BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

RINOSINUSITIS KRONIS

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

12/3/2010. Nasal asessory sinuses Rongga dalam tulang kepala berisi udara. Sinus maksila Sinus frontal Sinus etmoid Sinus sfenoid

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

REFERAT SINUSITIS. Oleh : KELOMPOK VI. Eka Evia R.A Mustika Anggane Putri

Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011.

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

LAPORAN PENDAHULUAN SINUSITIS

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

BAB II LANDASAN TEORI

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BAB II KONSEP DASAR. Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

OSTEOSARCOMA PADA RAHANG

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

I.2. Rumusan Masalah I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum I.3.2 Tujuan khusus

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan kepada masyarakat saja akan tetapi dapat juga merugikan

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID. Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen

BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG. infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri

OSTEOMIELITIS. Rachmanissa

HUBUNGAN ANTARA SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK TERHADAP KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di apotek Mega Farma Kota Gorontalo pada tanggal

Pendahuluan. Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan

BAB I PENDAHULUAN. akhir tahun 2011 sebanyak lima kasus diantara balita. 1

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

INTERVENSI ULTRA SOUND THERAPY LEBIH BAIK DARIPADA MICRO WAVE DIATHERMY TERHADAP PENGURANGAN NYERI PADA KASUS SINUSITIS FRONTALIS BAGI AWAK KABIN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus 2.1.1. Sinus Frontalis Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata sinus frontal yaitu tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm dan isi rata-rata 6-7 ml. Dinding depan sinus frontal hampir selalu diploik, terutama pada bagian luar atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan dinding anterior dan posterior (Benninger, 2003). Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-kadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus (Hilger, 1997). 2.1.2. Sinus Maksilaris Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, yang telah ada saat lahir. Saat lahir sinus bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Merupakan sinus terbesar dan terletak di maksila pada pipi yang berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Sinus maksilaris ini sering terinfeksi oleh karena merupakan sinus paranasalis yang terbesar, letak ostiumnya yang lebih tinggi dari dasar sehingga

aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1 dan P2 dan M1, M2 dan M3, kadang-kadang juga gigi caninus, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis dan karena ostium sinus maksila terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat (Mangunkusumo dan Rifki, 2007). 2.1.3. Sinus Etmoidalis Sinus etmoid pada orang dewasa berbentuk seperti piramid dengan dasarnya pada bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior adalah 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di anterior sedangkan di bagian posterior 1,5 cm. (Soetjipto, 2007). Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). 2.1.4. Sinus Sfenoidalis Sinus sfenoid terletak di os sfenoid, di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang jarang terletak di tengah disebut septum intersfenoid. (Soetjipto, 2007). Ukuran sinus ini kira-kira pada saat usia 1 tahun 2,5 x 2,5 x 1,5, pada usia 9 tahun 15 x 12 x 10,5 mm. Isi rata-rata sekitar 7,5 ml (0,05-30 ml). (Benninger, 2003). Batas-batasnya ialah sebelah superior terdapat

fossa serebri dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. Gambar 2.1. Anatomi hidung dan sinus (Hilger, 1997)

Gambar 2.2. Lokasi sinus dari depan, samping dan belakang (Hazenfield, 2009) 2.2.1. Definisi Rinosinusitis Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi akibat alergi atau infeksi karena bakteri, virus atau jamur. Secara klinis rinosinusitis dapat dibahagikan kepada 3 yaitu ; rinosinusiitis akut apabila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut apabila gejalanya berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis apabila gejalanya berlangsung lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo dan Rifki, 2003). Terdapat 4 jenis sinus yaitu sinus frontalis, maksilaris, etmoidalis dan sfenoidalis. Apabila rinosinusitis terjadi pada beberapa sinus,maka ia dikenali sebagai multisinusitis,sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal dikenal sebagai pansinusitis (Rosenfeld, 2007). 2.2.2. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI a. Virus Virus yang lebih sering menyebabkan rinosinusitis adalah rhinovirus, virus parainfluenza, respiratory syncitial virus (RSV) dan virus influenza. Setiap virus mempunyai banyak serotype yang mempunyai potensi tersendiri untuk memperparahkan infeksi tersebut. Infeksi akibat rhinovirus merupakan penyebab

tersering rinosinusitis pada orang dewasa dan memuncak pada musim gugur. RSV dan influenza pula akan merusak silia pernafasan pada saat musim dingin dan di awal musim semi. b. Bakteri Bakteri patogen yang sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut adalah S. pneumoniae dan H. influenza. Patogen ini menjadi penyebab utama terjadinya rinosinusitis sejak kali pertama dilakukan penelitian. Sedangkan patogen yang sering pada rinosinusitis bakteri kronis adalah s. aureus, staphylococcus koagulase negative, bakteri anaerob dan bakteri gram negative. (Brown, 2008) c. Jamur Aspergilosis adalah salah satu jamur yang paling sering dijumpai pada infeksi virus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang berwarna hijau kecoklatan. Mukormikosis pula merupakan infeksi oppurtunistik ganas yang dapat berkembang menjadi patogenik pada orang yang menderita asidosis diabetik dan imunosupresi. Pada penderita ini dijumpai sekret warna pekat,gelap, berdarah dan gambaran konka yang berwarna hitam atau merah bata. Candida bersama histoplasmosis, koksidoimilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis dan blastomikosis adalah kasus yang jarang mengenai hidung. (Boeis, 1997) d. Alergi Rinitis adalah suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin. Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya (sel mast, basofil, eosinofil, makrofag). Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi dengan alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien. Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera yang timbul, misalnya edema. Selain itu, juga akan terjadi reaksi lambat yang

selanjutnya cenderung terjadi akibat pelepasan mediator dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag dan trombosit. (Boeis, 1997). e. Kelainan anatomi dan struktur hidung Kelainan anatomi hidung dan sinus dapat mengganggu fungsi mukosiliar secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar. (Hilger, 1997) f. Hormonal Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada trimester pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesisnya masih belum jelas. (Brook, 2012) g. Lingkungan Perubahan mukosa dan kerusakan silia dapat terjadi apabila terpapar pada oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering. Kebiasaan merokok juga memicu hal yang sama. (Mangunkusumo E, 2007) 2.2.3. Patofisiologi Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya clearance mukosiliar didalam sumbatan kompleks osteo meatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan. (Hilger, 1997). Organ-organ yang membentuk kompleks osteo meatal terletak berdekatan, maka apabila terjadi edema, mukosa yang saling berhadapan akan bertemu sehingga menyebabkan gerakan silia terhambat dan ostium tersumbat. Akibatnya muncul tekanan negative di dalam rongga sinus yang seterusnya menyebabkan terjadinya transudasi. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous.

Apabila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus akan menjadi media pembiakan yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Efek dari kejadian ini adalah sekret menjadi purulen. Kini keadaan ini dikenali sebagai rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri dan memerlukan terapi antibakteri. Jikalau terapi tidak berhasil, maka inflamasi akan berlanjut sehingga terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak dan siklus ini seterusnya berputar sampai akhirnya terjadi perubahan mukosa yang kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin peril dilakukan tindakan operasi. (Mangunkusumo E, 2007) Gambar 2.3 Kompleks Osteo Meatal. (Hazenfield, 2009) 2.2.4. KLASIFIKASI Secara klinis rinosinusitis terbagi atas: Rinosinusitis akut : durasi terkena rinosinusitis dibawah 4 minggu

Rinosinusitis subakut : durasi terkena rinosinusitis dari 4 minggu 12 minggu. Rinosinusitis kronis : durasi terkena rinosinusitis sama atau lebih dari 12 minggu Rinosinusitis rekuren : menderita sama dengan atau lebih dari 4 kali menderita episode rinosinusitis, tapi episode lebih kurang durasinya 7-10 hari. (Mangunkusomo, 2007) Berdasarkan penyebabnya rinosinusitis terbagi atas: Sinusitis rinogen : penyebabnya adalah kelainan atau masalah di hidung. Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis dentogen : penyebabnya adalah kelainan gigi yang sering menyebabkan sinusitis seperti infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar). (Mangunkusomo, 2007). 2.2.5. GEJALA KLINIS Setiap gejala rinosinusitis, keparahan dan durasinya harus didokumentasi. The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) telah membuat kriteria mayor dan minor untuk mempermudahkan mendiagnosa rinosinusitis. Rinosinusitis dapat didiagnosa apabila dijumpai dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua atau lebih kriteria minor. Gejalanya menurut kriteria mayor dan minor adalah: Gejala Mayor : - Obstruksi hidung

- Sekret pada daerah hidung/ sekret belakang hidung yang sering disebut PND (Postnasal drip). - Kongesti pada daerah wajah - Nyeri /rasa tertekan pada wajah - Kelainan penciuman(hiposmia / anosmia) - Demam (hanya pada akut) Gejala Minor: - Sakit kepala - Sakit/ rasa penuh pada telinga - Halitosis/ nafas berbau - Sakit gigi - Batuk dan iritabilitas - Demam (semua nonakut) - Lemah Gejala Subjektif 1. Nyeri Nyeri yang timbul bersesuaian dengan daerah sinus yang terkena. Pada peradangan yang aktif bagian sinus maksila atau frontalis nyerinya biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Manakala pada sinus etmoid dan sfenoid yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala. Tidak begitu jelas lokasi nyeri atau disebarkan ke perifer kepala di daerah yang tidak ada hubungan dengan lokasi sinus.

2. Sakit kepala Pada penyakit sinus, jenis sakit kepalanya sering unilateral atau dimulai sebagai nyeri kepala unilateral dan meluas ke sisi lainnya. Sakit kepala akan meningkat pada posisi badan yang membungkuk ke depan dan jika terjadi perubahan posisi secara tiba-tiba. Nyeri kepala akan menetap saat menutup mata dan saat istirahat. Sakit kepala akibat sinus juga dikatakan sebagai nyeri yang tajam, menusuk-nusuk, melalui mata atau nyeri dan rasa berat yang menetap. 3. Nyeri pada penekanan Pada penyakit sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah seperti sinus frontal, etmoid anterior dan maksila, terdapat nyeri apabila disentuh atau nyeri pada penekanan jari. Nyeri tekan pada os frontal apabila ada penekanan di sudut medial rongga orbita. Pada pemeriksaan sel-sel etmoid anterior, tekanan dilakukan pada sudut medial orbital pada planum orbita os etmoid. Pada pemeriksaan sinus maksila, harus dilakukan penekanan pada fosa kanina os maksila superior. 4. Gangguan penciuman Keluhan yang paling sering adalah kehilangan sensasi penciuman. Gejala Objektif 1. Pembengkakan dan edema Pada infeksi akut sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan etmoid) dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat periostitis. Pada palpasi dengan jari boleh didapatkan sensasi seperti ada penebalan ringan. Pembengkakan ini lebih sering pada sinus frontal. 2. Sekret nasal Kecurigaan terdapatnya peradangan pada sinus seharusnya sudah timbul apabila adanya pus dalam rongga hidung. Pada sinus frontal, etmoid anterior dan maksila, tandanya adalah terdapatnya pus pada meatus medius karena sinus-sinus ini bermuara ke dalam meatus medius. Jika pus terletak di fisura

olfaktorius, maka sel-sel etmoid posterior dan sfenoid mungkin terkena karena sel-sel tersebut berdrainase ke dalam meatus superior di atas konka medius. 3. Transiluminasi Transiluminasi sinus memberikan informasi objektif atas kondisi sinus maksila dan frontal, tetapi tidak untuk sinus lainnya. Digunakan apabila tiada fasilitas radiologis. Pada transiluminasi sinus, di dalam kamar gelap, suatu sumber cahaya diletakkan dalam mulut pasien dengan mata pasien terbuka. Apabila refleks pupil merah dan bayangan sinar bulan sabit tidak ada maka kemungkinan sinus maksila terkena. Transiluminasi pada sinus frontal, cahaya diletakkan di bawah dasar sinus frontal pada sudut atas dan dalam orbita, dan kedua sisi dibandingkan. 4. Cairan radioopak Untuk sinus maksila dan sfenoid hal ini mempunyai arti yang besar. Dengan adanya cairan itu, rongga sinus tampak jelas tergambar, sehingga penebalan mukosa dan adanya polip dapat diketahui dan ketidaksamaan ukuran dapat tergambar dengan jelas.( Rosenfeld,2007)

2.2.6. DIAGNOSA Gambaran klinis Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada penderita dewasa dan anak berdasarkan gambaran klinik, yaitu: Tabel 2.1. Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004 (Kennedy,1995) No Kriteria Rinosinusitis Akut Rinosinusitis Kronik Dewasa Anak Dewasa Anak 1 Lama gejala dan tanda < 12 <12 > 12 > 12 minggu minggu minggu minggu 2 Jumlah episode serangan akut, < 4 kali / < 6 kali / > 4 kali / > 6 kali / masing-masing berlangsung tahun tahun tahun tahun minimal 10 hari 3 Jumlah episode serangan akut, Dapat sembuh Tidak dapat sembuh masing-masing berlangsung sempurna dengan sempurna dengan minimal 10 hari pengobatan pengobatan medikamentosa medikamentosa Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius atau di daerah meatus superior. (Mangunkusumo dan Rifki). Rinoskopi anterior Rinoskopi anterior adalah alat dasar untuk pemeriksaan fisik yang paling spesifik yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinunasal. Ia adalah pemeriksaan yang tepat untuk mengevaluasi pasien sebelum dan sesudah pemakaian dekongestan topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi permukaaan anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti, middle turbinate dapat divisualisasi secara jelas. (Benninger, 2003).

Endoskopi nasal Di samping memainkan peranan yang penting dalam mendiagnosa rinosinusitis, endoskopi nasal juga dapat membantu dalam pemberian terapi yang tepat. Sebilangan besar dokter menggunakan menggunakan endoskopi nasal karena alasan yang berikut : - Gejala-gejala pasien sahaja tidak dapat menjadi patokan untuk mendiagnosa. - Endoskopi merupakan fasilitas diagnostik yang lebih baik dan dapat mendeteksi kelainan yang tidak diketemukan pada saat anamnesa, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan pencitraan. - Perubahan warna hijau kekuningan tampak pada permukaan nasal. - Kultur endoskopik berguna untuk organisme yang menyebabkan rinosinusitis. (Rosenfeld, 2007). Pemeriksaan mikrobiologi Biakan dari hasil yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat dibandingkan dengan biakan hidung bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan hidung bagian posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang terkena. Pemeriksaan ini sering dilakukan untuk mencari antibiotik yang sesuai untuk membasmi mikroorganisma penyebab penyakit ini. (Brown, 2008) Foto polos kavitas nasal dan sinus paranasal Rinosinusitis menunjukkan gambaran berupa : 1. Penebalan mukosa, 2. Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi) 3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto waters. Bagaimanapun juga, harus diingat bahwa foto polos ini memiliki kekurangan dimana foto polos gagal menunjukkan anatomi sinus yang diperlukan dan gagal menunjukkan peradangan yang meluas. (Rosenfeld, 2007).

CT csan CT scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya tulang yang relevan untuk mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut. Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT scan menggunakan dosis radiasi yang sangat besar, yang berbahaya bagi mata.(rosenfeld, 2007). MRI Walaupun MRI tidak dapat menunjukkan anatomi tulang sinus paranasal seperti CT scan, namun MRI dapat menunjukkan kelainan pada mukosa dengan baik. (Rosenfeld,2007) 2.2.7. Terapi Tujuan terapi rinosinusitis adalah untuk mempercepatkan penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah progresifitas penyakit menjadi lebih kronik. Prinsip kerja pengobatan rinosinusitis adalah dengan membuka sumbatan di kompleks osteo meatal sehingga drainase dan ventilasi sinus dipulihkan secara alami. 1. Rinosinusitis akut Bagi pengobatan rinosinusitis akut, antibiotik empirik diberikan 2x24 jam. Di sini,obat lini I golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan seperti dekongestan oral + topikal, mukolitik digunakan untuk memperlancarkan drainase. Analgetik juga dapat diberikan untuk menghilangkan rasa nyeri. Jika terdapat pembaikan, maka pemberian harus diteruskan selama 10-14 hari. Namun, apabila tidak ada kebaikan, antibiotik lini II diberikan selama 7 hari seperti amoksisilin klavulanat, atau ampisilin sulbaktam, sefalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Setelah pemberian pengobatan ini terdapat pembaikan, maka pemberian antibiotik diteruskan selama 10-14 hari. Namun apabila tidak terdapat pembaikan, maka pasien harus dijalani foto rontgen polos, CT scan atau naso-endoskopi. Menurut pemeriksaan ini,jika terdapat

kelainan,seterusnya dilakukan terapi rinosinusitis kronis. Jika tidak terdapat kelainan, maka harus dilakukan evaluasi diagnosa yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari sinus. (McCort,2005) 2. Rinosinusitis subakut Pertama sekali harus diberikan pengobatan medikamentosa, dan apabila perlu sahaja maka dibantu dengan tindakan diatermi atau pencucian sinus. Dari segi pengobatan, antibiotik berspektrum luas diberikan sesuai dengan resistensi kuman selama 10-14 hari. Selain itu, obatan simptomatis juga dapat diberikan seperti dekongestan. Obatan seperti analgetik, antihistamin dan mukolitik juga dapat diberikan kepada pasien. Tindakan diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave Diathermy) dilakukan sebanyak 5 hingga 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki atau melancarkan vaskularisasi sinus. Setelah tindakan ini masih tidak ada pembaikan, maka harus dilakukan pencucian sinus. Pada sinus maksila, ini dilakukan dengan pungsi irigasi manakala pada sinus etmoid, frontal atau sfenoid yang letak muaranya di bawah, dilakukan dengan cuci sinus cara Proetz,di mana prinsip kerjanya adalah dengan membuat tekanan negatif dalam rongga hidung dan sinus paranasal.. (Hansen, 2011) 3. Rinosinusitis kronis Pada penatalaksanaan rinosinusitis, jika diketemukan faktor predisposisi, dapat dilakukan tatalaksana yang sesuai bersama terapi tambahan. Jika terdapat perbaikan setelah pemberian terapi, maka antibiotik yang diberi harus diteruskan selama 10-14 hari. Jika faktor predisposisi tidak diketemui, maka pemberian terapi sesuai episode akut lini II dan terapi tambahan dapat diberikan. Sambil menunggu hasil pemberian terapi, pasien dapat diberi antibiotik alternatif 7 hari atau dilakukan kultur. Jika ada pembaikan, diteruskan pemberian antibiotic selama 10-14 hari. Namun, jika tidak ada pembaikan, maka diteruskan proses evaluasi dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi sebanyak 5 kali tidak membaik). Jika terdapat obstruksi osteo meatal, maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Walaubagaimanapun, jika

tidak ada obstruksi kompleks osteo meatal, maka dilakukan kembali evaluasi diagnosa. 2.2.8. Tindakan operasi Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasi penatalaksanaannya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik yang disertai kista, atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis akibat jamur. (Mangunkusumo dan Rifki, 2003) 2.2.9. Komplikasi 1. Kelainan pada orbita Penyebab komplikasi ini adalah sinus ethmoidalis karena lokasinya yang terletak berdekatan dengan mata. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi dari ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita juga. Pada komplikasi ini terdapat lima tahapan: a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Ini terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini sering ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini. b. Selulitis orbita,di mana edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus masih belum terbentuk. c. Abses subperiosteal, pus telah terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis. d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot

ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah. e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik. (Herawati, 2004) 2. kelainan intracranial a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis. b. Abses dura, adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial. c. Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura, yaitu nyeri kepala yang membandel dan demam tinggi dengan tandatanda rangsangan meningen. Gejala utama tidak timbul sebelum tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses memecah kedalam ruang subarachnoid. d. Abses otak, setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Namun, abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan arachnoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks seebri. 3. kelainan tulang

Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dalam hal mana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup.timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Radiogram dapat memperlihatkan erosi batas-batas tulang dan hilangnya septa intrasinus dalam sinus yang keruh. (Rosenfeld, 2007) 4. mukokel Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan, mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya (Hilger, 1997). 5. piokel Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus. (Brook, 2012)