BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah merupakan salah satu agenda reformasi, bahkan

WALIOTA S WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG

WALIKOTA MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintah daerah sepenuhnya dilaksanakan oleh daerah. Untuk

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR : 03 TAHUN 2013

WALIKOTA PANGKALPINANG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

BAB I PENDAHULUAN. No.12 Tahun Menurut Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang

BUPATI BANGKA TENGAH

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi,

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia untuk mempunyai strategi khusus dalam menjaga kesaatuan dari negara

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. baik (Good Governance) menuntut negara-negara di dunia untuk terus

BUPATI WONOGIRI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN

PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA

PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2010

BUPATI BANGKA BARAT PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2011

BAB I PENDAHULUAN. Siklus pengelolaan keuangan daerah merupakan tahapan-tahapan yang

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan baru dari pemerintah Republik Indonesia yang mereformasi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan. daerah sebagai penyelenggara pemerintah daerah.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 6 TAHUN 2013

BUPATI TOLITOLI PERATURAN BUPATI TOLITOLI NOMOR 6 TAHUN 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. arah dan tujuan yang jelas. Hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah,

WALIKOTA TEGAL PERATURAN DAERAH KOTA TEGAL NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI JEMBRANA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dengan dikeluarkannya undang-undang (UU) No.32 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI

WALIKOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG

WALI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 8 TAHUN 2011 T E N T A N G

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR : 7 TAHUN 2010

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN. Pada Bab II telah diuraiakan kondisi riil daerah yang ada di

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BUPATI MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS,

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2007

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia kini telah menerapkan otonomi daerah dengan tujuan demi

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. satu indikator baik buruknya tata kelola keuangan serta pelaporan keuangan

1.1 MAKSUD DAN TUJUAN PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR

DAFTAR ISI. Halaman I. DAFTAR ISI... i II. DAFTAR TABEL... iii III. DAFTAR LAMPIRAN... iv

BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR : 6 TAHUN 2017

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BENGKULU TENGAH

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BUPATI DEMAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 3 TAHUN 2014

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 11 TAHUN 2011

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 11 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

BAB I PENDAHULUAN. untuk menerapkan akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik dapat diartikan sebagai bentuk

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG,

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2011 NOMOR : 17

PEMERINTAH KABUPATEN PANDEGLANGG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 3 TAHUN 2013

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2008

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

MANAJEMEN KEUANGAN PASAR

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

BUPATI SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2012

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan

KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL KEUANGAN DAERAH TAHUN

BUPATI BOLAANG MONGONDOW UTARA PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW UTARA NOMOR 1 TAHUN 2015

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan lembaga pemerintahan. Akuntansi Pemerintahan memiliki

LEMBARAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 4 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 4 TAHUN 2015

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PELAPORAN KEUANGAN DAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

Transkripsi:

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang No.32 Tahun 2004, terjadi perubahan yang cukup berarti bagi pengelolaan pemerintahan di daerah. Desentralisasi, yang merupakan paradigma baru dalam pengelolaan pemerintahan memberikan kontribusi yang sangat besar pada perubahan tersebut, terutama pada pengelolaan keuangan daerah. Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 (pengganti Undang-Undang No.22 Tahun 1999) desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasi dari desentralisasi adalah perubahan terhadap pengelolaan keuangan daerah, dimana daerah mempunyai wewenang untuk mengatur anggaran keuangan daerahnya tanpa campur tangan pemerintah pusat. Dengan kata lain, daerah diberi kewenangan yang seluas-seluasnya untuk mengatur dan mengelola keuangan daerahnya dengan mengacu pada undang-undang dan peraturan yang berlaku. Pada dasarnya mengelola keuangan daerah adalah mengelola anggaran. Anggaran keuangan merupakan suatu rencana keuangan yang disusun sebagai dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik pemerintah daerah terhadap masyarakat. Anggaran keuangan di daerah disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menye- 1

2 butkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA). APBD yang meliputi pendapatan, belanja, dan pembiayaan, harus dikelola dan diimplementasikan secara efektif dan efisien. Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah mendefinisikan Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Lebih lanjut peraturan tersebut menyatakan bahwa keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah wajib melakukan perencanaan dan penganggaran dengan baik, apalagi mengingat sumber daya dan potensi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib sangat terbatas. Underfinancing ataupun overfinancing yang timbul karena lemahnya perencanaan akan berdampak pada pelayanan kepada masyarakat. Padahal tugas utama pemerintah daerah adalah memberikan pelayanan publik guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya, pada setiap akhir tahun anggaran pemerintah daerah wajib melakukan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Sebagai perwujudan dari tanggung jawab pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya, kepala daerah diharuskan membuat Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Hal ini juga mencerminkan perwujudan

3 akuntabilitas dan transparansi, sesuai yang diamanatkan undang-undang. Undang-Undang RI No.17 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa Gubernur/Bupati/ Walikota menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir, merupakan perwujudan akuntabilitas dan transparansi tersebut. Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan menyebutkan bahwa Laporan Keuangan Pemerintah Daerah terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Peraturan Pemerintah No.24 tahun 2005 ini kemudian diganti dengan PP No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, dimana dalam peraturan ini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah terdiri dari: Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih, Neraca, Laporan Operasional, Laporan Arus Kas, Laporan Perubahan Ekuitas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan Realisasi Anggaran sebagai salah satu dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah merupakan gambaran bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah dalam mengelola dana publik. Dalam Laporan Realisasi Anggaran ini, akan terlihat seberapa besar pencapaian pemerintah dalam melaksanakan anggaran yang telah ditetapkan, baik dari segi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan. Dengan demikian, laporan ini juga akan menggambarkan perbedaan antara reali-

4 sasi atau pencapaian dengan anggaran yang telah ditetapkan. Perbedaan tersebut akan terakumulasi dalam Sisa Lebih Perhitungan Anggaran atau disebut SiLPA. Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005 menjelaskan bahwa SiLPA merupakan selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Sisa lebih perhitungan anggaran atau SiLPA terjadi hampir di setiap pemerintah daerah yang ada di Indonesia. Padahal dalam anggaran yang telah ditetapkan, pemerintah daerah telah menetapkan akan terjadi defisit, dimana pendapatan daerah tidak dapat menutupi seluruh belanja daerah sehingga diperlukan penerimaan pembiayaan sebesar defisit yang diperkirakan. Dengan demikian, sisa lebih pembiayaan yang diperkirakan adalah nol, sedangkan dalam praktiknya defisit dalam realisasi anggaran tidak selalu terjadi. Surplus bisa terjadi dalam Laporan Realisasi Anggaran yang artinya realisasi pendapatan lebih besar daripada realisasi belanja. Sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) dapat terjadi karena realisasi pendapatan yang melebihi target atau anggaran yang telah ditetapkan dan realisasi belanja yang lebih kecil dari anggaran yang telah ditetapkan. Realisasi pendapatan yang melebihi target dapat disebabkan karena beberapa hal. Misalnya karena adanya efektivitas pemerintah dalam menggali dan mengelola sumber-sumber pendapatan daerah, atau karena penetapan target (anggaran) yang lebih kecil dari ke - mampuan daerah yang sebenarnya. Realisasi belanja yang lebih kecil dari anggaran yang telah ditetapkan juga dapat terjadi karena beberapa hal. Misalnya karena adanya efisiensi atau penghematan belanja, atau karena tidak terlaksananya program/kegiatan sehingga anggaran tidak terserap.

5 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya SiLPA tersebut belum serta-merta menunjukkan baiknya kinerja pemerintah daerah yang bersangkutan. Masih diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam untuk menilai apakah SiLPA yang ditunjukkan dalam Laporan Realisasi Anggaran merupakan suatu prestasi atau sebaliknya. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan untuk menilai apakah SiLPA menunjukkan kinerja yang baik atau sebaliknya. Beberapa faktor tersebut antara lain adalah manajemen belanja daerah, manajemen aset daerah, manajemen pendapatan daerah, reformasi manajemen keuangan daerah, manajemen kemitraan pemerintah daerah, manajemen kas dan anggaran kas daerah, dan manajemen utang dan investasi daerah (Bali, 2013). Faktor-faktor tersebut secara keseluruhan terangkum dalam Manajemen Keuangan Daerah. Baay (2011) mengemukakan bahwa beberapa faktor yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran adalah kapasitas anggota dewan, pengendalian (controlling), kebijakan pengelolaan keuangan, pelaku kebijakan, dan kebijakan eksekutif daerah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perbedaan pandangan antara pihak eksekutif dan legislatif serta adanya kepentingan anggota DPRD mengakibatkan keterlambatan dalam penetapan APBD sehingga menyebabkan banyak program/kegiatan tidak terlaksana. Demikian pula dengan kurangnya pengawasan secara berkala dan pengendalian terhadap pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan penatausahaan keuangan mengakibatkan terjadinya tindakan oportunistik yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu. Kurangnya sumber daya manusia yang handal dalam hal perencanaan dan pengelolaan keuangan mengakibatkan banyak program dan kegiatan tidak terlaksana. Kebijakan

6 harus ditetapkan pada waktunya karena keterlambatan penetapan Surat Keputusan (SK) akan berdampak pada keterlambatan pelelangan atau tender sehingga proyek tidak berjalan tepat pada waktunya. Hal lain yang menyebabkan terjadinya SiLPA adalah perencanaan anggaran yang buruk, faktor keterlambatan APBD dan proses anggaran yang berbelit dan lama (Witri, 2010). Penelitian senada juga dilakukan oleh Kuswoyo (2011), yang menyimpulkan bahwa faktor perencanaan anggaran, faktor pelaksanaan anggaran, faktor pengadaan barang dan jasa, dan faktor internal satuan kerja merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terkonsentrasinya penyerapan anggaran belanja pada akhir tahun anggaran. Kalimantan Timur merupakan provinsi yang menghasilkan SiLPA tertinggi di Indonesia pada tahun 2012, yakni sebesar Rp6,582 triliun. Jumlah tersebut jika dirinci berasal dari SiLPA Provinsi Kalimantan Timur sebesar Rp1,8 triliun dan SiLPA kabupaten/kota di Kalimantan Timur sebesar Rp4,782 triliun (www. kaltim.antaranews.com). Lebih lanjut dalam Deskripsi dan Analisis APBD 2012, bahwa rasio SiLPA terhadap belanja daerah secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, Provinsi Kalimantan Timur menempati posisi tertinggi di Indonesia. Menurut Dirjen Perimbangan Keuangan (DJPK), Rasio SiLPA terhadap belanja selain menggambarkan besaran belanja yang tertunda pelaksanaannya pada tahun sebelumnya juga menggambarkan jumlah realisasi pendapatan tahun anggaran sebelumnya lebih besar dari proyeksinya (www.djpk.depkeu.go.id). Pemerintah Kota Tarakan yang terletak di wilayah utara Pulau Kalimantan dan termasuk dalam Provinsi Kalimantan Timur, hampir setiap tahun melaporkan SiLPA yang cukup tinggi dalam Laporan Realisasi Anggarannya. Bahkan pada 3

7 (tiga) tahun terakhir, SiLPA meningkat dari tahun ke tahun. Ringkasan Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Tarakan tahun 2010 sampai tahun 2012 ditunjukkan dalam tabel berikut ini: Tabel 1.1 Ringkasan Laporan Realisasi APBD Pemerintah Kota Tarakan Tahun 2010 URAIAN ANGGARAN REALISASI Selisih Anggaran vs Realisasi Jumlah % Jumlah % Pendapatan 918.078.612.558 975.042.947.911 1,06 56.964.335.353 0,06 Belanja 1.504.019.537.336 1.171.055.159.622 0,78 (332.964.377.714) (0,22) Surplus / (Defisit) (585.940.924.778) (196.012.211.711) 0,33 389.928.713.067 (0,67) Pembiayaan Penerimaan Daerah 587.870.924.778 587.870.924.778 1,00 0 - Pengeluaran Daerah 1.930.000.000 1.746.846.958 0,91 (183.153.042) (0,09) Pembiayaan Netto 585.940.924.778 586.124.077.820 1,00 183.153.042 0,00 SILPA 0 390.111.866.109 390.111.866.109 Sumber: Laporan Realisasi APBD Pemerintah Kota Tarakan Tahun 2010, diolah Tabel 1.2 Ringkasan Laporan Realisasi APBD Pemerintah Kota Tarakan Tahun 2011 URAIAN ANGGARAN REALISASI Selisih Anggaran vs Realisasi Jumlah % Jumlah % Pendapatan 1.026.263.899.572 1.257.332.382.484 1,23 231.068.482.912 0,23 Belanja 1.413.375.765.681 1.119.934.708.193 0,79 (293.441.057.488) (0,21) Surplus / (Defisit) (387.111.866.109) 137.397.674.291 (0,35) 524.509.540.400 (1,35) Pembiayaan Penerimaan Daerah 390.111.866.109 390.111.866.109 1,00 0 - Pengeluaran Daerah 3.000.000.000 1.000.000.000 0,33 (2.000.000.000) (0,67) Pembiayaan Netto 387.111.866.109 389.111.866.109 1,01 2.000.000.000 0,01 SILPA 0 526.509.540.400 526.509.540.400 Sumber: Laporan Realisasi APBD Pemerintah Kota Tarakan Tahun 2011, diolah Tabel 1.3 Ringkasan Laporan Realisasi APBD Pemerintah Kota Tarakan Tahun 2012 URAIAN ANGGARAN REALISASI Selisih Anggaran vs Realisasi Jumlah % Jumlah % Pendapatan 1.250.306.628.756 1.588.503.452.575 1,27 338.196.823.818 0,27 Belanja 1.719.816.169.156 1.241.932.861.064 0,72 (477.883.308.092) (0,28) Surplus / (Defisit) (469.509.540.400) 346.570.591.510 (0,74) 816.080.131.910 (1,74) Pembiayaan Penerimaan Daerah 526.509.540.400 526.536.075.900 1,00 26.535.500 0,00 Pengeluaran Daerah 57.000.000.000 13.808.803.000 0,24 (43.191.197.000) (0,76) Pembiayaan Netto 469.509.540.400 512.727.272.900 1,09 43.217.732.500 0,09 SILPA 0 859.297.864.410 859.297.864.410 Sumber: Laporan Realisasi APBD Pemerintah Kota Tarakan Tahun 2012, diolah

8 Berdasarkan ketiga tabel tersebut, Laporan Realisasi Anggaran tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 menunjukkan adanya SILPA yang jumlahnya cukup besar. Pendapatan sebagai salah satu sumber terjadinya SILPA, pada tahun 2010 mencapai 106%, tahun 2011 mencapai 123%, dan 127% pada tahun 2012. Kemudian pada pos belanja, realisasi pada tahun 2010 adalah sebesar 78% dari anggaran, 79% pada tahun 2011, dan 72% pada tahun 2012, sedangkan pembiayaan berturut-turut adalah 100% untuk tahun 2010, 101% pada tahun 2011, dan 109% pada tahun 2012. Realisasi pendapatan, belanja, dan pembiayaan tersebut menyebabkan terjadinya SiLPA yang tidak dianggarkan pada tahun 2010, tahun 2011, dan tahun 2012. Dilihat dari ketiga tabel tersebut, realisasi belanja berkisar antara 70% - 80% dari anggarannya, sedangkan realisasi pendapatan mengalami peningkatan dari tahun 2010-2012, yaitu 106%, 123%, dan 127% dari anggaran yang telah ditetapkan. Realisasi pembiayaan netto dari tahun 2010-2012 adalah 100%, 101%, dan 109% dari anggaran yang telah ditetapkan. Angka-angka yang tinggi tersebut berkontribusi terhadap tingginya SiLPA. Manajemen keuangan daerah yang efektif akan mempengaruhi timbulnya atau terjadinya SiLPA. Beberapa faktor dalam aspek manajemen keuangan daerah yang telah disebutkan di awal menyebabkan terjadinya SiLPA, yaitu reformasi manajemen keuangan daerah, manajemen pendapatan daerah, manajemen belanja daerah, manajemen kas dan anggaran kas, manajemen aset daerah, manajemen utang dan investasi, dan manajemen kemitraan pemerintah daerah (Bali, 2013). Oleh karena itu, timbul pertanyaan apakah Pemerintah Kota Tarakan sebagai penghasil SiLPA yang cukup besar telah melaksanakan Manajemen Keuangan

9 Daerah yang baik? Apakah Manajemen Keuangan Daerah yang baik tersebut yang menyebabkan SiLPA Pemerintah Kota Tarakan cukup besar? Apakah SiLPA yang terjadi pada Pemerintah Kota Tarakan tersebut menunjukkan suatu prestasi? Bagaimanakah proses penyusunan anggarannya? Apakah penyusunan anggaran telah dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek sehingga realisasi anggaran pendapatan merupakan suatu prestasi dan bukan karena target yang ditetapkan terlalu rendah? Atau apakah seluruh program dan kegiatan yang dianggarkan telah terealisasi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendorong dan memotivasi peneliti untuk melakukan penelitian tentang SiLPA dan Manajemen Keuangan Daerah. Oleh karena itu, peneliti memilih judul penelitian sebagai berikut: PENGARUH FAKTOR-FAKTOR DALAM ASPEK MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH TERHADAP SISA LEBIH PERHITUNGAN ANGGARAN (SiLPA) PADA PEMERINTAH KOTA TARAKAN. 1.2 Rumusan Masalah Terdapat peningkatan Sisa lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) pada Pemerintah Kota Tarakan tahun 2010-2012, yaitu sebesar Rp390.111.866.108,93 pada tahun 2010, Rp526.509.540.399,67 pada tahun 2011, dan Rp859.297.864.410,06 pada tahun 2012. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bali (2013) terjadinya SiLPA disebabkan oleh faktor-faktor dalam aspek manajemen keuangan daerah, yang meliputi: 1. Reformasi manajemen keuangan daerah 2. Manajemen pendapatan daerah

10 3. Manajemen belanja daerah 4. Manajemen kas dan anggaran kas daerah 5. Manajemen aset daerah 6. Manajemen utang dan investasi daerah 7. Manajemen kemitraan pemerintah daerah 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas maka pertanyaan penelitiannya adalah: Apakah faktor-faktor dalam aspek manajemen keuangan daerah berpengaruh terhadap sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) pada Pemerintah Kota Tarakan? Pertanyaan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Apakah faktor reformasi manajemen keuangan daerah berpengaruh terhadap sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) pada Pemerintah Kota Tarakan? 2. Apakah faktor manajemen pendapatan daerah berpengaruh terhadap sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) pada Pemerintah Kota Tarakan? 3. Apakah faktor manajemen belanja daerah berpengaruh terhadap sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) pada Pemerintah Kota Tarakan? 4. Apakah faktor manajemen kas daerah berpengaruh terhadap sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) pada Pemerintah Kota Tarakan? 5. Apakah faktor manajemen aset daerah berpengaruh terhadap sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) pada Pemerintah Kota Tarakan? 6. Apakah faktor manajemen utang dan investasi daerah berpengaruh terhadap sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) pada Pemerintah Kota Tarakan?

11 7. Apakah faktor manajemen kemitraan pemerintah daerah berpengaruh terhadap sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) pada Pemerintah Kota Tarakan? 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan memberikan bukti empiris mengenai pengaruh faktor-faktor dalam aspek manajemen keuangan daerah terhadap terjadinya SiLPA pada Pemerintah Kota Tarakan. 1.5 Motivasi Penelitian Motivasi yang melandasi dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Penelitian ini dilandasi motivasi untuk memperkaya khazanah keilmuan dengan memberikan sumbangan pemikiran secara ilmiah mengenai pentingnya memahami dan menerapkan Manajemen Keuangan Daerah secara efektif dan pengaruhnya terhadap SiLPA, khususnya pada Pemerintah Kota Tarakan. b. Wujud pengabdian kepada pemerintah, khususnya Pemerintah Kota Tarakan. c. Mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh selama di bangku perkuliahan khususnya di bidang sektor publik. 1.6 Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: a. Bagi Pemerintah Daerah. Memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah selaku pengelola keuangan daerah tentang pentingnya penerapan Manajemen Keuangan Daerah dalam mengelola APBD secara ekonomis, efektif dan efisien sehingga meningkatkan kinerja Pemerintah Kota Tarakan.

12 b. Bagi DPRD Pemerintah Kota Tarakan dan masyarakat Kota Tarakan. Sebagai masukan dalam mengawasi dan mengevaluasi kinerja Pemerintah Kota Tarakan dalam mengelola APBD. c. Bagi Dunia Pendidikan. Memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan untuk dijadikan bahan pembelajaran dan untuk kemajuan pendidikan, serta sebagai bahan referensi dan data tambahan bagi peneliti-peneliti lainnya yang tertarik pada bidang kajian ini. d. Bagi akademik. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah wacana dalam perkembangan ilmu akuntansi sektor publik. e. Bagi Publik. Memberikan informasi kepada publik sebagai bentuk akuntabilitas pengelolaan dana publik oleh pemerintah daerah di era otonomi daerah. f. Bagi Pengambil Kebijakan. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan, khususnya kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah. 1.7 Sistematika Penulisan Penelitian Sistematika rancangan penulisan laporan penelitian ini dibagi menjadi 5 (lima) bab yang diuraikan sebagai berikut: BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang penelitian, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan tema penelitian, hasil - hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan permasalahan, dan hipo-

13 tesis penelitian yang akan diuji. BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menjelaskan tentang metode penelitian yang akan digunakan, yaitu meliputi jenis penelitian, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, variabel penelitian, statistik deksriptif, model dan tehnik analisis data, uji kualitas data, uji asumsi klasik dan uji hipotesis. BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi gambaran hasil penelitian, pembahasan secara rinci mengenai langkah-langkah analisa data dan hasilnya serta pembahasan hasil yang diperoleh. BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan yang bisa diambil dari penelitian, implikasi hasil penelitian, keterbatasan penelitian, dan saran untuk penelitian selanjutnya.