BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

RINOSINUSITIS KRONIS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

12/3/2010. Nasal asessory sinuses Rongga dalam tulang kepala berisi udara. Sinus maksila Sinus frontal Sinus etmoid Sinus sfenoid

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

OSTEOMIELITIS. Rachmanissa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

REFERAT SINUSITIS. Oleh : KELOMPOK VI. Eka Evia R.A Mustika Anggane Putri

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011.

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I.2. Rumusan Masalah I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum I.3.2 Tujuan khusus

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

BAB II KONSEP DASAR. Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

BAB I KONSEP DASAR A. PENGERTIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

HUBUNGAN ANTARA SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK TERHADAP KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

4.3.1 Identifikasi Variabel Definisi Operasional Variabel Instrumen Penelitian

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel dari sinus etmoid, sebelah kranial adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal adalah sinus sphenoid. Sinus sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap nasofaring. Sinus paranasal juga dilapisi dengan epitel berambut-getar. Lendir yang dibentuk di dalam sinus paranasal dialirkan ke dalam meatus nasalis. Alirannya dimulai dari sinus frontal, sel etmoid anterior, dan sinus maksila kemudian masuk ke meatus-medius. Sedangkan aliran dari sel etmoid posterior dan sinus sfenoid masuk ke meatus superior. Aliran yang menuju ke dalam meatus inferior hanya masuk melalui duktus nasolakrimalis. Secara klinis, bagian yang penting ialah bagian depan-tengah meatus medius yang sempit, yang disebut kompleks ostiomeatal. Daerah ini penting karena hampir semua lubang saluran dari sinus paranasal terdapat di sana (Broek, 2010). Pada saat lahir, sinus paranasal belum terbentuk, kecuali beberapa sel etmoid. Kemudian baru pada sekitar umur dua belas tahun, semua sinus paranasal terbentuk secara lengkap. Kadang-kadang, salah satu dari sinus frontal tidak terbentuk. Bagian belakang nasofaring berbatasan dengan fossa sfeno-palatina (Broek, 2010). Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai dari pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid sudah ada sejak saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto, 2010).

Gambar 2.1. Anatomi Sinus Paranasal (Patel, 2007) 2.2. Bagian-bagian Sinus Paranasal 2.2.1. Sinus Maksila Sinus maksila merupakan sinus pertama yang muncul (7-10 minggu masa janin). Sinus maksila adalah sinus paranasal yang terbesar dan bervolume 6-8 ml saat lahir (Soetjipto, 2010). Proses terbentuknya sinus maksila berasal dari ekspansi infundibulum etmoid ke dalam maksila hingga membuat suatu massa. Proses ekspansi tersebut menghasilkan suatu rongga kecil pada saat lahir yang berukuran 7 x 4 x 4 mm. Pertumbuhan dan perkembangannya terus berlanjut pada masa anak-anak kira-kira 2 mm secara vertikal dan 3 mm anteroposterior. Proses perkembangan tersebut mulai menurun pada usia 7 tahun, diikuti fase pertumbuhan kedua berikutnya. Pada usia 12 tahun, pneumatisasi mencapai bagian lateral, yaitu di bawah bagian lateral dinding orbita pada sisipan prosesus zigomatikus, secara inferior ke bagian dasar hidung dan setelah pertumbuhan gigi (dentisi) kedua di bawah dasar hidung. Setelah proses dentisi, sinus hanya akan membesar secara perlahan-lahan dan mencapai ukuran maksimum pada usia 17 hingga 18 tahun. Ukuran standar volume sinus maksila pada orang dewasa adalah

sekitar 15 cm 2 dan secara kasar bentuknya menyerupai piramid. Dasar piramid dibentuk oleh dinding medial sinus maksilaris dengan sisi apeks piramid ke arah resesus zigomatikus (Stammberger, 2008). Menurut Damayanti Soetjipto dan Endang Mangunkusumo (2010), yang perlu diperhatikan dari segi anatomi sinus maksila berdasarkan segi klinis adalah bahwa dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan terkadang gigi taring (C) dan gigi moral M3. Selanjutnya sinusitis maksilaris juga dapat menimbulkan komplikasi orbita. Selain itu, letak ostium sinus maksila yang lebih tinggi dari dasar sinus menyebabkan drenase hanya tergantung dari gerak silia. Drenase yang harus melalui infundibulum yang sempit juga dapat menyebabkan sinusitis jika di daerah tersebut mengalami inflamasi. 2.2.2. Sinus Etmoid Selama 9 dan 10 minggu masa gestasi, 6 hingga 7 lipatan muncul di bagian dinding lateral dari kapsul nasalis janin. Lipatan-lipatan ini dipisahkan dari satu dengan yang lain sesuai alurnya. Lebih dari seminggu kemudian, lipatanlipatan tersebut berfusi menjadi 3-4 puncak dengan sebuah bagian anterior 'ascending' dan sebuah bagian posterior 'descending' (ramus asendens dan ramus desendens). Semua struktur permanen etmoid berkembang dari puncak tersebut (Stammberger, 2008). Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Pada bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat resesus frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu area penyempitan disebut infundibulum yang merupakan tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan di resesus frontal mengakibatkan sinusitis frontal. Sementara jika peradangan terjadi di infundibulum mengakibatkan sinusitis maksila (Soetjipto, 2010).

Sinus etmoid dipisahkan oleh rangkaian resesus yang dibatasi 5 sekat tulang atau lamela. Lamela ini diberi nama dari yang paling anterior ke posterior : prosesus uncinatus, bula etmoidalis (sel etmoid yang terbesar), dasar atau lamela basalis dan konka superior (Walsh, 2008). Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Soetjipto, 2010). 2.2.3. Sinus Sfenoid Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior (Stankiewicz, 2010). Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada usia 3 tahun, pneumatisasi tulang sfenoid berkembang dan pada usia 7 tahun mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm (tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya). Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml (Soetjipto, 2010). Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi hal utama yang harus diperhatikan (Stammberger, 2008). Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Soetjipto, 2010). 2.2.4. Sinus Frontal Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Secara embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah sel etmoidalis anterior. Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi, mungkin tidak ada sama sekali (5%) dan biasanya dibagi atau dibatasi dengan sebuah septum intersinus (Walsh, 2006). Pada fetus usia 4 bulan, perkembangan sinus frontal yang berasal dari resesus frontal dapat dilihat. Dari bagian yang paling

anterior dan segmen superior dari kompleks etmoid anterior ini, tulang frontal secara berangsur-angsur mengalami pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal yang ukurannya bervariasi. Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto x-ray sulit dibedakan dari sel etmoid anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus maksilaris yang cepat, proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat lambat. Meskipun begitu, pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CTscan pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan meluas secara superior dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak besar. Pneumatisasi mungkin akan berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus dan resesus frontal merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan variasi (Stammberger, 2008). Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x 2,4 cm (lebar) x 2 cm (dalamnya). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk (Soetjipto, 2010). 2.3. Definisi Rinosinusitis Rinosinusitis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal. Konsensus internasional tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut (ARS) dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik (CRS) jika lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo, 2010). Pada sinusitis bakteri kronik, infeksi lebih cenderung mengarah pada kerusakan sistem aliran mukosiliar akibat infeksi berulang dibandingkan infeksi bakteri yang persisten (Rubin, 2008). Kadang-kadang semua sinus paranasal meradang pada waktu yang sama (pansinusitis) (Broek, 2010).

Tabel 2.3.1. Klasifikasi Rinosinusitis (Benninger, 2008) Klasifikasi Akut Subakut Akut Rekuren Kronik Eksaserbasi Akut Rinosinusitis Kronik Durasi 7 hari hingga 4 minggu 4 hingga 12 minggu 4 kali episode ARS per tahun 12 minggu Keadaan akut yang memburuk pada CRS 2.4. Etiologi Menurut Andrew P. Lane dan David W. Kennedy (2003), faktor-faktor yang berhubungan dengan patogenesis rinosinusitis dibagi dalam 2 besar, yaitu faktor manusia dan lingkungan. Faktor manusia misalnya seperti genetik / kelainan kongenital (kista fibrosis, sindrom silia imotil), alergi / kondisi imun tubuh, kelainan anatomi, penyakit sistemik, kelainan endokrin, gangguan metabolik, dan keganasan. Sedangkan faktor lingkungan misalnya seperti infeksi (virus, bakteri, dan jamur), trauma, bahan kimia berbahaya, iatrogenik (medikamentosa ataupun pembedahan). Sinusitis yang disebabkan oleh infeksi ada 3 agen penyebabnya, yaitu virus, bakteri, dan jamur. Rhinosinusitis akibat virus disebut common cold. Virus yang menginfeksi antara lain : rhinovirus (50%), coronavirus (20%), influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus. Sementara rinosinusitis bakterial akut disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenza (sekitar 60% kasus rinosinusitis akibat bakteri). Sisanya disebabkan oleh Streptococcus grup A, Streptococcus milleri, Staphylococcus aureus, Neisseria spp., basil gram negatif, Klebsiella sp., Moraxella catarrhalis, dan Pseudomonas sp. Patogen anaerobik seperti Peptostreptococcus, Bacteroides spp., dan Fusobacteria ditemukan pada kasus sinusitis maksilaris yang merupakan infeksi sekunder terhadap penyakit gigi (Issing, 2010). Jenis jamur yang paling sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesies Aspergillus dan Candida (Mangunkusumo, 2010).

Beberapa faktor predisposisi selain yang di atas adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan tersebut secara perlahan akan menyebabkan perubahan mukosa dan kerusakan silia dalam hidung dan sinus paranasal (Mangunkusumo, 2010). 2.5. Patofisiologi Sinus normal biasanya dalam keadaan yang steril. Bakteri yang masuk ke sinus dapat dieliminasi dengan cepat melalui sekresi mukus yang dikeluarkan oleh sel epitel kolumnar bersilia. Mukus itu sendiri dihasilkan oleh sel goblet dan kelenjar submukosa. Oleh karena itu, jika ada kelainan pada silia, maka proses eliminasi bakteri pun terhambat (Lane, 2003). Baik atau tidak baiknya keadaan sinus dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks ostio-meatal (KOM). Mukus sangat bermanfaat dalam menjaga kesehatan sinus karena mengandung substansi antimikrobial (immunoglobulin) dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama-sama dengan udara pernafasan (Soetjipto, 2010). Inflamasi hidung dan sinus dari berbagai penyebab dapat mengakibatkan obstruksi ostium-ostium sinus dan menjadi faktor predisposisi terhadap infeksi. Faktor yang berperan dalam terjadinya acute bacterial sinusitis (ABRS) banyak, secara garis besar dibagi atas 2 bagian, yaitu faktor manusia dan lingkungan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita itu sendiri (faktor manusia), yaitu faktor genetik seperti sindrom silia imotil atau kista fibrosis, abnormalitas anatomi (konka bulosa, kelainan septum, atau turbinatum paradoksal), penyakit sistemik, keganasan, dan alergi. Sedangkan faktor lingkungan meliputi infeksi bakteri, virus, jamur, atau paparan primer maupun sekunder asap tembakau, akut atau kronik bahan iritan atau bahan kimia berbahaya, faktor iatrogenik termasuk pembedahan, medikamentosa ataupun pemasangan NGT. Berdasarkan bukti-bukti yang ada saat ini, para individu dengan riwayat alergi memiliki tingkat insidensi yang lebih tinggi terjadinya rinosinusitis akut dan kronik (Benninger, 2008).

Rinosinusitis akut biasanya terjadi karena infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas. Infeksi ini lebih umum terjadi pada individu yang memiliki faktor-faktor predisposisi yang telah dijelaskan sebelumnya. Infeksi tersebut akan menyebabkan pembengkakan mukosa hidung sehingga mengakibatkan oklusi atau obstruksi ostium sinus (Benninger, 2008). Apapun penyebabnya, sekali saja ostium mengalami oklusi, hipoksia lokal akan terjadi pada kavum sinus dan sekresi sinus menjadi terakumulasi. Kombinasi antara keadaan hipoksia dan sekresi yang tertumpuk tadi akan menyebabkan tumbuhnya bakteri patogen di dalam sinus (Lane, 2003). Peradangan juga menyebabkan mukus menjadi lebih kental dan gerakan silia lebih lambat daripada normal. Alergi sangat berperan penting pada kejadian rinosinusitis. Reaksi antigenantibodi pada keadaan alergi menyebabkan pelepasan mediator inflamasi, termasuk histamin. Mediator-mediator ini meningkatkan permeabilitas vaskular, edema mukosa, dan pada akhirnya mengakibatkan obstruksi ostia. Walaupun agen infeksius dapat menjadi penyebab utama inflamasi sinus, mereka juga ditemukan sebagai infeksi sekunder pada individu yang mengalami rinitis alergi (Benninger, 2008). Berbeda dengan rinosinusitis akut, patofisiologi rinosinusitis kronik masih belum dapat diketahui secara jelas, namun faktor predisposisi lebih berperan penting, misalnya seperti penyakit sistemik dan lingkungan (Shah, 2008). Pada pasien rinosinusitis kronis yang penyebabnya bakteri patogen, organisme terbanyak adalah Staphylococcus sp. (55%) dan Staphylococcus aureus (20%). Beberapa studi lain menyebutkan prevalensi yang tinggi ditemukan dengan infeksi enterobakter, bakteri anaerob, bakteri gram-negatif, dan jamur (Benninger, 2008). 2.6. Gejala Klinis Berdasarkan data Rhinosinusitis Task Force of the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (1997), gejala dan tanda rinosinusitis dibagi menjadi kriteria mayor dan minor. Gejala mayor antara lain : obstruksi hidung/sumbatan, adanya sekret hidung yang purulen, gangguan penghidu seperti

hiposmia/anosmia, dijumpai sekret purulen pada pemeriksaan hidung, nyeri wajah seperti tertekan, kongesti wajah (penuh), dan demam (hanya pada rinosinusitis akut). Sedangkan gejala minor antara lain : sakit kepala, demam (non-akut), halitosis, lemah/letih, nyeri gigi, batuk, nyeri telinga/ seperti ditekan dan merasa penuh di telinga. Untuk diagnosis rinosinusitis dibutuhkan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor (Benninger, 2008). 2.7. Epidemiologi Rinosinusitis 2.7.1. Distribusi Rinosinusitis Berdasarkan Orang Penelitian Hedayati, et al tahun 2010 di Rumah Sakit Boo Ali Iran, didapatkan proporsi penderita rinosinusitis kronik tertinggi yaitu pada kelompok umur 20-29 tahun sebanyak 21 orang (42%). Penderita terdiri dari 26 laki-laki (52%) dan 24 perempuan (48%), dimana keluhan terbanyak yaitu hidung tersumbat pada 48 orang (96%). Hasil penelitian Sogebi, et al (2002-2006) di Sagamu Nigeria didapatkan 110 penderita rinosinusitis kronik dengan distribusi umur yaitu < 18 tahun 21 orang (19,1%) dan 18 tahun 89 orang (80,9%). Penderita terdiri dari 54 laki-laki (49,09%) dan 56 perempuan (50,91%), dimana lokasi rinosinusitis terbanyak yaitu sinus maksila (70,51%). Penelitian Multazar tahun 2008 di RSUP H. Adam Malik Medan, didapatkan proporsi penderita rinosinusitis kronis tertinggi pada kelompok umur 28 35 tahun 20,61%, umur diatas 18 tahun 88,18%, dengan proporsi laki-laki 42,91% dan perempuan 57,09%. Keluhan utama ialah hidung tersumbat (75,3%). Pada pemeriksaan foto polos SPN didapatkan proporsi single rinosinusitis 87,8%, sedangkan multisinusitis pada pemeriksaan CT Scan SPN 44,4%. Penatalaksanaan medikamentosa 77,36%, sedangkan operasi BSEF 80,6% (Multazar, 2011). Penelitian Darmawan dkk tahun 2005, jumlah penderita rinosinusitis pada anak di RSCM Jakarta tahun 1998-2004 adalah 163 orang, terdiri dari 90 lelaki (55,2%) dan 73 perempuan (44,8%). Kelompok umur terbanyak yaitu > 6 tahun 113 orang (69,3%) dan manifestasi klinis terbanyak adalah batuk 152 orang

(93,3%). Asma ditemukan pada 84 orang (51,5%) dan rinitis alergi 44 orang (27%) (Frisdiana, 2011). Penelitian Eko tahun 2008 di Yogyakarta dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan rinitis alergi berhubungan secara bermakna dengan kejadian rinosinusitis maksila kronik (p=0,003) dan diperoleh nilai OR=3,95 (CI 95%=1,55-10,11). Penelitian Primartono tahun 2003 di Semarang dengan menggunakan desain Cross Sectional, hasil analisis statistik menunjukkan deviasi septum berhubungan secara bermakna dengan kejadian rinosinusitis maksila kronik (p=0,019) dan diperoleh nilai RP=4,90 (CI 95%=1,19-20,11). 2.7.2. Distribusi Rinosinusitis Berdasarkan Tempat dan Waktu Rinosinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika. Menurut National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), sekitar 14 % penderita dewasa mengalami rinosinusitis yang bersifat episode per tahunnya. Prevalensi rinosinusitis kronik di Kanada tahun 1997 pada perempuan yaitu 5,7% dan laki-laki 3,4%. Prevalensi rinosinusitis kronik di Skotlandia Utara dan Karibia Selatan tahun 1999 yaitu 9,6% dan 9,3% (Frisdiana, 2011). Penelitian Staikuniene et al (2000-2005) di Lithuania, dari 121 penderita rinosinusitis kronik didapatkan 84 orang (69,4%) menderita polip hidung dan 48 orang (39,6%) menderita asma. Penelitian See Goh, et al (April 2001 Agustus 2002) di Malaysia didapatkan 30 penderita rinosinusitis kronik dimana 8 orang (26,7%) disebabkan oleh infeksi jamur yang diagnosisnya ditegakkan dari spesimen pembedahan. 2.8. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Mangunkusumo, 2010). Anamnesis yaitu dengan cara menanyakan riwayat dan perjalanan penyakit apakah sudah berlangsung selama lebih dari 12 minggu serta didapatkan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dengan 2 gejala minor (Benninger, 2008). Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior

dan posterior. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid) (Mangunkusumo, 2010). Meatus medius sering dapat diinspeksi dengan baik setelah pemberian dekongestan (Shah, 2008). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis (Mangunkusumo, 2010). Naso-endoskopi (kaku maupun fleksibel) sangat penting dalam evaluasi rinosinusitis. Pada acute bacterial rhinosinusitis (ABRS), naso-endoskopi bermanfaat untuk konfirmasi diagnosis sekaligus mendapatkan sekret dari meatus media untuk dikultur (Shah, 2008). Untuk mengurangi kontaminasi dari hidung, kultur dari meatus media dapat dilakukan melalui aspirasi sinus maksila yang merupakan gold standard untuk diagnosis ABRS (Benninger, 2008). Pemeriksaan penunjang pilihan utama untuk menilai gambaran sinus adalah CT-scan. Kelebihannya ialah mampu memberi gambaran sinus pada rinosinusitis kronis yang gejalanya tidak sesuai dengan pemeriksaan klinis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan atau tanpa naso-endoskopi. Namun, CT-scan memiliki keterbatasan yaitu sulit membedakan rinosinusitis dengan infeksi virus saluran pernafasan bagian atas, kecuali jika sudah timbul komplikasi. Visualisasi optimal didapatkan dengan coronal scans (Shah, 2008). Pemeriksaan penunjang yang lain adalah foto polos, yaitu dengan posisi Waters, PA dan lateral. Biasanya foto tersebut hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal (Mangunkusumo, 2010). Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior dan dengan alat endoskopi bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya. Tindakan selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. MRI hanya dilakukan jika ada kecurigaan komplikasi pada orbita dan intrakranial (Shah, 2008). 2.9. Terapi Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan akut menjadi kronik (Mangunkusumo, 2010). Jenis terapi dibagi menjadi 2 pilihan, yaitu secara medikamentosa dan pembedahan.

2.9.1. Medikamentosa Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis bakterial akut. Antibiotik yang dipilih adalah yang berspektrum lebar, yaitu golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman resisten terhadap amoksisilin, maka diberikan amoksisilin-klavulanat atau sefalosporin generasi ke-2. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang (Mangunkusumo, 2010). Jika penderita tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam, maka dilakukan reevaluasi dan mengganti antibiotik yang sesuai. Pengobatan secara medikamentosa menunjukkan hasil yang lebih memuaskan jika diberikan sesuai dengan hasil kultur (Busquets, 2006). Gold standard untuk kultur sinus adalah pungsi sinus maksilaris, namun hal ini harus dilakukan pada pasien tertentu dan dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan komplikasi minor seperti nyeri dan perdarahan. Kultur sinus sangat penting dalam memilih jenis obat pada rinosinusitis kronik karena organisme patogennya berbeda dengan ABRS. Antibiotik yang biasanya diberikan pada rinosinusitis kronik adalah yang sesuai untuk kuman gram negatif (S. aureus) dan anaerob (Shah, 2008). Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik seperti guaifenesin (Shah, 2008), steroid oral/ topikal, pencucian rongga hidung (irigasi) dengan NaCl atau pemanasan (diatermi) (Mangunkusumo, 2010). Steroid hidung (spray) sering diberikan untuk terapi pemeliharaan/maintenance pada rinosinusitis kronik. Nasal saline irrigation adalah jenis terapi yang penting dalam mengobati rinosinusitis kronik. Bilasan hidung tersebut akan mencegah akumulasi krusta-krusta di hidung dan membantu lancarnya klirens mukosiliar. Irigasi antibiotik seperti gentamisin (80 mg/l) dipertimbangkan pemberiannya pada rinosinusitis kronik yang refrakter (Shah, 2008).

Untuk pasien dengan riwayat alergi dapat ditangani dengan cara menghindarkan faktor pencetus, pemberian steroid topikal, dan imunoterapi (Shah, 2008). Antihistamin generasi ke-2 diberikan bila ada alergi berat (Mangunkusumo, 2010). 2.9.2. Pembedahan Tatalaksana pembedahan yang dilakukan ada beberapa cara, antara lain : bedah sinus endoskopi fungsional dan operasi sinus terbuka, seperti operasi Caldwell-Luc, etmoidektomi eksternal, trepinasi sinus frontal dan irigasi sinus. a. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/ FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur (Mangunkusumo, 2010). b. Operasi Caldwell-Luc Operasi dengan metode Caldwell-Luc dilakukan pada kelainan sinus maksilaris. Indikasi operasi dengan metode ini yaitu jika terlihat manifestasi klinis seperti mukokel sinus maksilaris, polip antrokoanal, misetoma, atau benda asing yang tidak dapat dijangkau melalui endoskopi intranasal (Lund, 2008). c. Etmoidektomi Eksternal Etmoidektomi eksternal telah banyak digantikan oleh bedah endoskopi. Meskipun begitu, masih ada keuntungan dalam menggunakan metode operasi ini. Misalnya, biopsi dapat dilakukan secara eksternal pada lesi sinus etmoid atau frontal. Manfaat lain dari metode ini yaitu dapat memperbaiki komplikasi orbita dari sinusitis etmoid akut atau frontal dengan cepat dan aman (Lane, 2003).

d. Trepinasi Sinus Frontal Metode operasi ini bermanfaat untuk infeksi akut ketika endoskopi nasal sulit dilakukan akibat perdarahan mukosa hidung. Operasi ini aman dan dekompresi pus pada sinus frontalis cepat dilakukan (Lane, 2003). e. Irigasi Sinus Irigasi sinus bermanfaat sebagai diagnostik sekaligus terapi. Irigasi sinus dilakukan pada sinusitis maksilaris akut yang tidak dapat ditangani dengan pengobatan konservatif dan juga dijadikan sebagai prosedur tambahan untuk drainase eksternal pada komplikasi orbita yang akut. Pungsi antrum biasanya dilakukan pada meatus inferior hidung (Lund, 2008). 2.10. Komplikasi Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasinya berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi lain yang dapat dijumpai pada sinusitis kronik yaitu osteomielitis, abses subperiostal serta kelainan paru (Mangunkusumo, 2010). 2.10.1. Komplikasi Orbita Komplikasi orbita disebabkan infeksi sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita), paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila (Mangunkusumo, 2010). Ryan Chandler (1970) membagi komplikasi orbita menjadi 5, yaitu selulitis preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan trombosis sinus kavernosus (Gianonni, 2006). 2.10.2. Komplikasi Intrakranial Komplikasi intrakranial dapat berupa meningitis, abses subdural, abses intraserebri, dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi intrakranial lebih umum dijumpai pada pasien sinusitis kronik dibandingkan sinusitis akut (Giannoni, 2006).

2.10.3. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Mangunkusumo, 2010). 2.10.4. Kelainan Paru Kelainan paru akibat komplikasi rinosinusitis yaitu seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sino-bronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan (Mangunkusumo, 2010).