yaitu budaya Jawa mempengaruhi bagaimana maskulinitas dimaknai, seperti pendapat Kimmel (2011) bahwa maskulinitas mencakup komponen budaya yang bervariasi antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya yang berubah dari waktu ke waktu yang juga berbeda antara kategori umur, kelas sosial, etnis, seksualitas, tingkat pendidikan, agama dan negara. Maskulinitas dalam masyarakat sangat terkait dengan pandangan, nilai-nilai, keyakinan, sikap, dan perilaku yang dianggap dan diidentifikasikan sebagai laki-laki yang memiliki karakteristik maskulin. 114
BAB V PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian Pemaknaan Maskulinitas: Kajian Sosiologis Tentang Pemaknaan Maskulinitas Laki-Laki di Kota Surakarta peneliti memberikan kesimpulan, dan saran sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Simbol maskulinitas ditunjukkan melalui tubuh dengan mengkontrol dan membentuk tubuh sesuai dengan citra diri maskulin yang ingin tampilkan, misalnya melatih otot dan rutin melakukan gym. Simbol maskulinitas dalam tubuh dimunculkan menolak karakteristik dan ciri-ciri feminis, misalnya tidak ingin terlihat memakai warna pink dan terlihat bibir berwarna merah. Uang, kewibawaan, dan bekerja di luar rumah merupakan simbol maskulinitas yang ingin ditunjukkan sebagai penguasaan emosional dan menegaskan kekuasaan seorang laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat maupun di dalam rumah tangga. 2. Sikap untuk menunjukkan maskulinitas melalui sikap pemberani, mental yang tidak lembek, tidak banyak mengeluh, tidak tunduk kepada perempuan, tidak ingin dipermainkan oleh perempuan merupakan sikap menunjukkan maskulinitas yang menonjolkan kekuatan mental maupun fisik dengan tidak menunjukkan perasaan, tidak pernah menyerah, kuat, agresif, tidak menunjukkan rasa takut. Sikap memperhatikan bentuk tubuh atau menjaga penampilan, berdandan supaya enak dipandang, tidak mau dipermalukan, berdandan metroseksual merupakan sikap yang menunjukkan laki-laki sebagai individu bebas dan berorientasi pada diri sendiri yang kuat. 3. Perilaku untuk menunjukkan maskulinitas melalui tindakan kekerasan, berbicara kotor atau bernada keras untuk menunjukkan kegarangan, berdandan untuk mendapatkan perhatian lawan jenis ataupun meningkatkan kepercayaan diri, menjaga perasaan orang lain dan memberikan rasa hormat 115
kepada mertua ataupun tetangga merupakan keutamaan dalam mengendalikan emosional dan selalu memikirkan peran mereka sebagai kepala rumah tangga. 4. Dalam perspektif interaksionisme simbolik, pemaknaan maskulinitas tidak tunggal, beragam dan bervariasi yang terwujud dalam simbol, sikap dan perilaku laki-laki. Subyektifitas dalam memaknai maskulinitas dominan, artinya bentuk-bentuk pemaknaan maskulinitas yang terwujud dalam simbol, sikap dan perilaku laki-laki sangat tergantung dengan subyek dan ruang interaksi yang sedang dihadapi, namun kebudayaan Jawa memberi pengaruh terhadap pemaknaan maskulinitas. Maskulinitas hegemonik terwujud melalui konstruksi maskulinitas budaya Jawa yang dipelihara oleh media dan negara dengan mengutamakan konstruksi patriarkhi, dimana laki-laki mendominasi dan mendapat hak istimewa dalam masyarakat. 5. Dimensi yang mempengaruhi pemaknaan maskulinitas terdiri dari dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi internal mencakup motivasi, persepsi, emosi, pengetahuan dan pengalaman yang mempengaruhi individu. Dimensi eksternal mencakup lingkungan sosial seperti keluarga, sekolah, lingkungan kerja, pergaulan teman sebaya atau perkumpulan-perkumpulan berdasarkan kesenangan atau hobi. 6. Memiliki pacar dan pernikahan merupakan momentum perubahan perjalan kehidupan laki-laki yang mempengaruhi perubahan pemaknaan maskulinitas. Maskulinitas laki-laki muda atau yang belum menikah menunjukkan maskulinitas memposisikan sebagai individu bebas, sedangkan laki-laki tua atau yang sudah menikah menunjukkan penyatuan antara diri sebagai lakilaki yang memegang peran dan posisi sebagai kepala rumah tangga. 7. Laki-laki muda yang belum menikah cenderung sangat berambisi dan terkait kuat dengan gambaran, motivasi, dan nilai-nilai maskulinitas laki-laki tradisional, seperti mengunggulkan keperkasaan, kekuatan fisik dan penalokan terhadap sifat-sifat feminis. Sedangkan laki-laki tua atau yang sudah menikah menunjukkan pemaknaan maskulinitas mereka mencitrakan diri kurang berambisi dan maskulinitas mereka cenderung berpaling pada motivasi instrinsik yang lebih berorientasi pada kenikmatan proses, kualitas 116
pengalaman, dan emosional dengan mengintegrasikan karakteristik perilaku maskulin dan feminin, juga terbuka terhadap kerentanan emosional dan lebih berani untuk menunjukkan perilaku kasih sayang kepada orang lain. 8. Perubahan simbol maskulinitas ditunjukkan dari perbedaan laki-laki muda yang belum menikah menggunakan tubuh, mengutamakan tampilan fisik, mengutamakan ciri fisik tokoh pewayangan, yaitu Arjuno. Laki-laki tua atau yang sudah menikah menggunakan uang, pekerjaan, penguasaan emosi. Tokoh pewayangan bagi laki-laki tua atau yang sudah menikah tidak hanya menampakkan sisi fisiknya saja (kasemon), namun wayang merupakan simbol terhadap jiwa seorang laki-laki sebagai simbol maskulinitas. 9. Perubahan sikap untuk menunjukkan maskulinitas ditunjukkan dari perbedaan laki-laki muda yang belum menikah menggunakan harga diri laki-laki sebagai individu sangat dominan dengan menonjolkan kekuatan mental maupun fisik dengan tidak menunjukkan perasaan. Laki-laki tua atau yang sudah menikah menunjukkan sikap ketenangan dan kehalusan sebagai penguasaan emosional. 10. Perubahan perilaku untuk menunjukkan maskulinitas ditunjukkan dari perbedaan laki-laki muda yang belum menikah berperilaku kekerasan dan egois terhadap diri sendiri. Laki-laki tua atau yang sudah menikah berperilaku merujuk pada perilaku umum keluarga Jawa, yaitu kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. B. Saran 1. Menjadi laki-laki tidak selalu harus perkasa dan tangguh fisiknya, tidak harus mudah tersinggung harga dirinya hanya karena diejek, tidak harus memiliki gengsi tinggi. Masih banyak bentuk-bentuk maskulinitas lainnya yang lebih gentleman. Seperti menjadi laki-laki tidak takut dan malu untuk mengatakan di publik bahwa tindakannya salah apabila benar-benar salah. Ataupun malu untuk meminta maaf jika bersalah. Gengsi dan harga diri menjadi sangat kabur definisi dan indikasinya, namun menunjukkan gengsi dan harga diri melalui prestasi intelektualitas, misalnya dapat menjadi identitas yang dibanggakan dan mendapatkan apresiasi dari laki-laki lain. Selain itu 117
kedewasaan seorang laki-laki akan bertumbuh seiring dengan usianya, pastinya bagi remaja-remaja yang mengalami krisis identitas maskulinitasnya hendaknya mencoba untuk mengambil peran untuk segera mendewasakan diri, artinya coba memikirkan masa depannya, karena dengan terus berfikir tentang masa depan, seorang laki-laki akan memiliki arah untuk kehidupannya. 2. Dibutuhkan sebuah studi etnografi panjang dengan mengikuti informan dalam melalui proses transisi maskulinitas akan semakin memberikan kedalaman informasi, karena dalam penelitian ini ditemukan bahwa transisi maskulinitas berkaitan dengan faktor usia laki-laki, laki-laki dalam membangun kedewasaan maskulinitasnya merubah orientasi maskulinitasnya secara alamiah mengikuti perkembangan umurnya. 3. Bentuk maskulinitas metroseksual sebagai bentuk maskulinitas baru dapat didalami sebagai kajian tersendiri untuk mengatahui apa yang dipikirkan oleh laki-laki tentang maskulinitasnya. 118