ABSTRAK KARAKTERISTIK PETERNAKAN DI LAHAN KERING

dokumen-dokumen yang mirip
POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA BARAT

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

SILASE SEBAGAI PAKAN SUPLEMEN SAPI PENGGEMUKAN PADA MUSIM KEMARAU DI DESA USAPINONOT

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

Johanis A. Jermias; Vinni D. Tome dan Tri A. Y. Foenay. ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. yang memiliki potensi hijauan hasil limbah pertanian seperti padi, singkong, dan

DAMPAK PEMELIHARAAN TERNAK DI KAWASAN PANTAI UTARA KABUPATEN TTU TERHADAP KELESTARIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

UJI COBA PEMBERIAN DUA JENIS LEGUMINOSA HERBA TERHADAP PERFORMANS SAPI BALI DI DESA TOBU, NUSA TENGGARA TIMUR

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROSPEK PENGEMBANGAN PUSAT-PUSAT PEMBIBITAN SAPI BALI DI LAHAN MARGINAL UNTUK MENDUKUNG PENYEDIAAN SAPI BAKALAN DI NUSA TENGGARA BARAT

RESPON PETANI ATAS PROGRES PENGGEMUKAN TERNAK SAPI DI DESA TOBU, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

LUMBUNG PAKAN RUMINANSIA. Bernadete Barek Koten 1), Lilo J.M. Ch. Kalelado 1) dan Redempta Wea 1)

PENDAHULUAN. Latar Belakang

MEMBANGUN SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS DI NUSA TENGGARA BARAT

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL

POTENSI INTEGRASI TERNAK SAPI DENGAN JERUK KEPROK SOE DI DESA TOBU, KECAMATAN MOLLO UTARA KABUPATEN TTS

PEMANFAATAN KULIT KAKAO SEBAGAI PAKAN TERNAK KAMBING PE DI PERKEBUNAN RAKYAT PROPINSI LAMPUNG

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

PANDUAN. Mendukung. Penyusun : Sasongko WR. Penyunting : Tanda Panjaitan Achmad Muzani

BAB I PENDAHULUAN. Strategis Kementerian Pertanian tahun adalah meningkatkan

PROFIL BUDIDAYA SAPI POTONG DALAM USAHATANI DI PULAU TIMOR, NUSA TENGGARA TIMUR. Hendrik H. Marawali Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar

MEMILIH BAKALAN SAPI BALI

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

I. PENDAHULUAN. sedikit berbukit. Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah yang sebagian

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

PRODUKSI TERNAK DALAM SISTEM PEMELIHARAAN TERPADU DI KEBUN PERCOBAAN LILI, BPTP NTT

PENGEMBANGAN PERBIBITAN KERBAU KALANG DALAM MENUNJANG AGROBISNIS DAN AGROWISATA DI KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

Jurnal Pengabdian Masyarakat Peternakan ISSN: Vol. 2 No. 1 Tahun 2017

KEGIATAN SIWAB DI KABUPATEN NAGEKEO

PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

PENGANTAR. Latar Belakang. Hijauan merupakan sumber pakan utama bagi ternak ruminansia.

TEKNOLOGI BUDIDAYA JAGUNG UNTUK PRODUKSI BIOMAS PADA LAHAN MARJINAL. M. Akil Balitsereal Maros ABSTRAK

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Nomor : Nama pewancara : Tanggal : KUESIONER PETERNAK SAPI BALI DI DESA PA RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR, SULAWESEI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di

TAMPILAN PRODUKTIVITAS TERNAK SAPI BALI PADA DUA MUSIM YANG BERBEDA DI TIMOR BARAT

POTENSI KING GRASS SEBAGAI PAKAN TERNAK DAN TANAMAN PENGUAT TERAS DI DESA TOBU, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. subsektor peternakan. Suatu negara dapat dikatakan sistem

PENDAHULUAN. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur yaitu bibit, pakan, dan

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU

PENGKAJIAN USAHA TERNAK SAPI MELALUI PERBAIKAN MANAJEMEN PEMELIHARAAN DI KABUPATEN TTU

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PADA KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI JAMBI

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan peternakan di Indonesia lebih ditujukan guna

Siti Nurul Kamaliyah. SISTEM TIGA STRATA (Three Strata Farming System)

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. setengah dari penduduk Indonesia bekerja di sektor ini. Sebagai salah satu

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

LAPORAN AKHIR. Edi Basuno Ikin Sadikin Dewa Ketut Sadra Swastika

PERAN SERTA TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI

Ekonomi Pertanian di Indonesia

KELAYAKAN KOMPETITIF TEKNOLOGI SILASE DALAM PENGGEMUKAN SAPI DI KABUPATEN TTU, NUSA TENGGARA TIMUR

Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

RENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

I. PENDAHULUAN. Permintaan dunia terhadap pangan hewani (daging, telur dan susu serta produk

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat 2012

Keberhasilan Pembangunan Peternakan di Kabupaten Bangka Barat. dalam arti yang luas dan melalui pendekatan yang menyeluruh dan integratif dengan

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

PROFIL DAN PROSPEK PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI DAN KERBAU DI PULAU SUMATERA

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010

PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT MELALUI PENINGKATAN PRODUKTIFITAS TERNAK SAPI POTONG DI KELURAHAN MERDEKA KECAMATAN KUPANG TIMUR KABUPATEN KUPANG

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur.

Transkripsi:

POTENSI, MASALAH DAN UPAYA PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN KERING Abdullah Bamualim dan Wirdahayati R.B. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumbar ABSTRAK Peran peternakan sapi bagi pendapatan petani di lahan kering ternyata sangat signifikan. Hal ini disebabkan oleh potensi lahan yang cukup kondusif bagi pemeliharaan ternak sapi sehingga lebih kompetitif dibanding dengan usahatani lainnya. Walaupun memiliki potensi yang cukup besar, masih banyak masalah yang dihadapi dalam pengembangan usaha peternakan, terutama akibat pengaruh cekaman iklim, seperti yang terlihat di wilayah Nusa Tenggara. Strategi pengembangan peternakan sapi perlu diprioritaskan minimal pada dua aspek penting, yaitu: (i) Perbaikan pengelolaan ternak, khususnya perbaikan pakan, untuk menunjang pertumbuhan yang optimal, dan (ii) Perbaikan pembibitan ternak melalui peningkatan reproduksi ternak (breeding). Disamping itu pola pengembangan peternakan tradisional yang lestari dan mendukung peningkatan produktivitas lahan kering diangkat dalam tulisan ini. Kata Kunci : sapi. lahan kering, masalah dan pengembangan PENDAHULUAN Di Indonesia, lahan kering yang potensial untuk pengembangan pertanian di luar Pulau Jawa diperkirakan seluas 47 juta ha. Data dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak) menunjukkan bahwa lahan kering di Indonesia, dapat dibagi dalam: (i) Lahan kering berbasis alang-alang seluas 8,7 juta ha, (ii) Lahan kering berbasis perkebunan seluas 14 juta ha, (iii) Lahan kering berbasis pastura seluas 11 juta ha, dan (iv) Lahan kering berbasis budidaya campuran (tegalan) seluas 5,2 juta ha. Lahan alang-alang terutama mewakili Pulau Sumatera dan Kalimantan, lahan perkebunan mewakili Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, lahan pastura mewakili wilayah Nusa Tenggara dan Irian Jaya (kawasan Merauke), sedangkan lahan budidaya campuran terdapat di seluruh lahan kering, namun terutama mewakili sebagian wilayah Jawa. Pertanian lahan kering merupakan sistem usaha pertanian dimana sumber utama airnya bergantung pada curah hujan. Walaupun cukup banyak kendala yang dihadapi dalam memanfaatkan lahan kering sebagai usaha pertanian, namun terdapat potensi besar untuk meningkatkan produksi pertanian dan pendapatan petani yang berada di lahan tersebut. Salah satu usaha yang dapat dikembangkan pada semua jenis lahan kering di Indonesia adalah usaha peternakan. Usaha peternakan telah lama dikenal di Indonesia, baik di wilayah basah maupun di wilayah kering. Namun demikian, di wilayah yang relatif kering, peran peternakan seringkali sangat besar dalam menyumbang perekonomian dan kehidupan para petani dan masyarakat setempat. Untuk memperoleh hasil yang optimal dari pemeliharaan ternak maka perlu diketahui potensi dan masalah yang dihadapi untuk menerapkan beberapa opsi atau strategi manajemen pemeliharaan ternak di lahan kering. Makalah ini merupakan suatu tinjauan review dari pengalaman penulis selam bertugas di wilayah Nusa Tenggara dengan fokus pada ternak sapi. KARAKTERISTIK PETERNAKAN DI LAHAN KERING Sebagian besar lahan kering yang mendominasi wilayah Nusantara merupakan daerah yang kurang produktif bagi usaha pertanian yang intensif. Akan tetapi lahan kering tersebut masih

memungkinkan bagi usaha sub-sektor peternakan karena tersedianya lahan penggembalaan yang relatif luas bagi pemeliharaan ternak, khususnya ternak ruminansia dan herbivora. Salah satu wilayah di Indonesia yang didominasi oleh lahan kering adalah wilayah Nusa Tenggara. Keberadaan ternak di daerah kering telah berlangsung selama berabad-abad sejalan dengan kehidupan sosial-budaya masyarakat setempat. Ternak yang dipelihara para petani meliputi ternak besar (sapi, kerbau dan kuda) dan ternak kecil (kambing, babi dan unggas). Dengan demikian tidaklah mengherankan bahwa justru daerah kering seperti Nusa Tenggara telah berhasil menjadi daerah pemasok ternak sapi, kerbau dan kuda yang penting bagi daerah lain di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini. Suatu penelitian pada tahun 1987/1988 di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), menunjukkan bahwa proporsi penghasilan petani yang diterima dari komponen peternakan ternyata cukup besar, namun besarnnya sangat bervariasi tergantung pada agroekosistem yang ada termasuk tipe tanah, yang mempengaruhi dominasi usahatani yang diusahakan petani. Tabel 1 menunjukkan proporsi penghasilan petani yang berasal dari tanaman pangan, peternakan dan pekerjaan di luar pertanian pada tipe tanah yang berbeda di lahan kering di Timor (Momuat dan Bamualim, 1994). Terlihat bahwa justeru di lahan yang marginal (Bobonaro clay) yang mendominasi sebanyak 65% dari daratan Pulau Timor, kontribusi pendapatan petani sebagian besar berasal dari sub-sektor peternakan. Tabel 1.Porsi penghasilan petani dari tanaman pangan, peternakan dan penghasilan di luar pertanian pada tipe tanah dominan di Pulau Timor NTT. Tipe tanah dominan di Pulau Timor Porsi lahan (%)* Porsi penghasilan petani (%)** Tanama n pangan Peternakan Luar pertanian Alluvial 4,9 53 26 21 Basis Usahatani (UT)* UT sawah tadah hujan, pekarangan, palawija/sayuran, pemukiman, pohon gewang, padang penggembalaan Mediteran Merah Kuning 5,75 79 14 7 UT lahan kering, (jagung, kacang 2 an, labu), semak Bobonaro clay 65,0 16 50 34 Padang penggembalaan (dominan), UT lahan kering terbatas, hutan terbatas * Sumber: Basuki et al. (1997); ** Sumber: Momuat and Bamualim (1994). Populasi ternak sapi di daerah kering, seperti Nusa Tenggara, didominasi oleh sapi Bali. Keunikan sapi Bali dalam menghadapi pengaruh suhu panas terhadap tingkat reproduksi masih belum banyak diketahui, mengingat konsepsi pada sapi Bali justeru terjadi pada puncak musim kemarau (bulan Agustus Oktober) sekalipun induk sapi Bali dalam kondisi yang kurang baik. Kemungkinan adanya pengaruh lain yang turut berperan terhadap proses konsepsi dalam musim kemarau, perlu dipelajari. Untuk itu diperlukan upaya pemecahan masalah yang dihadapi, terutama dalam hal mengatasi kekurangan pakan selama musim kemarau. Dalam hal ini, sistem pemeliharaan yang ekstensif seharusnya secara bertahap bergeser kepada sistem pemeliharaan ternak yang lebih intensif. Perbaikan pemeliharaan ternak, antara lain, dilakukan dengan mengintegrasikan dengan tanaman pangan atau dengan tanaman perkebunan. Disamping itu di masa mendatang perlu digalakkan pengembangan hijauan makanan. Dengan demikian, daya dukung lahan dapat ditingkatkan melalui pemanfaatan hijauan makanan ternak (HMT) yang tersedia, pakan legum, limbah pertanian tanaman pangan (jerami padi dan palawija), dan sisa hasil perkebunan yang cukup potensial di lahan kering. POTENSI DAN MASALAH PETERNAKAN SAPI DI LAHAN KERING

Dalam usaha pengembangan peternakan sapi di wilayah kering terdapat beberapa potensi dan permasalahan, antara lain sebagai berikut: (i) Tersedia lahan penggembalaan yang relatif luas untuk usaha peternakan. Wilayah Nusa Tenggara didominasi oleh lahan kelas IV-VI seluas 67,5% dari total wilayah NTT dan NTB. Klasifikasi kelas lahan tersebut merupakan lahan kering yang lebih sesuai untuk digunakan bagi usaha peternakan (Hasibuan dan Mangunsong, 1993). (ii) Jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat yang semakin meningkat, serta bergesernya preferensi konsumsi masyarakat mengakibatkan semakin meningkatnya permintaan daging. Suatu studi di Pulau Jawa menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga akan daging sebesar 18% dari total pengeluaran untuk pangan, urutan ketiga setelah beras dan bahan makanan jadi. Sedangkan besarnya elastisitas pendapatan terhadap permintaan adalah > 1 (Ratentana dan Napitupulu, 1991). (iii) Kekurangan pasokan ternak untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri telah menyedot cukup banyak sumberdaya peternakan, khususnya ternak ruminansia di Indonesia. Disamping itu semakin menyempitnya lahan untuk usaha peternakan di Pulau Jawa merupakan peluang bagi pengembangan peternakan di lahan kering. Sedangkan beberapa masalah dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan peternakan di daerah kering, yaitu antara lain (Bamualim dan Wirdahayati, 2002): (i) Penurunan produksi dan kualitas pakan selama musim kemarau mengakibatkan menurunnya produksi ternak. (ii) Angka kematian anak yang relatif tinggi, terutama kematian anak sapi Bali yang digembalakan di padang rumput alam dapat mencapai >20%. Hal ini antara lain disebabkan oleh pola kelahiran yang terkonsentrasi dalam musim kemarau. (iii) Menurunnya kondisi ternak selama musim kemarau menyebabkan ternak rentan terhadap serangan berbagai penyakit hewan. (iv) Kegiatan peternakan masih dianggap sebagai usaha sambilan, sehingga upaya meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk peternakan kurang mendapat proritas. (v) Di kantong-kantong produksi ternak, terdapat kecenderungan semakin menurunnya mutu genetik ternak, akibat dari pengurasan ternak-ternak produktif dan berlangsungnya proses in-breeding (yaitu terjadinya perkawinan antar turunan yang mempunyai hubungang kekerabatan yang dekat selama beberapa generasi). PENGARUH IKLIM PADA PAKAN DAN PERTUMBUHAN TERNAK Pertumbuhan Ternak di Lahan Penggembalaan Alam Pertumbuhan ternak yang dipelihara secara ekstensif di lahan penggembalaan alam, mengikuti fluktuasi mutu dan produksi pakan berdasarkan musim dimana ternak mengalami kenaikan bobot badan dalam musim hujan dan diikuti oleh penurunan bobot badan selama musim kemarau. Suatu hasil penelitian yang dilaksanakan di Nusa Tenggara selama 3 tahun (Bamualim et al., 1994) disajikan dalam Gambar 1. Gambar ini memperlihatkan korelasi antara fluktuasi produksi rumput alam dengan bobot badan induk sapi Bali di Pulau Timor selama 3 tahun monitoring (1990-1993).

3,500 3,000 2,500 2,000 PRA 1,500 1,000 500 0 Jun/Jul 1990 Des/Jan Juni/Jul 1991 Des/Jan Juni/Jul 1992 Des/Jan 295 270 245 220 195 170 BB PRA BB Waktu Gambar 1. Produksi rumput alam (PRA=kg/ha) dan bobot badan (BB=kg/ekor) induk sapi Bali di salah satu lokasi penelitian di Pulau Timor Pengaruh Musim terhadap Mutu Pakan Mutu pakan, khususnya HMT di daerah tropis kering, terlihat dipengaruhi oleh musim. Minimal terdapat tiga unsur nutrien pakan yang bervariasi antara musim hujan dengan musim kemarau, yaitu: kandungan protein, mineral dan serat kasar. Kandungan protein kasar merupakan salah satu indikator dalam menentukan mutu pakan. Kandungan nitrogen (N) rumput alam meningkat di musim hujan (1,0 1,5% N) lalu menurun di musim kemarau (0,4-0,6% N). Menurunnya kandungan N dalam rumput alam selama musim kemarau mempengaruhi produksi ternak melalui dua jalan, yaitu: (i) berkurangnya konsumsi protein untuk mempertahankan pertumbuhan ternak, dan (ii) kekurangan protein akan dengan sendirinya membatasi konsumsi enersi oleh ternak. Dalam musim kemarau, konsumsi protein seekor sapi dengan bobot badan 200 kg dapat dihitung. Apabila konsumsi bahan kering rumput alam hanya 2% dari bobot badannya, dengan kandungan N rumput alam hanya 0,5% maka sapi tersebut hanya mengkonsumsi 20 gr N/hari atau sebesar 0,125 kg protein/hari. Konsumsi protein ini hanya setengah dari jumlah kebutuhan untuk hidup pokok yang dibutuhkan sapi dengan bobot badan 200 kg, yaitu sebesar 0,25-0,30 kg protein/hari. Seperti halnya dengan N, kadar sebagian besar mineral meningkat dalam musim hujan dan menurun dalam musim kemarau. Suatu penelitian yang dilakukan Little et al. (1989) menunjukkan bahwa di Pulau Timor terdapat kecenderungan difisiensi mineral P, Na, Cu dan Se. Kandungan N dan P sangat dipengaruhi oleh musim, dimana kandungannya meningkat selama awal musim hujan, mengalami puncaknya dalam bulan Januari dan Februari, kemudian menurun selama musim kemarau. Kecepatan tumbuh dan menuanya (maturity) tanaman rumput daerah tropis mengakibatkan cepat menurunnya mutu hijauan. Hal ini dikarenakan meningkatnya kadar serat kasar tanaman terutama karena bertambahnya proporsi batang tanaman. Tanaman berserat kasar tinggi menyebabkan rendahnya konsumsi ternak akibat lambatnya proses pencernaan pakan berserat kasar tinggi. Disamping itu, pakan tersebut umumnya defisiensi unsur N dan mineral yang dibutuhkan oleh mikroba rumen. UPAYA PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN KERING Berikut ini dibahas beberapa upaya pengembangan peternakan di daerah kering meliputi: faktor pendukung pengembangan ternak, perbaikan teknologi pemeliharaan ternak, breeding, pakan dan pola pengembangan tradisional. Pembahasan lebih difokuskan pada ternak sapi karena informasi yang lebih lengkap dibandingkan ternak lainnya. Faktor Pendukung Peternakan Sapi di Lahan Kering

Dalam suatu survei yang dilaksanakan di Nusa Tenggara, ditemukan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kondisi lingkungan dengan tingkat produktivitas ternak sapi. Dengan kata lain terdapat beberapa faktor pendukung yang mendorong terjadinya peningkatan produksi ternak. Pada studi ini ditemukan bahwa hasil produktivitas yang tertinggi diperlihatkan oleh ternak yang dipelihara pada lokasi dimana tersedia pakan dan air yang kontinyu sepanjang tahun. Hal ini berlaku juga bagi ternak sapi yang digunakan sebagai ternak kerja (Patrick, 1994). Hasil studi tersebut memperlihatkan bahwa ternak sapi Bali yang terdapat di lokasi penelitian di Pulau Flores, merupakan ternak sapi terbaik penampilannya dibanding daerah survai lainnya di NTT. Pada umumnya ternak sapi diikat di lahan perkebunan, sehingga mengurangi cekaman panas di lokasi tersebut. Dalam sistem ini, sapi-sapi betina umumnya diikat pindah sebanyak 1-2 kali per hari di bawah naungan tanaman perkebunan seperti tanaman kelapa. Sedangkan sapi pejantan dibiarkan lepas sehingga dapat mengawini induk sapi yang sedang berahi, dengan demikian tingkat fertilitas sapi betina dewasa sangat tinggi yakni mencapai 90% per tahun. Sebagai pembanding, angka kelahiran sapi Bali di Pulau Timor yang mengalami kesulitan pakan selama musim kemarau, menurun menjadi 51% per tahun (Wirdahayati et al., 1994). Demikian juga halnya dengan ternak sapi Bali yang terdapat di Propinsi NTB, penampilan ternak yang terbaik ditemukan di lokasi Sumbawa Besar dan Lombok Timur, sebenarnya karena didukung oleh ketersediaan pakan berkualitas dan air yang cukup sepanjang tahun. Dalam kondisi seperti ini, produktivitas ternak masih dapat dipertahankan walaupun digunakan sebagai ternak kerja. Sebaliknya, pada kondisi dimana terdapat keterbatasan pakan dan ternak digunakan sebagai ternak kerja maka terlihat penurunan produktivitas ternak yang cukup drastis. Hasil penelitian yang dilakukan di dua lokasi, dimana ternak sapinya sama-sama digunakan secara intensif sebagai ternak kerja, memperlihatkan tingkat produktivitas ternak yang sangat berbeda. Hasil pengamatan selama tiga tahun menunjukkan bahwa bobot badan induk sapi Bali di lokasi pertama adalah 250+16 kg/ekor dengan angka kelahiran rata-rata sebesar 76+18%. Sedangkan bobot badan induk sapi Bali di lokasi kedua hanya mencapai 175+32 kg/ekor dengan angka kelahiran sebesar 43+10% (Wirdahayati et al., 1994). Di lokasi pertama terdapat saluran irigasi yang menjamin penanaman palawija di musim kemarau, dimana jerami palawija/kacang-kacangan, merupakan pakan suplemen yang bermutu bagi ternak sapi selama musim kemarau. Sebaliknya di lokasi kedua tidak tersedia irigasi dan sebagian besar pakan yang diberikan pada ternak terdiri dari jerami padi (Patrick, 1994). Berdasarkan pada pengamatan yang dilakukan di Nusa Tenggara selain kecukupan pakan, sedikitnya ada tiga faktor penting yang mempengaruhi produktivitas ternak dalam suatu sistem usahatani (Patrick, 1994), yaitu sebagai berikut: (i) Ketersediaan air irigasi: Walaupun didominasi oleh lahan kering, umumnya produktivitas ternak lebih baik pada wilayah yang berada di sekitar sumber air. Dengan kata lain, kondisi ini juga berlaku di daerah persawahan beririgasi teknis. (ii) Intensitas penggunaan ternak untuk pengolahan tanah: Ternak yang digunakan untuk bekerja dengan intensitas yang tinggi namun tidak diikuti dengan pemberian pakan yang baik pada umumnya memiliki tingkat produktivitas yang sangat rendah. Sebaliknya, walaupun ternak digunakan untuk bekerja secara intensif, namun jika diberikan pakan yang cukup dan berkualitas baik dari sisa-sisa hasil pertanian, maka tingkat produktivitasnya tetap tinggi. (iii) Penghargaan petani akan nilai ekonomis ternak yang dipeliharanya: Observasi yang dilakukan memperlihatkan bahwa tingkat produktivitas ternak sapi sangat baik. Hal ini diduga karena adanya penghargaan petani terhadap ternak sebagai aset yang bernilai terutama sebagai sumber tabungan yang sangat berharga. Memang harus diakui bahwa pada umumnya petani di daerah tersebut terdiri dari para petani yang relatif cukup mampu karena berdomisili di wilayah yang kondisi alamnya mendukung bagi usaha pertanian dengan produktivitas yang tinggi. Perbaikan Teknologi Pemeliharaan Ternak Sapi a. Perbaikan Sistem Pemeliharaan

Perbaikan sistem pemeliharaan ternak merupakan salah satu kunci keberhasilan peternakan di daerah kering. Oleh karena itu, walaupun masyarakat di daerah kering umumnya telah mengenal peternakan, yang merupakan salah satu sumber pendapatannya, ketrampilan petani dalam sistem pemeliharaan ternak perlu terus ditingkatkan. Pada prinsipnya pemeliharaan yang dilaksanakan oleh para petani merupakan proses produksi dimana outputnya bergantung pada intput dan proses produksi tersebut. Input dapat berupa: ternak, pakan, fasilitas kandang, pemeliharaan kesehatan, tenaga kerja dan waktu.. Sedangkan outputnya berupa: jumlah ternak yang dijual dan kotoran yang dihasilkan. Besar kecilnya keuntungan tentunya bergantung pada efisiensi sistem pemeliharaannya. Sistem pemeliharaan yang memerlukan perbaikan meliputi: cara pemeliharaan ternak di lahan penggembalaan, manajemen perkandangan, pendeteksian reproduksi ternak, pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak, pengetahuan tentang penyakit hewan dan aspek breeding, serta masalah pemasaran ternak. Namun demikian, karena keterbatasan sumberdaya, pada prinsipnya manajemen pemeliharaan yang memerlukan masukan yang rendah (low input technology) yang perlu diterapkan pada petani kecil di Indonesia. Dalam salah satu kegiatan ACIAR di NTB terbukti bahwa dengan memperbaiki sistem manajemen pemeliharaan yang sederhana dapat secara signifikan memperbaiki hasil ternak sapi yang diperoleh petani. Hal ini antara lain dilakukan dengan manajemen penyapihan dini di musim kemarau, pemberian pakan suplemen di musim kemarau khusus pada ternak induk yang menyusui dan betina muda yang akan dikawinkan, melakukan identifikasi individu ternak, dan pencatatan data ternak. Perbaikan sistem pemeliharaan pada umumnya lebih mudah diterapkan pada ternak yang dikandangkan secara kelompok dibandingkan dengan pemeliharaan ternak secara ekstensif atau dilepas bebas. Pemeliharaan dengan sistem kandang kelompok (kandang kolektif) telah berkembang secara luas di NTB. Suatu pengujian pemeliharaan penggemukan sapi dalam kandang kelompok telah dilaksanakan di Amarasi, Kabupaten Kupang. Kegiatan ini memberikan dampak positif dengan dikembangkannya sistem kandang kolektif dalam proses penggemukan sapi. Beberapa hasil yang dicapai dengan menerapkan pemeliharaan secara kandang kelompok penggemukan sapi adalah sebagai berikut: (i) Bertumbuhnya usaha penggemukan ternak secara berkelompok, yang memberikan berbagai keuntungan terutama dalam kerjasama, kepedulian dan kompetisi yang positif antara sesama anggota kelompok. (ii) Meningkatkan posisi tawar menawar petani karena dapat menjual ternaknya secara berkelompok. (iii) Potensi masuknya mitra usaha dalam memodali kegiatan secara berkelompok, sehingga pendapatan petani menjadi lebih baik karena ternaknya dapat dijual tanpa melalui pedagang perantara. (iv) Dimanfaatkannya kotoran ternak untuk usaha tanaman pangan atau hortikultura yang meningkatkan pendapatan petani pemelihara ternak. Sedangkan untuk ternak yang dipelihara secara ekstensif atau yang digembalakan maka lamanya musim kemarau sangat berpengaruh terhadap tingkat produksi yang dihasilkan. Semakin panjang musim kemarau yang dialami maka semakin besar kehilangan bobot badan, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, sebagian petani-peternak yang memelihara ternak di padang penggembalaan alam telah memiliki strategi untuk mengantisipasi kekurangan pakan selama musim kemarau, antara lain dengan cara: (i) (ii) (iii) Mengurangi jumlah ternak yang dipelihara dengan menjual sebagian ternaknya di awal musim kemarau, sekitar bulan Mei-Juli, pada saat bobot badan ternaknya berada dalam kondisi puncak. Dengan demikian akan diperoleh beberapa keuntungan yaitu: (a) ternak dijual saat bobot badannya tinggi sehingga petani memperoleh pendapatan yang lebih baik, (b) mengurangi beban petani dalam penyediaan pakan bagi ternaknya selama musim kemarau, dan (c) dapat membeli kembali ternak yang kondisinya kurus di akhir musim kemarau untuk dipelihara selama musim hujan berikutnya. Melakukan pemeliharaan khusus dengan memberi pakan tambahan pada ternak yang sedang dalam masa produktif, khususnya induk yang sedang menyusui dan ternak anak selama periode kritis di akhir musim kemarau. Mentolerir terjadinya penurunan bobot badan sebagian ternak yang tidak berada dalam masa produktif. Diharapkan ternak tersebut akan dapat mengejar kehilangan bobot

badannya melalui pertumbuhan compensatory growth pada awal musim hujan. Namun kalau terjadi ancaman kematian akibat kekeringan yang berkepanjangan maka perlu diberi perlakuan khusus pada ternak-ternak tersebut. b. Perbaikan Breeding Perbaikan breeding ternak patut mendapat perhatian yang serius dalam pemeliharaan ternak di Indonesia. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pertumbuhan populasi ternak besar di Indonesia, khususnya ternak sapi dan kerbau, semakin menurun. Hal ini terlihat dari dinamika produksi ternak sapi pada khususnya di kawasan timur Indonesia yang didominasi oleh daerah kering, dimana sekitar 40% sapi betina muda ternyata dijual oleh peternaknya setiap tahun. Jumlah ternak muda yang dikeluarkan tersebut dapat menyebabkan ketidak-langgengan dan menurunnya populasi ternak dari tahun ke tahun (Fordyce et al., 2003). Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam upaya untuk meningkatkan tingkat reproduksi ternak di lahan kering, antara lain: (i) Membatasi musim kawin: Pembatasan musim kawin ditujukan agar kelahiran anak terkonsentrasi pada musim yang menunjang pertumbuhan yang optimal, seperti selama periode awal musim hujan. Untuk ternak sapi sebaiknya musim kawin dilaksanakan selama 3 bulan di awal musim kemarau (bulan Maret-Juli) sehingga kelahiran diharapkan terjadi selama bulan Desember-Maret. Untuk penerapan sistem kawin alam yang dibatasi ini diperlukan penyediaan kandang (kurungan) khusus untuk induk yang sedang berahi. Dalam sistem ini petani memiliki kesempatan untuk menggunakan pejantan unggul sebagai upaya memperbaiki performans anak-anak sapi yang dilahirkan. Namun demikian perlu dicatat bahwa efektivitas musim kawin pada kondisi pakan kurang baik adalah selama lima bulan, dan dapat dikurangi menjadi tiga bulan apabila didukung oleh sistem pemeliharaan dan pakan yang baik. (ii) Meningkatkan jumlah anak sapi yang dihasilkan: Peningkatan jumlah anak sapi yang dihasilkan setiap tahun dari 65% menjadi 80% dan menurunkan angka kematian anak sapi dari 15% menjadi 10% memungkinkan jumlah ternak betina yang dikeluarkan tiap tahun (turn off) sebesar 50%, disamping petani mampu menjual ternak betina muda sebanyak 25% dari jumlah yang ada. Oleh karena itu perbaikan pemeliharaan melalui seleksi induk dan pejantan serta perbaikan pakan akan dengan cepat meningkatkan jumlah anak ternak yang dihasilkan (Fordyce et al., 2003). (iii) Penggunaan IB: Penggunaan inseminasi buatan (IB) dapat membantu meningkatkan mutu dan repruduksi ternak, khususnya di daerah yang kekurangan pejantan. Namun demikian, pada sistem pemeliharaan ternak secara ekstensif, efektivitas IB sebenarnya lebih rendah dari perkawinan alamiah. Pada ternak sapi, diperkirakan tingkat konsepsi pada perkawinan alam sekitar 1,5 sedangkan pada IB > 2. Oleh karena itu, perkawinan alam tetap dianjurkan walaupun fasilitas IB tersedia di suatu lokasi pengembangan ternak di lahan kering. c. Perbaikan Pakan Kekurangan pakan selama musim kemarau, secara sederhana sebenarnya dapat diatasi dengan melakukan penyimpanan pakan yang berlimpah selama musim hujan. Namun dalam kenyataannya hal ini masih sulit dilakukan karena beberapa faktor, yaitu antara lain: (i) Selama musim hujan petani terkonsentrasi pada kegiatan penanaman, pemeliharaan dan pemanenan tanaman pangan, (ii) Ternak masih merupakan usaha sampingan, sehingga tidak merupakan prioritas dalam penanganannya. Oleh karena itu, perbaikan pakan yang paling praktis diutamakan pada tanaman legum yang dapat ditanami petani sendiri. Beberapa jenis tanaman pakan yang diintroduksikan, maupun tanaman lokal setempat dapat menghasilkan pakan berkualitas tinggi, dapat diberikan kepada ternak sebagai pakan tambahan yang merupakan sumber protein ataupun enersi. Pemberian hijauan pohon leguminosa dan non-leguminosa merupakan usaha untuk mencukupi kebutuhan protein ternak yang makanan dasarnya berupa rumput yang nilai gizinya relatif rendah. Oleh karena itu untuk ternak yang produktif, pakan yang diberikan sebaiknya terdiri atas 70% rumput-rumputan dan 30% hijauan legumimose. Beberapa hasil dari penelitian yang dilakukan di Nusa Tenggara memperlihatkan bahwa pemberian suplemen selama musim kemarau dapat mengurangi kehilangan bobot badan ternak secara nyata. Selanjutnya pemberian pakan suplemen selama musim hujan lebih meningkatkan

pertumbuhan ternak. Pada umumnya suplemen yang diberikan mengandung enersi dan nutrien yang dibutuhkan bagi pertumbuhan ternak. Studi mengenai produktivitas ternak sapi Bali dan Ongole di tingkat petani tentang potensi dan kendalanya juga telah dilakukan di beberapa lokasi (Bamualim et al.,1994; Wirdahayati dan Bamualim,1990; Wirdahayati,1994). Produktivitas induk sapi Bali yang mendapat perbaikan pakan pada saat akhir kebuntingan dan setelah melahirkan selama musim kemarau disajikan dalam Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Produktivitas induk sapi Bali yang mendapat perbaikan pakan pada saat akhir kebuntingan dan setelah melahirkan selama musim kemarau. Parameter Kontrol Perbaikan pakan A B A B BB awal (kg/ekor) 176 212 171 207 BB melahirkan (kg/ekor) 200 187 218 198 BB 3 bln setelah melahirkan (kg/ekor) 172 172 193 186 BB 6 bln setelah melahirkan (kg/ekor) 154-194 - Produksi susu (liter/hari) 0,75 2,4 1,17 2,8 Berat lahir anak (kg/ekor) 12,1 12,5 13,6 13,0 Pertumbuhan anak (gr/hari) - 150-190 BB anak umur 6 bulan (kg/ekor) 38 36 52 42 Bunting setelah melahirkan (hari) 139 147 69 111 A = Wirdahayati (1994); B = Wirdahayati et al. (1996). d. Pola Pengembangan Tradisional Salah satu pola pengembangan peternakan secara tradisional di daerah kering adalah sistem Amarasi. Sistem Amarasi adalah contoh klasik bagaimana para petani lahan kering dapat meningkatkan produktivitas lahannya sehingga mampu memelihara beberapa ekor sapi penggemukan sepanjang tahun, sekalipun dalam musim kemarau. Sistem Amarasi merupakan suatu pola usahatani berbasis HMT, khususnya berbasis tanaman lamtoro. Cikal bakal sistem Amarasi pada dasarnya adalah untuk mengatasi masalah tumbuhan gulma jenis lantana (Lantana camara), perladangan berpindah dan menurunnya kesuburan tanah di Pulau Timor. Sistem ini dimulai pada tahun 1930-an di Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang. Pada masa itu, Raja Amarasi mewajibkan para petani yang berada di dalam kawasannya untuk menanam lamtoro. Lamtoro ditanam dalam bentuk larikan dengan jarak 2-3 m sesuai kontur lahan. Tanaman ini diharuskan ditanam pada kebun petani sebelum berpindah ke lahan lain. Hanya dalam beberapa tahun saja tanaman lamtoro berhasil menggantikan tumbuhan lantana dan bambu yang ketika itu mendominasi lahan perladangan di Pulau Timor. Cara ini dianggap lebih aman karena sekaligus dapat membendung kemungkinan invasi tanaman pengganggu lainnya. Namun yang sangat signifikan bagi petani Amarasi adalah manfaat lamtoro yang sebagai sumber pakan penggemukan ternak sapi yang baru diaplikasikan sekitar 30 tahun kemudian. Dengan sistem ini, tanah yang kritis dan yang telah diinvasi oleh lantana dapat diubah menjadi lahan produktif. Dengan pemilikan sekitar 1 ha maka satu keluarga Amarasi dapat menghasilkan kira-kira 1-2 ton jagung pipilan kering dan dapat memelihara 2-3 ekor sapi untuk penggemukan dengan menggunakan pakan yang terdiri atas 100% lamtoro (Field et al., 1988). Dengan tersedianya hijauan leguminosa, terutama daun lamtoro yang cukup banyak, maka usaha penggemukan sapi dengan mudah berkembang. Usaha penggemukan sapi di Amarasi berkembang dengan pesat sejak awal tahun 1970-an. Oleh karena itu, seluruh sapi yang digemukkan oleh petani di Amarasi dengan mudah dapat dipasarkan melalui perdagangan antarpulau. Dari hasil pemeliharaan sebanyak 6 ekor sapi per KK maka petani di Amarasi dapat memperoleh keuntungan bersih yang memadai untuk menunjang kehidupan keluarga petani yang layak (Matzner, 1983). Pada tahap ini pemberian kredit ternak sapi bagi petani sangat membantu karena umumnya petani masih kurang mampu membeli ternak, baik ternak kecil maupun ternak besar. Biasanya petani baru dapat membeli kambing, babi atau sapi setelah memperoleh hasil panen

tanaman pangan yang berlebihan pada musim hujan yang baik, yang jarang terjadi di wilayah Nusa Tenggara. Oleh karena itu apabila petani dapat memperoleh kredit ternak, maka akan mendorong mereka untuk mengadopsi penanaman larikan pohon leguminosa tersebut. Dengan sistem Amarasi maka pendapatan petani semakin meningkat dari hasil penjualan ternak. Disamping itu, ketergantungan para petani pada tanaman pangan akan semakin berkurang sehingga tanaman pangan hanya terbatas ditanami pada lahan yang lebih subur, sedangkan di atas tanah yang kurang baik dapat ditanami dengan tanaman pohon yang lebih stabil, baik sebagai sumber pakan maupun tanaman lain sebagai sumber tambahan pendapatan petani sebagaimana diperlihatkan dalam tahap peralihan dari sistem pertanian tradisional menuju pada sistem yang stabil berdasarkan kemampuan lahan. Kritikan yang terbesar terhadap sistem Amarasi adalah ketergantungan kepada hanya satu jenis pohon leguminosa yaitu tanaman lamtoro. Penyerangan hama psyllid (Heteropsylla cubana) pada lamtoro menunjukkan bahwa sistem monokultur mengandung resiko tinggi bagi petani/peternak. Terdapat juga pendapat lain yang mengatakan bahwa keberhasilan sistem Amarasi lebih ditentukan oleh pembatasan pergerakan ternak, melalui pemisahan lahan pertanian dari lahan penggembalaan, daripada keberhasilan karena tersedianya lamtoro sebagai sumber pakan ternak. KESIMPULAN Sebagian besar daerah kering umumnya merupakan daerah yang kurang produktif bagi usaha pertanian yang intensif. Akan tetapi lahan di daerah tersebut masih memungkinkan bagi usaha sub-sektor peternakan, khususnya untuk pemeliharaan ternak ruminansia/herbivora, karena tersedianya lahan penggembalaan yang relatif luas. Dengan demikian tidaklah mengherankan bahwa wilayah kering di Indonesia justru berhasil menjadi daerah pemasok ternak sapi, kerbau dan kuda yang penting bagi daerah lain di Indonesia. Namun demikian akibat sistem pemeliharaan ternak yang umumnya masih bersifat ekstensif, sebagai usaha sambilan dan kondisi iklim yang kurang mendukung menyebabkan tingkat produktivitas ternak di daerah kering relatif lebih rendah dibandingkan dengan di daerah basah. Pada dasarnya, tingkat produktivitas ternak di daerah kering sangat dipengaruhi oleh musim kemarau, kondisi setempat dan manajemen pemeliharaan. Populasi ternak di daerah kering seperti Nusa Tenggara didominasi oleh sapi Bali yang memiliki tingkat adaptif yang tinggi terhadap pengaruh suhu panas. Hal ini terlihat dari konsepsi pada sapi Bali yang justeru terjadi pada puncak musim kemarau sekalipun pada periode tersebut indukinduk sapi Bali berada dalam kondisi yang kurang baik. Selain ternak sapi, terdapat juga ternak kerbau, kuda dan kambing yang memberi kontribusi yang cukup nyata dalam kehidupan perekonomian dan budaya masyarakat di daerah kering. Namun demikian, populasi ternak di lahan kering sangat dibatasi oleh kemampuan dukungan alam dimana ternak dipelihara. Dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak, hasil-hasil penelitian mengindikasikan perlunya perbaikan dalam dua aspek penting, yaitu: (i) Perbaikan pengelolaan ternak untuk menunjang pertumbuhan ternak yang optimal, dan (ii) Perbaikan pembibitan ternak melalui peningkatan reproduksi ternak (breeding). Untuk itu diperlukan upaya pemecahan masalah yang dihadapi, terutama upaya untuk mengatasi kekurangan pakan selama musim kemarau. Dalam hal ini, sistem pemeliharaan yang selama ini bersifat ekstensif seharusnya secara bertahap bergeser kepada sistem pemeliharaan ternak yang lebih intensif. Disamping itu terlihat bahwa beberapa pola pengembangan tradisional seperti pola Amarasi yang diterapkan di Pulau Timor ternyata dapat memberi manfaat terhadap perbaikan lingkungan sekaligus meningkatkan produktivitas ternak di lahan kering. DAFTAR PUSTAKA Bamualim, A. 2001. Usaha peningkatan produksi ruminansia potong melalui terobosan penelitian di Indonesia: Kasus Nusa Tenggara. Makalah disampaikan dalam Seminar Peternakan

Pasca IAEUP (Indonesia Australia Eastern Islands University Project)-Ditjen DIKTI. Kupang, 27-29 Juli 2001. Bamualim, A., A. Saleh, P.Th. Fernandez dan C.Liem. 1994. Komposisi jenis makanan yang diberikan petani pada ternak sapi yang dipelihara dengan sistem semi-intensif di Nusa Tenggara. CHAPS Book A, p. 230. Final Seminar of the Cattle Health and Productivity Survey (CHAPS) held at the Disease Investigation Centre, Denpasar-Bali, May 15-17 1994. Bamualim, A. dan Wirdahayati R.B. (2002). Peternakan di Lahan Kering Nusa Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Timur. 2002. Field, S. 1988. Alley cropping - An alternative farming system for NTT. NTTIADP. Consultant for Dinas Pertanian Tanaman Pangan, NTT. (ACIL). Fordyce, G., T. Panjaitan, Muzani and D. Poppy. 2003. Management to facilitate genetic improvement of Bali cattle in Eastern Indonesia. In Strategy to Improve Bali Cattle in Easten Indonesia (Eds. K.Entwistle and D.R. Lindsay). Proceedings of a Workshop, 4-7 February 2002, Bali Indonesia. ACIAR Proceedings No.110, Canberra, 2003. Hasibuan, D.B. dan R.D. Mangunsong. 1993. Peluang investasi sub-sektor peternakan dalam pengembangan daerah lahan kering di Nusa Tenggara. Dalam Prosiding Lokakarya Status dan Pengembangan Lahan Kering di Indonesia, Buku I. Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nusa Tenggara (P3NT), Badan Litbang Pertanian. Mataram, 16-18 November 1993. Little, D.A., S. Kompiang and R.J. Petheram (1989). The mineral composition of Indonesian ruminant forages. Trop. Agric. (Trinidad). Metzner, J. K., 1983. Innovations in agriculture incorporating traditional production methods: The case of Amarasi (Timor). Bulletin of Indonesian Economic Studies 19: 94-105. Momuat, E.O. and A. Bamualim. 1994. Crop-livestock farming systems in the uplands of Indonesia. Paper presented at the International Seminar on Upland Farming Systems and Role of Livestock Production. Ciangmai, Thailand, November 21-27, 1994. Nulik, J. dan A. Bamualim. 1998. Pakan Ruminansia Besar di Nusa Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Naibonat bekerjasama dengan Eastern Island Veterinary Services Project (EIVSP). Patrick, I. 1994. Management factor constraining cattle productivity at CHAPS sites in Nusa Tenggara. Ratentana, M.H. dan dan T.A. Napitupulu. (1991). Perdagangan ternak regional: masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Simposium Perencanaan Pembangunan Peternakan di NTB, NTT dan Timor Timur. Mataram, 20-23 Januari 1991. Stobbs, T.H. (1971). Quality of pasture and forage crops for dairy production in the tropical regions of Australia. 1. Review of literature. Trop. Grassld. 5: 159 170. Wirdahayati R.B. dan A. Bamualim (1990). Penampilan reproduksi dan struktur populasi ternak sapi Bali di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Proceeding Seminar Nasional Sapi Bali, hal C1. Denpasar-Bali, 20-22 September 1990.

Wirdahayati R.B., B.M.Christie, A.Muthalib and K.F.Dowsett. 1994. Productivity of beef cattle in Nusa Tenggara. CHAPS Book A, p.170. Final Seminar of the Cattle Health and Productivity Survey (CHAPS), Held at the Disease Investigation Centre, Denpasar-Bali, May 15-17 1994.