MENEROPONG LEGITIMASI PEMILU OLEH. Adi Sulistiyono Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret

dokumen-dokumen yang mirip
LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi

BAB I PENDAHULUAN. dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap

URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

I. PENDAHULUAN. ini merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. DPR dan DPRD dipilih oleh rakyat serta utusan daerah dan golongan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem

Ringkasan Putusan. 1. Pemohon : HABEL RUMBIAK, S.H., SPN. 2. Materi pasal yang diuji:

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

ADVOKASI HUKUM SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN IDA BUDHIATI ANGGOTA KPU RI

BAB V PENUTUP. penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam

2015 MODEL REKRUTMEN DALAM PENETUAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) PROVINSI JAWA BARAT

MEKANISME PENYELENGGARAAN PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR JATENG DAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI KUDUS TAHUN 2018

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG. Oleh : Nurul Huda, SH Mhum

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut ( Dalam prakteknya secara teknis yang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan atau

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan

BAB V PENUTUP. sistem-sistem yang diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilu di kedua Pemilu itu

-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN TATA CARA PENYELESAIAN PELANGGARAN ADMINISTRASI PEMILIHAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Negara

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

TAHAPAN PILPRES 2014 DALAM MEWUJUDKAN BUDAYA DEMOKRASI

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG

Pimpinan dan anggota pansus serta hadirin yang kami hormati,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

BAB 1 PENDAHULUAN. karena keberhasilan suatu perusahaan atau organisasi terletak pada kemampuan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. politiknya bekerja secara efektif. Prabowo Effect atau ketokohan mantan

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

Penyelenggara Pemilu Harus Independen

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 89/PUU-XIV/2016 Bilangan Pembagi Pemilihan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

BAB III BAWASLU DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILU. A. Kewenangan Bawaslu dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

PASANGAN CALON TUNGGAL DALAM PILKADA, PERLUKAH DIATUR DALAM PERPPU? Oleh: Zaqiu Rahman *

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KARANGANYAR KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KARANGANYAR. NOMOR : 13 /Kpts-K/KPU-Kab-012.

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya

KETUA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN HADIRI PERTEMUAN PIMPINAN LEMBAGA NEGARA

BAB 3 ANALISIS SISTEM BERJALAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

PUTUSAN MK NO. 54/PUU-XIV/2016 DAN IMPLIKASI DI DALAM PILKADA Oleh Achmadudin Rajab* Naskah Diterima: 24 Juni 2017, Disetujui: 11 Juli 2017

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu

BAB V KESIMPULA DA SARA

PEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan

Ringkasan Putusan.

PILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah)

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan menurut UUD. Dalam perubahan tersebut bermakna bahwa

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (1)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TINDAK LANJUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG VERIFIKASI PARTAI POLITIK

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat

I. PENDAHULUAN. memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA,

PEMUTAKHIRAN DATA PEMILIH UNTUK MEWUJUDKAN PEMILU 2019 YANG ADIL DAN BERINTEGRITAS

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG TAHAPAN, PROGRAM DAN JADWAL PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM TAHUN 2019

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan Persetujuan Bersama

RINGKASAN PUTUSAN.

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGKODIFIKASIAN UNDANG-UNDANG PEMILU

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. dan DPRD sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota DPD. sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 disebutkan bahwa negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang

BAB II KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN LABUHAN BATU UTARA. A. Sejarah Singkat Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Labuhan Batu

2 Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pengawasan Pemilihan Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembar

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Muchamad Ali Safa at

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 142/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD & DPRD Syarat menjadi Pimpinan DPRD

PILKADA lewat DPRD?

BAB II KAJIAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. 1. Peran. Peran merupakan aspek yang dinamis dalam kedudukan (status)

BAB II PELAKSANA PENGAWASAN

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

BAB 1 Pendahuluan L IHA PEMILIHAN UMUM

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

STUDI TENTANG PEMILIH GANDA DALAM PEMILU LEGISLATIF 2014 DI KELURAHAN PELABUHAN KOTA SAMARINDA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

Transkripsi:

MENEROPONG LEGITIMASI PEMILU OLEH Adi Sulistiyono Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Sepekan setelah pemilu legislatif digelar, kecaman terhadap pelaksanaan pesta demokrasi itu mulai menukik tajam. Sejumlah tokoh partai politik entah secara kelembagaan partai atau perseorangan dimotori oleh Megwati Soekarnoputri dan Wiranto menyebut pemilu kali ini adalah pemilu terburuk sejak reformasi dan pelaksanaannya jauh dari sikap yang jujur, bermartabat, adil, dan demokratis. Banyaknya masalah, terutama daftar pemilih tetap (DPT), mengakibatkan banyak warga kehilangan hak konstitusi untuk memilih wakil rakyat. Pelaksanaan pemilu dituding diwarnai pula kecurangan dan kesalahan administrasi serta substansi yang sistemik sehingga mengakibatkan kualitasnya buruk. Lebih tegas, pemilu legislatif terancam tergerus legitimasnya karena buruknya pelaksaaan pemilu tersebut. Tulisan ini mencoba meraba dan meneropong masalah legitimasi dalam optik politik dan hukum dengan harapan secara minimal akan menambah cakrawala pemahaman. Siapa mengecam? Jika dicermati pernyataan buruknya pelaksanaan pemilu justru mengemuka di kalangan elit politik, yang pastinya partai politik mereka terbukti tergunting jumlah kursinya di parlemen. Secara jelas juga, kalangan partai politik yang menikmati gemilangnya pemilu legislatif seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, dan Partai Keadilan Sejahtera belum terlihat pernyataan formalnya, kecuali satu dua ucapan pengurus teras yang belum dikonfirmasi kapasitas representasi mereka terhadap organisasinya. Oleh karena itu, penilaian dan kecaman terhadap buruknya manajemen pemilu kali ini tidak bisa dipandang merupakan cermin pasti untuk mengukur hasil secara keseluruhan. Apalagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai penanggung jawab pelaksanaan pemilu juga belum bersuara tegas mengenai hal itu.

Saya sependapat bahwa sejumlah persoalan seperti DPT yang carut marut dan banyaknya pelanggaran pemilu yang terdokumentasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) meurpakan persoalan yang nyata dan harus cepat diatasi agar tidak terulang lagi, paling tidak untuk pemilu presiden yang akan datang. Namun, operasionalisasi yang buruk tidaklah harus senafas dengan asumsi yang melahirkan anggapan bahwa legitimasi pemilu sudah tergerus. Bagi saya, pemilu 2009 tetaplah harus dianggap sebagai mosi tidak percaya rakyat kepada partai politik dan parlemen, sehingga kecerdasan pemilih entah emosional maupun rasional sanggup menekuk kemapanan partai politik dan melahirkan fenomena politik, yang bagi akademisi sekalipun, sulit untuk diprediksi sebelumnya. Dan kenyataan inilah cermin kedaulatan rakyat telah mengejawantah dalam bentuknya yang paling minimalis. Jadi, kecaman partai dan elit politik, yang kebetulan dirugikan perolehan suaranya, amat dipertanyakan basis legitimasinya, meskipun cukup menyentak membangun kelengahan KPU dan pemerintah karena teledor dalam melaksanakan sejumlah tahapan pemilu. Kelembagaan Buruk Sudah pasti KPU dengan cepat menerima penilaian jelek dengan adanya sejumlah fakta tercecernya beberapa tahapan pemilu. Namun bagi saya, kelembagaan pemilu tidaklah an sich KPU saja, tetapi juga mencakup sistem regulasi dan mekanisme resolusi konflik. Dalam amatan saya, UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu telah menempatkan KPU kepada kedudukan yang lebih kuat dan independen dibandingkan KPU sebelumnya. Bahkan, undang-undang itu mengalihkan pengadaan infrastruktur pemilu dari komisi ke jajaran birokrasi (baca: Sekretariat Jenderal) dengan satu tujuan: agar komisioner dapat bekerja lebih fokus. Tetapi semua itu tampaknya menjadi pemanis belaka ketika kepemimpinan dan manajerial lemah, kinerja tidak fokus dan tanpa prioritas, serta para anggota komisi gagal mengontrol tanggung jawab masing-masing. Komisi juga terjebak ke dalam amaterisme hukum, ketika secara gegabah menciptakan kebijakan yang bertentangan dengan sprit undang-undang, seperti penafsiran ambang batas sumbangan kepada partai politik dan eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai suara terbanyak dalam penentuan calon legislator.

Keburukan kinerja KPU sudah tampak dari jadwal dan tahapan pemilu yang tidak konsisten dan berubah-ubah. Lebih dari itu KPU juga gagal mengontrol kinerja KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Dan atas semua itu DPR yang notabene terdiri dari partai politik harus juga dituntut pertanggungjawabannya, karena selekasi komisioner melibatkan mereka, termasuk KPU daerah. Terkait dengan resolusi konflik, di luar pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilu, maka penyelesaian perselisihan hasil pemilu oleh MK tampaknya perlu dicermati. Pemilu kali ini makin banyak pihak yang berkepentingan langsung dengan hasil pemilu. Tidak hanya partai politik, tetapi juga para calon legislator. Dengan sistem suara terbanyak, satu perbedaan suara saja sudah sangat berarti dalam merebut kursi. Kompetisi tidak sekadar antarparpol atau antarcalon legislator dari partai politik yang berbeda, tetapi juga diantara calon di dalam sebuah partai politik. Sesuai sekat formal dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hanya partai politik dan perseorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang bisa mengajukan perkara. Artinya, jika mematuhi ketentuan itu maka perseorangan calon legislator tidak boleh mengajukan sengketa ke MK. Padahal dengan ketentuan suara terbanyak, keberatan berpotensi datang dari tiap calon legilsator, tidak peduli berapa nomor urutnya. Secara sosiologis, jika ketentuan itu dituruti, maka akan banyak calon legislator yang tidak bisa menyalurkan aspirasinya untuk memperoleh keadilan melalui MK. Namun, jika ketentuan itu diubah, paling tidak dengan ijtihad para hakim konstitusi, giliran MK yang akan terkena beban, karena akan terjadi ribuan perkara yang mengalir ke benteng penjaga konstitusi itu. Padahal, di seluruh Nusantara diperebutkan 18.960 kursi, yang meliputi 560 kursi DPR, 132 DPD, 1.998 DPRD Propinsi, dan 16.270 DPRD Kabupaten/Kota. Kisruh DPT Dalam paham saya kisruh DPT bukanlah persoalan yang muncul secara tiba-tiba. Masalah DPT bukanlah sumber masalah tetapi implikasi lebih lanjut dari carut marutnya administrasi kependudukan di republik ini. Kita memiliki UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Di dalamnya ada instruksi agar setiap penduduk melaporkan setiap peristiwa kependudukan (pindah, datang, perubahan alamat dan tempat tinggal, serta perubahan status kependudukan). Ketentuan ini melahirkan sistem

de jure dalam bentuk penerbitan kartu keluarga, kartu tanda penduduk, dan lain-lain. Masalahnya mobilitas penduduk yang tinggi tidak disertai dengan kesadaran melaporkan peristiwa kependudukan. Penduduk tidak mau mengganti KTP di tempat tinggal asal dengan sejumlah asal dan belum terdaftar di tempat tinggal baru. Di sini dapat ditunjuk penduduk yang tidak tergolong dalam sistem de jure itu, seperti pekerja musiman, pemilik rumah yang dikontrakkan dan tinggal di daerah lain, serta mahasiswa yang belajar di tempat lain bukan tempat tinggal asal. Padahal daftar pemilih ditetapkan menurut sistem de jure ini, jadi berbeda dengan Pemilu 2004 yang menggabungkan sistem de jure dengan sistem de facto. Dalam sistem terakhir diawali dengan daftar pemilih potensial, lalu menjadi Daftar Pemilih Sementara (DPS), dan ditetapkan menjadi DPT. Perlu ditunjuk di sini, walaupun DPS sudah diumumkan sejak pertengahan 2008, tetapi masih ada keengganan penduduk untuk aktif memperjuangkan hak pilihnya. Bahkan, partai politik pun amat jarang yang mendorong terutama konstituennya untuk semenjak awal mencermati DPS dan memperjuangkannya agar terdaftar dalam DPT. Pada tataran makro, tak ada satupun dari 4 presiden yang berkuasa di era reformasi berhasil menata administrasi kependudukan secara layak. Akibatnya, 3 pemilu legislatif (1999, 2004, dan 2009), satu pemilu presiden (2004), dan lebih dari 400 pilkada selama 10 tahun terakhir dikotori dengan rendahnya kredibilitas data pemilih. Keteledoran KPU untuk memutakhirkan data pemilih menyebabkan banyak penduduk yang dipaksa menjadi golput pada pemilu 2009 ini. Dengan uraian itu, saya menolak asumsi sejumlah partai politik bahwa kekacauan DPT menyebabkan mereka kalah. Padahal, amat sulit untuk mengaitkan kekacauan tadi dengan perolehan suara setiap partai politik. Secara akademik tidak pernah ada penjelasan yang pasti bahwa kekacauan itu menguntungkan partai politik tertentu dan merugikan partai politik lain. Kekacauan itu yang sampai sekarang tidak pernah dijelaskan dan diakui oleh pemerintah dan KPU akhirnya menjadi bumbu penyedap guna menyembunyikan ketidaksiapan sebagian partai politik untuk menjadi pecundang dalam pemilu. Bahkan tidak menutup kemungkinan bagi public yang amat awam dengan seluk beluk hokum, akan menganggap bahwa kritik terhadap kevalidan DPT merupakan sasaran antara belaka untuk menggerus legalisasi kemenangan partai politik tertentu,

bahkan menyerang popularitas calon presiden tertentu karena kemenangan yang bersangkutan sudah terasa digenggam walau pemilu presiden belum dilaksanakan. Teropong Legitimasi Terlalu sulit bagi saya untuk bisa menjelaskan detail demi detail kekisruhan yang terjadi dalam Pemilu 2009 dan sama sulitnya bagi saya untuk tergesa-gesa menunjuk keburuhkan sejumlah tahapan mencederai legitimasi pemilu itu. Masalah kekisruhan pemilu harus dibenahi dan supaya legitimasi pemilu dapat terpelihara ada solusi jangka panjang dan jangka pendek yang dapat dilakukan. Untuk jangka panjang kiranya perlu dipertimbangkan strategi guna memperbaiki kelembagaan pemilu dan sistem administrasi kependudukan. Sedangkan dalam jangka pendek, dan inipun saya anggap paling sulit, adalah membangun keikhlasan menerima pemilu legislatif walau sarat masalah. Tanpa keikhlasan itu, nasib bangsa yang akan dipertaruhkan dan kepercayaan rakyat yang akan tercoreng.