34 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan dan Preparasi Bahan Baku Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah rambut jagung (Zea mays L.) yang berasal dari jagung lokal yang tumbuh di daerah Gorontalo. Rambut jagung diambil dari jagung muda yang telah berumur 60-70 hari atau setelah jagung dipanen saat masih muda. Rambut jagung dipilih yang baik dan dipisahkan dari yang rusak atau berwarna kehitaman. Rambut jagung dipotongpotong kasar agar proses pengeringan menjadi lebih cepat. Pengeringan rambut jagung setelah pengambilan sampel selama ± 3 hari. Proses pengeringan sampel dilakukan dengan cara diangin-anginkan tanpa paparan sinar matahari secara langsung. Hal ini bertujuan agar senyawa fitokimia dalam sampel tidak mengalami kerusakan dan kadar air dalam sampel berkurang. Selain sampel lebih awet, pengurangan kadar air akan memudahkan pelarut menarik komponen bioaktif dalam sampel saat maserasi (S udirman dkk, 2011). Berat sampel segar yang diambil adalah 2,3 kg. Sampel yang sudah kering dihaluskan dengan alat penggiling untuk mendapatkan serbuk halus. Penghalusan sampel bertujuan untuk memaksimalkan proses maserasi. Berat serbuk halus yang diperoleh adalah 386.92 gr. Sampel diekstraksi dengan metanol dan difraksinasi dengan pelarut yang berbeda kepolarannya. 34
35 4.2 Ekstraksi Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemisahan secara maserasi. Tujuan maserasi adalah untuk mengekstraksi komponen senyawa fitokimia yang terdapat di dalam sampel. Sampel rambut jagung yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 350 gr dan dimaserasi dengan metanol 4 x 24 jam dan setiap 1 x 24 jam pelarut metanol diganti dengan yang baru, penggantian pelarut setiap 24 jam dilakukan karena pelarut yang telah jenuh tidak akan menarik komponen fitokimia lagi. Maserat dievaporasi pada suhu 30-40 o C dengan bantuan alat pompa vakum. Evaporasi dengan menggunakan bantuan pompa vakum akan menurunkan titik didih pelarut sehingga pelarut akan menguap di bawah titik didih normalnya. Tujuannya adalah agar komponen fitokimia yang terdapat dalam ekstrak tidak mengalami kerusakan akibat pemanasan yang berlebihan. Ekstrak kental metanol yang diperoleh seluruhnya adalah 29,92 gr. 4.3 Fraksinasi Tahap selanjutnya, ekstrak kental metanol sebanyak 10 gr disuspensi dengan campuran metanol:air 150 ml dengan perbandingan (1:2). Fraksinasi dengan pelarut n-heksan dan etil asetat bertujuan untuk memisahkan senyawasenyawa yang bersifat polar, semipolar dan nonpolar. Pada saat dipartisi dengan pelarut n-heksan terbentuk dua lapisan yaitu lapisan atas pelarut n-heksan dan lapisan bawah adalah air. Hal ini karena massa jenis n-heksan (0,4 g/ml) lebih kecil dibandingkan dengan massa jenis air (1 g/ml). Hal yang sama dilakukan pada pelarut selanjutnya yaitu etil asetat. Setelah dipartisi dengan pelarut n- heksan, bagian air selanjutnya dipartisi dengan etil asetat. Bagian atas merupakan
36 pelarut etil asetat sedangkan bagian bawahnya merupakan pelarut air. Pelarut etil asetat memiliki massa jenis (0,66 g/ml) lebih kecil dibandingkan dengan massa jenis air (1 gr/ml). Hasil dari partisi masing-masing pelarut kemudian dievaporasi pada suhu 30-40 o C dengan bantuan alat pompa vakum sehingga menghasilkan ekstrak kental n-heksan, etil asetat dan air (Tabel 3). Tabel 3. Berat ekstrak kental dari masing-masing fraksi No Fraksi Berat (g) 1 N-heksan 0,68 2 Etil asetat 2.11 3 Metanol-air 4.1 4.4 Rendemen Rendemen merupakan persentase bagian bahan baku yang dapat digunakan atau dimanfaatkan dengan total bahan baku. Menurut Kusumawati dkk, (2008) Semakin tinggi nilai rendemen menandakan bahwa bahan baku tersebut memiliki peluang untuk dimanfaatkan lebih besar (dalam Sudirman dkk., 2011). Rendemen merupakan persentase sampel sebelum dan setelah perlakuan. Rendemen setelah pengeringan yaitu sebesar 16,82%. Artinya, setelah melalui proses pengeringan, rambut jagung kehilangan berat sebesar 83,18%. Pada tahap kedua (proses ekstraksi), rendemen ekstrak kental metanol sebesar 8,55%. Rendemen yang dihasilkan sangat kecil sehingga untuk menghasilkan ekstrak metanol memerlukan sampel banyak. Persentase rendemen tahap pertama dan kedua terlihat pada Gambar 9. Setelah difraksinasi dengan pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya, dihitung persen rendemen dari masing-masing fraksi. Perhitungan persen rendemen terlihat pada Lampiran 2. Hasil fraksinasi yang diperoleh, fraksi air
37 memiliki rendemen yang lebih besar dibandingkan dengan fraksi n-heksna dan etil asetat. Rendemen fraksi air yaitu 41%, fraksi etil asetat 21,10% dan fraksi n- heksan 6,8% (Gambar 10). Fraksi air menghasilkan rendemen yang lebih besar, karena senyawa polar lebih terkonsentrasi pada fraksi tersebut. Nur dan Astawan (2011) mengemukakan bahwa tingginya rendemen ekstrak pada pelarut polar dikarenakan makromolekul gula sederhana seperti monosakarida dan oligosakarida ikut terlarut dalam pelarut polar namun tidak larut dalam pelarut nonpolar. % Rendemen 20% 15% 10% 5% 16,8 8,5 0% Tahap 1 Tahap 2 Gambar 9. Rendemen tahap 1 dan 2 40,0% 41 % Rendemen 30,0% 20,0% 10,0% 6,8 21,10 0,0% n-heksan etil asetat air Gambar 10. Rendemen hasil fraksinasi
38 4.5 Uji Fitokimia Uji fitokimia bertujuan untuk mengidentifikasi kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam sampel. Ekstrak kental metanol dan hasil fraksinasi n-heksan, etil asetat dan air diuji fitokimia meliputi Uji flavonoid, alkaloid, saponin, steroid, terpenoid dan fenol hidrokuinon. Berdasarkan uji fitokimia yang telah dilakukan, senyawa alkaloid terdeteksi pada pada semua ekstrak yaitu ekstrak metanol, n-heksan, etil asetat dan air. Senyawa flavonoid positif pada ekstrak metanol, fraksi etil asetat dan air. Senyawa saponin terdeteksi pada semua ekstrak kecuali ekstrak n-heksan. Senyawa steroid positif pada semua ekstrak sedangkan triterpenoid hanya terdeteksi pada ekstrak metanol, fraksi etil asetat dan air. Senyawa fenol hidrokuinon terdeteksi pada semua ekstrak. Namun, yang memberikan intensitas warna yang kuat adalah ekstrak metanol dan fraksi etil asetat (Tabel 4). Standar intensitas warna dirujuk dari Harborne (1987). Skrining fitokimia terhadap rambut jagung telah dilaporkan oleh Bhaigyabati dkk., (2011) dan Sholihah dkk., (2012). Hasil skrining menunjukan bahwa pada ekstrak metanol rambut jagung positif mengandung alkaloid, flavonoid, steroid, terpenoid, saponin dan fenolik (Bhaigyabati dkk, 2011; Sholihah dkk, 2012). Ekstrak etil asetat positif mengandung flavonoid, steroid, terpenoid, dan fenolik (Bhaigyabati, 2011), ekstrak air positif mengandung alkaloid, flavonoid, steroid, terpenoid, saponin dan fenol (Sholihah dkk, 2012). Senyawa flavonoid positif ditandai dengan perubahan warna, alkaloid positif jika terbentuk endapan ketika ditambahkan pereaksi alkaloid yaitu pereaksi Hager, Wagner, Mayer dan Dragendroff. Positif saponin ditandai dengan
39 terbentuknya busa/buih, terpenoid ditandai dengan perubahan warna menjadi merah, ungu, hingga kecokelatan, steroid ditandai dengan perubahan warna dari hijau hingga kebiruan, fenol hidrokuinon ditandai dengan perubahan warna hijau, merah, ungu biru atau hitam yang kuat. Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Rambut Jagung (Zea mays l.) No Pereaksi Fraksi M N E A Standar (warna) 1 HCl + Serbuk +++ - +++ +++ Perubahan warna Mg 2 H 2 S 4 +++ - +++ +++ Perubahan warna 3 NaH ++ - ++ ++ Perubahan warna 4 Dragendroff + + + + Endapan merah-jingga 5 Hager ++ + ++ ++ Endapan putih 6 Mayer + + + + Endapan putih kekuningan 7 Wagner + + + + Endapan cokelat 8 Saponin ++ - ++ + Terbentuk busa/buih 9 Steroid ++ + ++ + Warna hijau 10 Triterpenoid ++ - ++ + Warna merah - cokelat 11 Fenol +++ - +++ ++ Warna hijau, merah, ungu, biru Hidrokuinon Keterangan 1) Flavonoid atau hitam yang kuat : (M) metanol, (N) n-heksan, (E) etil asetat, (A) air (+++) intensitas kuat, (++) sedang, (+) lemah, (-) tidak terdeteksi Flavonoid merupakan kelompok besar fitokimia yang bersifat melindungi dan banyak terdapat pada buah dan sayuran. Flavonoid sering dikenal sebagai bioflavonoid yang berperan sebagai antioksidan (Winarsi, 2007). Hasil uji flavonoid pada berbagai ekstrak diperoleh bahwa pada ekstrak metanol, etil asetat dan air positif mengandung senyawa golongan flavonoid dengan intensitas yang kuat. Sedangkan untuk ekstrak n-heksan memberikan hasil negatif adanya flavonoid. Hal ini dikarenakan senyawa golongan flavonoid bersifat polar
40 sehingga lebih larut dalam pelarut polar dan semipolar. Kepolaran senyawa tersebut dikarenakan flavonoid merupakan senyawa polihidroksi (memiliki le bih dari satu gugus hidroksil) (Harborne, 1987). Kemungkinan reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : H HCl Mg H H + Cl - Flavanol Cl - + H H H H Cl - Garam Flavilium (Merah Tua) Gambar 11. Perkiraan reaksi antara senyawa Flavonoid dengan HCl+serbuk Mg Polihidroksi dari flavonon akan direduksi oleh logam magnesium dalam asam klorida dalam larutan etanol sehingga membentuk garam benzopirilium yang berwarna merah, kuning, atau disebut dengan garam flavilium (Sastrohamidjojo, 1996). H A B NaH H 2 C H H Krisin Asetofenon (Kuning) Gambar 12. Perkiraan reaksi golongan senyawa flavonoid dengan NaH H A H H 3 C + C Senyawa flavonoid akan membentuk asetofenon yang berwarna kuning bila direaksikan dengan NaH pekat (Sastrohamidjojo, 1996). B
41 2) Uji Alkaloid Alkaloid merupakan substansi dasar yang memiliki satu atau lebih atom nitrogen yang bersifat basa dan bergabung dalam satu sistem siklis, yaitu cincin heterosiklik (Harborne, 1987). Pada umumnya, alkaloid hanya larut dalam pelarut organik, meskipun beberapa pseododan dan protoalkaloid larut dalam air (Sastrohamidjojo, 1996). Penentuan adanya senyawa golongan alkaloid pada sampel dapat dilakukan secara kualitatif. Sampel yang akan diuji dilarutkan dalam kloroform ammonikal, tujuannya adalah untuk memisahkan alkaloid yang terikat pada garamnya (Harbone, 1987). Hasil uji flavonoid ditemukan bahwa semua fraksi mengandung alkaloid namun dengan intensitas yang sedang. Perkiraan reaksi yang terjadi dapat dilihat pada gambar di bawah ini. 4KI + HgCl 4 K 2 HgI 4 + 2KCl Kalium tetraiodomerkurat (II) N + K 2 HgI 4 + K + [HgI 4 ] N K + Kalium alkaloida endapan Gambar 13. Perkiraan reaksi uji Mayer (kalium tetravoda merkorat) Pada reaksi uji Mayer, diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K + dari kalium tetraiodomerkurat (II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap (Marliana dkk., 2005). Reaksi ini ditandai dengan terbentuknya endapan putih kekuningan pada tabung reaksi.
42 I 2 + I - I 3 - Cokelat + KI + I 2 + - I 3 N N K + Kalium alkaloida endapan Gambar 14. Perkiraan reaksi uji Wagner Pereaksi Wagner menggunakan ion logam kalium K + dari kalium iodida untuk membentuk kompleks kalium-iodida. Reaksi ini ditandai dengan terbentuknya endapan coklat pada tabung reaksi (Harbone, 1987). Bi(N 3 ) 3 + 3KI BiI 3 + 3KN 3 Cokelat BiI 3 + 3KI K[BiI 4 ] Kalium tetraiodobismutat N + K[BiI 4 ] + N K + [BiI 4 ] - Kalium alkaloida endapan Gambar 15.Perkiraan reaksi uji Dragendroff Pada uji alkaloid dengan pereaksi Dragendrof, diperkirakan ion logam kalium K + dari kalium tetraiodobismutat akan berikatan kovalen koordinat dengan senyawa golongan alkaloid membentuk kalium alkaloida (Marliana dkk., 2005). Reaksi ini ditandai dengan terbentuknya endapan merah jingga pada tabung reaksi. 3) Saponin Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat sebagai sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi
43 tinggi pada bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap pertumbuhan. Fungsi dalam tumbuh-tumbuhan tidak diketahui, kemungkinan adalah sebagai pelindung terhadap serangga (Robinson, 1995). Hasil pengujian saponin menunjukan bahwa pada ekstrak metanol, etil asetat dan air positif mengandung saponin dengan ditandai terbentuknya busa/buih lebih dari 15 menit dan tidak hilang saat penambahan HCl 2N. Kemungkinan reaksi yang terjadi pada pembentukan busa saponin adalah sebagai berikut : H C CH 2 H H H H 2 C 2 H + CH 2 H H H H 1-Arabinopiriosil-3 asetil olenolat Aglikon Glukosa Gambar 17. Perkiraan reaksi yang terjadi saat uji busa (saponin) Terbentuknya busa/buih dikarenakan senyawa saponin memiliki sifat fisik yang mudah larut dalam air dan akan menimbulkan busa ketika dikocok (Suharto, dkk., 2010). 4) Triterpenoid dan Steroid Triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbon yang tersusun atas 6 unit isoprene dan dibuat secara biosintesis dari skualen (C 30 hidrokarbon asiklin). Senyawa ini berstruktur siklik nisbi yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Senyawa ini pada umumnya tak berwarna, berbentuk Kristal dan memiliki titik leleh yang tinggi. Triterpenoid dapat dipilah
44 menjadi sekurang-kurangnya empat senyawa: triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung (Harborne, 1987). Uji yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi adanya triterpenoid dan steroid adalah reaksi Lieberman-Bouchard (anhidrid asetat -H 2 S 4 pekat) (Harborne, 1987). Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml dietil eter kemudian ditambahkan dengan 10 tetes asam asetat anhidrid dan 3 tetes H 2 S 4 pekat. Kebanyakan triterpenoid memberikan warna merah-violet sedangkan steroid memberikan warna hijau-biru. Hasil uji fitokimia menunjukan bahwa hampir semua ekstrak menunjukan adanya steroid dan triterpenoid namun, pada ekstrak metanol, etil asetat dan air memberikan hasil yang kuat adanya triterpenoid dan steroid, sedangkan untuk ekstrak n-heksan hanya memberikan hasil yang lemah adanya triterpenoid dan steroid. Kemungkinan reaksi tersebut terlihat pada Gambar 16. CH 3 CH) 2 -CH 3 CH H H 3 CC Kolesterol H 3 CC -H 2 H 2 S 4 H 3 CC S 2 H asam 3-aseto-5-kolesterol sulfonat (Hijau) Gambar 16. Perkiraan reaksi yang terjadi Uji Liberman-Bouchard
45 5) Fenol Hidrokuinon Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan mempunyai ciri-ciri yang sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Flavonoid merupakan golongan fenol terbesar. Selain itu, juga terdapat fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid dan kuinon fenolik. Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar, yaitu kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon (Harborne, 1987). Pengujian fenol hidrokuinon dilakukan dengan cara melarutkan 0,1 g masing-masing ekstrak ke dalam metanol kemudian ditambahkan dengan FeCl 3 3%. Hasil positif adanya senyawa fenol di tunjukan dengan terbentuknya warna hijau, merah, ungu, atau hitam yang kuat (Harborne, 1987). Hasi l uji fitokimia menunjukan bahwa semua ekstrak mengandung senyawa fenol namun yang memberikan hasil yang paling kuat adanya fenol pada ekstrak metanol, etil asetat dan air sedangkan untuk n-heksan memberikan hasil yang negatif. Kemungkinan reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : H Fenol Keto H -3 6 + FeCl 3 3H + + Fe 6 + 3HCl Warna Kompleks Gambar 18. Perkiraan reaksi antara fenol hidrokuinon dengan FeCl 3
46 4.6 Penentuan Kandungan Fenolik Total Komponen polifenol pada tanaman diketahui memiliki sifat multifungsi seperti pereduksi, menyumbangkan atom hidrogen sebagai antioksidan dan peredaman terbentuknya singlet oksigen. Flavonoid dan turunannya merupakan golongan polifenol yang banyak dan sangat penting pada tanaman. Sifat yang penting dari golongan polifenol adalah kemampuannya bertindak sebagai antioksidan (Nur dan Astawan, 2011). Penentuan kandungan fenolik total pada penelitian ini dilakukan dengan metode Folin-Ciocaleau. Metode ini berdasarkan kekuatan mereduksi dari gugus hidroksi fenolik. Semua senyawa fenolik dapat bereaksi dengan pereaksi Folin-Ciocalteau. Dalam penentuan kandungan fenolik total digunakan asam galat sebagai larutan standar. Asam galat dalam analisis total fenolik banyak digunakan sebagai standar karena stabil dan dapat diperoleh dalam bentuk murni (Nur dan Astawan, 2011). Kurva konsentrasi larutan standar asam galat dibuat dengan konsentrasi 24, 48, 72, 96, 120 ppm. Kandungan fenolik total pada masing-masing ekstrak dinyatakan sebagai ekuivalen asam galat atau Gallic Acid Equivalent (GAE), di mana GAE merupakan acuan umum untuk mengukur sejumlah senyawa fenolik yang terdapat dalam suatu bahan (Mongkolsilp dkk., 2004). Kurva standar as am galat dapat dilihat pada Lampiran 3. Dari kurva standar tersebut diperoleh persamaan regresi linier yang digunakan untuk menentukan kandungan fenolik total pada masing-masing ekstrak yaitu ekstrak metanol, n-heksan, etil asetat dan air. Data hasil analisis total fenol terlihat pada Gambar 19.
47 Kandungan Fenolik Total (mg GAE/g) 160 140 120 100 80 60 40 20 0 140,25 ± 1,42 a 94,45 ± 0,42 b 82,23 ± 0,12 c 2,27 ± 0,03 d A B C D A=Fraksi air B=Fraksi n-heksan C=Fraksi etil asetat D=Fraksi Metanol Ket. : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom menunjukan tidak berbeda nyata (Uji Duncan α=5%). *(rata-rata ± SD). Gambar 19. Kandungan fenolik total masing-masing ekstrak Dari data hasil perhitungan, ekstrak etil asetat memiliki total fenolik yang paling tinggi yaitu 140,25 ± 1,42 mg GAE/g. Artinya, dalam setiap gram ekstrak etil asetat setara dengan 140,25 mg asam galat. Ekstrak metanol memiliki total fenolik sebesar 94,45 ± 0,42 mg GAE/g, ekstrak air memiliki total fenolik sebesar 82,23 ± 0,12 mg GAE/g. Sedangkan n-heksan memiliki total fenolik yang paling sedikit yaitu 2,27 ± 0,03 mg GAE /g. Hasil analisis kandungan fenolik total pada Lampiran 3. Pengujian statistik dengan menggunakan anova satu jalur dilakukan untuk melihat perbedaan kandungan fenolik total dari setiap ekstrak. Dari hasil analisis data (Lampiran 6) didapatkan bahwa nilai probabilitas (Sig. 0,05), menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata pada α = 0,05, taraf kepercayaan 95%. Hasil uji lanjut Duncan terhadap total fenol masing-masing ekstrak terlihat pada Tabel 5. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa ekstrak etil asetat
48 memberikan perbedaan yang nyata terhadap ekstrak metanol, ekstrak air dan ekstrak n-heksan. Perbedaan yang nyata yang dimaksud adalah kadar kandungan fenolik total. Urutan kandungan fenolik total dalam ekstrak secara berturut-turut adalah fraksi etil asetat > ekstrak metanol > fraksi air > fraksi n-heksan. Kelarutan senyawa fenolik bergantung pada pelarut yang digunakan. Komponen polifenol memiliki spektrum yang luas dengan sifat kelarutan yang berbeda-beda (Nur dan Astawan, 2011). Hal inilah yang menyebabkan sulitnya prosedur ekstraksi yang cocok untuk mengekstrak fenolik pada tanaman (Naczk dan Shahidi, 2004). Tingginya total polifenol pada pelarut etil asetat diduga adanya golongan polifenol yang memiliki berat molekul yang sama dengan pelarut etil asetat seperti tanin dan flavanol (Nu r dan Astawan, 2011). Rohman, dkk (2006) melaporkan bahwa pelarut etil asetat sangat cocok untuk mengekstraksi senyawa fenolik, sehingga pelarut etil asetat digunakan untuk mengekstraksi senyawa fenolik yang terdapat dalam buah mengkudu (Morinda citrifolia L.). Rahman dkk, (2012) juga melaporkan bahwa kandungan fenolik total yang terdapat di dalam ekstrak etil asetat Indian Plum (Flacourtia jangomas L.) lebih besar dibandingkan dengan ekstrak metanol dan kloroform. Perbedaan total fenolik pada masing-masing ekstrak dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan saat ekstraksi (Jang dkk., 2007). Ekstrak metanol memiliki kandungan fenolik total lebih kecil dibanding dengan ekstrak etil asetat. Hal ini disebabkan senyawa fenolik yang terdapat di dalam ekstrak metanol masih berhubungan dengan biomolekul (protein, polisakarida, terpen, klor ofil, lemak dan komponen organik lainnya) dan harus menggunakan pelarut yang cocok
49 untuk mengekstrak komponen-komponen tersebut (Koffi dkk., 2010). Sementara Fraksi n-heksan memiliki kandungan fenolik total yang paling rendah di antara semua fraksi. Hal ini dikarenakan senyawa nonpolar seperti lemak, lilin, dan minyak terlarut dalam pelarut n-heksan (Nurdyana dkk., 2012). Senyawa-senyawa tersebut bukan merupakan golongan fenolik. Senyawa fenolik yang mempunyai gugus fungsi hidroksil yang banyak atau dalam kondisi bebas akan menghasilkan kandungan fenolik total yang tinggi pada ekstrak (Ukieyanna dkk., 2012). Pada penelitian ini kandungan fenolik total dari rambut jagung terfokus pada fraksi etil asetat yaitu 140,25 ± 1,42 (mg GAE/g ekstrak). Kandungan fenolik rambut jagung di daerah Gorontalo ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan fenolik yang terdapat dalam rambut jagung dari Iran dan Malaysia. Rambut jagung Iran memiliki kandungan fenolik total sebesar 118,95 ± 2,78 (mg GAE/g sampel) pada ekstrak etanol (Ebrahimzadeh dkk, 2008). Sementara kandungan fenolik total pada rambut jagung Malaysia sebesar 101,99 (mg GAE/g sampel) pada ekstrak metanol. Kandungan fenolik total pada suatu tanaman sering dihubungkan dengan aktivitasnya sebagai antioksidan. Kandungan fenolik total yang tinggi diharapkan dapat memberikan aktivitas antioksidan yang lebih baik. 4.7 Uji Aktivitas Antioksidan dengan menggunakan metode DPPH Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron ( elektron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal (Winarsi, 2007). Pengukuran aktivitas antioksidan di dalam sampel dapat
50 dilakukan dengan metode DPPH atau dengan perendaman radikal bebas 1,1- diphenil-2-pikrihidrazil. Metode DPPH merupakan metode yang sederhana, mudah untuk penapisan aktivitas penangkapan radikal beberapa senyawa, efektif dan praktis (Molyneux, 2003). Aktivitas diukur dengan menghitung jumlah pengurangan intensitas cahaya ungu DPPH yang sebanding dengan pengurangan konsentrasi DPPH. Perendaman tersebut dihasilkan oleh bereaksinya molekul difenil pikri hirazil dengan atom hidrogen yang dilepaskan oleh molekul komponen sampel sehingga terbentuk senyawa difenil pikril hidrazin dan menyebabkan terjadinya peluruhan warna DPPH dari ungu menjadi kuning (Zuhra dkk., 2008). Dalam penelitian ini, uji aktivitas antioksidan menggunakan asam askorbat (vitamin C) untuk membuat kurva standar. Sehingga satuan pengukuran dinyatakan sebagai AEAC ( Ascorbic Acid Equivalent Antioxidant Capacity). Kurva standar asam askorbat serta perhitung aktivitas antioksidan dapat dilihat pada Lampiran 4. Kurva standar asam askorbat dibuat untuk mendapatkan persamaan regresi linier yang akan digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan (mg AEAC/g sampel). Perhitungan aktivitas antioksidan dapat dilihat pada Lampiran 4. Aktivitas antioksidan masing-masing ekstrak rambut jagung yang dinyatakan dalam AEAC terlihat pada Gambar 20.
51 Aktivitas antioksidan (mg AEAC/g) 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 29,81 ± 0,66 b 24,62 ± 0,3 c Ket. : nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom menunjukan tidak berbeda nyata (Uji Duncan α=5%). *(Rata-rata ± SD). Gambar 20. Nilai AEAC pada masing-masing ekstrak Aktivitas antioksidan yang paling tinggi terdapat dalam fraksi etil asetat yaitu sebesar 47,57 ± 0,769 (mg AEAC/g). Artinya adalah 1 gram ekstrak kering setara dengan 47,75 mg vitamin C. Ekstrak metanol memiliki aktivitas antioksidan 46,44 ± 0,023 (mg AEAC/g), fraksi air 29,81 ± 0,66 (mg AEAC/g), sedangkan aktivitas antioksidan yang paling rendah yaitu pada ekstrak n-heksan sebesar 24,62 ± 0,297 (mg AEAC/g). 47,57 ± 0,77 a 46,44 ± 0,02 a A B C D A=Fraksi air B=Fraksi n-heksan C=Fraksi etil asetat D=Fraksi Metanol Hasil uji statistik menggunakan anova satu jalur (Lampiran 7), mendapatkan bahwa ada perbedaan yang signifikan (berarti) antara besar aktivitas antioksidan masing-masing fraksi, nilai probabilitas (Sig. 0,05). Untuk melihat perbedaan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Berdasarkan hasil analisis tidak terdapat perbedaan yang nyata antara fraksi etil asetat dengan ekstrak metanol, sedangkan antara ekstrak metanol dengan fraksi n-heksan dan fraksi air terdapat perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan yang dimaksud adalah aktivitas antioksidan. Urutan
52 aktivitas antioksidan secara berturut-turut adalah fraksi etil asetat = ekstrak metanol > fraksi air > fraksi n-heksan. Tingginya aktivitas antioksidan pada fraksi etil asetat diduga bahwa dalam fraksi etil asetat banyak mengandung senyawa antioksidan. Salah satu senyawa antioksidan yang paling berpengaruh adalah senyawa fenolik (Nur dan Astawan, 2011). Seperti diketahui sebelumnya bahwa fraksi etil asetat memiliki kandungan fenolik total yang tertinggi di antara semua fraksi sehingga hal tersebut menunjukan bahwa terdapat hubungan positif antara kandungan fenolik total dan aktivitas antioksidan. Komponen fenolik seperti flavonoid, asam fenolik atau ditermen fenolik adalah senyawa-senyawa dominan yang berpotensi sebagai antioksidan (Kiselova dkk., 2006). Pengujian aktivitas antioksidan dengan menggunakan parameter IC 50 dilakukan untuk memperkuat dugaan adanya aktivitas antioksidan dari rambut jagung yang tumbuh di daerah Gorontalo. Persen inhibisi pada peredaman radikal bebas merupakan kemampuan suatu bahan dalam menghambat radikal bebas yang berhubungan dengan konsentrasi bahan yang diuji, sedangkan IC 50 merupakan parameter yang sering digunakan dalam menyatakan hasil dari pengujian DPPH. Nilai IC 50 dapat didefinisikan sebagai besarnya konsentrasi yang dapat menghambat aktivitas radikal bebas, yaitu menghambat aktivitas radikal bebas DPPH sebanyak 50%. Nilai IC 50 yang semakin kecil menunjukan aktivitas antioksidan pada bahan yang diuji semakin besar (Molyneux, 2003 ). Nilai IC 50 pada masing-masing ekstrak disajikan dalam Gambar 21.
53 300 250 269,63 IC50 (ppm) 200 150 100 50 159,85 131,2 147,1 A=Fraksi air B=Fraksi n-heksan C=Fraksi etil asetat D=Fraksi Metanol 0 A B C D Gambar 21. Nilai IC 50 pada masing-masing ekstrak Dari data hasil perhitungan persen inhibisi pada masing-masing ekstrak (Lampiran 5), diketahui bahwa fraksi etil asetat memberikan penghambatan paling besar yang ditandai dengan IC 50 yang paling kecil di antara semua fraksi. Fraksi etil asetat memberikan penghambatan sebesar 131,2 ppm, ekstrak metanol memberikan penghambatan sebesar 147,1 ppm dan fraksi air memberikan penghambatan sebesar 159,85 ppm. Ketiga ekstrak tersebut tergolong antioksidan sedang, sementara untuk fraksi n-heksan tergolong lemah dengan memberikan kontribusi penghambatan sebesar 269,3 ppm. Menurut Jun dkk, (2003) tingkat kekuatan antioksidan adalah kuat (IC 50 <50 ppm), aktif (IC 50 50-100 ppm), sedang (IC 50 101-250 ppm), Lemah (IC 50 250-500 ppm), dan tidak aktif (IC 50 >500 ppm). Senyawa kimia yang mempunyai aktivitas antioksidan terekstrak pada pelarut metanol dan etil asetat. Kemungkinan besar senyawa kimia tersebut adalah golongan flavonoid, terpenoid, saponin, dan fenol hidrokuinon. Seperti diketahui, senyawa-senyawa tersebut positif kuat pada kedua ekstrak tersebut melalui uji fitokimia (Tabel 4).
54 Penelitian terhadap aktivitas antioksidan dari rambut jagung telah dilaporkan oleh Nurhanan dan Rosli ( 2012). Rambut jagung yang telah diteliti adalah rambut jagung muda yang tumbuh di daerah Malaysia. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa aktivitas antioksidan rambut jagung Malaysia tergolong sedang. Persen inhibisi ekstrak metanol rambut jagung yang berasal dari Malaysia yaitu 140,89 ppm lebih kecil jika dibandingkan dengan ekstrak metanol rambut jagung yang berasal dari Gorontalo yaitu 147,1 ppm. Namun, dari segi aktivitasnya keduanya masih tergolong sedang. Hal ini menunjukan bahwa kualitas antioksidan rambut jagung yang berasal dari Gorontalo bisa menyamai kualitas rambut jagung yang berasal dari Malaysia. 4.8 Hubungan Kandungan Fenolik Total terhadap Aktivitas Antioksidan Hubungan antara kandungan fenolik total (mg GAE/g sampel) total terhadap aktivitas antioksidan (IC 50 ) berdasarkan beberapa penelitian mempunyai korelasi yang sangat kuat. Beberapa penelitian tersebut di antaranya adalah: 1) Hadriyono dkk, (2011) melaporkan kandungan fenolik total pada buah magis memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap aktivitas antioksidan dengan nilai korelasi sebesar 84%; 2) Angkasa dan Suleman (2012) melaporkan nilai korelasi antara kandungan polifenol dan aktivitas antioksidan adalah 99% pada tumbuhan daun hantap; dan 3) Ukieyanna dkk, (2012) menegaskan bahwa kandungan fenolik total memberikan kontribusi sebesar 77% terhadap aktivitas antioksidan pada tumbuhan suruhan. Hubungan kandungan fenolik total terhadap aktivitas antioksidan pada penelitian ini di tunjukan pada gambar di bawah ini.
55 Aktivitas Antioksidan (IC 50 ) 300,00 250,00 200,00 150,00 100,00 50,00 Gambar 22. Hubungan kandungan fenolik total terhadap aktivitas antioksidan IC 50. Berdasarkan analisis data tersebut diketahui bahwa hubungan antara kandungan fenolik total (x) terhadap IC 50 (y) sangat kuat, dan berkorelasi negatif. Nilai IC 50 yang semakin kecil menunjukan aktivitas antioksidan semakin besar. Kandungan fenolik total memberikan kontribusi sebesar 93% terhadap aktivitas antioksidan. Sisanya sebesar 7% ditentukan oleh variabel lain yang tidak diketahui. Kemungkinan besar 7% tersebut merupakan sumbangan dari senyawa lain yang bukan termasuk dalam golongan senyawa fenolik namun memiliki aktivitas antioksidan. Di antara senyawa-senyawa tersebut adalah triterpenoid, betakaroten, kartenoid dan vitamin di mana senyawa-senyawa tersebut diketahui terdapat pada rambut jagung. y = -1,055x + 261,14 R² = 0,9274 0,00 0,00 50,00 100,00 150,00 Kandungan Fenolik Total (mg GAE/g) Senyawa golongan fenolik dan flavonoid dapat memberikan penghambatan terhadap radikal bebas dengan cara mendonorkan atom hidrogen ke senyawa radikal tersebut. Sedangkan radikal oksidan yang terbentuk dari hasil reaksi tersebut cenderung lebih stabil dibandingkan dengan senyawa radikal bebas yang
56 lain (Winarsi, 2007). Kestabilan senyawa radikal oksidan tersebut disebabkan oleh strukturnya yang dapat mengalami resonansi. H + R + RH Fenol Radikal bebas Radikal fenol Struktur resonansi radikal bebas fenol Gambar 23. Peredaman radikal bebas oleh senyawa fenol Semakin banyak gugus hidroksil (-H) dari suatu senyawa antioksidan akan menaikkan aktivitasnya sebagai antioksidan (Kusuma dan Andrawulan, 2012). Senyawa golongan fenolik dan flavonoid memiliki lebih dari satu gugus hidroksil (polihidroksil) sehingga sangat baik dalam menetralkan suatu radikal bebas. Kemampuan senyawa flavonoid yang memiliki lebih dari satu gugus hidroksil dalam meredam radikal bebas dapat dilihat pada gambar berikut. A C B H Struktur dasar flavonoid R RH H H H R RH Peredaman radikal bebas oleh flavonoid Gambar 24. Peredaman radikal bebas oleh senyawa flavonoid (Yuhernita dan Juniarti. 2011)