Konstruksi Bangunan Tradisional Sunda Ramah Bencana

dokumen-dokumen yang mirip
TEKNIK KOMUNIKASI ARSITEKTURAL TEKNIK MEMBACA GAMBAR BANGUNAN PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR 2015

PENGEMBANGAN MODEL DESAIN RUMAH RAMAH GEMPA DI DESA JAYAPURA KEC. CIGALONTANG, TASIKMALAYA BERBASISKAN LOKALITAS ARSITEKTUR TRADISIONAL SUNDA

PRESENTASI ARCHEVENT 2014 TEMA: SEJARAH DAN ARSITEKTUR KOTA DALAM MEMBANGUN KARAKTER KOTA BERBASIS LOKALITAS

KEARIFAN LOKAL RUMAH VERNAKULAR DI JAWA BARAT BAGIAN SELATAN DALAM MERESPON GEMPA

PEDOMAN PEMBANGUNAN BANGUNAN TAHAN GEMPA

BAB 1 STRUKTUR DAN KONSTRUKSI

A. GAMBAR ARSITEKTUR.

KONSTRUKSI DINDING BAMBU PLASTER Oleh Andry Widyowijatnoko Mustakim Departemen Arsitektur Institut Teknologi Bandung

Sambungan dan Hubungan Konstruksi Kayu

BAB II ARSITEKTUR INTERIOR KEBUDAYAAN TRADISIONAL

Rumah Tahan Gempa (Bagian 2) Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT.

PERENCANAAN DAN PENERAPAN SISTEM STRUKTUR

BAB 3 METODE ANALISIS

KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PENGGUNAAN BETON BERTULANG TERHADAP KAYU PADA KONSTRUKSI KUDA-KUDA. Tri Hartanto. Abstrak

KONSTRUKSI ATAP 12.1 Menggambar Denah dan Rencana Rangka atap

3. Bagian-Bagian Atap Bagian-bagian atap terdiri atas; kuda-kuda, ikatan angin, jurai, gording, sagrod, bubungan, usuk, reng, penutup atap, dan

1- PENDAHULUAN. Baja Sebagai Bahan Bangunan

Konsep Sains dan Teknologi pada Masyarakat Tradisional di Provinsi Jawa Barat, Indonesia

BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM

ADAPTASI TEKNOLOGI DI RUMAH ADAT SUMBA

3.1. Penyajian Laporan BAB III METODE KAJIAN. Gambar 3.1 Bagan alir metode penelitian

DINDING DINDING BATU BUATAN

KELAYAKAN BANGUNAN RUMAH TINGGAL SEDERHANA (SETENGAH BATA) TERHADAP KERUSAKAN AKIBAT GEMPA INTISARI

PEMERINTAH KABUPATEN.. DINAS PENDIDIKAN SMKNEGERI. UJIAN AKHIR SEKOLAH TAHUN PELAJARAN :

KEGIATAN BELAJAR I MEMBUAT KONSTRUKSI KUDA-KUDA KAYU

DATA RUMAH ADAT DI JAWA BARAT

SELAMAT DATANG TUKANG BEKISTING DAN PERANCAH

STUDI PENGARUH PEMASANGAN ANGKUR DARI KOLOM KE DINDING BATA PADA RUMAH SEDERHANA AKIBAT BEBAN GEMPA ABSTRAK

1.2. ELEMEN STRUKTUR UTAMA

KOMPARASI PENGGUNAAN KAYU DAN BAJA RINGAN SEBAGAI KONSTRUKSI RANGKA ATAP

Rumah Jawa adalah arsitektur tradisional masyarakat Jawa yang berkembang sejak abad ke- 13 terdiri atas 5 tipe dasar (pokok) yaitu:

Gambar 1. Posisi Indonesia dalam Area Ring of Fire Sumber: Puslit Geoteknologi

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana alam selama ini selalu dipandang sebagai forcemajore yaitu

DAFTAR ISI. Desain Premis... BAB I... 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Gempa Bumi di Indonesia... 1

RING BALK. Pondasi. 2. Sloof

KAJIAN EKSPERIMENTAL PADA DINDING BATA DI LABORATORIUM DENGAN MENGGUNAKAN METODE DISPLACEMENT CONTROL ABSTRAK

STRUKTUR KONSTRUKSI RUMAH JOGLO

BAB 1 PENDAHULUAN. di wilayah Sulawesi terutama bagian utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.

Pengertian struktur. Macam-macam struktur. 1. Struktur Rangka. Pengertian :

STUDI PENGGUNAAN BAJA RINGAN SEBAGAI KOLOM PADA RUMAH SEDERHANA TAHAN GEMPA PRAYOGA NUGRAHA NRP

Bab 5 Kesimpulan dan Saran

KONSTRUKSI RANGKA ATAP

KAWAT ANYAM SEBAGAI PERKUATAN PADA RUMAH SEDERHANA TANPA BETON BERTULANG SKRIPSI

BAB VI KONSTRUKSI KOLOM

BAB 4 STUDI KASUS. Sandi Nurjaman ( ) 4-1 Delta R Putra ( )

RANGKUMAN Peraturan Pembebanan Indonesia untuk Gedung

Rumah Tahan Gempa. (Bagian 1) Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT.

Metode Pelaksanaan Pembangunan Jalan Lingkungan Datuk Taib Desa Leuhan < SEBELUMNYA BERIKUTNYA >

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang. Perkembangan pembangunan yang sangat pesat, juga diikuti munculnya

Struktur dan Konstruksi II

LAMPIRAN. Suatu bangunan gedung harus mampu secara struktural stabil selama kebakaran

Bab tinjauan pustaka berisi tentang masalah kejadian-kejadian gempa

BAB VI KESIMPULAN. Rumah toko Cina Malabero Bengkulu yang dikelompokkan dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tingkat kerawanan yang tinggi terhadap gempa. Hal ini dapat dilihat pada berbagai

BAB XI KUDA-KUDA DAN ATAP

PENGGUNAAN RANTING BAMBU ORI (BAMBUSA ARUNDINACEA) SEBAGAI KONEKTOR PADA STRUKTUR TRUSS BAMBU (053S)

EBOOK PROPERTI POPULER

Rumah Tahan Gempabumi Tradisional Kenali

KOMPARASI PENGGUNAAN KAYU DAN BAJA RINGAN SEBAGAI KONSTRUKSI RANGKA ATAP

DAMPAK PELATIHAN KONSTRUKSI BANGUNAN TAHAN GEMPA TERHADAP PERBAIKAN KINERJA BURUH BANGUNAN

PERATURAN MUATAN INDONESIA BAB I UMUM Pasal 1.0 Pengertian muatan 1. Muatan mati (muatan tetap) ialah semua muatan yang berasal dari berat bangunan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERENCANAAN GEDUNG PERPUSTAKAAN KOTA 4 LANTAI DENGAN PRINSIP DAKTAIL PARSIAL DI SURAKARTA (+BASEMENT 1 LANTAI)

KEARIFAN LOKAL DAN MITIGASI BENCANA PADA RUMAH TRADISIONAL BESEMAH, PAGAR ALAM, SUMATERA SELATAN Oleh : M. ALI HUSIN

PENGARUH ANGIN PADA BANGUNAN. 1. Perbedaan suhu yang horisontal akan menimbulkan tekanan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV: PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sering mengalami gempa bumi dikarenakan letak geografisnya. Dalam segi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

TKS 4406 Material Technology I

1 Membangun Rumah 2 Lantai. Daftar Isi. Kata Pengantar... i Daftar Isi... ii\ Tugas Struktur Utilitas II PSDIII-Desain Arsitektur Undip

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

Sistem Struktur Rumah Adat Barat Rattenggaro

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Umum. Berkembangnya kemajuan teknologi bangunan bangunan tinggi disebabkan

PETA KEDUDUKAN MODUL

ALAT UJI GEMPA SECARA LOGIKA UNTUK PEMBELAJARAN MATERI STRUKTUR PADA MAHASISWA ARSITEKTUR

A. Pasangan Dinding Batu Bata

BAB III ANALISA PERENCANAAN STRUKTUR

Pengembangan Modul Konstruksi Bambu Plester Sebagai Alternatif Kulit Bangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. desain untuk pembangunan strukturalnya, terutama bila terletak di wilayah yang

KEARIFAN LOKAL PADA BANGUNAN RUMAH VERNAKULAR DI BENGKULU DALAM MERESPON GEMPA Studi Kasus: Rumah Vernakular di Desa Duku Ulu

Interpretasi dan penggunaan nilai/angka koefisien dan keterangan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengguna.

Tata cara pemasangan lembaran bitumen bergelombang untuk atap

Cara menghitung Volume pekerjaan : I. Pekerjaan Awal

PENERAPAN BENTUK DESAIN RUMAH TAHAN GEMPA

IDENTIFIKASI KEGAGALAN, ALTERNATIF PERBAIKAN DAN PERKUATAN PADA STRUKTUR GEDUNG POLTEKES SITEBA PADANG ABSTRAK

Pengenalan RISHA. oleh: Edi Nur BBB - BPL

BAB I PENDAHULUAN. salah satu sifat kayu merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable

BETON PRA-CETAK UNTUK RANGKA BATANG ATAP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MODIFIKASI PERENCANAAN MENGGUNAKAN STRUKTUR BAJA DENGAN BALOK KOMPOSIT PADA GEDUNG PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO

PEMBOROSAN BIAYA PEMBANGUNAN AK1BAT PENULANGAN YANG TIDAK SESUAI ATURAN TEKNIK. Tri Hartanto. Abstrak

ARSITEKTUR TRADISIONAL MASYARAKAT SUNDA 1. ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL MASYARAKAT SUNDA

Gambar 5.1. Proses perancangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan kayu untuk konstruksi bangunan gedung dan perumahan

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1 perbandingan bahan Sifat Beton Baja Kayu. Homogen / Heterogen Homogen Homogen Isotrop / Anisotrop Isotrop Isotrop Anisotrop

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 1.1 Keruntuhan rangka kuda-kuda kayu (suaramedianasional.blogspot.com, 2013)

Transkripsi:

Konstruksi Bangunan Tradisional Sunda Ramah Bencana Nuryanto, Johar Maknun, Tjahyani Busono Departemen Pendidikan Teknik Arsitektur FPTK UPI nuryanto_adhi@upi.edu; http://nuryanto.staf.upi.edu Abstrak Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Masyarakat suatu daerah memiliki kearifan lokal dalam menghadapi bencana. Pengetahuan tersebut banyak tersimpan didalam suatu masyarakat lokal yang diterapkan terhadap lingkungan binaannya, seperti bangunan (rumah tinggal). Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan konstruksi bangunan tradisional sunda ramah bencana. Metode penelitian yang digunakan adalah metode evaluasi, yaitu dengan cara membandingkan antara konstruksi bangunan tradisional sunda dengan standar konstruksi bangunan ramah bencana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi bangunan tradisional sunda telah memenuhi persyaratan sebagai bangunan yang ramah bencana. Hal ini didukung oleh bukti bahwa pada saat terjadi gempa bumi tahun 2009, tidak ada bangunan tradisional sunda yang runtuh akibat gempa bumi tersebut. Kata kunci: Konstruksi, bangunan tradisional sunda, ramah bencana Pendahuluan Wilayah Indonesia terletak pada tiga lempeng tektonik di dunia yaitu: lempeng Australia di selatan, lempeng Euro-Asia di barat dan lempeng Samudra Pasifik di timur yang dapat menunjang terjadinya sejumlah bencana. Berdasarkan posisi tersebut, hampir seluruh wilayah Indonesia rawan terhadap terjadinya bencana, kecuali daerah kalimantan yang relatif stabil. Salah satu bencana yang sering terjadi di Indonesia adalah gempa bumi. Gempa bumi akan berdampak pada bangunan. Jika bangunan terletak langsung di atas sumber gempa, akan dapat merusak permukaan tanah dan bangunan. lereng tidak stabil dan timbunan tanah yang tidak kuat dapat menyebabkan kegagalan pondasi dan kerusakan atau keruntuhan gedung. Ketika gerakan tanah cukup kuat, bangunan pun bergerak. Gempa bumi bergerak tapi gaya inersia mencoba untuk menjaga lantai atas dari bangunan di posisi asli bangunan. Dalam keadaan statis, sebuah bangunan hanya memikul beban gravitasi yaitu beratnya sendiri dan beban hidup (jika ada). Bila tanah bergetar, bangunan ini memiliki pengaruh dari getaran itu yang diteruskan keatas melalui pondasinya. Bila sangat kaku, bangunan itu mengikuti sepenuhnya gerakan dari prmukaan tanah. Percepatan permukaan gempa bumi setempat adalah yang langsung memepengaruhi konstruksi bangunan dan mengakibatkan gaya horisontal maksimum pada konstruksi bangunan tersebut dan besarnya adalah sama dengan massanya dikalikan dengan percepatan permukaan tanah (Canadian Wood Council, 2003). Sebagai upaya untuk meminimalisasi dampak bencana gempa bumi pemerintah telah menetapkan SNI-176-2002 Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung. Beberapa batasan perencanaan konstruksi bangunan tahan gempa adalah sebagai berikut: a. Denah bangunan sebaiknya sederhana, simetris dan tidak terlalu panjang. b. Konstruksi atap harus menggunakan bahan yang ringan dan sederhana c. Sebaiknya tanah dasar pondasi merupakan tanah kering, padat, dan merata kekerasannya. Dasar pondasi sebaiknya lebih dalam dari 45 cm. 1

d. Pondasi setempat perlu diikat kuat satu sama lain dengan memakai balok pondasi. Kesadaran akan pentingnya Pengurangan Resiko Bencana (PRB) khususnya di masyarakat Jawa Barat semakin baik, hal tersebut terlihat dengan banyaknya simulasisimulasi tanggap darurat di daerah-daerah bencana. Dukungan fasilitas yang disediakan pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), seperti posko darurat bencana, sistem early warning sudah cukup memadai dalam membantu masyarakat. Tetapi kesadaran tersebut tidak diikuti oleh pentingnya pemahaman bagaimana cara membuat struktur dan konstruksi bangunan yang dapat mengurangi resiko bencana melalui pembelajaran arsitektur lokalnya. Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang dikembangkan didalam suatu masyarakat, yang didapatkan melalui proses trial and error terhadap lingkungan fisiknya, seperti terhadap gempa, banjir, dan lain-lain. Pengetahuan tersebut banyak tersimpan didalam suatu masyarakat lokal yang diterapkan terhadap lingkungan binaannya, seperti bangunan (rumah tinggal). Metode Penelitian bertujuan melakukan analisis konstruksi bangunan tradisional sunda dalam menghadai bencana gempa bumi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-evaluatif. Proses penelitian dilakukan dengan melakukan iventori terhadap elemen konstruksi bangunan dan membandingkan dengan persyaratan konstruksi bangunan sederhana tahan gempa. Hasil dan Pembahasan Arsitektur bangunan tradisional Sunda yang paling khas adalah imah panggung, yaitu rumah yang memiliki kolong di bawah lantai sekira 40-60 cm. Panggung berasal dari kata pang dan agung artinya yang diletakkan paling tinggi atau tertinggi. Dalam pandangan Orang Sunda, rumah merupakan lambang wanita, karena seluruh aktivitas di dalamnya dilakukan oleh wanita. Panggung merupakan bentuk yang paling penting bagi masyarakat Sunda, dengan suhunan panjang dan jure. Bentuk panggung yang mendominasi sistem bangunan di Tatar Sunda mempunyai fungsi teknik dan simbolik. Secara teknik rumah panggung memiliki tiga fungsi, yaitu: tidak mengganggu bidang resapan air, kolong sebagai media pengkondisian ruang dengan mengalirnya udara secara silang baik untuk kehangatan dan kesejukan, serta kolong juga dipakai untuk menyimpan persediaan kayu bakar (Adimihardja, 2008). Fungsi secara simbolik didasarkan pada kepercayaan Orang Sunda, bahwa dunia terbagi tiga: ambu handap, ambu luhur, dan tengah. Tengah merupakan pusat alam semesta dan manusia menempatkan diri sebagai pusat alam semesta, karena itulah tempat tinggal manusia harus terletak di tengah-tengah, tidak ke ambu handap (dunia bawah/bumi) dan ambu luhur (dunia atas/langit). Dengan demikian, rumah harus memakai tiang yang berfungsi sebagai pemisah rumah secara keseluruhan dengan dunia bawah dan atas. Tiang rumah juga tidak boleh terletak langsung di atas tanah, oleh karena itu harus di beri alas yang berfungsi memisahkannya dari tanah yaitu berupa batu yang disebut umpak (Adimihardja, 2008). Struktur dan konstruksi rumah panggung Masyarakat Sunda terlihat ringan dan sederhana, karena bahan-bahan yang dipakai seluruhnya berasal dari alam sekitar dan dibuat sendiri (Gambar 1). Hal tersebut dapat dilihat pada pondasi dari batu belah yang langsung diambil dari sungai, bukit, atau gunung; dinding terbuat dari bilik bambu yang dianyam atau papan kayu; lantai dari talupuh atau palupuh, yaitu bambu yang dirajang (belah-belah) atau dari papan; atap rangkanya dari bambu campur kayu serta penutupnya dari hateup kiray (nipah) dan injuk (ijuk). Walaupun terlihat ringan dan sederhana, tetapi tetap kuat dan kokoh. Hal tersebut terbukti dari beberapa peristiwa gempa bumi yang pernah dan sering menimpa Tatar Sunda, tetapi rumah-rumah tersebut tetap berdiri kokoh. Kondisi ini dapat dilihat pada 2

Kampung Baduy, Naga, Kasepuhan Ciptagelar, dan Dukuh, rumah-rumahnya kokoh, tidak ada yang roboh. Gambar 1: Struktur dan konstruksi imah panggung Masyarakat Sunda (Nuryanto, 2015) Berdasarkan material bangunan, bangunan tradisional sunda telah memenuhi salah satu persyaratan bangunan tahan gempa, yaitu terbuat dari material yang ringan, yaitu terdiri dari kayu dan bambu. Keunggulan kayu sebagai material bangunan diungkapkan oleh Brostow dkk (2010) bahwa kayu terdiri dari dua bagian, bagian tengah dapat melawan kompresi dan bagian luar dapat melawan tension (Gambar 2). Kayu yang memiliki kadar air rendah memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melawan kompresi. Sel kayu dapat meneruskan tekanan kompresi. Kayu merupakan bahan struktur yang mendukung pengembangan green arsitektur. Gambar 2. Tree trunk regions in compression and tension (Brostow dkk, 2010) Bahan lain yang banyak digunakan pada bangunan tradisional sunda adalah bambu. Menurut Sharma dkk (2015) bambu memiliki banyak keunggulan sebagai bahan konstruksi yaitu merupakan bahan yang cepat terbarukan dan memiliki sifat mekanik seperti kayu. Serat 3

bambu bervariasi sehingga dapat dugunakan untuk bahan interior maupun eksterior bangunan. Selanjutnya Tomas (2014) menyatakan bambu merupakan sumber daya yang sangat fleksibel dan banyak tersedia perlu diadopsi sebagai bahan rekayasa untuk pembangunan rumah dan bangunan lainnya. Secara umum, sistem kekuatan pada rumah panggung Masyarakat Sunda menggunakan ikatan, sambungan pupurus, dan paseuk (pasak). Pada rangka lantai, dinding, dan kuda-kuda, balok-balok yang dipasang dan disambung, baik secara vertikal maupun horisontal menggunakan sambungan pupurus (pen dan lubang), sedangkan hubungannya menggunakan ikatan dengan tali ijuk atau rotan serta pasak kayu. Tidak ada paku, mur, dan baut, karena dilarang oleh adat dan bertentangan dengan aturan leluhur mereka (tabu). Menurut Felix (1999) sambungan pasak memiliki tingkat efisiensi 60% dan lebih baik dibandingkan dengan sambungan baut yang memiliki tingkat efisiensi 30%, maupun sambungan paku yang memilki tingkat efisiensi 50%. Struktur dan konstruksi memiliki kaitan erat, karena salah satu tidak ada, maka bangunan tidak dapat diberdirikan; euweuh rarangka teu bisa ngarangka, euweuh ngarangka wangunan teu bisa ngadeg, artinya tidak ada kerangka maka rumah tidak dapat didirikan (dibangun). Pembagian struktur dan konstruksi rumah Masyarakat Sunda didasarkan pada bentuk panggung, mereka membaginya ke dalam dua jenis: handap dan luhur. Handap merupakan struktur yang terletak di bawah lantai rumah terdiri dari lelemahan/lemah (tanah dasar), dan umpak/tatapakan (pondasi). Luhur merupakan struktur yang terletak di atas lantai rumah seperti pangadeg/adeg (dinding), lalangit/palapon (langit-langit), dan rarangka (kuda-kuda). Struktur merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari konstruksi, karena fungsinya saling mendukung sebagai kekuatan bangunan. Di atas permukaan tanah didirikan umpak, yaitu pondasi dari batu dengan teknik pemasangan yang telah ditentukan (lihat Gambar 3). Warga mengenal tiga jenis umpak: buleud, lisung dan balok. Buleud adalah umpak dengan bentuk bulat, lisung berbentuk trapesium sedangkan balok menyerupai kubus. Secara umum, mereka menggunakan umpak bulat. Menurut warga, umpak dapat dipasang dengan dua cara: dina luhur taneuh, yaitu di atas permukaan tanah dan dina jero taneuh, artinya di kubur sebagian di dalam tanah. Pada umumnya, mereka memasang umpak dengan cara dikubur sebagian di dalam tanah. Berdasarkan hasil analisis terhadap persyaratan bangunan tahan gempa, pondasi yang digunakan pada bangunan tradisional sunda sudah memenuhi persyaratan. Mereka menggunakan pondasi setempat yang satu sama lain sudah terikat. Gambar 3: Struktur handap yang terdiri dari lelemahan dan pondasi umpak Sumber: Nuryanto, 2006. Struktur luhur dibedakan ke dalam dua bagian: pangadeg, lalangit, dan rarangka. Struktur pangadeg merupakan kerangka rumah yang di susun berdasarkan dua komponen: dinding dan lantai. Struktur dinding disusun berdasarkan tiga komponen utama: tihang 4

pangadeg/tihang adeg, pananggeuy dan tihang nu ngabagi. Dinding terbuat dari bilik bambu yang dianyam dengan sistem kepang, dan dinding papan dengan sistem susun sirih (lihat Gambar 4). Konstruksi pananggeuy dan tihang adeg menggunakan teknik sambungan pupurus (penlubang) dan bibir miring berkait diperkuat dengan paku, pasak dan tali, demikian juga pada sunduk awi. Pada struktur lantai, masyarakat tradisional Sunda mengenal tiga jenis lantai, yaitu: talupuh, papan dan bilik. Talupuh atau palupuh merupakan lantai yang terbuat dari bambu yang dirajam dengan ukuran tertentu sesuai kebutuhan. Bambu yang dipakai biasanya dari jenis gombong atau wulung berdiameter ± 15-20 cm, dan tebal ± 12-15 mm, sehingg pada saat dibelah dan dirajam lebarnya bisa mencapai ± 30 cm. Menurut mereka, lantai talupuh memiliki beberapa keuntungan, di antaranya: mudah dalam cara pembuatan dan pemasangan, ringan, murah dan terlihat lebih indah. Gambar 4: Lantai talupuh dan lantai papan pada imah panggung Sumber: Nuryanto, 2006. Struktur lalangit dan rarangka merupakan struktur suhunan merupakan rangka atap yang di susun berdasarkan dua komponen: kuda-kuda dan langit-langit (lihat Gambar 5). Kuda-kuda terdiri dari dua komponen, yaitu: nu mikul dan nu dipikul. Nu mikul merupakan kerangka kuda-kuda utama, sedangkan nu dipikul sebagai kerangka pendukung. Seluruh struktur suhunan menggunakan kudakuda dari kayu dan bambu dengan bentuk kuda-kuda segi tiga. Pada sruktur nu mikul, warga menggunakan makelar adeg (10x15 cm) diletakkan tegak lurus di atas pamikul. Pamikul (8x15 cm) dipasang horisontal yang menghubungkan antar makelar adeg. Di kanan dan kiri makelar adeg dipasang jure suhunan dengan kemiringan ± 30-45. Jure suhunan (8x15 cm) menghubungkan balok pamikul yang terletak di bawahnya dengan makelar adeg pada ujung atasnya. Di atas makelar adeg, sebagian warga memasang nok (5x10 cm) secara horisontal. Untuk memperkuat posisi jure suhunan, dipasang sokong (8x12 cm) di kiri dan kanan makelar adeg. Pada struktur nu dipikul, terdapat gordeng atau gording (6x12 cm) yang diletakkan di atas jure suhunan secara horisontal sesuai ukuran bentang kuda-kuda. Pada sebagian atap, ada juga yang tidak memakai gordeng. Di atas gordeng, warga memasang layeus atau kaso (5x7 cm) secara vertikal searah jure suhunan. Layeus menghubungkan pamikul yang ada di bawah dengan nok di atasnya. Di atas layeus, ereng atau reng (2x3 cm) diletakkan sejajar dengan balok jure suhunan mulai dari bawah hingga ke atas. Pada umumnya, digunakan layeus dan ereng dari bambu. Untuk memperkuat posisi jure suhunan, warga juga memasang sisiku siku-siku (5x5 cm) di bawahnya dengan kemiringan tertentu. Sebagian warga tidak menggunakan gapit, lesplang, pangeureut, panglari, nunjang, ikatan angin dan balok kunci, karena menghemat bahan. Setelah kerangkanya selesai, maka penutup atap dapat dipasang. Pemasangan penutup atap dari hateup lebih mudah dibandingkan injuk, karena konstruksinya tidak terlalu rumit. Pada konstruksi hateup, ereng tidak diperlukan lagi karena penutup atap tersebut telah distel terlebih dahulu sesuai jarak layeus ± 45-50 cm. Teknik sambungan kayu yang dipakai pada umumnya jenis bibir lurus-berkait, miring-berkait dan pen-lubang serta 5

diperkuat dengan teknik ikatan tali ijuk dan rotan. Teknik sambungan dan ikatan memerlukan pemikiran dan perhatian yang besar, karena apabila salah akan fatal akibatnya. A. Balok pangeureut G. Balok nok suhunan M. Langit-langit B. Balok sokong H. Balok jure suhunan N. Tihang pangadeg C. Balok gordeng I. Balok makelar adeg O Balok pananggeuy D. Balok pamikul J. Layeus/kaso-kaso P. Bilik bambu E. Balok panglari K. Balok sokong Q. Papan lesplang F. Balok nunjang L Ereng/reng R. Tihang nu ngabagi Gambar 5: Struktur luhur yang terdiri dari pangadeg dari bilik dan papan Sumber: Nuryanto, 2006. Pada struktur suhunan atau atap imah panggung masyarakat tradisional Sunda, seperti di Baduy Kajeroan, Kasepuhan Ciptagelar, Kampung Naga, dan Dukuh pantang menggunakan penutup atap dari genteng (tanah), karena dilarang oleh adat leluhur, mereka menyebutnya teu wasa atau teu wani. Dalam sistem kosmologi mereka, menggunakan atap genteng sama artinya mengubur diri hidup-hidup, karena hanya orang mati yang pantas di kubur; jelema hirup keneh kunaon kudu di ruang, artinya orang hidup kenapa harus di kubur. Di samping itu, menggunakan atap dari tanah sama artinya berzinah dengan ibu, karena menurut mereka tanah artinya bumi yang memiliki makna ka indung; manusa hirup tina saripatina taneuh, artinya manusia hidup dari saripatinya (inti) tanah. Taneuh atau tanah juga memiliki makna kematian. Bagi mereka yang berani menggunakan atap dari genteng akan kabendon (mendapat murka) dari leluhur, seperti: sakit, sial, dan susah hidupnya. Hal ini juga berlaku bagi jenis material lain, selain genteng, seperti: asbes, seng, dan sejenisnya yang bersumber dari saripati tanah, semuanya dilarang karena bertentangan dengan aturan adat leluhur. Struktur atap bangunan tradisional sunda menggunakan material yang ringan, hal ini sejalan dengan ketentuan konstruksi bangunan tahan gempa. Sebagai contoh rumah adat di Cikondang yang terletak di RT 003 RW 03 kampung Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, masih berdiri 6

kokoh, kendati daerah tersebut terkena dampak gempa berkekuatan 7,3 SR yang terjadi Rabu 2 September 2009. Kearifan lokal mencuat dari bangunan berwarna coklat sederhana itu, seakan menjawab tantangan, tak goyah diterjang gempa (Pikiran Rakyat, 7 September 2009). Tak seperti ratusan rumah di sekitarnya yang retak hingga ambruk akibat gempa, rumah berukuran 12 x 8 meter tersebut, berdiri tegak seperti biasa. Nyaris tak ada yang berubah. Atapnya beralaskan ijuk, dengan dinding gedeg. Tak ada kerusakan, selain faktor usia bangunan dan minimnya perawatan, yang telihat pada 5 jendela yang menghiasi dinding, dan satu pintunya. Begitu pula pada 9 saregseg yang berdiri kokoh pada setiap jendela. Keistimewaan rumah panggung memang anti gempa. Kalau orang dulu itu kan tidak mewah, jadi waktu itu ada pantangan, jangan membuat rumah dari batu, karena berbahaya kalau ada gempa. Penggunaan genting juga dinilai tabu oleh Genting kan terbuat dari tanah. Kalau orang dulu punya pemikiran, masih hidup kok dikubur di bawah tanah. Gambar 6 Berbagai tipologi rumah vernakular di Jawa Barat bagian Selatan (Triyadi & Harapan, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan Triyadi dan Harapan (2008) menunjukan bahwa Bangunan vernakular di Jawa Barat bagian Selatan (Gambar 6), merupakan salah satu contoh yang sudah teruji dari gempa yang melanda daerah tersebut. Bangunan tersebut mampu bertahan, sedangkan bangunan lainnya (non vernakular) banyak yang roboh. Hal ini merupakan bukti bahwa adanya suatu sistem indigenous knowledge masyarakat Jawa Barat yang diterapkan terhadap bangunan tersebut. Indigenous knowledge seperti ini merupakan kekayaan pengetahuan bangsa Indonesia yang perlu diketahui dan dicari melalui kajian lapangan serta wawancara dengan masyarakat, sehingga terkumpul data indigenous knowledge yang dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat secara umum, khususnya untuk masyakat di daerah tersebut. Penutup Sistem kekuatan pada rumah panggung Masyarakat Sunda menggunakan ikatan, sambungan pupurus, dan paseuk (pasak). Pada rangka lantai, dinding, dan kuda-kuda, balokbalok yang dipasang dan disambung, baik secara vertikal maupun horisontal menggunakan sambungan pupurus (pen dan lubang), sedangkan hubungannya menggunakan ikatan dengan 7

tali ijuk atau rotan serta pasak kayu. Tidak ada paku, mur, dan baut, karena dilarang oleh adat dan bertentangan dengan aturan leluhur mereka (tabu). Hampir di setiap bangunan rumah panggung adat Sunda sangat jarang ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar tiang digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumbia, karena rumah adat Sunda sangat jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material yang digunakan oleh rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung dari papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di komunitas dengan peradaban barbar. Rumah untuk komunitas orang Sunda bukan sebagai benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang. Pustaka Adimihardja, Kusnaka dan Purnama Salura (2004). Arsitektur dalam Bingkai Kebudayaan. Cetakan Pertama. Bandung: CV. Architecture&Communication, Forish Publishing. Adimihardja, K. (2008). Dinamika Budaya Lokal. Bandung: Pusat Kajian LBPB. Brostow, W., Datashvili, T., and Miller, H. (2010). Wood and Wood Derived Materials. Journal of Materials Education Vol. 32 (3-4): 125 138. Canadian Wood Council. (2003). wood frame construction - meeting the challenges of Earthquakes, building performance series No.5. Canada; CWC. Dep. PU. (2002). Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung: SNI-1726-2002. Bandung: Puslitbangkim PU. Felix. (1999). Konstruksi Kayu. Bandung: CV Trimitra Mandiri. Frick, Heinz & Hesti M, Tri, (2006). Pedoman Bangunan Tahan Gempa. Yogyakarta: Kanisius. Frick, Heinz & Purwanto, LMF, (2002). Sistem Bentuk Struktur Bangunan. Yogyakarta: Kanisius. Nuryanto (2006): Kontinuitas dan Perubahan Pola Kampung dan Rumah Tinggal dari Kasepuhan Ciptarasa ke Ciptagelar, di Kab. Sukabumi (selatan), Jawa Barat. Tesis Riset Magister Arsitektur, Program Studi Arsitektur SAPPK-ITB, Bandung (tidak untuk diterbitkan); Nuryanto (2015): Arsitektur Nusantara, Seri Arsitektur Tradisional Sunda: Arsitektur Tradisional Sunda dalam Bingkai Arsitektur Nusantara: Pengantar Arsitektur Kampung dan Rumah Panggung. Buku Ajar Arsitektur Nusantara Program Studi Teknik Arsitektur, Departemen Pendidikan Teknik Arsitektur FPTK Universitas Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada. Pikiran Rakyat. 7 September 2009. Sharma, B., Gatoo, A., Bock, M., dan Remage, M. (2015). Engineered bamboo for structural applications. Construction and Building Materials 81 (2015) 66 73 Thomas and Ganiron. (2014). Investigation on the Physical Properties and Use of Lumampao Bamboo Species as Wood Construction Material. International Journal of Advanced Science and Technology Vol.72 (2014), pp.49-62 Triyadi, S dan Harapan, A. (2008). Kearifan Lokal Rumah Vernakular Di Jawa Barat Bagian Selatan dalam Merespon Gempa. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS, Vol. 18, No. 2, Mei 2008 8