BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa ( Hystrix javanica

TREMATODA PENDAHULUAN

N E M A T H E L M I N T H E S

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas


BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan

PREVALENSI INFEKSI DAN IDENTIFIKASI CACING TREMATODA HATI PADA ITIK LOKAL (ANAS SP) YANG BERASAL DARI BEBERAPA KABUPATEN DI BALI SKRIPSI

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

Assalamu alaikum Wr. Wb. Biologi Task Identification of Annelida. By : Anjar Wicitra Wening Khalikul Haqqur Rahman Taufiqurrahman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan

Annelida. lembab terletak di sebelah atas epithel columnar yang banyak mengandung sel-sel kelenjar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM

TINJAUAN PUSTAKA Fasciola gigantica Klasifikasi dan Morfologi Fasciola gigantica

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Strongyloides stercoralis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

PLATYHELMINTHES. Dugesia tigrina. A. Karakteristik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

CACING TANAH (Lumbricus terrestris)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil,

Taenia saginata dan Taenia solium

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat:

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Kampung Teras Toyib Desa Kamaruton

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Induk ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp.

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik. mengambil telur itik liar dan dieramkan dengan ayam sehingga itik yang menetas

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus)

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

Evolusi, Sistematika, Taksonomi dan Klasifikasi Avertebrata

HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Kamruton adalah salah satu bagian dari Kecamatan Lebak Wangi,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

MAKALAH BIOLOGI HEWAN VERTEBRATA DAN INVERTEBRATA. Disusun Oleh : Ira Melita Kelas : XII. IPA. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi nematoda Meloidogyne spp. adalah sebagai berikut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Biduri (Calotropis spp.) Biduri ( Calotropis spp.) merupakan tanaman yang tahan hidup pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut.

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March :22

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ciri-ciri umum cestoda usus

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang

BAB I PENDAHULUAN. berjalannya waktu. Hal ini merupakan pertanda baik khususnya untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Itik Itik ( Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat. Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild mallard. Itik tersebut dijinakkan oleh manusia hingga terbentuk itik yang dipelihara sekarang yang disebut Anas domesticus (Chavez & Lasmini, 1978). Menurut Sahara dkk. (2009), jika dibandingkan dengan unggas lainnya, itik memiliki keunggulan yaitu mampu mempertahankan produksi telur lebih lama; bila dipelihara dengan sistem pengelolaan yang sederhana sekalipun, itik masih mampu berproduksi dengan baik; umumnya tingkat morbilitas dan mortalitas rendah; itik selalu bertelur di pagi hari, dengan demikian kegiatan pengambilan telur dilakukan sekali sehari sehingga peternak dapat melakukan kegiatan lainnya; dengan pakan yang berkualitas rendah itik masih mampu bertelur; telurnya baik dijadikan untuk telur asin dan jamu. Itik Bali disebut juga itik penguin (Anas sp) sosoknya hampir sama dengan itik jawa, tetapi lehernya lebih pendek dan bagian belakang tubuhnya tidak begitu lebar. Warna bulunya lebih terang dibandingkan dengan itik Jawa. Ada tiga macam warna bulu itik Bali yang biasa ditemukan, yakni warna sumbian (menyerupai warna jerami padi), cemaning (kombinasi warna hitam dan putih), dan selem gulai (hitam seperti warna gula aren). Itik Bali ada yang mempunyai ciri khas berupa jambul pada bagian kepalanya, terdapat pada itik yang berwarna putih. Penampilan itik jambul cukup menarik, sehingga selain menjadi itik petelur, itik ini sering dimanfaatkan sebagai unggas hias. Pada umumnya, cangkang telur itik bali berwarna putih, tetapi ada pula yang berwarna kebiruan. Itik ini mulai berproduksi setelah berumur 6 bulan. Penyebaran itik ini meliputi Bali dan Lombok (Samosir, 2003; Sukmaya dkk, 2010; Udayana, 2014). 4

2.2 Sistem Pemeliharaan Itik Berdasarkan data dari Departemen Pertanian (2002), sistem pemeliharaan ternak itik secara umum dapat di kelompokkan menjadi tiga yaitu : 1. Sistem tradisional atau ekstensif, yaitu sistem pemeliharaan dimana ternak itik dilepas atau digembalakan di sawah setelah musim panen. 2. Sistem semi intensif, yaitu sistem pemeliharaan dimana ternak itik dilepas atau digembalakan pada siang hari untuk mencari makan dan ternak itik dimasukkan kembali ke dalam kandang pada sore hari. 3. Sistem intensif, yaitu sistem pemeliharaan dimana ternak itik dikandangkan secara terus menerus. Usaha peternakan itik bukan hanya sekedar sambilan akan tetapi sudah memiliki orientasi bisnis yang diarahkan dalam suatu kawasan, baik sebagai cabang usaha maupun sebagai usaha pokok, karena usaha budidaya itik cukup menguntungkan dan dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan keluarga (Apriyantono, 2011). Di Bali peternak memelihara itiknya dengan cara tradisional (ekstensif) dan semi intensif, walaupun sudah ada beberapa peternak menggunakan sistem intensif (Budaarsa dkk, 2012). 2.3 Cacing Trematoda Trematoda merupakan subfilum dari filum Platyhelminthes. Cacing ini tidak mempunyai rongga badan dan semua organ berada di dalam jaringan parenkim. Bentuk tubuh pipih dorsoventral, tidak bersegmen dan seperti daun. Cacing trematoda mempunyai dua alat penghisap, oral sucker yang berada di ujung anterior dari badan dan ventral sucker atau acetabulum berada di sepertiga pada permukaan ventral dan posisinya bervariasi (Soulsby, 1982; Levine, 1990; Gosling, 2005) Dinding luar atau tegumen cacing trematoda adalah kutikula yang kadangkadang mengandung duri atau sisik. Sistem pencernaan makanan dari cacing trematoda sangat sederhana, makanan masuk melalui mulut selanjutnya secara berurutan menuju faring, esofagus dan seka. Kebanyakan cacing trematoda tidak 5

mempunyai anus, dengan demikian sisa metabolisme makanan harus dimuntahkan (Erasmus, 1972; Levine, 1990). Sistem saraf tersusun dari serabut cincin esophageal dan pasangan ganglia, tiga pasang berada di depan dan tiga pasang lainnya berada di belakang bagian dari tubuh. Pada umumnya cacing dewasa tidak mempunyai organ perasa yang khusus. Cacing trematoda tidak mempunyai sistem peredaran darah. Sistem ekskresi tersusun dari sebuah kantong posterior, sebuah sistem percabangan dari tabung pengumpul atau saluran pengumpul yang masuk ke dalam kantong posterior, dan sebuah sistem sel-sel ekskresi yang terbuka ke dalam saluran pengumpul (Soulsby, 1982; Brotowidjojo, 1987; Levine, 1990). Sistem reproduksinya komplek, sebagian besar dari trematoda adalah hermaprodit yaitu pada setiap individu mempunyai organ reproduksi jantan dan betina. Tetapi pembuahan silang merupakan hal yang biasa, disebabkan karena testis lebih dulu berkembang daripada ovarium dan pembuahan sendiri tidak umum (Dunn, 1978; Soulsby, 1982; Levine, 1990). 2.4 Siklus Hidup Cacing Trematoda Siklus hidup cacing trematoda secara umum mengalami lima stadium antara lain : mirasidium, sporokista, redia, serkaria dan metaserkaria. Telur keluar bersama tinja dan harus mencapai air untuk berkembang lebih lanjut. Telur ini akan menetas dalam waktu sekitar 10-12 hari pada suhu 26 0 C, dan muncul mirasidium. Mirasidium ini berenang dengan aktif di dalam air hingga menjumpai siput dari famili Hydrobiidae, Bithyniidae dan Melaniidae (IARC, 1994). Mirasidium masuk ke dalam siput, melepaskan epitelnya yang bersilia, masuk ke hepatopankreas, dan berubah berbentuk seperti kantong sporokista. Di dalam sporokista terdapat bola-bola benih dan berkembang ke stadium berikutnya menjadi redia. Setiap sporokista memproduksi 5-8 redia, yang membebaskan diri dari sporokista dan berkembang mencapai panjang 1-3 mm. Redia mempunyai mulut, faring yang berotot dan sepanjang tonjolan tumpul ke lateral di tengahtengah dari pertengahan posterior tubuh. Selanjutnya redia akan tumbuh dan berkembang menghasilkan larva ketiga disebut serkaria. Serkaria akan 6

meninggalkan tubuh siput sekitar 3-7 minggu setelah infeksi, tergantung dari suhu, dan aktif berenang di dalam air. Dalam dua jam serkaria ini melepaskan ekornya dan masuk ke dalam tubuh induk semang kedua yaitu siput dan ikan air tawar, kemudian berkembang menjadi metaserkaria (Soulsby, 1982; Levine, 1990; Kaufmann, 1996). Induk semang kedua setelah ditelan oleh hospes definitif akan mengakibatkan metaserkaria pecah di dalam usus halus, berkembang lebih lanjut menjadi cacing muda. Cacing muda akan menembus dinding usus masuk ke dalam rongga peritoneum, kemudian memasuki parenkim hati dan bermigrasi di dalam hati. Akhirnya cacing muda tersebut masuk ke dalam saluran empedu dan mengalami perkembangan menjadi cacing dewasa dan memulai produksi telur sekitar 8 minggu setelah infeksi. Selama di dalam tubuh, cacing ini akan memakan jaringan hati dan darah (Erasmus, 1972; Levine, 1990). 2.5 Cacing Trematoda Hati pada Itik Amphimerus sp. Bentuk tubuh memanjang agak silinder, melebar pada bagian posterior dan meruncing pada ujung anterior; memiliki panjang 20-23 mm dan lebar 1,09-1,12 mm; ujung anterior tanpa duri; esofagus pendek; memiliki ventral sucker, bukan pada ujung posterior; tidak memiliki kantong cirrus; oral sucker sangat kecil bahkan tidak ada, acetabulum lokasinya 1/3 dari ujung anterior tubuh; testis berbentuk oval, tidak memiliki anus (McDonald, 1981). Gambar 2.1. Ilustrasi cacing Amphimerus sp. (McDonald, 1981) 7

Metorchis sp. Bentuk tubuh seperti buah pir; memiliki panjang 4,3-5,6 mm dan lebar 0,8-1,5 mm; ujung anterior tanpa duri; memiliki ventral sucker, bukan pada ujung posterior; tidak memiliki kantong cirrus; acetabulum dan oral sucker memiliki ukuran yang sama, kadang-kadang oral sucker kurang berkembang dengan baik, acetabulum terletak 1/3 dari ujung anterior; vitelaria lateral, hingga mencapai anterior ovarium; testis bentuknya berlobus-lobus dan tidak memiliki anus (McDonald, 1981). Gambar 2.2. Ilustrasi cacing Metorchis sp. (McDonald, 1981) Opisthorchis sp. Bentuk tubuh memanjang, bukan silinder; memiliki panjang 5,9-8,25 mm, lebar 0,7-2 mm; ujung anterior tanpa duri; esofagus pendek; tidak memiliki kantong cirrus; memiliki ventral sucker, bukan pada ujung posterior; acetabulum sedikit lebih besar daripada oral sucker; oral sucker ada atau kurang berkembang dengan baik, acetabulum terletak 1/3 atau 1/4 dari anterior tubuh; testis memiliki banyak cabang atau berlobus; tidak memiliki anus (McDonald, 1981). - Opisthorchis skrjabini. Bentuk tubuh memanjang, bukan silinder; memiliki panjang 5,9-8,25 mm, lebar 0,7-2 mm; ujung anterior tanpa duri; oral sucker dan acetabulum memiliki ukuran yang sama; ovarium berbentuk oval, testis memiliki banyak cabang atau berlobus; vitelaria dimulai dari sebelah anterior acetabulum, tidak mencapai ovarium (McDonald, 1981). 8

Gambar 2.3. Ilustrasi cacing Opisthorchis skrjabini (McDonald, 1981) - Opisthorchis parageminus. Bentuk tubuh memanjang, bukan silinder; memiliki panjang 5,9-8,25 mm, lebar 0,7-2 mm; ujung anterior tanpa duri; acetabulum sedikit lebih besar daripada oral sucker (diameter 235 µ dan 225µ); vitelaria dimulai dari acetabulum, sekitar 1/3 atau 1/4 dari anterior tubuh meluas hingga posterior testis; ovarium berlobus, testis bulat berlobus atau bercabang (McDonald, 1981). Gambar 2.4. Ilustrasi cacing Opisthorchis parageminus (McDonald, 1981) - Opisthorchis obsequens. Bentuk tubuh memanjang, sedikit melebar, bukan silinder; memiliki panjang 2,5-5,1 mm; ujung anterior tanpa duri; acetabulum sedikit lebih besar dari oral sucker (diameter acetabulum 260µ, oral sucker 150-210µ); vitelaria dimulai dari acetabulum, sekitar 1/3 atau 1/4 dari anterior tubuh memanjang sampai testis pertama; testis bercabang atau bulat berlobus (McDonald, 1981). Gambar 2.5. Ilustrasi cacing Opisthorchis obsequens (McDonald, 1981) 9

- Opisthorchis simulans. Bentuk tubuh memanjang, sangat ramping; memiliki panjang 7-23 mm; ujung anterior tanpa duri; acetabulum lebih kecil daripada oral sucker (diameter 200µ dan 500µ); vitelaria dimulai dari pertengahan tubuh, tepat di belakang acetabulum; testis bulat berlobus atau bercabang (McDonald, 1981). Gambar 2.6. Ilustrasi cacing Opisthorchis simulans (McDonald, 1981) - Opisthorchis longissimus. Bentuk tubuh memanjang, sangat ramping; memiliki panjang 20-24 mm, lebar 0,7-1 mm; ujung anterior tanpa duri; acetabulum sedikit lebih kecil daripada oral sucker; vitelaria dimulai dari pertengahan tubuh, tepat di belakang acetabulum; testis berdekatan di ujung posterior (McDonald, 1981). Gambar 2.7. Ilustrasi cacing Opisthorchis longissimus (McDonald, 1981) - Opisthorchis geminus. Bentuk tubuh memanjang dan ramping; memiliki panjang 7-12,5 mm, lebar 1,3-2 mm; ujung anterior tanpa duri; acetabulum sedikit lebih kecil daripada oral sucker; vitelaria dimulai dari pertengahan tubuh, tepat di belakang acetabulum; testis terpisah, kira-kira 1/5 dari posterior tubuh (McDonald, 1981). Gambar 2.8. Ilustrasi cacing Opisthorchis geminus (McDonald, 1981) 10

Bilharziella sp. Bentuk tubuh pipih, memanjang, melebar pada posterior; Jantan : memiliki panjang 2,95-4 mm, dan lebar 0,375-0,5 mm; acetabulum 500µ- 860µ dari ujung anterior; panjang esofagus 375µ-500µ. Betina : memiliki panjang 1,8-2,1 mm, dan lebar 0,25-0,89 mm; tidak memiliki saluran ginekoforus; memiliki oral sucker dan acetabulum; ceca berada pada garis tengah tubuh; umumnya tidak memiliki divertikula; ovarium memanjang (McDonald, 1981; Soulsby, 1982). Gambar 2.9. Ilustrasi cacing Bilharziella sp. (McDonald, 1981) Gymnophallus mollissima. Bentuk tubuh oval, menyerupai jamur payung dan sangat besar; panjang 1,33-1,36 mm; ujung anterior tanpa duri; memiliki ventral sucker, bukan pada ujung posterior; memiliki kantong cirrus atau tidak ada sama sekali; oral sucker lebih besar 1,5 kali daripada acetabulum; tidak memiliki genital sucker, memiliki atrium genital; ceca sangat pendek; ovarium terletak pada garis tengah tubuh, kedua vitelaria tidak beraturan (McDonald, 1981). 11

Gambar 2.10. Ilustrasi cacing Gymnophallus mollissima (McDonald, 1981) Trichobilharziella sp. Bentuk tubuh bulat memanjang; Panjang 6,1 mm; kutikula ditutupi oleh tuberkel yang kecil; memiliki oral dan ventral sucker atau tidak ada sama sekali; saluran ginekoforus hanya di bagian anterior dan telur diproduksi tunggal; vesikula seminalis diantara acetabulum dan saluran ginekoforus; testis mulai posterior hingga ke ujung seka (McDonald, 1981; Levine, 1990). Gambar 2.11. Ilustrasi cacing Trichobilharziella sp. (McDonald, 1981) 2.6 Patogenesis dan Gejala Klinis Sejak cacing muda masuk dan berkembang menjadi dewasa di hati dan saluran empedu, parasit ini dapat menyebabkan penebalan dinding saluran 12

empedu dan kerusakan epitel saluran empedu. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul odema (Isl am et al., 1988). Luasnya organ yang mengalami kerusakan tergantung pada jumlah cacing yang terdapat di saluran empedu dan lamanya infeksi. Gejala dapat dibagi menjadi 3 stadium. Pada stadium ringan tidak ditemukan gejala. Stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, penurunan berat badan, penurunan kondisi tubuh dan anemia. Pada stadium lanjut dapat menimbulkan odema dan pembesaran hati (Levine, 1990). 2.7 Kerangka Konsep Pemeliharaan itik di Bali bersifat tradisional dan semi intensif, dan ada beberapa bersifat intensif. Itik digembalakan pada siang hari ke daerah persawahan yang baru selesai panen atau aliran sungai untuk mencari makan seperti sisa-sisa hasil panen atau mencari sumber pakan lain seperti siput dan ikan air tawar. Infeksi parasit sudah menyebar secara luas di seluruh dunia. Prevalensi infeksi sangat dipengaruhi oleh faktor : parasit (cara penyebaran atau siklus hidup, daya tahan hidup, patogenitas dan imunogenitas), hospes (spesies, umur, ras, jenis kelamin, status imunitas dan status gizi) dan lingkungan (seperti musim, suhu dan tata laksana peternakan). Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling mempengaruhi infeksi parasit. Infeksi cacing trematoda pada hati itik terjadi karena termakannya hospes intermedier atau induk semang perantara. Menurut McDonald (1981), induk semang perantara pertama yaitu siput sedangkan induk semang perantara kedua adalah siput dan ikan air tawar. Apabila siput dan ikan air tawar yang mengandung serkaria dan metaserkaria cacing hati termakan oleh itik, maka itik dapat terinfeksi. 2.8 Hipotesis Terdapat perbedaan prevalensi infeksi cacing trematoda hati pada ternak itik lokal yang berasal dari beberapa kabupaten di Bali, dilihat dari faktor lingkungan terutama letak geografis dan sistem pemeliharaan. 13