BAB II PENGATURAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

KUASA HUKUM Veri Junaidi, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 18 Agustus 2014.

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 c. bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakila

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 89/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan Badan Kelengkapan Dewan dan Keterwakilan Perempuan

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

PELUANG DAN KENDALA MEMASUKKAN RUU KKG DALAM PROLEGNAS Oleh : Dra. Hj. Soemientarsi Muntoro M.Si

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK)

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

KUASA HUKUM Munathsir Mustaman, S.H., M.H. dan Habiburokhman, S.H., M.H. berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 18 Desember 2014

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 15/PUU-XIII/2015

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka

Setiap norma per. Per-UU-an wajib melarang perlakuan : b.perbedaan; c.pengucilan; dan d.pembatasan. Atas dasar jenis kelamin

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PPdan PA. Perencanaan. Penganggaran. Responsif Gender.

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PUTUSAN.

PEREMPUAN DAN PEMBANGUNAN OLEH: KHOFIFAH INDAR PARAWANSA DISAMPAIKAN DI KONFERENSI DAN SIDANG UMUM INFID JAKARTA, 14 OKTOBER 2014

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Mendorong Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Parlemen: Kertas Posisi Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum

PEREMPUAN DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 14 Oktober 2016

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN

Title? Author Riendra Primadina. Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov :10:06 GMT

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HAK AZASI MANUSIA DAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 112/PUU-XII/2014

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG

2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta

TEMA: PERAN DPR-RI DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI DI INDONESIA. Kamis, 12 November 2009

JAWA TIMUR MEMUTUSKAN : PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

WALIKOTA PROBOLINGGO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

I. PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 181 TAHUN 1998 TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 60/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

PUTUSAN Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

BAB II PENGATURAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Landasan Yuridis Partisipasi Perempuan dalam Lembaga Perwakilan Rakyat Keterlibatan perempuan untuk berpartisipasi dalam lembaga perwakilan rakyat telah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Di bentuknya peraturan tersebut merupakan sebagai norma hukum yang menjadi dasar upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. Tidak hanya peraturan hukum yang dikeluarkan oleh Negara saja yang menjadi landasan hukum ikut sertanya perempuan di lembaga perwakilan rakyat, Organisasi Internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah membentuk beberapa instrument hukum. Contohnya saja Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Woman (CEDAW) yang mengatur hak-hak publik dan privat untuk perempuan. Beberapa instrument lainnya tentang hak asasi manusia juga telah diratifikasi Indonesia untuk menjadi hukum formil. Berikut beberapa peraturan nasional dan internasional yang memberikan pengaturan tentang hak politik perempuan untuk menjadi legislator. 1. Peraturan Nasional a. Pancasila Pancasila merupakan staatfundamentalnorm 52 (norma fundamental Negara). Sebagai suatu norma tertinggi disuatu Negara yang ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam 52 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-dasar dan Pembentukan. Yogyakarta; Penerbit Kanisius. 1998. Hlm.40

suatu Negara dan merupakan suatu norma yang menjadi tempat bergantungnya norma norma hukum di bawahnya 53. Sehingga, kelima sila dari Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara secara positif merupakan bintang pemandu yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan memberi isi kepada tiap peraturan perundang-undangan, dan secara negatif merupakan kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undanga tersebut 54. Sehingga Pancasila merupakan suatu asas hukum dasar. Hubungan Pancasila dengan jaminan hukum dari keterwakilan perempuan di Lembaga Perwakilan Rakyat terletak pada isi pancasila, terutama pada sila kedua. Isi sila kedua yaitu, kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki pengertian bahwa setiap warga Negara mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama dalam hukum 55. Dari isi sila kedua tersebut mengandung makna bahwa Negara menjamin hak setiap orang termasuk hak perempuan untuk menyatakan pendapat dan ikut memilih dan dipilih untuk mencapai kehidupan yang layak serta memberikan manfaat bagi orang lain. b. Undang Undang Dasar 1945 53 Ibid. hlm.28 54 Ibid.hlm.41 55 Buehanuddin Salam,Filsafat Pancasilaisme,Jakarta;Rineka Cipta, 1996. Hlm.44

Pancasila merupakan dasar dan sumber serta pedoman pada batang tubuh Undang Undang Dasar 1945 sebagai aturan dasar Negara (verfassungsnorm) serta peraturan perundang-undangan lainnya 56. Dalam Undang Undang Dasar 1945 setelah di amandemen, Bab XA merupakan bab baru yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Pasal yang mengatur tentang keterwakilan perempuan adalah; Pasal 28D (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28D ayat (3): Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pasal 22E ayat (1): Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pasal 22E ayat (2): Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 28H ayat (2): Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pasal 28I ayat (2): 56 Maria Op.Cit. hlm.41

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Pasal 28I ayat (4): Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Pasal 28I ayat (5): Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 28H Undang Undang Dasar 1945 berbunyi; Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pada pasal ini ada kata perlakuan khusus dimaknai sebagai tindakan positif pemerintah agar kelompok tertentu mendapatkan keadilan memperoleh haknya. Tidak ditentukan kelompok tertentu tersebut secara spesifik, tetapi di Indonesia perlakuan khusus ini diberikan kepada perempuan karena hak perempuan belum sepenuhnya terpenuhi. 57 c. Peraturan Perundang Undangan 57 Irma Latifah Sihite, Penerapan Affirmative Action sebagai upaya Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen Indonesia,Tesis, Jakarta; Universitas Indonesia, hlm. 58 (http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20297574-t29780%20- %20Penerapan%20affirmative.pdf) diakses pada 9 Januari 2015

Berikut beberapa peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah mengenai keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat. 1) Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita; Melalui Undang-Undang ini, Indonesia meratifikasi Konvensi mengenai Hak-hak Politik Kaum Perempuan pada tahun 1952 yang mengatur bahwa perempuan mempunyai hak untuk memilih, berhak untuk mencalonkan diri serta dipilih dalam pemilihan umum, dan berhak memegang jabatan publik, semuanya dengan syarat-syarat yang sama dengan kaum lakilaki 58. Dengan adanya konvensi ini, maka telah ada pengakuan bahwa setiap orang berhak ikut serta dalam pemerintahan di negaranya secara langsung ataupun tidak langsung melalui perwakilan yang di pilih secara bebas 59. Tiga pasal dalam Konvensi ini yang memberikan jaminan hukum tentang hak politik perempuan adalah; Pasal 1: Wanita akan mempunyai hak untuk memberikan suaranya dalam semua pemilihan-pemilihan dengan syarat-syarat yang sama dengan pria, tanpa ada suatu diskriminasi. Pasal 2: Wanita akan dapat dipilih untuk pemilihan dalam semua badan-badan pilihan umum yang didirikan oleh hukum nasional. Dengan syarat-syarat sama dengan pria, tanpa ada suatu diskriminasi. 58 Mendorong Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Parlemen: Kertas Posisi Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum (http: http: //www. komnasperempuan.or.id/ wpcontent/uploads/ 2013/12/Kertas-Posisi-RUU-Pemilu.pdf) 59 Mukaddimah Konvensi Hak Hak Politik Wanita

Pasal 3: Wanita akan mempunyai hak untuk menjabat jabatan umum dan menjalankan semua tugas-tugas umum, yang didirikan oleh hukum nasional, dengan syarat-syarat yang samadengan pria, tanpa diskriminasi. Ketiga pasal ini memberikan jaminan hukum tentang hak politik perempuan, tetapi tidak memberikan pengaturan tentang mekanisme untuk mewujudkan suaatu keadilan bagi perempuan 60. 2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita Konvensi ini di ratifikasi dengan mengingat bahwa diskriminasi terhadap wanita melanggar azas-azas persamaan hak dan penghargaan terhadap martabat manusia, merupakan hambatan bagi partisipasi wanita, atas dasar persamaan dengan pria dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Negara-negara mereka menghambat pertumbuhan kemakmuran masyarakat dan keluarga serta menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi wanita dalam pengabdiaannya pada Negara dan kemanusiaan 61, maka dari itu Indonesia meratifikasi Konvensi ini. Beberapa Pasal yang memebrikan jaminan hukum keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat adalah; Pasal 2 huruf f: 60 Irma Latifah Op.cit. Hlm. 59 61 Lihat lampiran Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women) Tahun 1984 Nomor 29

Melakukan langkah tindak yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah, menghapus undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap wanita. Pasal 3: Negara-negara peserta wajib melakukan langkah tindak yang tepat, termasuk membuat peraturan perundangundangan di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan wanita sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin bahwa mereka melaksanakan dan menikmati hak asasi manusia dan kebebasan pokok dasar persamaan dengan pria. Pasal 4 ayat (1): Pembentukan peraturan peraturan dan melakukan tindakan khusus sementara oleh negara-negara pihak yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de facto antara pria dan wanita, tidak dianggap sebagai diskriminasi seperti ditegaskan dalam konvensi ini, dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan standarstandar yang tidak sama atau terpisah, maka peraturanperaturan dan tindakan tersebut wajib dihentikan jika tujuan, persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai. Pasal 7: Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk menghapus diskriminasi terhadap wanita dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat di negaranya, khususnya menjamin bagi wanita atas dasar persamaan dengan pria, hak: a. untuk memilih dalam semua pemilihan dan agenda publik dan berkemampuan untuk dipilih dalam lembaga-lembaga yang dipilih masyarakat; b. untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, serta memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkatan; c. untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non pemerintah yang

berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara; Pasal 8 Negara-negara Peserta wajib melakukan langkah tindak yang tepat untuk menjamin bahwa wanita,berdasarkan persyaratan yang sama dengan pria dan tanpa diskriminasi, mendapatkan kesempatan untuk mewakili pemerintah mereka pada tingkat internasional dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional. Pasal 15: 1. Negara-negara pihak wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak dengan laki-laki di muka hukum. 2. Negara-negara pihak wajib memberikan kepada wanita, dalam hal-hal sipil, kecakapan hukum yang sama dengan pria dan kesempatan yang sama untuk menjalankan kecakapannya tersebut. Secara khusus, Negara harus memberikan kepada wanita persamaan hak untuk untuk mengikat kontrak dan untuk mengelola kepemilikan dan wajib memberi perlakuan yang sama kepada pria dan wanita di semua tingkat prosedur di muka hakim dan peradilan. 3. Negara-negara pihak bersepakat bahwa semua kontrak dan semua dokumen pribadi lainnya yang mempunyai kekuatan hukum dan ditujukan kepada pembatasan kecakapan hukum bagi wanita, wajib dianggap batal demi hukum. 4. Negara-negara pihak wajib memberikan kepada pria dan wanita hak sama menurut hukum yang berkaitan dengan kebebasan bergerak perorangan kebebasan untuk memilih tempat tingal dan domisili. Pada pasal 3 dan pasal 4 ayat (1) undang undang ini memerintahkan untuk membentuk suatu tindakan khusus sementara (temporary special measure) atau yang disebut dengan affirmative action. Dibentuknya kebijakan tersebut

merupakan solusi yang diberikan oleh undang-undang ini untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan. Selanjutnya pada pasal 7 dan pasal 8 undang- undang ini mewajibkan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan public. Serta Negara yang meratifikasi konvensi ini wajib menjamin hak perempuan untuk mendapatkan kesempatan untuk mewakili pemerintahan. 3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang undang ini menyadari pentingnya peran perempuan dalam politik demi mencapai suatu keadilan. Dalam undang-undang inimenyebutkan yang dimaksud dengan keterwakilan perempuan adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi perempuan untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, legislatif, yudikatid, kepartaian dan pemilihan umum 62. Beberapa pasal yang menjamin keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat adalah; Pasal 1: Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 62 Lihat Penjelasan pasal 46 Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165

Pasal 2: Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Pasal 3 ayat (2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Pasal 5 ayat (1): Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaanya di depan hukum. Pasal 8 Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Pasal 46 Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggotan badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan. Pasal 49 (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat, dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. (2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.

(3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin, dan dilindungi oleh hukum. Pasal 71: Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Pasal 72: Kewajiban dan tanggungjawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. 4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik Undang-undang ini bersumber dari Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Konvensi ini berisi pokok-pokok hakasasi manusiadi bidang sipil dan politik sehingga menjadi ketentuan hukum yang mengikat. Beberapa pasal yang menjamin keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat adalah; Pasal 3: Negara pihak Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak-hak yang sederajat dari lakilaki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan ini. 5) Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional Instruksi Presiden ini merupakan perangkat hukum yang mengatur tentang pengarusutamaan gender yang tujuannya

adalah untuk menyelenggarakan perencanaan, penyusunan, pelaksanaaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkelluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembangunan nasional yang dimaksud juga termasuk bidang politik bagi perempuan, yang dapat memberikan kesempatan pada perempuan untuk ikut serta dalam pemerintahan. 2. Peraturan Internasional Beberapa peraturan Internasional yang menjadi landasan hukum hak politik perempuan antara lain 63 ; a) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) b) Rekomendasi Umum Komite Convention on Elimination off All Forms Discrimination Againts Woman (CEDAW) Nomor 23 tentang Kehidupan Politik dan Publik, c) Tindakan Khusus Sementara Pasal 4 ayat (1) CEDAW, sesi ke-30 Tahun 2004 d) Concluding Comment Komite CEDAW 2007, atas Laporan Keempat dan Kelima Indonesia yang disampaikan dalam Sesi ke Tiga puluh Sembilan Sidang Umum CEDAW, tepatnya dalam 63 Mendorong Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Parlemen: Kertas Posisi Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/kertas-posisi-ruu- Pemilu.pdf) Diakses pada 4 Februari 2015

sidangnya yang ke 799 dan ke 800 pada tanggal 27 Juli 2007 di New York, Amerika Serikat e) Beijing Platform for Action (BPfA) dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tetnang Perempuan Ke-IV di Beijing Tahun 1995 f) Millenium Development Goals MDGs Tahun 2000 B. Perbandingan Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang-Undang Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1. Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewanperwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pada Undang Undang Nomor 22 Tahun2003 ini, tidak disebutkan tentang kedudukan perempuan di Parlemen. Pada undang undang ini, kedudukan perempuan untuk menjabat menjadi pimpinan alat kelengkapan tidak di khususkan secara tertulis. 2. Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Berkaitan dengan alat kelengkapan di MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, perlu memperhatikan keterwakilan perempuan sebagai pimpinan alat kelengkapan. Karena itu pada pasal-

pasal dibawah ini mengatur untuk memperhatikan keterwakilan perempuan menjadi pimpinan alat kelengkapan DPR. Pimpinan komisi. Pasal 95 ayat (2) : Pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pimpinan Badan Legislasi Pasal 101 ayat (2) : Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilihdari dan oleh anggota Badan Legislasi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pimpinan badan anggaran Pasal 106 ayat (2) : Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiaptiap fraksi. Pimpinan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Pasal 119 ayat (2): Pimpinan BKSAP terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan

proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pimpinan Badan Kehormatan Pasal 125 ayat (2): Pimpinan Badan Kehormatan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua, yang dipilih dari danoleh anggota Badan Kehormatan berdasarkan prinsipmusyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga Pasal 132 ayat (2): Pimpinan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang dijabat oleh Ketua DPR dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiaptiap fraksi. Pimpinan Panitia Khusus Pasal 138 ayat (2): Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. 3. Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Pada undang undang ini, dihapus klausula memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi dan menggantinya dengan berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah mufakat. Presiden menyampaikan keterangan lisan yang disampaikan dalam persidangan perkara Nomor. 82/PUU-XII/2014 tanggal 23 September 2014, tidak menyebutkan adanya klausal keterwakilan perempuan, namun bukan berarti membatasi peran serta perempuan untuk duduk sebagai unsur pimpinan di dalam lembaga negara tersebut. Justru ketentuan tersebut menurut Pemerintah telah memberikan keleluasaan seluas-luasnya agar perempuan dapat berkiprah lebih jauh dan lebih menentukan pada lembaga-lembaga negara tersebut 64. 4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pada gugatan tentang diberikannya kebijakan khusus sementara (affirmative action), Mahkamah berpendapat bahwa: Setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang calon perempuan adalah dalam rangka memenuhi affirmative action (tindakan sementara) bagi perempuan di bidang politik sebagaimana yang telah dilakukan oleh berbagai negara 64 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 22-24/PUU-VI/2008,.hlm. 37 (www.mahkamahkonstitusi.go.id)

dengan menerapkan adanya kewajiban bagi partai politik untuk menyertakan calon anggota legislatif bagi perempuan. Hal ini sebagai tindak lanjut dari Konvensi Perempuan se-dunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi [Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958, Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1984, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Hak Sipil dan Politik, Hasil Sidang Umum Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman (CEDAW) 65. Affirmative action juga disebut sebagai reverse discrimination, yang memberi kesempatan kepada perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam lapangan peran yang sama (level playing-field) antara perempuan dan laki-laki sekalipun dalam dinamika perkembangan sejarah terdapat perbedaan, karena alasan kultural, keikutsertaan perempuan dalam pengambilan keputusan dalam kebijaksanaan nasional, baik di bidang hukum maupun dalam pembangunan ekonomi dan sosial politik, peran perempuan relatif masih kecil. Kini, disadari melalui sensus kependudukan ternyata jumlah penduduk Indonesia yang terbesar adalah perempuan, maka seharusnyalah aspek kepentingan gender dipertimbangkan dengan adil dalam keputusan-keputusan di bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, dan cultural. 66 Di dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, perlakuan khusus tersebut diperbolehkan. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 berbunyi, 65 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 22-24/PUU-VI/2008, hlm 97 (www.mahkamahkonstitusi.go.id) 66 Ibid. hlm.98

Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Dewasa ini, komitmen Indonesia terhadap instrumeninstrumen hak asasi manusia (HAM) yang berhubungan dengan penghapusan segala bentuk diskriminasi perempuan serta komitmen untuk memajukan perempuan di bidang politik telah diwujudkan melalui berbagai ratifikasi dan berbagai kebijakan pemerintah. Dari pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut, diambil kesimpulan bahwa: 1) Pada Undang Undang Undang Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Undang Undang ini tidak memberikan kebijakan khusus kepada Perempuan untuk diberi kesempatan menduduki posisi penting pada Lembaga Perwakilan Rakyat. Hal ini tidak sesuai dengan pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Dari isi pasal ini, Perempuan yang memiliki jumlah minoritas dalam Lembaga Perwakilan Rakyat dapat diberikan ke khususan untuk memperoleh kedudukan yang penting untuk memberikan manfaat bagi Negara.

2) Pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal ini memberikan kebijakan khusus pada Legislator Perempuan di Lembaga Perwakilan Rakyat untuk memudahkan Perempuan memperoleh posisi yang penting. Hal ini terwujud dengan klausul memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Klausul tersebut memberikan jaminan kemudahan pada Legislator Perempuan untuk dapat menjadi pemimpin pada alat kelengkapan pada Lembaga Perwakilan Rakyat. 3) Pada Undang Undang Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Undang Undang ini menghapus klausul memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Klausul ini dihapus dengan alasan bahwa kebijakan ini tergolong dalam pendiskriminasian kaum perempuan. Sedangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008, Mahkamah berpendapat bahwa Affirmative action juga disebut sebagai reverse discrimination,

yang memberi kesempatan kepada perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam lapangan peran yang sama (level playing-field) antara perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, kebijakan khusus ini merupakan diskriminasi positif untuk menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan laki-laki. 5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XII/2014 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Undang Undang Dasar 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XII/2014 mengenai penghapusan klausul memperhatikan keterwakilan perempuan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dimana Mahkamah berpendapat bahwa penghapusan klausul tersebut akan menimbulkan ketidak pastian hukum yang adil bagi perempuan karena perubahan yang dilakukan tersebut dapat membuyarkan seluruh kebijakan affirmative yang telah dilakukan pada kelembagaan politik lainnya. Mahkamah juga berpendapat bahwa klausul memperhatikan keterwakilan perempuan yang tertuang pada Undang Undang No 27 Tahun 2009 telah menjadi norma hukum karena itu dihapusnya kebijakan ini pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 mengakibatkan ketidak pastian hukum yang adil sesuai pada pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Selanjutnya, amar putusan yang diputuskan oleh hakim adalah memasukkan klausul dengan mengutamakan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap tiap fraksi pada pasal-pasal yang menghapus kebijakan affirmative pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014. Frasa mengutamakan menurut Mahkamah memiliki makna yang lebih kuat, sehingga lebih sungguh-sungguh memperhatikan keterwakilan perempuan.