I. PENDAHULUAN. sumber pemenuhan kebutuhan tubuh untuk melakukan metabolisme hingga

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi

BAB I PENDAHULUAN. ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan Obat Antiinflamasi Non-steroid. (OAINS) yang banyak digunakan sebagai obat anti radang.

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat;

BAB I PENDAHULUAN. memiliki beberapa masalah fisiologis, termasuk waktu retensi lambung yang

Disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam formulasi obat. Uji disolusi in vitro adalah salah satu persyaratan untuk menjamin kontrol

konvensional 150 mg dapat menghambat sekresi asam lambung hingga 5 jam, tetapi kurang dari 10 jam. Dosis alternatif 300 mg dapat meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Aspirin mencegah sintesis tromboksan A 2 (TXA 2 ) di dalam trombosit dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sifat Fisikokimia Sifat fisikokimia menurut Ditjen POM (1995) adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Sedangkan kerugiannya adalah tablet tidak bisa digunakan untuk pasien dengan kesulitan menelan. Absorpsi suatu obat ditentukan melalui disolusi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker.

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

Effervescent system digunakan pada penelitian ini. Pada sistem ini formula tablet mengandung komponen polimer dengan kemampuan mengembang seperti

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

Teknik likuisolid merupakan suatu teknik formulasi dengan obat yang tidak terlarut air dilarutkan dalam pelarut non volatile dan menjadi obat dalam

obat tersebut cenderung mempunyai tingkat absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu dan seringkali menghasilkan respon terapeutik yang minimum

mempermudah dalam penggunaannya, orally disintegrating tablet juga menjamin keakuratan dosis, onset yang cepat, peningkatan bioavailabilitas dan

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

merupakan masalah umum yang menimpa hampir 35% dari populasi umum, khususnya pediatri, geriatri, pasien stroke, penyakit parkinson, gangguan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air.

bentuk sediaan lainnya; pemakaian yang mudah (Siregar, 1992). Akan tetapi, tablet memiliki kekurangan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam

mudah ditelan serta praktis dalam hal transportasi dan penyimpanan (Voigt, 1995). Ibuprofen merupakan obat analgetik antipiretik dan anti inflamasi

enzim dan ph rendah dalam lambung), mengontrol pelepasan obat dengan mengubah struktur gel dalam respon terhadap lingkungan, seperti ph, suhu,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tinggal obat dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk konvensional dapat mengiritasi lambung bahkan dapat. menyebabkan korosi lambung (Wilmana, 1995).

BAB I PENDAHULUAN. Sistem peyampaian obat konvensional tidak dapat mempertahankan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PROSES PELEPASAN, PELARUTAN, DAN ABSOPRSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

sediaan tablet cukup kecil dan wujudnya padat sehingga memudahkan pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya (Siregar, 1992). Telah diketahui bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

NOTULENSI DISKUSI PHARM-C

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

relatif kecil sehingga memudahkan dalam proses pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan

bebas dari kerusakan fisik, serta stabil cukup lama selama penyimpanan (Lachman et al., 1986). Banyak pasien khususnya anak kecil dan orang tua

Oleh: Dhadhang Wahyu Kurniawan 4/16/2013 1

baik berada di atas usus kecil (Kshirsagar et al., 2009). Dosis yang bisa digunakan sebagai obat antidiabetes 500 sampai 1000 mg tiga kali sehari.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Rute pemberian oral merupakan rute yang paling digemari dibandingkan

waktu tinggal sediaan dalam lambung dan memiliki densitas yang lebih kecil dari cairan lambung sehingga obat tetap mengapung di dalam lambung tanpa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan (Depkes RI,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Aspirin merupakan salah satu obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

anti-inflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak. Obat golongan ini mempunyai efek

periode waktu yang terkendali, selain itu sediaan juga harus dapat diangkat dengan mudah setiap saat selama masa pengobatan (Patel et al., 2011).

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

Paradigma dalam pengembangan obat. Pertimbangan terapeutik Pertimbangan biofarmasetik Pendekatan fisikokimia 4/16/2013 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis dan manfaat penelitian.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Misalnya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

identik dengan semua campuran unit lainnya dalam campuran serbuk. Metode campuran interaktif dapat digunakan dengan mencampur partikel pembawa yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FAHMI AZMI FORMULASI DISPERSI PADAT IBUPROFEN MENGGUNAKAN HPMC 6 cps PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan kelarutan yang buruk, karena mempunyai struktur hidrofobik

BAB I PENDAHULUAN. Obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) banyak digunakan untuk terapi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

terbatas, modifikasi yang sesuai hendaknya dilakukan pada desain formula untuk meningkatkan kelarutannya (Karmarkar et al., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteroid (AINS)

gugus karboksilat yang bersifat asam sedangkan iritasi kronik kemungkinan disebabakan oleh penghambatan pembentukan prostaglandin E1 dan E2, yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BIOFARMASI Dhadhang Wahyu Kurniawan Laboratorium Farmasetika

PENGGUNAAN METIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL: STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI

PR0GHlllltG. B00l( UPDATEIN GASTROENTERO-HEPATOLOGYPATIENT'S MANAGEMENT! FROMBENGHTO CLINICALPRACTICE

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

MATA KULIAH PROFESI INTERAKSI OBAT PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

sehingga mebutuhkan frekuensi pemberian dosis yang cukup tinggi. Penelitian sebelumnya oleh Chien (1989) mengenai perbandingan antara nilai

Pemberian obat secara bukal adalah pemberian obat dengan cara meletakkan obat diantara gusi dengan membran mukosa pipi. Pemberian sediaan melalui

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

(AIS) dan golongan antiinflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak.

BAB I PENDAHULUAN. derivat asam propionat yang mempunyai aktivitas analgetik. Mekanisme. ibuprofen adalah menghambat isoenzim siklooksigenase-1 dan

AUTAKOID DAN ANTAGONISNYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

tanpa tenaga ahli, lebih mudah dibawa, tanpa takut pecah (Lecithia et al, 2007). Sediaan transdermal lebih baik digunakan untuk terapi penyakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

OBA B T A T S I S ST S E T M

Oleh: Dhadhang Wahyu Kurniawan 4/16/2013 1

BAB I PENDAHULUAN. Tukak lambung merupakan salah satu bentuk tukak peptik yang ditandai dengan

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN Saluran pencernaan merupakan gerbang utama masuknya zat gizi sebagai sumber pemenuhan kebutuhan tubuh untuk melakukan metabolisme hingga aktivitas sehari-hari. Lambung merupakan tempat yang paling utama makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, karena itu kesehatan lambung menjadi hal yang sangat penting dalam optimalisasi pencernaan dan penyerapan gizi (Anggita, 2012). Gangguan asam lambung merupakan salah satu penyakit gastrointestinal yang paling banyak dijumpai di klinik penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009). Sekitar empat juta penduduk Amerika Serikat mengalami gangguan asam lambung dengan tingkat mortalitas sekitar 15.000 orang per tahun (Kemenkes RI, 2009). Hiperasiditas merupakan gangguan asam lambung dimana konsentrasi asam lambung di dalam saluran cerna tinggi. Hiperasiditas jika dibiarkan dan tidak diobati dengan baik dapat memungkinkan untuk menyebabkan penyakit gastritis akut maupun kronis, ulkus peptikum maupun duodenum, GERD (Gastro Esophageal Reflux Disease) dan Sindroma Zollinger-Ellison (Tedjasaputra, 2014). Pasien hiperasiditas mesti mendapatkan pengobatan yang efektif, karena hal ini menjadi salah satu penyebab penyakit berisiko yang dapat mengancam jiwa. Obat sangat diperlukan dalam terapi pengobatan hiperasiditas lambung. Saat ini sudah terdapat beberapa pilihan dan golongan dari obat untuk mengatasi

hiperasiditas lambung, salah satunya adalah famotidin yang merupakan obat dari golongan antagonis histamin 2 (Siregar & Kumolosari, 2006). Famotidin adalah antagonis reseptor H-2 yang diindikasikan untuk pengobatan tukak lambung dan duodenum. Reseptor H-2 yang terletak pada sel parietal akan di hambat sehingga menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi lambung (Goodman & Gilman, 1996). Obat ini dilaporkan 7,5 dan 20 kali lebih kuat dalam menekan kadar asam lambung dari ranitidin dan simetidin (Hassan et al., 1990). Selain itu, obat ini sangat selektif dengan masa kerja yang panjang serta lebih baik dari simetidin karena tidak menimbulkan efek antiandrogenik sehingga tidak mengakibatkan disfungsi seksual (impoten) dan ginekomastia (Siswandono & Soekardjo, 1995; Sweetman, 2009). Efektivitas famotidin dalam menghambat sekresi asam lambung tergolong sangat baik, namun obat ini juga memiliki kelemahan dalam aspek fisikokimianya. Famotidin termasuk senyawa obat golongan kelas IV berdasarkan Biopharmaceutics Classification System (BCS) yang memiliki permeabilitas membran rendah dan kelarutan rendah (Fernandes et al., 2009). Obat yang memiliki kelarutan rendah menunjukkan absorpsi gastrointestinal yang rendah karena buruknya kelarutan obat dalam cairan gastrointestinal yang menyebabkan bioavailabilitas obat oral yang rendah (Reddy et al., 2013). Bioavailabilitas famotidin di dalam tubuh rendah yaitu sekitar 40 sampai 45% (Sweetman, 2009). Pendekatan aspek fisikokimia perlu dilakukan untuk meningkatkan laju disolusi famotidin, sehingga mampu meningkatkan bioavaibilitas obat famotidin yang rendah.

Beberapa metode dapat digunakan untuk meningkatkan laju disolusi obat, di antaranya pembuatan dispersi padat, pembentukan prodrug, kompleks inklusi obat dengan pembawa, dan modifikasi senyawa menjadi bentuk garam dan solvat (Zaini et al., 2011). Cara lain juga dapat dilakukan untuk meningkatkan laju disolusi obat seperti triturasi, grinding, ball milling, mikronisasi energi fluida, pembentukan garam dan presipitasi (Chivate et al., 2013). Dispersi padat adalah dispersi zat aktif di dalam pembawa inert atau matriks dalam keadaan padat. Dispersi padat merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan laju disolusi obat yang sukar larut dalam air (Ankit et al., 2014). Dispersi padat memiliki banyak kelebihan seperti: dapat mengurangi ukuran partikel, meningkatkan kemampuan keterbasahan zat aktif, meningkatkan porositas obat, mengurangi struktur kristal obat sehingga menjadi bentuk amorf, meningkatkan laju disolusi obat dalam air terutama obat yang sukar larut dalam air, dapat menutupi rasa dari zat obat, dapat mempersiapkan tablet oral dengan disintegrasi cepat dan dapat digunakan untuk mendapatkan distribusi homogen sejumlah kecil obat pada keadaan padat (Mogal, 2012). Salah satu metode yang menarik dan sederhana dikembangkan untuk meningkatkan laju disolusi dan bioavailabilitas obat yang sukar larut adalah dengan teknik co-grinding dengan menggunakan polimer hidrofilik (Garg et al., 2009; Barzegar-Jalali et al., 2010). Mekanisme peningkatan laju disolusinya melalui pengurangan ukuran partikel, perubahan bentuk kristal menjadi amorf, dan pembentukan kompleks yang larut (Zhong et al., 2013). Co-grinding dipilih karena

metodanya yang sederhana, ramah lingkungan dan tidak memerlukan pelarut organik (Barzegar-Jalali et al., 2010; Garg et al., 2009). Hydroxy propyl methyl cellulose (HPMC) adalah salah satu dari polimer hidrofilik yang dapat digunakan untuk meningkatkan laju disolusi dan bioavailabilitas obat dengan kelarutan yang buruk (Nielsen et al., 2013). HPMC merupakan polimer non ionik yang merupakan campuran selulosa eter yang penting sebagai pembawa pada sistem dispersi padat obat. HPMC mampu meningkatkan sifat biofarmasetik suatu obat (Riekes et al., 2014). HPMC memiliki banyak kelebihan seperti: inert, stabilitasnya baik, bahan non-toksik dan non-iritasi, viskositas obat dapat diatur, tidak diserap dan dimetabolisme dalam tubuh, dan tidak bisa memberikan panas, sehingga bahan yang aman dalam persiapan obat (Huichao et al., 2014). Manitol merupakan senyawa kimia lain yang umum digunakan sebagai pembawa dalam pembuatan sistem dipersi padat. Manitol termasuk ke dalam kelompok senyawa gula yang memiliki kelarutan dalam air yang tinggi. Manitol memiliki toksisitas yang lebih rendah sehingga bisa digunakan sebagai pembawa (carier) dalam pembuatan dispersi padat (Nikghalb et al., 2012). Beberapa penelitian telah dilakukan berkaitan dengan peningkatan laju disolusi famotidin. Beberapa penelitian seperti, pembentukan dispersi padat menggunakan pembawa yang larut air seperti urea, manitol dan sorbitol dengan teknik kneading dan penguapan pelarut (Someshwar et al., 2011), dispersi padat famotidin dengan pembawa polietilenglikol (PEG) (Geneidi et al., 2004), formulasi

tablet liquisolid (Fahmy et al., 2008), serta pembentukan dispersi padat famotidin dengan pembawa HPMC E5LV dan manitol (Kurniawan, 2016; Ramadhani, 2016). Evaluasi dispersi padat dapat dilakukan dengan 2 metoda uji aktivitas obat, yaitu secara in vitro maupun in vivo. Beberapa penelitian sebelumnya telah memaparkan cara evaluasi in vivo dispersi padat dengan melihat efektivitas anti ulkus peptik pada dispersi padat sulindak (Haggag et al., 2016), dan dispersi padat ketorolak (El-Deen et al., 2015), serta uji anti ulkus peptik pada lambung dan usus menggunakan tablet lepas terkendali famotidin (Ramachandran et al., 2011). Penelitian ini melakukan pengujian in vivo terhadap dipersi padat famotidin- HPMC E5LV dan dipersi padat famotidin-manitol dengan metoda co-grinding yang memiliki hasil uji in vitro terbaik dari penelitian sebelumnya Kurniawan (2016) dan Ramadhani (2016). Pengaruh dan efektivitas anti hiperasiditas sistem dispersi padat tersebut diamati dari ph cairan lambung tikus putih jantan yang diinduksikan aspirin yang dibagi menjadi beberapa kelompok (Ramachandran et al., 2011). Kemudian data yang diperoleh dilakukan analisis statistik dengan metoda ANOVA (Analysis of Variance).