BAB 1 PENDAHULUAN. Kornea merupakan lapisan depan bola mata, transparan, merupakan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. penyebarannya sangat cepat. Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia

BAB I PENDAHULUAN. trauma mata dari satu negara dengan negara lain berbeda dan bahkan di dalam. wilayah di negara yang sama pun bisa bervariasi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kornea merupakan jaringan transparan avaskular yang berada di dinding depan bola mata. Kornea mempunyai fungsi

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan sehingga mampu meningkatkan rata-rata usia harapan hidup.

BAB 1 PENDAHULUAN. sehari (Navaneethan et al., 2011). Secara global, terdapat 1,7 miliar kasus diare

BAB 1 PENDAHULUAN. 2014). Pneumonia pada geriatri sulit terdiagnosis karena sering. pneumonia bakterial yang didapat dari masyarakat (PDPI, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB I PENDAHULUAN. kacamata. Penggunaan lensa kontak makin diminati karena tidak mengubah

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak dikategorikan ke dalam

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA PADA KORNEA DI RUANG MATA RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA. Trauma Mata Pada Kornea

BAB I PENDAHULUAN. Keratitis ulseratif atau ulkus kornea adalah suatu kondisi inflamasi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu respon inflamasi sel urotelium

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak lahir (Ilyas S, 2006). Orang tua akan menyadari untuk pertama kali dengan

BAB 1 : PENDAHULUAN. membungkus jaringan otak (araknoid dan piameter) dan sumsum tulang belakang

BAB I PENDAHULUAN. penyakit. Lensa menjadi keruh atau berwarna putih abu-abu, dan. telah terjadi katarak senile sebesar 42%, pada kelompok usia 65-74

BAB I PENDAHULUAN. Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebutaan merupakan suatu masalah kesehatan di dunia, dilaporkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. darah menuju otak, baik total maupun parsial (sebagian) (Čengić et al., 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut data Riskesdas 2013, katarak atau kekeruhan lensa

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang telah diproduksi secara efektif. Insulin merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Mata merupakan bagian pancaindera yang sangat penting dibanding

TINJAUAN PENATALAKSANAAN DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI SELURUH PUSKESMAS KEPERAWATAN WILAYAH KABUPATEN JEMBER PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2007

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sekian banyak penyakit degeneratif kronis (Sitompul, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. Intususepsi merupakan salah satu penyebab tersering dari obstruksi usus dan

Agia Dwi Nugraha Pembimbing : dr. H. Agam Gambiro Sp.M. KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA RSUD Cianjur FK UMJ

Obat Diabetes Melitus Dapat Menghindari Komplikasi Mata Serius

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. yang selalu bertambah setiap tahunnya. Salah satu jenis infeksi tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di

BAB I PENDAHULUAN. keganasan yang berasal dari sel epitel yang melapisi daerah nasofaring (bagian. atas tenggorok di belakang hidung) (KPKN, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit non infeksi, yaitu penyakit tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah sindroma yang bercirikan defisit neurologis onset akut yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. empedu atau di dalam duktus koledokus, atau pada kedua-duanya (Wibowo et al.,

SOP KATARAK. Halaman 1 dari 7. Rumah Sakit Umum Daerah Kota Cilegon SMF. Ditetapkan Oleh Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Cilegon.

BAB I PENDAHULUAN. Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan yang utama di dunia. Data

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Katarak adalah keadaan terjadi kekeruhan pada serabut atau bahan lensa di

BAB I PENDAHULUAN. Hemoptisis atau batuk darah merupakan masalah kesehatan yang berpotensi

Diagnosa banding MATA MERAH

24 years old Male with Corneal Ulcer and Iris Prolapse Occuli Dextra

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB 1 : PENDAHULUAN. pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menduduki urutan ke 10 dari urutan prevalensi penyakit. Inflamasi yang terjadi pada sistem saraf pusat

BAB I. Pendahuluan. Saraf optik merupakan kumpulan akson yang berasal. dari sel-sel ganglion retina menuju khiasma nervus

BAB 1 PENDAHULUAN. lapisan, yaitu pleura viseral dan pleura parietal. Kedua lapisan ini dipisahkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata dan menjadi penyebab

BAB I PENDAHULUAN. Mata adalah system optic yang memfokuskan berkas cahaya pada foto

PERUBAHAN TEAR FILM SETELAH PEMBERIAN SERUM AUTOLOGUS TETES MATA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 TESIS

BAB 1 : PENDAHULUAN. Kanker payudara dapat tumbuh di dalam kelenjer susu, saluran susu dan jaringan ikat

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat PTM mengalami peningkatan dari 42% menjadi 60%. 1

PENGARUH INJEKSI ANTI-VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (ANTI-VEGF) TERHADAP GRADE TRANSLUSENSI DAN PANJANG PTERIGIUM PRIMER

BAB I PENDAHULUAN. secara efektif. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

PENDEKATAN DIAGNOSIS DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI SELURUH PUSKESMAS KEPERAWATAN WILAYAH KABUPATEN JEMBER PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2007

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. infeksi virus selain oleh bakteri, parasit, toksin dan obat- obatan. Penyakit

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung dimana otot

BAB 1 : PENDAHULUAN. dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun Sedangkan

GLUKOMA PENGERTIAN GLAUKOMA

Seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, penggunaan. lensa kontak sebagai pengganti kacamata semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

GLAUKOMA ABSOLUT POST TRABEKULEKTOMI DAN GLAUKOMA POST PERIFER IRIDEKTOMI

BAB 1 PENDAHULUAN. dunia. Prevalensi stroke meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Selain itu,

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. termasuk golongan tumbuhan. Jamur bersifat heterotropik yaitu organisme yang tidak

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. pemeriksaan rutin kesehatan atau autopsi (Nurdjanah, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

berkas cahaya, sehingga disebut fotoreseptor. Dengan kata lain mata digunakan

BAB 1 PENDAHULUAN. aktivitas fisik dan meningkatnya pencemaran/polusi lingkungan. Perubahan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

Katarak adalah : kekeruhan pada lensa tanpa nyeri yang berangsur-angsur, penglihatan kabur akhirnya tidak dapat menerima cahaya (Barbara)

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

Anita's Personal Blog Glaukoma Copyright anita handayani

Diabetes dan Penyakit Mata

BAB I PENDAHULUAN. usia, jenis kelamin, dan strata sosial serta dapat dijumpai diseluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikroorganisme penyebab penyakit infeksi disebut juga patogen

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan

UPDATE MATERI PENATALAKSANAAN CORPUS ALIENUM PADA MATA

BAB I PENDAHULUAN. isi, akurat, tepat waktu, dan pemenuhan persyaratan aspek hukum. berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

BAB 1 PENDAHULUAN. apendisitis akut (Lee et al., 2010; Shrestha et al., 2012). Data dari WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa insiden

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan utama di negara maju dan berkembang. Penyakit ini menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data dari World Health Organization penyebab kebutaan

Glaukoma. 1. Apa itu Glaukoma?

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit (RS) sebagai institusi pelayanan kesehatan, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kornea merupakan lapisan depan bola mata, transparan, merupakan jaringan yang tidak memiliki pembuluh darah (avaskular). Kornea berfungsi sebagai membran pelindung yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahaya disebabkan strukturnya yang jernih dan avaskular (PERDAMI, 2002). Lapisan kornea dari luar ke dalam adalah epitel, membrana Bowman, stroma, membrana Descemet, dan endotel (AAO, 2012). Epitel yang terdapat pada kornea ini adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam kornea sehingga dapat menahan peradangan. Oleh karena kornea jaringan avaskular maka jika terjadi peradangan sistem pertahanan tidak segera bekerja, berbeda dengan jaringan lain yang banyak memiliki jaringan vaskular (Biswell, 2010). Peradangan kornea jika tidak didiagnosis secara dini serta tidak ditangani dengan cepat dan tepat dapat menimbulkan kerusakan pada kornea sampai dapat berlanjut menjadi ulkus. Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh adanya infiltrat disertai defek kornea bergaung dan diskontinuitas jaringan kornea dengan kehilangan epitel juga sampai mengenai stromal kornea. Klasifikasi ulkus kornea dibagi menjadi infeksius dan non-infeksius. Ulkus kornea infeksius disebabkan oleh bakteri, jamur, parasit, dan virus. Sedangkan ulkus kornea noninfeksius disebabkan oleh penyakit autoimun, neutrotropik, toksik, dan alergi (AAO, 2012). Ulkus non-infeksius lainnya dapat disebabkan oleh defisiensi vitamin A (Hamurwono et al., 2002).

Pola epidemiologi ulkus kornea bervariasi di seluruh dunia, berhubungan dengan populasi pasien, lokasi geografis, dan iklim. Staphylococcus aureus dan Aspergillus spp adalah penyebab paling umum terjadinya ulkus kornea infeksius di negara berkembang (Gandhi et al., 2014), sedangkan penyebab ulkus kornea non-infeksius terbanyak adalah autoimun (Sharma et al, 2015). Angka kejadian ulkus kornea infeksius maupun non-infeksius terbanyak pada jenis kelamin lakilaki, usia terbanyak pada kelompok (Nagasree dan Vijayalakshmi, 2015)(Sharma et al, 2015). Usia penderita ulkus kornea infeksius terbanyak adalah orang yang berusia 40 60 tahun (Gandhi et al., 2014) dan pada sebuah penelitian di India menunjukan 65% kasus ulkus non-infeksius terbanyak terjadi pada rentang usia 18 45 tahun (Sharma et al, 2015). Faktor predisposisi terbanyak pada ulkus kornea baik infeksius dan noninfeksius adalah trauma mata. Di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta, trauma kornea merupakan penyebab terbanyak (68,4%) terjadinya ulkus kornea (Suhardjo et al., 2000). Trauma mata banyak terjadi akibat benda asing salah satunya adalah bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan oleh karena itu ulkus infeksius banyak dialami pada orang yang bekerja di sektor pertanian (Keshav et al, 2008). Salah satu ulkus kornea non-infeksius yaitu ulkus Mooren banyak dialami pada orang yang bekerja sebagai petani (Chen et al, 2000). Ulkus kornea infeksius dan noninfeksius lebih banyak terjadi di daerah rural atau pedesaan dibanding dengan daerah urban atau perkotaan (Nagasree dan Vijayalakshmi, 2015)(Sharma et al, 2015). Pada kebanyakan kasus ulkus kornea infeksius hanya mengenai satu mata. Ulkus kornea non-infeksius bisa mengenai satu atau kedua mata. Pada penelitian 2 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Fasina (2013) di Nigeria, ulkus kornea non-infeksius banyak terjadi di satu mata saja atau unilateral. Ulkus kornea merupakan penyebab utama kebutaan unilateral di negara berkembang (Nagasree dan Vijayalakshmi, 2015). Gambaran klinik ulkus kornea dapat berupa gejala subjektif dan gejala objektif. Gejala subjektif yang timbul berupa eritema pada kelopak mata dan konyungtiva, sekret, merasa ada benda asing di mata, pandangan kabur, mata berair, bintik putih pada kornea, silau, dan nyeri. Gejala objektif yang timbul berupa injeksi silier, hilangnya epitel kornea, adanya infiltrat, dan hipopion (Ilyas dan Maylangkay, 2002). Diagnosis ulkus kornea dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis yang baik dibantu dengan slit lamp. Pada pemeriksaan ketajaman penglihatan atau visus, didapatkan adanya penurunan visus. Penelitian yang dilakukan Ezegwui (2010) di Afrika menunjukan bahwa dari 82 pasien ulkus kornea sebanyak 55 pasien mengalami penurunan visus kurang dari 3/60. Jenis mikroorganisme ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikroskopik dan kultur. Tujuan penatalaksanaan ulkus kornea adalah eradikasi bakteri dari kornea, menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea, mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta memperbaiki tajam penglihatan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pemberian terapi yang tepat dan cepat sesuai dengan kultur serta hasil uji sensitivitas mikroorganisme penyebab. Selain terapi medikamentosa, tindakan lain yang dapat dilakukan adalah tindakan operatif. Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan, cepat lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada 3 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

tidaknya komplikasi yang timbul (Suharjo dan Hartono, 2007). Komplikasi yang mungkin timbul akibat ulkus kornea antara lain kebutaan parsial atau komplit karena endoftalmitis, prolaps iris, sikatrik kornea, katarak, glaukoma sekunder, perforasi atau impending perforasi kornea, dan descemetocele sekunder (Vaughan, 2008). Menurut penelitian Chen et al (2015), dari kelompok usia anak kecil sampai lanjut usia angka kejadian perforasi kornea dan rekuren lebih tinggi terjadi pada pasien ulkus kornea Mooren dikedua mata dibandingkan dengan yang hanya mengenai satu mata. Sebagian besar penduduk Indonesia masih bekerja dalam sektor pertanian termasuk peternakan dan perikanan termasuk penduduk di Provinsi Sumatera Barat. Hal ini menjadi salah satu faktor yang berperan untuk terjadinya cedera mata hingga terjadi ulkus kornea. Akibat dari penyembuhan ulkus kornea terbentuk sikatrik kornea berupa kekeruhan konea sehingga tajam penglihatan dapat menurun hingga dapat mengakibatkan kebutaan. Menurut Riskesdas tahun 2013 prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas di Sumatera Barat yaitu 0,4% setara dengan prevalensi kebutaan nasional. Dengan kondisi seperti ini ditambah dengan pelayanan kesehatan dan sistem rujukan yang masih lemah, sangat dibutuhkan langkah-langkah yang tepat dan efektif untuk menghindari dan mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akibat ulkus kornea. Data yang diperoleh berdasarkan penelitian sebelumnya pada tahun 2011 di RSUP Dr. M. Djamil Padang ditemukan kasus ulkus kornea sebanyak 45 pasien, pada tahun 2012 sebanyak 24 pasien, dan pada tahun 2013 didapatkan 51 pasien. Pada penelitian tersebut disimpulkan bahwa ulkus kornea lebih banyak terjadi pada laki-laki, kelompok usia 50 - <60 tahun, dan faktor pencetus 4 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

terbanyak karena trauma mata (Lubis, 2015). Data awal yang didapatkan dari rekam medik RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tahun 2014 terdapat 60 pasien ulkus kornea rawat inap. Terdapat peningkatan jumlah penderita ulkus kornea dari tahun 2012 sampai 2014. Penulis mengembangkan penelitian sebelumnya dengan membedakan bedasarkan jenis ulkus yaitu infeksius dan non-infeksius serta menambahkan beberapa aspek lain yaitu berdasarkan tempat tinggal, pekerjaan, dan lokasi mata yang terkena. Hal ini membuat penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai ulkus kornea infeksius dan non-infeksius. RSUP Dr. M. Djamil Padang dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan rumah sakit rujukan tingkat lanjut untuk ulkus kornea di Provinsi Sumatera Barat. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimana distribusi frekuensi pasien ulkus kornea infeksius dan noninfeksius berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal, faktor predisposisi, dan lateralisasi di bangsal rawat inap bagian mata RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2014? 2. Bagaimana distribusi mata pasien ulkus kornea infeksius dan noninfeksius berdasarkan lokasi ulkus, ketajaman penglihatan (visus), tatalaksana, jenis operasi, komplikasi, dan jenis komplikasi di bangsal rawat inap bagian mata RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2014? 5 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui karakteristik pasien ulkus kornea infeksius dan non-infeksius di bangsal rawat inap bagian mata RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2014. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui distribusi pasien ulkus kornea infeksius dan non-infeksius di bangsal rawat inap bagian mata RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2014. 2. Untuk mengetahui distribusi pasien ulkus kornea infeksius dan non-infeksius menurut usia di bangsal rawat inap bagian mata RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2014. 3. Untuk mengetahui distribusi pasien ulkus kornea infeksius dan non-infeksius menurut jenis kelamin di bangsal rawat inap bagian 4. Untuk mengetahui distribusi pasien ulkus kornea infeksius dan non-infeksius menurut pekerjaan di bangsal rawat inap bagian mata RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2014. 5. Untuk mengetahui distribusi pasien ulkus kornea infeksius dan non-infeksius menurut tempat tinggal di bangsal rawat inap bagian 6. Untuk mengetahui distribusi pasien ulkus kornea infeksius dan non-infeksius menurut faktor predisposisi di bangsal rawat inap bagian 6 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

7. Untuk mengetahui distribusi pasien ulkus kornea infeksius dan non-infeksius menurut lateralisasi di bangsal rawat inap bagian 8. Untuk mengetahui distribusi mata pasien ulkus kornea infeksius dan non-infeksius menurut lokasi ulkus di bangsal rawat inap bagian 9. Untuk mengetahui distribusi mata pasien ulkus kornea infeksius dan non-infeksius menurut visus di bangsal rawat inap bagian mata RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2014. 10. Untuk mengetahui distribusi mata pasien ulkus kornea infeksius dan non-infeksius menurut tatalaksana di bangsal rawat inap bagian 11. Untuk mengetahui distribusi mata pasien ulkus kornea infeksius dan non-infeksius menurut jenis operasi di bangsal rawat inap bagian 12. Untuk mengetahui distribusi mata pasien ulkus kornea infeksius dan non-infeksius menurut komplikasi di bangsal rawat inap bagian 13. Untuk mengetahui distribusi mata pasien ulkus kornea infeksius dan non-infeksius menurut jenis komplikasi di bangsal rawat inap bagian 1.4 Manfaat Penelitian 1. Memberikan pengetahuan dan wawasan mengenai karakteristik pasien rawat inap ulkus kornea infeksius dan non-infeksius di bangsal bagian 7 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

mata RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2014 berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal, faktor predisposisi, lateralisasi, lokasi ulkus, visus, tatalaksana medis, jenis operasi, komplikasi, dan jenis komplikasi. 2. Memberikan informasi kepada petugas bidang kesehatan masyarakat yang dapat digunakan untuk merencanakan program dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan bagi pasien ulkus kornea infeksius dan non-infeksius. 3. Mendorong untuk diadakannya penelitian lebih lanjut mengenai ulkus kornea infeksius dan non-infeksius dan memberikan informasi untuk pengembangan pengetahuan dan acuan kepustakaan. 8 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas