh : Tedi Erviantono (Dosen Prodi Ilmu Politik FISIP Universitas Udayana) Disampaikan dalam Munas Forum Dekan FISIP se Indonesia ke V Tahun 2015 I. PENDAHULUAN Hajatan Pemilukada serentak akan digelar 9 Desember 2015 mendatang. Setidaknya hingga empat tahun ke depan pemilukada serentak di negeri ini senantiasa berkelanjutan. Tercatat tahun 2015 ini, terdapat pemilihan atas 269 kepala daerah dengan rincian, 9 pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati dan 36 pemilihan walikota. Februari 2017 terdapat pemilihan 101 kepala daerah, dengan rincian 7 pemilihan gubernur, 76 pemilihan bupati dan 18 pemilihan walikota. Pada 2018 tercatat pemilihan atas 171 kepala daerah, dengan rincian 17 pemilihan gubernur, 115 pemilihan bupati dan 39 pemilihan walikota. Pada 2020 mendatang hasil pemilukada tahun 2015 ini harus berkompetisi kembali pada hajatan yang sama. Fase kompetisi pimpinan daerah ini dimaknakan sebagian kalangan sebagai hajatan yang akan memindai patologi politik yang berlangsung di level nasional ke level lokal. Pada pemaknaan ini, pemilukada yang secara normatif seharusnya menjadi instrumen penguatan desentralisasi dan otonomi daerah ternyata di dalam pelaksanaannya masih banyak menyimpan beragam masalah, baik dalam tataran teknis pelaksanaan, perolehan hasil, maupun pasca pemilihan. Ragam problematika tersebut antara lain kekhawatiran terjadinya persaingan tidak sehat, kecurangan politik uang pada saat pemungutan dan rekapitulasi suara dari tingkat PPS dan PPK, politik uang (money politics) jelang pelaksanaan pemilukada hingga rentannya potensi konflik yang terjadi pasca-penyelenggaraan pemilukada. Ilmuwan politik yang berada dalam dunia akademisi harus mengambil peran pada fase hajatan politik ini. II. PEMBAHASAN Iberamsyah (2007) mencatat bahwa praktek pemilukada langsung selama ini telah membawa banyak resiko. Hal tersebut ditinjau dari beberapa parameter, seperti ; praktek politik uang (vote buying) masih marak bahkan ada kencederungan menaik; anggaran besar yang harus ditanggung negara ; ataupun resiko terjadinya konflik horizontal ditengah-tengah masyarakat. Bagaimana ini bisa terjadi? Pada sisi yang sama, studi Klinken (2013) menyatakan bahwa kelompok elite lokal jelang pemilu maupun pemilukada sangat sibuk di kampung halamannya karena mereka menjadi patron bagi beragam klien. Mereka menjalankan hegemoni melalui organisasi-organisasi keagamaan, politik, kedaerahan, dan pekerjaan. Mereka menyelenggarakan patronase masik seputar pada pekerjaan birokratik karena pada sektor inilah mereka dapat mengontrol rente yang sebagian besar tersedia di ibu kota provinsi, kabupaten maupun kota. Sebagai balasan atas perlindungan patronal yang dilakukannya ini, mereka membagi proyeknya pada klien termasuk mengembangkan partai politik yang dianggap memuluskan arus masuk investasi yang menguntungkan dirinya. Kalangan patron ini tidak memiliki, --bahkan menjauh--, pada isu yang diperjuangkan kelas di bawahnya, seperti hak asasi, tanah, buruh, maupun gerakan anti korupsi. Partai-partai politik yang menyokong kalangan patron ini juga cenderung tidak akan mewakili atau memperjuangkan kepentingan-kepentingan ini karena justru dianggap bumerang bagi kepentingannya terhadap patron.
Catatan yang dipertegas Klinken (2013) bahwa demokratisasi akhirnya banyak terhalang oleh perilaku partai politik yang tenggelam pada praktek patronase yang justru tidak beranjak menjauh bahkan bisa dikatakan menjamur di level lokal pasca tumbangnya kekuasaan otoritarian (baca : Orde Baru). Pendanaan partai politik yang minim dan terbukanya ruang patronase dengan kemasan sentimen lokal serta personalisme menciptakan hambatan besar bagi terbangunnya organisasi demokratik di level lokal yang koheren. Partai politik sekedar memainkan peranan nominal dengan menyertakan koalisi antar partai politik dengan platform yang lemah dan akhirnya bermuara pada perilaku pemilih yang cenderung menjatuhkan pilihan pada tampang atau figur yang rajin nampang pada ragam media ketimbang ideologi atau partai politik pengusung. Jelang pemilukada pula, sebagian besar partai politik menjadi rumah lelang bagi jabatan kekuasaan ketimbang menjadi wahana representasi popular. Pada makna lain partai politik pada konteks ini tidak bertindak sebagai sarana pengartikulasian kepentingan konstituen. Literatur klasik menyatakan patronase di level lokal maupun nasional dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas terjadinya defisit demokrasi karena disinilah ketimpangan ekonomi dan kultural terjadi secara jangka panjang. Relasi patron klien mungkin saja tetap mengakar dan menjadi faktor utama bagi terhambatnya proses demokrasi di Indonesia secara jangka panjang. Hanya saja sebagai warga kita tentu tidak boleh berasumsi bahwa kondisi ini tidak akan bisa terselamatkan. Ragam inovasi teknik pemilukada serta pemberlakuan aturan main dalam pelaksanaan pemilukada memang ditempuh oleh lembaga penyelenggara Pemilu. Setidaknya telah ada niatan baik Negara memberikan pondasi regulasi atas pelaksanaan pemilukada. Seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPPU nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang serta beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh KPU. Regulasi tersebut beberapa diantaranya mengatur perihal yang seringkali misalnya tentang pemutakhiran data pemilih, hingga deteksi dini upaya pencegahan konflik sosial pasca pemilu. III. PENUTUP Hanya saja, kondisi ini semuanya tidak akan berarti apa-apa apabila masih belum terdapat kesepahaman dan kesadaran warga atas politik termasuk mengenai penyelenggaraan pemilu maupun pemilukada. Harapannya tentu adalah adanya situasi dimana masyarakat sudah dianggap melek politik sehingga mereka benar-benar memikirkan tanggungjawabnya dalam bernegara termasuk mendukung berjalannya proses demokrasi secara benar yang salah satunya melalui keikutsertaannya dalam penentuan pimpinan pada daerahnya masing-masing. Tanggung jawab masyarakat, penyelenggara maupun peserta pemilukada inilah yang seharusnya menjadikan hajatan ini sebagai proses penting demokrasi yang melahirkan pimpinan yang berintegritas, bermoral serta betul-betul dapat memimpin rakyatnya kedepan dengan baik. Kita tentunya tidak rela komitmen pendanaan pemilukada dari Pemerintah,-- yang notabene adalah pajak rakyat--, sebesar 7,1 triliun rupiah hanya terbuang percuma saat proses pemilukada yang berlangsung justru melahirkan pimpinan korup dan nihil integritas, baik terhadap tugas maupun warganya. Disinilah peran akademisi di bidang ilmu politik harus berbicara. Pengawalan dalam
meminimalisir resiko kecacatan demokrasi dan memberikan pengawalan yang konsisten dalam rambu demokrasi. Berperan sebagai panwas, menjadi pengamat yang tidak memihak pada kekuatan politik dengan muatan kepentingan praktis adalah peran kecil yang bisa kita ambil. Semoga kita sebagai ilmuwan di bidang politik bisa mengemban misi ini.
FOTO KEIKUTSERTAAN DALAM FORUM SEMINAR