MEDIA INDONESIA 22/7/03 CAPITAL FLIGHT DAN PENDIDIKAN TINGGI. Sofian Effendi 1

dokumen-dokumen yang mirip
STRATEGI PEMBIAYAAN PENDIDIKAN TINGGI

JAWA POS, 24/7/03 PT-BHMN KELUAR DARI CUL-DE-SAC

PARADIGMA SALAH TENTANG PT-BHMN

SOAL JALUR SESAT YANG MENYESATKAN

PIDATO KUNCI REKTOR PADA PEMBUKAAN SEMINAR TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (BHP) SEBAGAI PENYELENGGARA PENDIDIKAN

BAB 1 PENDAHULUAN. masih terus menjadi dambaan, ketika sosok yang sesungguhnya belum lagi

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

Strategi dan Kebijakan Investasi di Indonesia Selasa, 25 Maret 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bangsa Indonesia kini sedang dihadapkan pada persoalan-persoalan kebangsaan

Implementasi Kebijakan BOPTN dan UKT : Implikasinya Terhadap Universitas Indonesia dan Perguruan Tinggi Negeri Lainnya

BAB I PENDAHULUAN. harkat dan martabat manusia dapat ditingkatkan. Melalui pendidikan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan nasional yang hendak dicapai negara Indonesia

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang. kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

KEPUTUSAN REKTOR UNIVERSITAS GADJAH MADA NOMOR 114/P/SK/HT/2004 TENTANG TATA CARA PEMILIHAN DAN PENETAPAN DEKAN SERTA PENGANGKATAN WAKIL DEKAN

PENDIDIKAN GRATIS DUNIA KETIGA, KENAPA TIDAK? Peringatan 54 tahun Universitas Gajah Mada (UGM) Jumat, 19 Desember 2003 diwarnai aksi

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Di era globalisasi perdagangan diseluruh dunia, dimana siklus perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Saat ini profesi Akuntan Publik di Indonesia telah mengalami

PENDAHULUAN. bangsa agar salah satu tujuan Negara Indonesia tercapai. Berdasarkan visi dalam

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Biaya Kuliah Tunggal. oleh Ali Zainal Abidin (Staf Kajian BK MWA UI UM 2016)

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

Banyak Akademisi Indonesia Dimanfaatkan Malaysia

BAB I PENDAHULUAN. dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata

Selain menawarkan kuliah di perguruan tinggi terkemuka di Singapura, siswa-siswa brilian juga dijanjikan fasilitas yang menggiurkan.

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini banyak menjadi sorotan publik

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu negara seperti Indonesia. Belanja Pemerintah tersebut dipenuhi

Kajian Kebijakan Privatisasi Pendidikan dan Kebijakan Relevansinya Dengan Ketimpangan

KATA PENGANTAR. Terima kasih. Tim Penyusun. Penyusunan Outlook Pembangunan dan Indeks Daya Saing Infrastruktur

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Penerimaan Dalam Negeri, (dalam miliar rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

MENINGKATKAN EFEKTIFITAS STRATEGI, KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN

BAB I PENDAHULUAN. tinggi (suprime mortgage) di AS secara tiba-tiba berkembang menjadi krisis

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

Program Beasiswa Unggulan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pariwisata sampai saat ini merupakan motor penggerak ekonomi di Bali.

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan nasional

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

I. PENDAHULUAN. Penetapan Peraturan kepala daerah telah diatur dalam Undang-Undang Republik

Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum.

CATATAN DISKUSI: STRATEGI PEMBIAYAAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PEMERINTAHAN SBY-KALLA* Oleh: Piter Abdullah**

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

2014, No.16 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi adalah pengaturan

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan pinjaman luar negeri merupakan sesuatu yang wajar untuk negaranegara

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan yang diharapkan itu adalah kemajuan yang merata antarsatu

16 Maret Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari peforma pembangunan infrastrukturnya. Maka dari itu, perbaikan

KAJIAN PENGELUARAN PUBLIK INDONESIA: KASUS SEKTOR PENDIDIKAN

BAB V PEMBIAYAAN PENDIDIKAN TAMAN KANAK-KANAK DAN SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia memiliki bermacam-macam ketentuan pajak untuk para

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI DAN PENGELOLAAN PERGURUAN TINGGI

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PRESIDEN SBY, MAN OF THE YEAR 2006 BIDANG POLITIK

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terhadap lesunya perekonomian global, khususnya negara-negara dunia yang dilanda

CATATAN ATAS PRIORITAS PENDIDIKAN DALAM RKP 2013

ANALISIS UNDANG-UNDANG SISDIKNAS NOMOR 20 TAHUN Oleh. I Kadek Arta Jaya, S.Ag.,M.Pd.H

BAB I PENDAHULUAN. dalam Todaro dan Smith (2003:91-92) pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI DAN PENGELOLAAN PERGURUAN TINGGI

PROGRAM PRIORITAS PADA JENJANG PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sambutan Rektor ITB pada Wisuda Lulusan ITB MEMANTAPKAN AKUNTABILITAS DAN MUTU ITB

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Inti dari adanya MEA adalah untuk

Kenaikan Biaya Pendidikan Universitas Indonesia Tahun 2016

Pembiayaan Pendidikan Perspektif PP 48 Tahun 2008 dengan Perpres 87 Tahun Bahan Kajian

BAB 1 PENDAHULUAN. Dunia Perpajakan di Indonesia sedang mengalami suatu proses transformasi format

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Penanaman modal langsung baik melalui penanaman modal asing maupun

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

BAB I PENDAHULUAN. Self assessment system ini baru akan berhasil dengan baik apabila syaratsyarat diatas dapat dipenuhi.

BAB I PENDAHULUAN. oleh Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS). Namun demikian kemajuan

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

BAB I PENDAHULUAN. adanya perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

Oleh: Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB IV RUANG LINGKUP NASKAH AKADEMIK. c. Unsur yuridis. Belum ada peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai pendidikan kedokteran.

BAB I PENGANTAR. Gejolak krisis ekonomi yang dialami Amerika Serikat dan beberapa negara

BAB I PENDAHULUAN. Pajak menjadi bagian yang sangat penting bagi kelangsungan negara

SAMBUTAN KETUA SENAT AKADEMIK ITB Dies Natalis ke-56 Aula Barat Institut Teknologi Bandung, Senin 2 Maret 2015

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

BAB I PENDAHULUAN. dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia. Hal ini dikarenakan pajak telah memberikan kontribusi terbesar bagi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RAPAT EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM KERJA DEPARTEMEN PENDIDIKAN Rabu, 06 Pebruari 2008

Transkripsi:

MEDIA INDONESIA 22/7/03 CAPITAL FLIGHT DAN PENDIDIKAN TINGGI Sofian Effendi 1 Selama hampir dua bulan PTN, khususnya yang telah berstatus PT-BHMN, mendapat sorotan tajam dari masyarakat gara-gara melakukan upaya optimalisasi daya tampung mereka. Oleh media kemudian upaya tersebut dipopulerkan sebagai jalur khusus. Lalu ada suara-suara yang menganalogikan jalan khusus itu dengan jalan tol. Menurut saya, analogi tersebut kurang tepat karena yang disebut jalur khusus yang dilakukan oleh PTN, paling tidak di UGM, adalah penerimaan calon mahasiswa tanpa test bagi para finalis olimpiade ilmu pengetahuan, juara nasional LPIR dan LKIR. Juga termasuk didalamnya upaya untuk mempertahankan UGM sebagai PT nasional melalui penjaringan bakat unggul daerah (PBUD), penjaringan bakat unggul kemitraan (PBUK), dan penjaringan bakat unggul atlet daerah (PBAD). Selain itu ada upaya memanfaatkan daya tampung yang tidak terpakai, yang dikenal sebagai Program Swadaya. Pada semua PTN, setiap tahun ada sekitar 10-15 persen calon yang lulus ujian masuk tetapi tidak mendaftar kembali karena berbagai alasan. Di UGM, misalnya, selama bertahun-tahun ada sekitar 15 persen calon tidak mendaftar karena lebih memilih jurusan atau PT lain yang dipandang lebih sesuai dengan bidang pilihan calon. Tahun lalu misalnya, sekitar 690 calon mahasiswa tidak jadi mendaftar dan tempat mereka tidak diisi oleh calon lain karena berbagai pertimbangan. Kalau daya tampung yang nganggur ini tidak dimanfaatkan, negara sebenarnya rugi karena biaya yang dikeluarkan Pemerintah tetap sama, tanpa mempersoalkan apakah PTN bekerja dengan daya tampung penuh atau daya tampung 90 persen. Mungkin karena pertimbangan ini pula Dirjen Pendidikan Tinggi sering mengingatkan pimpinan PTN untuk terus meningkatkan efisiensi internal di perguruan masing-masing. Sebagai PT-BHMN yang telah mendapatkan kewenangan mengelola diri sendiri, UGM pada tahun akademik 2003 berusaha mengoptimalkan daya tampungnya menjadi 100 persen dengan prinsip biaya pendidikan sepenuhnya ditanggung oleh masyarakat. Karena itu disebut Program Swadaya. 1 Guru Besar Kebijakan Publik dan Rektor Universitas Gadjah Mada.

Masyarakat mungkin belum memahami bahwa biaya pendidikan berbeda dari SPP dan BOP. Di universitas kerakyatan ini biaya pendidikan untuk mendidik seorang mahasiswa Program S-1 adalah rata-rata Rp. 11 juta per tahun. SPP dan BOP sejak tahun 2002 ditetapkan Rp. 2 juta untuk fakultas-fakultas non-eksakta dan Rp. 2,250 juta untuk fakultas-fakultas eksakta. Mahasiswa angkatan 2001 ke bawah lebih rendah SPP nya, sehingga uang kuliah rata-rata di universitas kerakyatan ini sekitar Rp. 1 juta setahun. Artinya, subsidi dari Pemerintah dan Universitas sekitar 91 persen. Menghadapi gencarnya pemberitaan tentang komersialisasi PT, seharusnya masyarakat tidak perlu khawatir. Juga terhadap upaya PTN untuk mengoptimalkan daya tampung. Kalau optimalisasi itu dilakukan secara wajar dan PTN tidak melakukan dagang kursi tindakan mereka seharusnya tidak perlu meresahkan masyarakat. Masalah pendidikan tinggi yang paling menghawatirkan dan karenanya perlu mendapat perhatian dari semua fihak pada para saat ini bukan optimalisasi kapasitas yang dihebohkan media sebagai jalur khusus. Persoalan utama kita adalah kesenjangan mutu yang semakin melebar antara PT Indonesia dengan PT luar negeri, akibat political will Pemerintah dan prioritas pembiayaan yang amat rendah. Kalau pemerintah tidak mengambil langkah konkret untuk meningkatkan mutu sejak sekarang, lebih banyak orang tua yang mendambakan hari depan yang cerah bagi anak-anaknya, akan mengirimkan mereka ke PT luar negeri yang sudah barang tentu lebih mampu memberikan pendidikan bermutu tinggi. Gejala ini sudah berjalan hampir selama satu dekade dan cenderung semakin meningkat, Akibatnya, national resources yang harusnya dapat digunakan untuk membiayai peningkatan mutu perguruan tinggi dalam negeri telah dikuras untuk membiayai pendidikan tinggi di negara Australia, Amerika Serikat dan negara-negara Eropah. Masalah ini sempat menjadi renungan dalam Tajuk surat kabar Kompas edisi 17 Juni. Flight dana pendidikan Banyak orang telah mengetahui kalau krisis ekonomi pada akhir dan pasca Pemerintahan Orde Baru telah menyebabkan capital flight atau pelarian modal besarbesaran ke luar negeri. Tetapi, mungkin belum banyak yang menyadari bahwa dalam 2

pendidikan tinggi telah terjadi capital flight yang besar, dalam bentuk investasi orang tua untuk membiayai pendidikan anak mereka di universitas LN. Menurut taksiran Australian Educational Services, pada tahun 2000, sebanyak 17.000 orang pelajar dan mahasiswa asal Indonesia menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan tinggi kejuruan mau pun umum di Negeri Kangguru tersebut. Para orang tua mereka rela membelanjakan Aus $ 410 juta atau sekitar Rp. 2,4 trilyun per tahun demi putera-puteri agar mengenyam pendidikan berkualitas. Bila dimasukkan lembaga pendidikan di berbagai Negara di Eropah dan Benua Amerika, ada sekitar 60.000 pelajar dan mahasiswa asal Indonesia yang sedang menuntut ilmu di sana. FLIGHT DANA PENDIDIKAN Major Sector No. of Students Fees Goods & services Total Higher Education Onshore 9,283 $ 124 m $ 118 m $ 242 m Vocational Education 3,764 $ 40 m $ 46 m $ 86 m School Education 2,079 $ 20 m $ 23 m $ 43 m ELICOS 2,305 $ 22 m $ 18 m $ 40 m Total 17,431 $ 205 m $ 205 m $ 410 m Sumber: Australian Education Service. Berapa besar modal pembangunan sumber daya manusia yang mengalir keluar negeri untuk membiayai para pelajar dan mahasiswa yang mendambakan pendidikan tinggi berkualitas di luar negeri? Ternyata cukup besar, lebih dari Rp. 10 trilyun. Padahal di APBN 2003, anggaran untuk pendidikan tinggi tahun 2002 hanya Rp. 4,3 trilyun. Dengan kata lain, dana yang dikeluarkan oleh orang tua berada agar putra-putreri tercinta mendapat pendidikan tinggi bermutu, hampir 0,7 persen dari PDB Indonesia. Jumlah ini hampir sama dengan anggaran untuk pemerintah untuk pendidikan, yang hanya mencapai 0,8 persen dari PDB pada 2002. Kalau partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan di dalam negeri setiap tahun sama besarnya dengan pengeluaran Pemerintah, maka capital flight dana nasional keluar negeri mencapai sepertiga dari total pengeluaran nasional untuk pendidikan. 3

Masalahnya tidak hanya sampai disitu. Lembaga pendidikan LN, biasanya mengenakan uang kuliah yang lebih tinggi pada mahasiswa asing, yang jumlahnya sekitar 2 sampai 3 kali lebih tinggi dari biaya untuk warganegara. Tanpa disadari, bangsa Indonesia secara tidak langsung telah memberikan subsidi kepada negara yang lebih kaya melalui pendidikan tinggi. Kesenjangan mutu Sudah barang tentu kita tidak boleh menuduh orang tua berpunya kurang nasionalis dalam pendidikan. Mereka rela mengeluarkan dana besar karena berharap anak-anak mereka mendapatkan pendidikan menengah dan tinggi berkualitas tinggi di LN. Memang harus diakui, kualitas pendidikan tinggi di mancanegara memang berada di atas lembaga pendidikan nasional. Di kawasan Asia misalnya, mutu PT Indonesia berada pada peringkat 15 persen terendah dari 77 PT. Di tingkat Asean pun tidak berbeda. PT nasional kita hanya mampu mencapai ranking 11, di bawah National University of Singapore, University of Malaysia dan Chulalongkorn University. Perguruan tinggi di negara tetangga mampu mencapai mutu lebih tinggi karena pimpinan bangsa tersebut memberikan prioritas tinggi pada bidang pendidikan. Mereka sadar betul kalau gelombang globalisasi dan revolusi iptek yang sedang melanda kawasan ini harus dihadapi dengan mempersiapkan sumber daya manusia nasional yang semakin terdidik. Para pemimpin bangsa Malaysia, Muangthai dan Singapura rupanya sadar betul betapa penting nilai pendidikan bagi masa depan dan survival dari bangsa itu. Kiranya, komitmen seperti itu lah yang sedang ditunggu dunia pendidikan dari para pemimpin bangsa Indonesia. Prof. Solow dalam tulisannya Constructing Knowledge Societies: New Challenges for Tertiary Education, telah memperingatkan kita: neglecting and providing inadequate support to higher education would cost the nation dearly in terms of its nation s competitiveness. Ternyata dukungan untuk pendidikan tinggi di Indonesia bukan saja terlalu rendah, bahkan dibandingkan dengan Vietnam, tetapi juga semakin lama semakin kecil. Pada 1980, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan hanya 1,2 persen dari PDB, turun jadi 1,0 pada 1990, dan pada 2000 turun lagi menjadi 0,8 persen. 4

Pada 2003, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan tinggi hanya Rp. 13 trilyun, hanya sekitar 7 persen dari APBN atau 0,8 persen dari PDB. Pada kurun waktu yang sama, negara jiran Malaysia, menyediakan anggaran yang lebih besar, 5,2 persen dari PDB pada 1980, kemudian meningkat menjadi 5,5 persen pada 1990 dan 5,8 persen pada 2000. Amanat UU Sisdiknas agar Pemerintah meningkatkan pengeluaran buat pendidikan menjadi 20 persen dari APBN, lebih kurang 5 persen dari PDB seperti di Malaysia atau sekitar Rp. 80 trilyun, nampaknya tidak mungkin dilaksanakan dalam waktu dekat. Karena itu perlu terobosan kebijakan untuk memperbaiki mutu akademik dan pemerataan akses pendidikan tinggi. Selama ini kita belum memanfaatkan potensi pembiayaan dari masyarakat dalam bentuk sumbangan untuk pendidikan. Kiranya Pemerintah perlu mengadakan kebijakan tax deduction bagi individu dan perusahaan yang secara sukarela memberikan sumbangan untuk Endowment Fund di lembaga penyelenggara pendidikan. Sayangnya, UU Sisdiknas, UU Keuangan mau pun UU Perpajakan belum menyentuh sama sekali mobilisasi dana masyarakat tersebut guna mempercepat transformasi sistem pendidikan nasional. Tgampaknya wacana yang berkemb ang di masyarakat belum menukik sampai ke substantive problem yang sedang dihadapi oleh dunia pendidikan nasional umumnya dan dunia pendidikan tinggi khususnya. Perbincangan yang rama baru mampu menyentuh isu kulit pendidikan tinggi seperti jalur khusus, komersialisasi, privatisasi, dan MacDonaldisasi. Bukan isu substantive seperti rendahnya mutu dan relevansi, ketimpangan akses pendidikan tinggi, serta factor penyebabnya. Yogyakarta, 6 Juli 2003 5