H E M O F I L I A OLEH KHAIRUNNISA PEMBIMBING Dr. H. RUSLAN MUHYI, Sp. A

dokumen-dokumen yang mirip
Urutan mekanisme hemostasis dan koagulasi dapat dijelaskan sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Darah terdiri atas 2 komponen utama yaitu plasma darah dan sel-sel darah.

BAB V HEMOSTASIS Definisi Mekanisme hemostasis Sistem koagulasi

: Ikhsanuddin Ahmad Hrp, S.Kp., MNS. NIP : : Kep. Medikal Bedah & Kep. Dasar

RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang disiapkan dari fresh frozen plasma (FFP) dengan mencairkannya secara

PERDARAHAN DAN PEMBEKUAN DARAH (HEMOSTASIS) Era Dorihi Kale, M.Kep

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kongenital faktor koagulasi di dalam darah. Penyakit ini diturunkan secara X-

Mekanisme Pembekuan Darah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perdarahan Pasca Ekstraksi Gigi, Pencegahan dan Penatalaksanaannya

BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. udara maupun zat buangan yang ada di dalam tubuh. Volume darah pada manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Darah adalah bagian dari tubuh yang berbentuk cair dengan jumlah %

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke secara nyata menjadi penyebab kematian dan kecacatan di seluruh

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

BAB I PENDAHULUAN. perekrutan dan aktivasi trombosit serta pembentukan trombin dan fibrin 1. Proses

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pencabutan gigi merupakan salah satu jenis perawatan gigi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang

DEPARTEMEN FARMAKOLOGI

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dari bahasa Yunani, yaitu haima yang artinya darah dan philein yang artinya

PEMERIKSAAN MASA PEMBEKUAN DARAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MAKALAH HEMATOLOGI Percobaan Pembendungan (Rumple Leed Test)

Apa itu Darah? Plasma Vs. serum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Darah merupakan bagian dari tubuh yang jumlahnya 60-80% dari berat

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur femur memiliki insiden berkisar dari 9,5-18,9 per per

BAB II TINJAUAN TEORITIS

makalah pembekuan darah

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) sudah merupakan salah satu ancaman. utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21.

HEMOSTASIS SISTEM PEMBEKUAN DARAH

BAB I PENDAHULUAN. Aktivasi koagulasi dan fibrinolitik merupakan bagian dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. satu emerging disease dengan insiden yang meningkat dari tahun ke tahun. Data

BAB III METODOLOGI PENELITIAN X O-1

Hipertensi dalam kehamilan. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Hepatitis: suatu gambaran umum Hepatitis

PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH RHESUS

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

BAB 2 DEFINISI, ETIOLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e

Etiology dan Faktor Resiko

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada. gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang berdenyut dan

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan masalah besar. dalam bidang obstetri, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN HEMATOLOGI : DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION) BY : HASRAT JAYA ZILIWU, S.Kep

BAB I PENDAHULUAN. memfokuskan diri dalam bidang life support atau organ support pada pasienpasien

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Review Sistem Hematology

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. klinis cedera kepala akibat trauma adalah Glasgow Coma Scale (GCS), skala klinis yang

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

BAB I PENDAHULUAN. Aterosklerosis koroner adalah kondisi patologis arteri koroner yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. primitif sampai manusia. Keadaan fisiologik menunjukan darah selalu berada

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit tromboemboli vena (TEV) termasuk didalamnya trombosis vena dalam

Thalassemia. Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Viskositas darah didefinisikan sebagai kontribusi faktor reologik darah terhadap

PRAKTIKUM II : DARAH, PEMBULUH DARAH, DARAH DALAM BERBAGAI LARUTAN, PENGGOLONGAN DARAH SISTEM ABO DAN RHESUS.

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Dr. Indra G. Munthe, SpOG

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

KARYA TULIS ILMIAH PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI OSTEOARTHRITIS KNEE DEXTRA DI RSUD KOTA SRAGEN

Gangguan Pada Bagian Sendi

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB I PENDAHULUAN. Kelainan kongenital adalah penyebab utama kematian bayi di negara maju

BAB 1 PENDAHULUAN. atau gabungan keduanya (Majid, 2007). Penyakit jantung dan pembuluh darah

EMBOLI CAIRAN KETUBAN

BAB III PEMBAHASAN. Dari 2 artikel tentang syok traumatik diatas membahas tentang syok traumatik yaitu syok

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. kehamilan ektopik yang berakhir dengan keadaan ruptur atau abortus. 12 Kehamilan

LAPORAN PENDAHULUAN. PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I.PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Masalah. Osteoarthritis merupakan penyakit sendi yang. paling sering dijumpai pada masyarakat dan jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Awal Kanker Rongga Mulut; Jangan Sepelekan Sariawan

BAB I PENDAHULUAN. Sel trombosit berbentuk discus dan beredar dalam sirkulasi darah tepi dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper &

BAB I PENDAHULUAN. tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah. 1

BAB I PENDAHULUAN. maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi

BAB 1 PENDAHULUAN. kemajuan kesehatan suatu negara. Menurunkan angka kematian bayi dari 34

Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TRANSFUSI DARAH. Maimun ZA. Laboratorium Patologi Klinik FKUB-RSSA Malang

Author : Liza Novita, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Doctor s Files: (

Derajat 2 : seperti derajat 1, disertai perdarah spontan di kulit dan atau perdarahan lain

Transkripsi:

TINJAUAN KEPUSTAKAAN H E M O F I L I A OLEH KHAIRUNNISA 951090030511 PEMBIMBING Dr. H. RUSLAN MUHYI, Sp. A BAGIAN/UPF ILMU KESEHATAN ANAK FK UNLAM RSUD ULIN BANJARMASIN BANJARMASIN

OKTOBER 2002 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL i DAFTAR ISI.. ii PENDAHULUAN. 1 EPIDEMIOLOGI.. 2 ETIOLOGI.. 3 PATOFISIOLOGI. 4 MANIFESTASI KLINIS.. 7 PEMERIKSAAN. 10 DIAGNOSIS. 14 DIAGNOSA BANDING.. 14 KOMPLIKASI.. 15 PENATALAKSANAAN 17 PROGNOSA. 24 PENCEGAHAN.. 24 DAFTAR PUSTAKA. 26 ii

PENDAHULUAN Hemofilia merupakan penyakit gangguan pembekuan darah bawaan yang pertama dikenal dan sudah banyak diketahui sejak tahun 1911. Pada waktu itu penyakit hemofilia sudah diketahui sebagai akibat gangguan pembekuan darah bawaan laki-laki yang diturunkan seorang wanita sehat. (1) Faktor pembekuan sendiri diperlukan untuk menghentikan perdarahan setelah terjadi trauma dan juga untuk mencegah terjadinya perdarahan spontan. Seorang penderita hemofilia tidak memiliki faktor pembekuan yang cukup banyak di dalam darahnya. (2) iii

Istilah hemofilia hanya terbatas pada pengertian ada perdarahan masif pada anak laki-laki dengan masa pembekuan darah yang memanjang. Ternyata definisi dan batasan ini tidak tepat sehingga mengalami perubahan, ternyata tidak semua penderita hemofilia disertai masa pembekuan yang memanjang. Hal ini disebabkan karena pemeriksaan masa pembekuan darah tidak sensitif atau kurang peka. (1) Dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya, selain hemofilia A yang disebabkan kekurangan FVIII atau faktor anti hemofilia, pada tahun 1952 ditemukan hemofilia B yang disebabkan FIX atau faktor Christmas dan pada tahun 1953 ditemukan hemofilia C disebabkan kekurangan faktor XI. (1) EPIDEMIOLOGI Laporan dari badan dunia menyebutkan insidensi hemofilia A berkisar antara 1 kasus/5000 laki-laki, dan diperkirakan 1/3 diantaranya tidak didapatkan riwayat keluarga dengan hemofilia. Hemofilia B berkisar antara 1 kasus/25.000 laki-laki, merupakan ¼ dari seluruh kasus hemofilia. (3) Insidensi hemofilia A di Eropa dan Amerika Utara berkisar antara 1 kasus diantara 5000 bayi laki-laki yang lahir hidup. Insidensi hemofilia B berkisar antara 1 kasus diantara 30.000 bayi laki-laki yang lahir hidup. Di Amerika Serikat prevalensi hemofilia A berkisar antara 20,6 kasus diantara iv

100.000 laki-laki dan 60% diantaranya berat. Sedangkan untuk hemofilia B berkisar antara 5,3 kasus/100.000 laki-laki, 44% diantaranya berat. (3) Sementara itu menurut Rebecca Elstrom (2002) dari University of Pennsylvania Medical Center Philadelphia, insidensi hemofilia A pada pria adalah 1 : 5.000, dan insidensi hemofilia B berkisar 1 : 32.000 pria. (4,5) Sedangkan untuk hemofilia C prevalensi tertinggi diderita orangorang Ashkenazi Jews (di Israel, diperkirakan sekitar 8%). Di Inggris, 383 pasien menderita hemofilia C dari sekitar 59 orang penduduk. Di Perancis terdapat 39 penderita diantara 290.000 penduduk. (6) Prevalensi hemofilia terendah pada orang Cina. Sedangkan jika ditinjau dari jenis kelamin, karena hemofilia dikaitkan dengan sex-linked koagulopati yang berkaitan dengan X-linked; maka prialah yang terkena, wanita hanya menjadi karier yang berkaitan dengan gennya dan biasanya tidak didapatkan adanya manifestasi gangguan perdarahan. (3) ETIOLOGI Hemofilia A dan hemofilia B disebabkan oleh kerusakan pada pasangan kromosom. Defek genetik ini berpengaruh pada produksi dan fungsi dari faktor pembekuan. Semakin sedikit faktor pembekuan tersebut maka semakin berat derajat hemofili yang diderita. Hemofilia A disebabkan oleh kelainan produksi dari faktor VIII, sedangkan hemofilia B disebabkan oleh kelainan produksi dari faktor IX. (7) v

Meskipun hemofilia merupakan penyakit genetik, hemofilia dapat timbul secara spontan ketika kromosom yang normal mengalami abnormalitas (mutasi) yang berpengaruh pada gen untuk faktor pembekuan VIII atau IX. Anak yang mewarisi mutasi tersebut dapat lahir dengan hemofilia atau dapat juga hanya sebagai carrier. (7) Sementara itu untuk hemofilia C disebabkan defisiensi kongenital faktor XI yang disebabkan mutasi gen faktor XI. Hal ini dapat terlihat dari 6 orang Ashkenazi Jewish, dimana pada pasien hemofilia C tersebut terlihat adanya mutasi gen faktor XI. Akibat dari mutasi ini terjadi kegagalan produksi protein aktif yang berkaitan dengan disfungsi molekul faktor pembekuan. (6) PATOFISIOLOGI Mekanisme pembekuan normal pada dasarnya dibagi 3 jalur yaitu : (1) 1. Jalur intrinsik, jalur ini dimulai aktivasi F XII sampai terbentuk F X aktif. 2. Jalur ekstrinsik, jalur ini mulai aktivasi F VII sampai terbentuk F X aktif. 3. Jalur bersama (common pathway), jalur ini dimulai dari aktivasi F X sampai terbentuknya fibrin yang stabil. Faktor XII Faktor XI Faktor IX Faktor trombosit 3 Tromboplastin jaringan Faktor VII vi

Faktor X Intrinsik Faktor V Ekstrinsik Faktor IV Protrombin Trombin Bagan. Sistem pembekuan intrinsik dan ekstrinsik. (11) Semua faktor yang diperlukan dalam sistem pembekuan intrinsik terdapat dalam darah dalam bentuk inaktif, sedangkan sistem ekstrinsik bergantung kepada suatu lipoprotein, tromboplastin, atau faktor III, yang dilepaskan dari dalam sel yang rusak dan hanya memerlukan sebagian faktor pembekuan dari sistem intrinsik. Tromboplastin jaringan mempunyai dua komponen aktif, suatu enzim yang mengakibatkan faktor VII dan suatu fosfolipid. Sistem pembekuan ekstrinsik dapat pula bekerja di dalam pembuluh darah, karena endotelnya mengandung tromboplastin jaringan. Sistem pembkuan intrinsik mula-mula dipicu melalui aktifasi faktor XII (Hageman) antara lain oleh sejumlah kecil tromboplastin jaringan, faktor trombosit (PF3) atau serabut kolagen, sedangkan dalam tabung reaksi sentuhan pada permukaan asing (gelas). Faktor XIIa (aktif) kemudian mengubah faktor XI menjadi bentuk aktifnya (XIa) dan selanjutnya mengubah faktor IX (PTC) menjadi faktor Ixa. Faktor IXa ini bergabung dengan faktor VIIIa (AHG yang diaktifkan oleh trombin) dan bersama-sama akan mengaktifkan faktor X dengan adanya fosfolipid dan ion Ca+++. vii

Kemudian faktor Xa mengubah protrombin menjadi trombin dan ini akan mengubah fibrinogen menjadi fibri monomer yang labil dan akhirnya oleh faktor XIII dan trombin diubahj menjadi fibrin polimer yang stabil. Jalur intrinsik Jalur ekstrinsik PK HMWK XII XIIa XI XIa Tissue factor IX IXa VIIa VII VIII Ca PG Ca viii

X Xa V Pf 3 Ca Fibrinogen Protrombin Trombin Fibrin Faktor VIII adalah glikoprotein yang dibentuk di sel sinusoidal hati. Produksi FVIII dikode oleh gen yang terletak pada kromosom X. di dalam sirkulasi FVIII akan membentuk kompleks dengan faktor von Willebrand. Faktor von Willibrand adalah protein berat molekul besar yang dibentuk di sel endotel dan megakariosit. Fungsinya sebagai protein pembawa FVIII dan melindunginya dari degradasi proteolisis. Di samping itu faktor von Willebrand juga berperan pada proses adhesi trombosit. Faktor VIII berfungsi pada jalur intrinsik sistem koagulasi yaitu sebagai kofaktor untuk F IXa dalam proses aktivasi F X (lihat skema koagulasi). Pada orang normal aktifitas faktor VIII berkisar antara 50-150%. Pada hemofilia A, aktifitas F VIII rendah. faktor VIII termasuk protein fase akut yaitu protein yang kadarnya meningkat jika terdapat kerusakan jaringan, peradangan, dan infeksi. Kadar F VIII yang tinggi merupakan faktor resiko trombosis. Faktor IX adalah faktor pembekuan yang dibentuk di hati dan memerlukan vitamin K untuk proses pembuatannya. Jika tidak tersedia cukup vitamin K atau ada antagonis vitamin K, maka yang terbentuk adalah protein yang mirip F IX ix

tetapi tidak dapat berfungsi. Gen yang mengatur sintesis F IX juga terletak pada kromosom X. Faktor IX berfungsi pada jalur intrinsik sistem koagulasi yaitu mengaktifkan faktor X menjadi Xa (lihat skema koagulasi). Nilai rujukan aktifitas F IX berkisar 50-150%. Aktifitas F IX rendah dijumpai pada hemofilia A, defisiensi vitamin K, antikoagulan oral, penyakit hati. (8) MANIFESTASI KLINIS Beratnya perdarahan pada seorang penderita hemofilia ditentukan oleh kadar F VIII C di dalam plasma. Berdasarkan kadar FVIII C dan klinik, hemofilia dibagi 4 golongan : (1,9,10) a. Hemofilia berat : kadar F VIII C di dalam plasma 0-2% Perdarahan spontan sering terjadi. Perdarahan pada sendi-sendi (hemarthrosis) sering terjadi. Perdarahan karena luka atau trauma dapat mengancam jiwa. b. Hemofilia sedang: kadar F VIII C di dalam plasma 3-5% Perdarahan serius biasanya terjadi bila ada trauma. Hemarthrosis dapat terjadi walaupun jarang dan akalu ada biasanya tanpa cacat. c. Hemofilia ringan : kadar F VIII C di dalam plasma berkisar antara 6-25% Perdarahan spontan biasanya tidak terjadi. Hemarthrosis tidak ditemukan. Perdarahan biasanya ditemukan sewaktu operasi berat, atau trauma. d. Sub hemofilia x

Beberapa penulis menyamakannya dengan karier hemofilia. Kadar F VIII C 26-50%. Biasanya tidak disertai gejala perdarahan. Gejala mungkin terjadi sesudah suatu operasi besar dan lama. Salah satu gejala khas dari hemofilia adalah hemarthrosis yaitu perdarahan ke dalam ruang sinovia sendi, misalnya pada sendi lutut. Persendian besar lainnya seperti lengan dan bahu juga dapat terkena. Perdarahan ini bisa dimulai dengan luka kecil atau spontan dalam sendi. Darah berasal dari pembuluh darah sinovia, mengalir dengan cepat mengisi ruangan sendi. Penderita dapat merasakan permulaan timbulnya perdarahan pada sendi ini karena ada rasa panas. Akibat perdarahan, timbul rasa sakit yang hebat, menetap disertai engan spasme otot, dan gerakan sendi yang terbatas. Karena perdarahan berlanjut, tekanan di dalam ruangan sendi terus meningkat dan menyebabkan iskemia sinovia dan pembuluh-pembuluh darah kondral. Keadaan ini merupakan permulaan kerusakan sendi yang permanen. (3) Akibat perdarahan yang berulang pada sendi yang sama, sering terjadi peradangan dan penebalan jaringan sinovia, kemudian terjadi atropi otot. Keadaan kontraksi sendi yang stabil ini merupakan predisposisi kerusakan selanjutnya. Akhirnya kartilago dan substansi tulang hilang. Kista tulang dan kontraktus yang permanen menyebabkan hilangnya gerakan sendi. Bisa juga terjadi hipertrofi karena radang sinovia kronik dan xi

menghasilkan pembengkakan sendi yang persisten tanpa disertai nyeri yang nyata. (3) Selain hemarthrosis, ada sebuah fenomena perdarahan yang terlambat (delayed bleeding) yang juga merupakan gejala khas dari hemofilia A. Peristiwa ini biasanya ditemukan sesudah tindakan ekstraksi gigi. Pada permulaan perdarahan berhenti dan sesudah beberapa jam sampai beberapa hari kemudian, perdarahan timbul kembali. Hal ini dapat diterangkan, pada permulaan trombosit dan pembuluh darah dapat menghentikan perdarahan untuk sementara, tetapi karena jaringan fibrin tidak ada atau kurang terbentuk untuk menutup luka maka timbul perdarahan kembali. (1,9) Perdarahan bawah kulit atau di dalam otot juga merupakan manifestasi hemofilia yang paling umum. Lesi ini biasanya dimulai sebagai akibat trauma dan menyebar mengenai satu daerah yang luas dan sering tanpa ada perbedaan warna kulit diatasnya. Perdarahan jaringan lunak di daerah leher karena trauma kecil bisa menyebabkan komplikasi yang serius karena jalan napas bisa tertekan; dan bahkan menyebabkan kematian. Perdarahan di bawah leher ini dapat terjadi sesudah anestesi mandibular, punksi vena jugular. (1,9) Pada penderita hemofili C, pada pemeriksaan fisik biasanya normal kecuali jika terjadi manifestasi perdarahan. Pada beberapa tempat dapat xii

terjadi memar-memar. Pasien juga kadang mengeluhkan demam, kelemahan, dan takikardia jika terjadi perdarahan yang masif. (6) PEMERIKSAAN Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada penderita hemofilia A, B dan C, diantaranya : (3,6) 1. Pemeriksaan laboratorium : Derajat berat ringannya hemofilia didasarkan pada konsentrasi FVIII atau FIX di dalam plasma. o Kadar beberapa faktor tersebut berlawanan dengan kadar dalam plasma dari orang normal yang diperkirakan mencapai 100-150% o Usia, kehamilan, kontrasepsi dan pemberian terapi estrogen juga dapat mempengaruhi tinggi rendahnya faktor-faktor tersebut. o Pada neonatus yang lahir prematur, kadar FIX lebih rendah 20-50% dari kadar normal, dan akan kembali normal setelah jangka waktu 6 bulan. sedangkan FVIII normal selama periode tersebut. Defisiensi protein pada hemofilia A dan hemofilia B menyebabkan terjadinya abnormalitas dari whole blood clotting times, prothrombin time (PT), dan aktifitas partial thromboplastin times (aptt). xiii

Konfirmasi laboratorium untuk penghambat FVIII atau FIX secara klinis merupakan hal yang penting kalau perdarahan tidak dapat dikontrol setelah diberikan infus faktor konsentrat yang adekuat selama episode perdarahan. o Untuk penghambat autoantibody dan alloantibody, akan terjadi perpanjangan aptt setelah pemberian plasma dalam jangka aktu 1-2 jam. o Kalau tidak terkoreksi perpanjangan aptt, digunakan metode Bethesda dengan cara titrasi untuk mengetahui konsentrat bilogis faktor penghambat. Secara konvensional didapatkan lebih dari 0,6 BU untuk menunjukkan faktor penghambat yang positif, titer kurang dari 5 BU menunjukkan titer inhibitor yang rendah, dan titer lebih dari 10 BU menunjukkan titer yang tinggi. Sedangkan pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk mengetahui adanya hemofilia C antara lain : o o o CBC Kadar faktor XI Pengukuran faktor VIII, von Willebrand factor xiv

o Prothrombin time (PT), aptt, and thrombin time (TT) : aptt memanjang jika terjadi defisiensi faktor XI, dimana PT dan TT normal. Pengukuran spesifik aktifitas faktor XI sangat diperlukan untuk konfirmasi diagnosis. Selain itu juga diperlukan pengukuran faktor pembekuan lainnya serta fungsi platelet untuk mengetahui adanya kombinasi herediter dari defisiensi XI dan faktor-faktor lainnya. 2. Pemeriksaan pencitraan : Hipertropi sinovial, deposit hemosiderin, fibrosis, dan kerusakan kartilago yang progresif dengan terbentuknya bone kista dapat diperlihatkan dengan film konvensional, terutama terdapat pada pasien yang tidak diobati atau diobati dengan tidak adekuat atau jika sering terjadi perdarahan sendi yang berulang. Pemeriksaan Ultrasonography digunakan untuk evaluasi sendi yang berkaitan dengan efusi akut atau kronik. Namun tehnik ini tidak didapat digunakan untuk evaluasi tulang atau kartilago. MRI digunakan untuk evaluasi kartilago, sinovial dan hubungan antara sendi. Sedangkan untuk hemofilia C tidak satupun pemeriksaan pencitraan (raadiologi) yang diperlukan dalam konfirmasi diagnosis defisiensi faktor XI. Namun demikian, pemeriksaan radiologis dapat dilakukan xv

untuk mengevaluasi perdarahan saat dilakukan tindakan terapi terhadap perdarahan pada tempat-tempat tertentu. 3. Pemeriksaan histologis Perdarahan sendi yang berulang dengan pemeriksaan histologis akan memperlihatkan adanya hipertropi sinovial, deposit hemosiderin, fibrosis dan kerusakan dari kartilago. Ada beberapa tahapan yang terlihat dari pemeriksaan histologis untuk menunjukkan adanya artropati hemofilia yang dimulai dengan adanya edema intraartikular dan periartikular; terjadinya erosi yang luas dari kartilago yang menyebabkan hubungan antara sendi menghilang, terjadi fusi dari sendi, dan pembentukan fibrosis dan kapsul sendi. Analisis genetik pada hemofilia C digunakan untuk mengetahui adanya mutasi dari gen faktor XI yang menyebabkan terjadinya defisiensi. DIAGNOSIS Diagnosis hemofilia dibuat berdasarkan riwayat perdarahan, gambaran klinik dan pemeriksaan laboratorium. Pada penderita dengan gejala perdarahan atau riwayat perdarahan, pemeriksaan laboratorium yang perlu diminta adalah pemeriksaan penyaring hemostasis yang terdiri atas xvi

hitung trombosit, uji pembendungan, masa perdarahan, PT (prothrombin time masa protrombin plasma), APTT (activated partial thromboplastin time masa tromboplastin parsial teraktivasi) dan TT (thrombin time masa trombin). Pada hemofilia A atau B akan dijumpai pemanjangan APTT sedangkan pemeriksaan hemostasis lain yaitu hitung trombosit, uji pembendungan, masa perdarahan, PT dan Ttdalam batas normal. Pemanjangan APTT dengan PT yang normal menunjukkan adanya gangguan pada jalut intrinsik sistem pembekuan darah. Faktor VIII dan IX berfungsi pada jalur intrinsik sehingga defisiensi salah satu faktor pembekuan ini akan mengakibatkan pemanjangan APTT yaitu tes yang menguji jalur intrinsik sistem pembekuan darah. (8) DIAGNOSA BANDING Untuk membedakan hemofilia A dari hemofilia B atau menentukan mana yang kurang dapat dilakukan pemeriksaan TGT (thromboplastin generation test) atau dengan diferensial APTT. Namun dengan tes ini tidak dapat ditentukan aktivitas masing-masing faktor. Untuk mengetahui aktifitas F VIII dan IX perlu dilakukan assay F VIII dan IX. Pada hemofilia A aktifitas F VIII rendah sedang pada hemofilia B aktifitas F IX rendah. (8) Selain harus dibedakan dari hemofilia B, hemofilia A juga perlu dibedakan dari penyakit von Willebrand, karena pada penyakit ini juga dapat ditemukan aktifitas F VIII yang rendah. Penyakit von Willebrand xvii

disebabkan oleh defisiensi atau gangguan fungsi faktor von Willebrand. Jika faktor von Willebrand kurang maka F VIII juga akan berkurang, karena tidak ada yang melindunginya dari degradasi proteolitik. Disamping itu defisiensi faktor von Willebrand juga akan menyebabkan masa perdarahan memanjang karena proses adhesi trombosit terganggu. Pada penyakit von Willebrand hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan pemanjangan masa perdarahan aptt, aptt bisa normal atau memanjang dan aktifitas F VIII bisa normal atau rendah. Disamping itu akan ditemukan kadar serta fungsi faktor von Willebrand yang rendah. Sebaliknya pada hemofilia A akan dijumpai masa perdarahan normal, kadar dan fungsi von Willebrand juga normal. (8) KOMPLIKASI Sebelum penggunaan terapi pengganti diketahui, pasien dengan hemofilia berat A dan B, memiliki kesempatan hidup yang pendek dan kualitas hidup yang rendah berkaitan dengan terjadinya artropati hemofilia. Beberapa komplikasi yang sering terjadi antara lain : (1,3) Komplikasi virus yang timbul antara lain infeksi HIV. Kematian pertama kali dilaporkan tahun 1980 yang berkaitan dengan hemofilia dan HIV. Rata-rata serokonversi lebih dari 75% untuk penyakit yang berat, 46% untuk yang moderat, dan 25% untuk penyakit yang ringan. Pada kasus hemofilia berat, serkonversi yang diobservasi rata-rata 46%. Di Amerika Serikat kematian akibat hemofilia meningkat dari 0,4 kematian xviii

per 1 juta penduduk dari tahun 1979-1981 menjadi 1,2 kematian per 1 juta penduduk pada tahun 1987-1989. penyebab kematian terutama disebabkan perdarahan intrakranial dan perdarahan lainnya dari AIDS serta serosis hepatis. Komplikasi lainnya adalah penyakit hepatitis dan sirosis hepatis. Jika ini terjadi maka angka kematian akan meningkat menjadi 1,2 kali lebih banyak dibandingkan kematian hemofilia murni. Perdarahan intrakranial terjadi pada 2-8% penderita dan hal ini menyebabkan kematian. Perdarahan lainnya yang dapat timbul terutama pada jaringan lunak akibat obstruksi saluran napas atau kerusakan organ dalam. Diperkirakan 25% anak-anak dengan hemofilia pada usia 6-18 tahun akan terhambat pertumbuhan skil dan kemampuan kognitifnya demikian pula halnya dalam emosi dan masalah perilaku. Kadar faktor XI tidak berkaitan dengan tendensi perdarahan pada hemofilia C, khususnya pada orang-orang dengan defisiensi parsial. Manifestasi perdarahan baru muncul kalau terdapat defisiensi aktifitas faktor XIC kurang dari 20 U/dL. Sebagian besar penderita mengalami perdarahan spontan setelah tindakan pembedahan. Demikian juga dengan bertambahnya fibrinolisis setelah aktifitas pencabutan gigi atau xix

tonsilektomi atau operasi traktus genitalis. Komplikasi lain yang sering timbul adalah perdarahan yang berat dalam bentuk menoragia. (6) PENATALAKSANAAN Pengobatan kriopresipitat pada penderita hemofilia disesuaikan dengan berat ringannya perdarahan. Pada perdarahan ringan bila kadar F VIII mencapai 30% sudah cukup untuk menghentikan perdarahan. (1) Perdarahan sedang memerlukan kadar F VIII 50% dan pada perdarahan berat memerlukan F VIII 100%. Jumlah kriopresipitat yang dibutuhkan dapat dihitung dengan ketentuan bahwa 1 u F VIII/kgBB akan menaikkan kadar F VIII 2%. Sedangkan untuk F IX, 1 u/kgbb akan menaikkan kadar F IX 1%. Rata-rata standard orang normal ialah 1 u/ml adalah sama dengan 100%. Tabel berikut akan menjelaskan pengobatan hemofilia dengan kriopresipitat. (1) Komponen utama krioprisipitat adalah faktor VIII atau anti hemophylic globulin. Penggunaannya ialah untuk menghentikan perdarahan karena berkurangnya AHG di dalam darah penderita hemofili A. Faktor VIII atau AHG ini tidak bersifat genetic marker antigen seperti granulosit, trombosit atau eritrosit, tetapi pemberian yang berulang-ulang dapat menimbulkan pembentukan antibodi yang bersifat inhibitor terhadap faktor VIII karena itu pemberiannya tidak dianjurkan sampai dosis maksimal, xx

tetapi diberikan sesuai dosis optimal untuk suatu keadaan klinis. Untuk jelasnya terlihat dalam tabel kutipan ini. (15) Tabel 1. Hubungan faktor VIII dan simtom pada perdarahan pada hemofili Kadar faktor VIII (%) < 1 1-5 5-25 25-30 Simptom Perdarahan spontan sendi dan otot Perdarahan hebat setelah luka kecil Perdarahan hebat setelah operasi Cenderung perdarahan setelah luka atau operasi Tabel 2. Hubungan faktor VIII dan simtom pada perdarahan pada hemofili Lesi Kadar faktor VIII (% normal) Hemarthrosis ringan, hematoma 15 20% Dosis faktor VIII (unit/kg BB) 10-15 Hemarthrosis berat dan hematoma otot di daerah-daerah penting Operasi besar 20-40% 80-100% 15-20 40-50 Setiap kantong krioprisipitat mengandung 150 U faktor VIII, sedangkan krioprisipitat produksi LPTD-PMI ditaksir hanya mengandung 100 U faktor VIII/kantong. Hal ini disebabkan karena darah yang diambil dari donor lebih sedikit. Cara pemberian krioprisipitat aialah dengan menyuntikkan intravena langsung tidak melalui tetesan infus. Komponen tidak tahan pada xxi

suhu kamar, jadi pemberiannya sesegera mungkin setelah komponen mencair. (11) Tabel 3. Pengobatan hemofilia dengan kriopresipitat. (1) Jenis perdarahan Kadar faktor yang diinginkan (%) Dosis F VIII (u/kg/bb) Dosis F IX (u/kg/bb) Ringan 30% Dosis mula tidak diperlukan diberikan 15 u/kgbb tiap 12 jam selama 2-4 hari Sedang 50% Dosis mula 30 u/kgbb dilanjutkan 10-15 u/kgbb tiap 8 jam selama 1-2, hari, seterusnya dosis yang sama tiap 12 jam Berat 100% Dosis mula 40-50 u/kgbb diteruskan sesuai dosis sedang Dosis mula 30 u/kgbb seterusnya 10 u/kgbb tiap 12 24 jam selama 2-4 hari Dosis mula 60 u/kgbb seterusnya 10 u/kgbb tiap 12 jam Dosis mula 60 u/kgbb diteruskan sesuai dosis sedang Obat-obat yang diperlukan pada penderita hemofilia : (1,12) 1. DDAVP Suatu hormon sintesis anti diuretik yaitu 1-deamino-8-D-arginine vasopressine (DDAVP) dapat menaikkan kadar F VIII C. Pada hemofilia ringan sampai sedang obat ini menaikkan kadar F VIII C 3-6 kali lipat. xxii

Diberikan pada hemofilia dan penyakit vol Willebrand dengan dosis 0,2-0,5 ug/kgbb. Obat ini dilarutkan dalam 30 cc garam fisiologis dan diinfus selama 15-20 menit. Dapat diulang dalam beberapa jam. Infus yang diberikan dengan cepat dapat menimbulkan takikardia dan muka menjadi merah. Hasil pengobatan sangat bervariasi. 2. EACA dan Tranexamic Acid Epsilon Amino Caproid Acid (EACA) dan asama traneksamik (Tranexamic Acid), dapat mengurangi perdarahan pada hemofilia. Hal ini dapat diterangkan karena sifat anti fibrinolisis EACA dan asam traneksamik menyebabkan fibrin yang sudah terbentuk tidak segera dilisiskan, oleh plasmin. Dengan dosis 50-100 mg/kgbb intravena atau peroral, segerak sebelum tindakan dimulai, kemudian diulang 3 jam berikutnya, dan seterusnya setiap 6 jam selama 1 minggu berikutnya memberikan hasil yang baik. Juga dapat diberikan dosis 4-5 g tiap 4 jam pada orang dewasa dengan hasil yang baik. 3. Kortikosteroid Pada sinovitis akut yang terjadi sesudah serangan akut hemarthrosis pemberian kortikosteroid sangat berguna. Kortikosteroid juga diberikan bila timbul anti koagulan atau reaksi anafilaksis sesudah pemberian kriopresipitat. xxiii

4. Analgetik Bila terjadi suatu rasa sakit yang hebat pada sendi, atau rasa sakit sebab lainnya, obt analgetik dapat diberikan. Sebaiknya aspirin harus dihindarkan, begitu pula obat analgetik lainnya yang mengganggu agregasi trombosit. Pengobatan utama pada penderita hemofilia C terutama dengan pemberian produk plasma (FFP). Keuntungan pemberian FFP ini adalah mudah dilakukan, sedangkan kerugiannya dalam bentuk dapat terjadi over volume darah, potensial untuk transmisi agen infektif, dan kemungkinan terjadi reaksi alergi. Fresh frozen plasma ini juga dapat digunakan jika tidak didapatkan konsentrat faktor XI. Dosis pemberian untuk loading dose adalah 15-20 ml/kg IV, yang selanjutnya diberikan 3-6 ml/kg 4 kali 12 jam setelah hemostasis terjadi. Selama pemberian harus selalu dimonitor overload cairan terutama pada anak-anak kecil; adanya reaksi alergi; premedikasi yang diberikan adalah acetaminophen dan anti histamin (seperti diphenhydramine) untuk mengurangi reaksi alergi. (6) Para ahli saat ini telah mengembangkan pengetahuan dalam kerangka terapi hemofilia dengan spesifikasi khusus dari beberapa jenis trauma perdarahan antara lain : (13) 1. Trauma kepala xxiv

Trauma ringan (kalau dari pemeriksaan neurologis nomal) namun disini keluarga tetap diminta untuk berhati-hati dan tetap diberikan koreksi terhadap perdarahan yang terjadi. Trauma yang signifikan (seperti jatuh dari tangga, jatuh saat bermain dan lain-lain), walau tanpa ada gejala yang berat. Maka koreksi harus tetap diberikan 100% dan dilakukan pemeriksaan CT scan. Pemberian koreksi diberikan 30-50% per 12 jam setelahnya dapat dilakukan 1 atau 2 kali lagi. Anak dengan hemofilia berat dan ada riwayat perdarahan intrakranial maka harus diberikan tindakan profilaksis. 2. Pembengkakan lidah atau leher Anak dengan pembengkakan lidah atau leher harus dilakukna evaluasi untuk mengatasi masalah obstruksi jalan pernapasan. Disamping itu tindakan koreksi diberikan tetap 100%. 3. Nyeri dada atau nyeri abdomen Beberapa gejala dari keadaan tersebut harus dilakukan evaluasi dan penderita dapat dilakukan terapi rumah saja kecuali didapatkan keadaan yang memberat setelahnya. xxv

4. Compartment Syndrome Kalau terjadi keadaan ini maka koreksi harus segera dilakukan (70-100%), diulangnya lagi 12 jam kemudian sebanyak 30-50%. 5. Hemarthrosis Jika terjadi hemarthrosis maka direkomendasikan untuk dilakukan terapi intensif. Setiap ada hemarthrosis harus dilakukan infus dari faktor pembekuan, kemudian dilakukan follow up untuk menilai hasil terapi. 6. Perdarahan pada mulut Dapat diberikan Amicar (epsilon aminocaproic acid) atau thrombin topikal kalau perdarahan tersebut minimal atau hanya untuk beberapa jam. Namun jika didapatkan perdarahan yang agak berat maka di indikasikan untuk pemberian faktor pengganti. Pemeriksaan hemoglobin harus dilakukan lebih dari 1 kali untuk menilai hasil terapi. 7. Hematuria Hematuria yang dikaitkan dengan trauma abdomen atau tulang belakang. Maka harus dilakukan pemeriksaan ultrasonografi atau radiologis lainnya, dan dilakukan pemberian terapi pengganti. 8. Fraktur Pada sebagian besar fraktur diperlukan faktor pengganti untuk jangka waktu 5-7 hari. Terapi awal diberikan korekti 70% selanjutnya kemudian diberikan kadar 30%, tergantung dari berat ringannya fraktur. xxvi

PROGNOSA Pemberian profilaktik anti hemofili faktor lebih awal secara dramatis dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas penderita hemofilia A dan B. Angka bertahan hidup penderita dapat mencapai 11 tahun atau kurang tergantung dari beratnya penyakit dan pengobatan yang diberikan. Prognosis ini akan diperburuk oleh komplikasi virus yang terjadi selama pemberian terapi pengganti. Demikian juga halnya jika terjadi perdarahan intrakranial maupun organ vital lainnya. (3) Prognosis penderita hemofilia C dengan defisiensi parsial cukup baik apalagi jika tidak didapatkan manifestasi perdarahan. Sedangkan pada pasien dengan tendensi perdarahan, perdarahan organ harus diobati dengan optimal untuk mencegah terjadinya pemburukan diagnosis. Jika terjadi perdarahan masif maka diagnosisnya menjadi jelek. (6) PENCEGAHAN Hemofilia tidak dapat dicegah. Namun ada beberapa hal sebagai tindakan preventif yaitu pencegahan terjadinya perdarahan akibat trauma disamping pencegahan terhadap terjadinya trauma sendiri. (9) Kalau seseorang mengidap hemofilia maka beberapa hal yang harus diperhatikan : - Pencegahan terhadap penggunakan aspirin dan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs). xxvii

- Vaksinasi tetap dilakukan pada semua orang termasuk pada bayi, terutama untuk vaksin hepatitis B. - Tindakan sirkumsisi tidak boleh dilakukan terhadap anak lakilaki. (14,15) Disamping itu jika diketahui adanya riwayat hemofili dalam keluarga maka selama masa kehamilan harus diperiksa kemungkinan adanya defek genetik pada ibu hamil untuk mengetahui adanya carrier pada ibu. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan antara lain amniocentesis dan chorionic villus sampling (CVS), dengan pemeriksaan ini dapat diketahui adanya defek genetik pada fetus yang menyebabkan terjadinya hemofilia. Jika diketahui fetus memiliki hemofilia, maka tindakan terpilih yang dapat dilakukan adalah melakukan terminasi kehamilan, walau ini masih kontroversial pada beberapa negara terutama untuk kehamilan trimester II dan III. Jika ibu tetap menginginkan untuk melanjutkan kehamilannya maka harus diberikan penjelasan mengenai keadaan bayinya nanti dan tindakan persalinan yang akan dilakukan. (9) DAFTAR PUSTAKA 1. Tambunan KL, Widjanarko A. Kelainan hemostasis bawaan. Dalam : Ssoeparman dkk (eds). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 1990 : 452-9. xxviii

2. Elzinga HS. Hemophilia. In : Christopher T. Coughlin (ed). Hematology. 2002. Http://www.Hemophilia.Html. 3. Agaliotis DP. Hemophilia, overview. Department of Medicine, Division of Hematology/Medical Oncology. University of Florida Health Science Center at Jacksonville. Copyright 2002, emedicine.com, Inc. Http://www. emedicine.com.html 4. Elstrom R. Hemophilia A. University of Pennsylvaina Medical Center, Phiiladelphia, PA. Review provided by VeriMed Healthcare Network. Http://www.ADAM.Com.Inc. 5. Elstrom R. Hemophilia B. University of Pennsylvaina Medical Center, Phiiladelphia, PA. Review provided by VeriMed Healthcare Network. Http://www.ADAM.Com.Inc. 6. Mathew P. Hemophilia C. Montoya Hemophilia Center. Department of Pediatrics, University of New Mexico. Copyright 2002, emedicine.com, Inc. Http://www. emedicine.com.html 7. Healthwise, Incorporated. Hemophilia. Http://www.Healthwise.Inc.Html. 8. Setiabudy R. Diagnosis hemofilia secara laboratorik. Bagian Patologi Klinik FKUI-RSCM Jakarta. Dibacakan pada Simposium Diagnosis dan Penatalaksanaan Hemofilia. FKUI Jakarta, 2002. 9. WebMD Inc. Hemophilia. 2002. Http://www.WebMD.Inc 10. Cheng CJ. Hemophilia. 2002. Http://www.Body1, Inc. 11. Djajadiman G. Penanggulangan anemia pasca perdarahan. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM. Jakarta. 12. Shapiro, Ami D. An overview of hemophilia. 2002. Http://www.hemophilia.pdf.Html. 13. Elzinga HS. Hemophilia. In : Christopher T. Coughlin (ed). Hematology. 2002. Http://www.Hemophilia.Html. 14. Welch J. Hemophilia treatment protocols. 2002. Http://www.NetScut.Inc.Html. 15. ivillage Inc. Hemophilia. 2002. Http://www. ivillage Inc.Hemophilia. Html xxix

xxx