BAB IV KESIMPULAN. masalah kemanusiaan. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan yang diperlukan

dokumen-dokumen yang mirip
FAKTOR-FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DIALOG JAKARTA JAYAPURA 1

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB I PENDAHULUAN. 1 Tuhana Andrianto, Mengapa Papua Bergolak, (Yogyakarta: Gama Global Media, 2001), Hlm

BAB 1 PENINGKATAN RASA SALING PERCAYA DAN HARMONISASI ANTARKELOMPOK MASYARAKAT

BAGIAN I AGENDA MENCIPTAKAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

[Studi Keamanan Internasional] MEMAHAMI KONFLIK. Dewi Triwahyuni

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1

BAB I PENDAHULUAN. Isu-isu kemanusiaan dewasa ini semakin meluas baik dari segi aktor-aktor

RESUME 21 BUTIR PLATFORM KEBIJAKAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (1) PEMANTAPAN EKONOMI MAKRO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

POKOK PIKIRAN TANWIR MUHAMMADIYAH 2012

13MKCU. PENDIDIKAN PANCASILA Makna dan aktualisasi sila Persatuan Indonesia dalam kehidupan bernegara. Drs. Sugeng Baskoro,M.M. Modul ke: Fakultas

KEADILAN UNTUK MASYARAKAT PAPUA

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

Title? Author Riendra Primadina. Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov :10:06 GMT

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut.

Oleh: DEPUTI VI/KESBANG KEMENKO POLHUKAM RAKORNAS FKUB PROVINSI DAN KAB/KOTA SE INDONESIA

Dikdik Baehaqi Arif, M.Pd

MEMBANGUN INTEGRASI NASIONAL DENGAN BINGKAI BHINNEKA TUNGGAL IKA

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2003, telah diterbitkan sebuah komisi independen untuk

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at

MENGATASI KONFLIK, NEGOSIASI, PENDEKATAN KEAMANAN BERPERSPEKTIF HAM

BAHAN TAYANG MODUL 11 SEMESTER GASAL TAHUN AKADEMIK 2016/2017 RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH.

BAB I PENDAHULUAN. Membangun Nasionalisme kebangsaan tidak bisa dilepas pisaahkan dari konteks

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS) II 2016

K E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR V/MPR/2000 TENTANG PEMANTAPAN PERSATUAN DAN KESATUAN NASIONAL

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pancasila merupakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PROGRAM PENYEBARAN DAN PENGIBARAN BENDERA MERAH PUTIH Dl PERSADA NUSANTARA

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB I PENDAHULUAN. dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu

NO URUT. 16. Sumber : = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah laut

2015 KAJIAN PEMIKIRAN IR. SUKARNO TENTANG SOSIO-NASIONALISME & SOSIO-DEMOKRASI INDONESIA

adalah bagian dari komitmen seorang kepala sekolah.

PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA SIDANG MAJELIS UMUM KE-58 PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA. New York, 23 September 2003

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI

AMANAT TERTULIS PRESIDEN RI PADA PERINGATAN HARI BELA NEGARA Sabtu, 19 Desember 2015

Kebijakan Desentralisasi dalam Kerangka Membangun Kualitas Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah di Tengah Tantangan Globalisasi

PANCASILA. Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA. Modul ke: Makna dan Aktualisasi Sila Persatuan Indonesia dalam Kehidupan Bernegara

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel

dengan pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea ke-4 serta ingin mencapai

D E W A N P E R W A K I L A N R A K Y A T D A E R A H D A E R A H I S T I M E W A Y O G Y A K A R T A F R A K S I P D I P E R J U A N G A N

ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT. Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA

BAB VIII PENUTUP. Protes dan perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap pemerintah

KOMPARASI PENDEKATAN ETNIS DAN AGAMA PERPEKTIF CLEM McCARTNEY 1 DENGAN PERSPEKTIF FRANZ MAGNIS SUSENO. Oleh : Any Rizky Setya P.

Refleksi Akhir Tahun Papua 2010: Meretas Jalan Damai Papua

UKDW BAB I. (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PARTAI POLITIK DAN KEBANGSAAN INDONESIA. Dr. H. Kadri, M.Si

PLEASE BE PATIENT!!!

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Cap Go Meh Bersama Ke-5, Jakarta, 8 Februari 2012 Rabu, 08 Pebruari 2012

Pemahaman Multikulturalisme untuk Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA

PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN ARAH KEBIJAKAN PROLEGNAS TAHUN Ignatius Mulyono 2

BAB V PENUTUP. prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB V KESIMPULAN. Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. partai politik lokal. partai politik lokal telah menjadi instrumen utama rakyat

TUGAS AKHIR. Irton, SE, M.Si STMIK AMIKOM YOGYAKARTA NAMA DOSEN

Kontroversi Agama dan Pancasila

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

K E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR V/MPR/2000 TENTANG PEMANTAPAN PERSATUAN DAN KESATUAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kekuasaan atau adat yang berlaku untuk semua orang dengan tujuan untuk

SILABUS MATA PELAJARAN: PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Satuan Pendidikan : SMK NEGERI 21 JAKARTA

TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk dapat memecahkan masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. yang tertulis dalam Pembukaan UUD Negara Indonesia Tahun 1945 dalam Alinea

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-2

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Perayaan Dwiabad Agama Baha i: Pentingnya Persatuan Manusia. Musdah Mulia

TERBENTUKNYA GAM DAN RMS SEBAGAI BUKTI LEMAHNYA PENERAPAN PANCASILA

KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN PPKn

Akses Terhadap Keadilan dalam Rencana Pembangunan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

Jendela Papua Papua Window

PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

Apakah pancasila sebagai pembangunan sudah diterapkan di Indonesia atau belum?

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

BAB IV PEMODELAN DAN REKOMENDASI PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA. 4.1 Pemodelan Konflik Papua (Matrik Payoff Konflik)

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar Dosen : Muhammad Burhan Amin. Topik Makalah. RUH 4 PILAR KEBANGSAAN DIBENTUK OLEH AKAR BUDAYA BANGSA Kelas : 1-IA21

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya perang dunia kedua menjadi titik tolak bagi beberapa negara di Eropa

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. sekaligus (Abdullah, 2006: 77). Globalisasi telah membawa Indonesia ke dalam

KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA

d. Hak atas kelangsungan hidup. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan Berkembang.

2012, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penang

Transkripsi:

BAB IV KESIMPULAN Pada dasarnya, persoalan konflik di Papua yang paling substansial adalah masalah kemanusiaan. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan yang diperlukan untuk menangani konflik dan mentransformasi konflik Papua agar dapat mencapai rasa aman dan damai dalam jangka waktu yang panjang adalah dengan memperhitungkan faktor manusia itu sendiri, penghargaan terhadap harkat kemanusiaan, jati diri dan hak-hak dasar orang Papua. 55 Pendekatan yang digunakan untuk menangani konflik di Papua ini perlu mengutamakan unsur manusia itu sendiri dalam hal keselamatan, mengurangi penderitaan, dan menghargai hak-hak dasar masyarakat Papua. Dalam prinsip-prinsip kemanusiaan, netralitas imparsialitas, dan humanis menjadi prinsip pengantar dalam memberikan bantuan kemanusiaan baik terhadap konflik maupun bencana. Hal ini juga berlaku dalam konteks konflik Papua terutama oleh aktor-aktor yang berusaha menangani dan mentransformasi konflik agar dapat menghasilkan perdamaian jangka panjang dan berkelanjutan. Tidak ada pihak yang lebih diutamakan dan juga keadilan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Agar seluruh masyarakat dapat merasakan cita-cita perdamaian tersebut, dibutuhkan kemauan untuk duduk bersama dalam dialog sebagai pintu gerbang perdamaian yang akan membicarakan segala pendekatan kemanusiaan yang 55 Dr.Sostenes Sumihe, 2013 dalam 100 Orang Indonesia Angkat Pena demi Dialog Papua. Yogyakarta: Interfidei. 59

menjamin keselamatan dan hak-hak masyarakat Papua sehingga konflik separatisme di Papua dapat ditransformasi menuju resolusi. Segala keluhan masyarakat Papua perlu didengar oleh pemerintah melalui dialog agar kepercayaan masyarakat yang telah hilang dapat muncul kembali. Sebaliknya, untuk dapat mempertahankan keutuhan NKRI sebagai wujud kedaulatan negara, Pemerintah perlu menurunkan ego untuk dapat mendengarkan keluhan masyarakat dan menangani konflik separatisme dengan pendekatan yang paling manusiawi, yaitu dengan dialog kemanusiaan. Untuk menjaga keutuhan negara, pemahaman terhadap konflik perlu diberikan perhatian khusus hingga level grass root (akar rumput), tidak hanya secara top down yang selama ini diberlakukan selaras dengan kurikulum Orde Baru dengan falsafah top-down nya. Kekerasan hati masing-masing pihak perlu diredam terlebih dahulu sebelum memulai dialog partisipatoris ini. Kekerasan hati yang dimaksudkan oleh Pasto Neles Tebay berupa NKRI harga mati bagi pemerintah Indonesia dan Papua Barat merdeka untuk masyarakat Papua. A. Transformasi Konflik Papua Konflik merupakan suatu kenyataan hidup yang tidak dapat dihindari dan terjadi jika terdapat tujuan masyarakat yang tidak sejalan. Konflik sendiri timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan antargolongan seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran, akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak seimbang- yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, 60

kemiskinan, penindasan, kejahatan dan masing-masing tingkat tersebut berpotensi untuk menghadirkan perubahan baik yang konstruktif maupun destruktif. 56 Jika suatu konflik ditekan, masalah-masalah baru akan muncul di kemudian hari tetapi juga berpotensi untuk menjadi bagian dari solusi dari suatu masalah. Konflik juga dapat berpotensi menimbulkan kekerasan jika terjadi hal-hal berikut: 1. Saluran dialog dan wadah untuk mengungkapkan perbedaan pendapat tidak memadai 2. Suara-suara ketidaksepakatan dan keluhan-keluhan yang terpendam tidak didengar dan diatasi 3. Banyak ketidakstabilan, ketidakadilan dan ketakutan dalam masyarakat yang lebih luas. Untuk menangani konflik yang sudah terlanjur terjadi dalam bentuk kekerasan, diperlukan transformasi konflik untuk mengatasi sumber konlikkonflik sosial dan politik yang lebih luas dan upaya untuk mengubah kekuatna negative dari peperangan menjadi kekuatan osial dan politik yang positif. Transformasi konflik sendiri merupakan strategi yang paling menyeluruh dan luas, yang juga merupakan strategi yang membuthkan komitmen yang paling lama dan paling luas cakupannya. 57 Berdasarkan asumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaran yag muncul sebagai masalah masalah sosial, budaya, dan ekonomi, sasaran yang ingin dicapai dalam upaya transformasi konflik adalah sebagai berikut: 56 Simon Fisher, et al, 2001. Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak (Working with Conflict: Skills and Strategies for Action). The British Council. Hlm 4. 57 Ibid, Hlm 7-8 61

1. Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaran dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi. 2. Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihakpihak yang mengalami konflik. 3. Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan. 58 Trauma dan kepedihan yang dialami di masa lampau sering diremehkan: seperti pengalaman pribadi dan pengalaman kolektif tentang kepedihan, kehilangan, kesakitan, dan mungkin kekerasan; ini sering menjadi penghalang dalam menangani konflik. Dalam konteks konflik Papua, masyarakat Papua telah mengalami perjalanan panjang penderitaan sejak bergabung dengan Indonesia sehingga muncul ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia. Konflik di Papua terjadi karena telah lamanya penderitaan masyarakat Papua dan teriakan mengenai dialog yang belum dilakukan oleh Pemerintah pusat. Komunikasi yang tidak berjalan dengan baik inilah yang menyebabkan konflikkonflik di Papua mengalami eskalasi sehingga tuntutan separatisme dianggap menjadi jalan keluar yang terbaik bagi sebagian kelompok masyarakat yang merasa tidak puas dengan jalannya pemerintahan di Indonesia. Ketika masyarakat Papua sudah mengalami keputusasaan dengan pendekatan pemerintah melalui pendekatan keamanan dan kesejahteraan yang dinilai kurang berhasil, tokohtokoh masyarakat Papua pun pada akhirnya menyuarakan dialog sebagai jalan paling damai dan manusiawi. Masyarakat Papua pada kesempatan sebelumnya pernah mengemukakan keinginan untuk berdialog pada rezim Habibie. Akan tetapi, dialog tersebut tidak mendapat respon yang baik dari pemerintah sehingga mengurungkan cita-cita 58 Ibid, Hlm 9. 62

masyarakat Papua pada saat itu. Ketika rezim Habibie beralih pada rezim Abdurrahman Wahid, kebebasan berekspresi (freedom of expression) mulai didapatkan oleh masyarakat Papua yang dapat dengan bebas mengibarkan bendera bintang kejora bersamaan dengan bendera merah putih. Namun, rezim Abudrrahman Wadih yang berlangsung tidak begitu lama telah berganti menjadi kebijakan Otonomi Khusus Papua yang dalam perjalanannya mengalami banyak hambatan yang berasal dari elit-elit Papua sendiri sehingga peruntukan dana Otsus tersebut tidak teralokasikan dengan baik kepada target, yaitu masyarakat di berbagai pelosok. Transformasi konflik-konflik separatism di Papua sangat diperlukan untuk bersama-sama mengatasi sumber-sumber konfllik sosial dan politik dan mengubah kekerasan-kekerasan menjadi suatu upaya persatuan yang solid antar masyarakat maupun dengan pemerintah pusat. Perjalanan panjang untuk mentransformasi konflik tersebut sangat diperlukan dalam mendukung proses dialog antara pemerintah pusat dengan komunitas-komunitas di Papua yang melatarbelakangi berbagai kepentingan. Kedua belah pihak perlu untuk bersamasama meningkatkan jalinan hubungan yang baik antara warganegara dengan pemimpin. Proses transformasi konflik memerlukan kerelaan dari berbagai pihak yang berkonflik untuk bersama-sama berupaya menanamkan pendekatan kemanusiaan dalam setiap permasalahan yang ingin diselesaikan dalam konflik separatisme. Dalam hierarki aktor-aktor yang berkepentingan di Papua, tingkat teratas diduduki oleh Pemerintah Pusat dan Daerah Papua. Pada tingkat kedua, NGO dan aparat 63

keamanan menempati posisi tengah dalam hierarki tersebut, dan pada tingkat paling bawah diduduki oleh masyarakat asli Papua dan pendatang yang digambarkan dalam hubungan piramida sebagai berikut: Gambar 1. Tingkatan Humanitarian Approach Berdasarkan Aktor Dari posisi teratas, pemerintah pusat telah memberikan dukungan dana dan kebijakan otonomi khusus kepada pemerintah daerah Papua. Dana yang terbilang cukup besar yaitu sekitar 4,35 triliyun pada tahun 2013 59 Dana tersebut telah dialokasikan untuk 29 kabupaten di Papua untuk berbagai bidang pembangunan. Namun dalam implementasinya, seluruh masyarakat belum dapat merasakan manfaat kebijakan tersebut karena peruntukan dana Otsus tersebut mengalami hambatan di level pemerintahan daerah. Sejumlah kasus korupsi yang dilakukan 59 bpkad.papua.go.id. Diakses tanggal 21 Juni 2014. 64

oleh pemerintah daerah telah muncul dan beberapa dugaan korupsi lainnya masih dalam penyelidikan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hambatan pada level pemerintahan daerah dalam upaya pemerintah pusat (pemerintah Indonesia) untuk mengatasi kompleksitas konflik di Papua. Selama ini, pemerintah pusatlah yang menjadi pihak yang dipercaya bertanggung jawab penuh terhadap konflik-konflik yang mengarah pada separatism di Papua, padahal, terdapat hambatan pada level pemerintahan daerah yang mengakibatkan terhambatnya pembangunan dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat asli Papua sehingga tuntutan kemerdekaan semakin berkembang. Oleh karena itu, seluruh aktor dari tiap level masyarakat yang digambarkan dalam piramida di atas perlu menggunakan landasan humanitarian approach dalam melaksanakan kehidupan di Papua yang bermartabat dan humanis bagi masyarakat Papua maupun pendatang. Keselamatan manusia, penderitaan yang diringankan, serta martabat manusia yang terjaga menjadi prinsip yang melandasi setiap aksi yang akan dilakukan aktoraktor yang terlibat dalam konflik yang mengarah pada separatisme di Papua. B. Rekomendasi Perlu adanya goodwill (itikad/kemauan baik) dari pihak-pihak yang berkonflik baik dari pemerintah Inndonesia maupun masyarakat Papua dalam berbagai lapisan untuk dapat duduk bersama melakukan dialog untuk melihat segala permasalahan dari segi kemanusiaan. Goodwill tersebut nantinya mendasari rasa saling percaya yang tadinya tidak ada menjadi ada kembali untuk menghasilkan jalan keluar terbaik baik kedua pihak. Rakyat Papua yang heterogen 65

dalam hal latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan pandangan politik perlu diberi ruang untuk menyatukan visi sebelum masuk dalam perundingan dengan pihak Jakarta. 60 Oleh karena itu, dialog horizontal antara komunitas-komunitas Papua perlu dilakukan terlebih dahulu untuk menyatukan pandangan yang sama sebelum pada akhirnya dilanjutkan dengan pihak pemerintah agar tidak terjadi ketimpangan kepentingan antar golongan dan komunitas. Tidak hanya antar komunitas, tetapi juga antara warga sipil dan aparat pemerintahan daerah di Papua yang turut melakukan dialog agar terbentuk kepercayaan satu sama lain dan dapat menyatukan pikiran bersama dalam mencapai cita-cita masyarakat Papua akan kehidupan yang damai dan humanis. Sudah saatnya pihak pemerintah merespon permintaan masyarakat Papua dan rekomendasi dari LIPI dengan mengadakan dialog. Dialog tersebut berisikan berbagai hal yang menjadi ganjalan pemeritah Indonesia terhadap Papua dan sebaliknya. Cakupan bidang-bidang pokok agenda dialog meliputi segala aspek yang selama ini menjadi penyebab konflik seperti permerataan ekonomi, penghormataan terhadap hak-hak dasar, kebebasan berkespresi, kebebasan dari penyiksaan yang dilakukan oleh aparat militer, penghormatan terhadap budaya leluhur, serta kemajuan dalam pendidikan. Hal yang paling penting dalam konflik ini adalah mengenai pendidikan, baik dalam sektor formal maupun informal. Dari sektor formal, pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi menjadi tanggung jawab penuh pemerintah untuk dapat memenuhinya karena 60 Dr.Mery Kolimon, 2013 dalam 100 Orang Indonesia Angkat Pena demi Dialog Papua. Yogyakarta: Interfidei. Hlm 140. 66

pendidikan merupakan hak substantif yang berada dalam kovenan hak ekonomi, sosial, dan budaya yang telah diratifikasi sendiri oleh pemerintah. Ketika terjadi konflik-konflik baik secara horizontal maupun vertikal, masyarakat Papua perlu mendalami asas Pancasila yang selama ini kurang dipahami sebagai falsafah dasar negara Indonesia. Konsep Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna berbeda-beda namun tetap satu juga belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia yang secara fisik maupun psikis berbeda satu sama lain, terlebih masyarakat Papua yang merasa secara fisik berbeda sekali dengan masyarakat di luar Papua karena masyarakat Papua tergolong dalam Melanesian dan masyarakat non Papua tergolong Melayu. Perbedaan fisik tersebut semestinya tidak menjadi masalah bagi masyarakat Papua jika betul-betul memahami paham Bhinneka Tunggal Ika tersebut. Agar tidak terjadi kekerasan pula antara kelompok-kelompok masyarakat yang merasakan perbedaan secara fisik maupun ideology (perang suku), diperlukan pendidikan hukum dan HAM di Papua untuk membangun persaudaraan yang berlandaskan kemanusiaan. 61 Membangun relasi sosial secara horizontal maupun vertikal amatlah penting untuk menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis dan damai. Terlebih, relasi horizontal akan membentuk solidaritas yang merupakan tanda dari kualitas persatuan dan hubungan harmonis dalam masyarakat. Dalam usaha mewujudkan tanah Papua yang damai, solidaritas kemanusiaan untuk turut merasakan kesakitan yang 61 I GM Sunarta, S.AG, MM, 2013 dalam 100 Orang Indonesia Angkat Pena demi Dialog Papua. Yogyakarta: Interfidei. Hlm 17-18. 67

dialami oleh seseorang menjadi sangat penting untuk menjaga keutuhan relasi antarmasyarakat sendiri 62 sehingga dapat meredam kemungkinan berkonflik. Hal yang juga menjadi sangat penting untuk meredam intensitas konflikkonflik yang mengarah pada separatisme adalah dengan memberikan masyarakat Papua kebebasan untuk berkespresi (freedom of expression) sebesar-besarnya. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Elizabet Adriana menilai, untuk bisa menyelesaikan masalah dan menyelamatkan Papua, pemerintah harus memberikan kebebasan kepada masyarakat setempat."papua harus diberikan kebebasan berekspresi, rasa aman, nyaman, dan tidak takut untuk diteror. Hal-hal inilah yang dapat menyelamatkan Papua," 63 Menurut beliau, kemerdekaan yang dimaksudkan masyarakat Papua itu adalah bentuk dari ketidakpuasan Papua terhadap pemerintah pusat. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan perhatian pemerintah terhadap berbagai permasalahan yang ada di Papua yang telah terjadi semenjak Papua beralih dari Belanda ke Indonesia melalui UNTEA. Konsep mengenai kemerdekaan tidak semata-mata menginginkan pembentukan suatu negara baru dengan pemerintahan sendiri, tetapi juga karena ketidakmampuan pemerintah untuk menangani konflik-konflik dan ketertinggalan di Papua sehingga ideologi tersebut diteriakkan oleh kelompok-kelompok separatis tertentu. Untuk itu, pemerintah dan berbagai aktor kemanusiaan yang turut berpartisipasi aktif dalam menangani konflik di Papua perlu menggunakan humanitarian approach (pendekatan kemanusiaan) sebagai upaya awal untuk duduk bersama dan saling mendengarkan dalam sebuah proses dialog yang 62 Ibid, Hlm 18. 63 http://www.lipi.go.id/www.cgi?berita&1321316860&&2011&&ina. Diakses tanggal 16 Mei 2014. 68

berkelanjutan untuk menangani dan mentransformasi konflik separatisme di Papua menjadi sebuah jalan damai yang dicita-citakan masyarakat Papua dan menjaga persatuan NKRI bagi pemerintah Indonesia. Dari keseluruhan rekomendasi tersebut, hal yang perlu dibangun terlebih dahulu untuk dapat melakukan perbaikan dalam segala aspek kehidupan di Papua adalah dengan melaksanakan pemerintahan daerah yang bersih dan dapat menjadi model percontohan bagi masyarakat sipil dan pendatang di Papua. Dana otonomi khusus telah dikucurkan dari pemerintah pusat dan dialokasikan untuk berbagai bidang pembangunan, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Namun, jalannya pemerintahan daerah masih tersendat-sendat oleh ketidakhadiran pemerintah daerah sebagai pimpinan dan pelaksana pemerintahan di Papua yang mengakibatkan terhambatnya program-program pembangunan. Masyarakat belum dapat merasakan manfaat dari kebijakan pemerintah pusat sehingga tuntutan akan kemerdekaan semakin merebak. Oleh karena itu, jalanannya pemerintahan daerah perlu disertai dengan humanitarian approach juga selain approach dari pemerintah pusat agar pemerintahan pusat dan daerah dapat bersinergi satu sama lain untuk menjalankan roda kehidupan di Papua yang penuh damai dan sejahtera. Agar dapat menjalankan pemerintahan ideal tersebut, dibutuhkan dialog konstruktif dari berbagai elemen mulai dari Pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat keamanan dan NGOs, serta masyarakat sipil dan pendatang untuk menjalankan pemerintahan dengan prinsip kemanusiaan yang turut memperhatikan aspek keselamatan manusia, meringankan penderitaan, dan menjaga martabat setiap manusia. 69