{mosimage} Febrianti Abassuni, Jubir Muslimah HTI Bila dibanding dengan UU yang lama jelas UU Kesehatan ini patut diapresiasi karena menjadikan norma agama sebagai asas penyelenggaraan kesehatan sehingga tidak dibolehkan adanya pelanggaran terhadap ajaran agama dalam penyelenggaraan kesehatan. Benarkah demikian? Atau ini hanya pasal-pasal tidak bergigi? Karena mencampuradukan antara yang haq dan bathil, seperti lazimnya produk demokrasi lainnya? Untuk membahasnya, Wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo mewawancarai Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Febrianti Abassuni. Berikut petikannya. Bagaimana tanggapan Anda dengan UU Kesehatan yang disahkan DPR 14 September lalu? Di satu sisi kita harus mengapresiasi UU Kesehatan yang baru ini antara lain karena: Pertama, UU ini menjadikan norma agama sebagai asas penyelenggaraan kesehatan sehingga tidak dibolehkan adanya pelanggaran terhadap ajaran agama dalam penyelenggaraan kesehatan. Kedua, UU ini lebih baik dari UU Kesehatan yang lama karena sudah menggunakan paradigma sehat di dalam penyelenggaraan kesehatan. Kalau dengan UU yang lama pemerintah dan masyarakat didorong untuk lebih memperhatikan bagaimana menyembuhkan orang yang sakit saja, UU yang baru ini mengarahkan pemerintah dan masyarakat untuk menyelenggarakan kesehatan secara lebih komprehensif: baik secara promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Ketiga, UU ini memposisikan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat. Jadi posisi pemerintah tidak hanya sekadar regulator, tapi juga sebagai penyelenggara upaya kesehatan (Pasal 17). Ini sesuai dengan hadist riwayat Bukhari dan Muslim: Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawban terhadap rakyatnya 1 / 5
Keempat, UU ini juga memuat pasal-pasal yang mengatur perlindungan terhadap masyarakat yang sebelumnya belum dilindungi undang-undang. Misalnya hak pasien mendapatkan informasi dan edukasi, menerima atau menolak tindakan medis setelah mendapatkan penjelasan dari tenaga kesehatan, hak untuk menggugat apabila ada tindakan medis yang merugikan dirinya, juga hak akan kerahasiaan kondisi kesehatannya. Apakah benar UU Kesehatan memberi legitimasi seks bebas, pelacuran, homoseks, dan aborsi? Kita tahu memang ada upaya untuk mengarahkan ke sana dalam prosesnya, tapi Alhamdulillah kalau kita pelajari UU yang disahkan, kita akan lihat bahwa tidak benar ada legitimasi seks bebas, pelacuran, homoseks, dan aborsi. Kita bisa lihat lengkapnya dalam bab X tentang Kesehatan Reproduksi dan di bab XVII tentang ketentuan pidana. Apakah Anda setuju pasal-pasal mengenai aborsi sebagaimana yang tercantum dalam UU? Saya setuju bahwa aborsi harus dilarang sebagaimana dalam pasal 84 karena aborsi adalah bentuk pembunuhan (QS Al an Aam :151). Karenanya pelakunya harusnya dikenakan sanksi berupa qishas atau diyat sesuai hukum pidana Islam. Saya juga tidak setuju aborsi dibolehkan dengan alasan korban perkosaan dan indikasi kedaruratan medis dalam hal janin menderita penyakit genetik, berat dan/atau cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki. Saya setuju dengan pendapat bahwa aborsi dibolehkan dengan alasan apa pun apabila dilakukan sebelum 40 hari usia kehamilan karena pada masa itu yang ada baru segumpal darah yang belum dikatakan sebagai janin dan belum diharuskan ada diyat apabila ada ketidaksengajaan yang menyebabkan gugurnya janin tersebut. Selain itu, aborsi boleh dilakukan setelah usia kehamilan 40 hari hanya apabila menurut ahli kehamilan membahayakan jiwa ibu dan berarti juga membahayakan jiwa janin. Dengan dua ketentuan ini masalah yang timbul karena pemerkosaan dan cacat genetik juga dapat diatasi, tanpa perlu melanggar ketentuan dalam Alquran dan Hadist. 2 / 5
Saya mengerti bahwa ada perbedaan pendapat mengenai pengecualian kebolehan aborsi. Yang tidak benar dalam hal ini adalah proses pengambilan keputusannya. Syariah Islam mengajarkan ketentuan pengambilan keputusan dalam musyawarah sebagai berikut: apabila menyangkut perkara yang menyangkut hukum berdasarkan Alquran dan Hadist maka harus diputuskan berdasarkan dalil/argument terkuat. Apabila menyangkut perkara berdasarkan ilmu tertentu maka harus diputuskan berdasarkan pendapat ahlinya. Dan apabila menyangkut pelaksanaan teknis yang tidak terkait hukum atau ilmu tertentu, maka diputuskan berdasarkan suara terbanyak. Dalam pasal-pasal yang menyangkut aborsi ini, kita berhadapan dengan perkara hukum yang digali dari Alquran dan Hadist, karenanya tidak benar mengambil keputusan berdasarkan kompromi sebagaimana yang terjadi di DPR kemarin. Harusnya pengambilan keputusannya berdasarkan dalil/argumen pemahaman Alquran dan Hadist terkuat menurut orang yang berwenang mengambil keputusan. Anda menyebutkan masih ada ketidaksesuaian UU Kesehatan dengan syariah, yang mana yang dimaksud? Ada ketidaksesuaian beberapa pasal dengan syariah, selain ketidaksesuaian sanksi pidana dan proses pengambilan keputusan yang telah saya ungkapkan, ada juga ketidaksesuaian lain yang menyangkut pembiayaan kesehatan. Ketidaksesuaian ini terjadi karena kita belum mengadopsi sistem ekonomi Islam dalam kehidupan kita, yang sebenarnya merupakan bagian dari pilar agar syariah Islam terealisasi sebagai rahmatan lil alamin, tidak hanya bagi kaum Muslimin saja. Dalam UU Kesehatan, penyelenggaraan pelayanan kesehatan publik dibiayai oleh masyarakat melalui kewajiban asuransi kesehatan sosial bagi tiap warga Negara (pasal 16), Pemerintah Pusat maupun daerah berupa kewajiban minimal 5 persen APBN/APBD untuk kesehatan di luar gaji tenaga kesehatan (pasal 50) dan perusahaan/ majikan bagi pekerja (pasal 106). 3 / 5
Ini tidak sesuai dengan syariah. Seharusnya pemerintah membiayai pelayanan kesehatan publik dengan kas negara yang didapatkan dari pengelolaan sumberdaya milik umum seperti barang tambang, minyak, gas, kekayaan hutan, laut, sungai, dan yang lain. Jadi tidak dengan mematok berapa persen dari APBN/APBD tanpa melihat persentase itu cukup atau tidak, tapi harus mencukupi kebutuhan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau bagi seluruh warga negara, termasuk kebutuhan informasi dan edukasi kesehatan. Pemerintah juga seharusnya tidak membebankan tanggung jawabnya kepada masyarakat termasuk pengusaha dalam pembiayaan kesehatan. Tidak dikelolanya ekonomi sesuai dengan sistem ekonomi Islam yang menyebabkan negara tidak punya jaminan ketersediaan dana yang cukup untuk pembiayaan kesehatan juga menyebabkan tidak ada jaminan realisasi/implementasi beberapa pasal yang ada di UU Kesehatan. Contohnya pasal kewajiban fasilitas pelayanan kesehatan menolong pasien dalam kondisi darurat tanpa meminta uang muka terlebih dahulu (pasal 34), tidak disertai dengan kejelasan sanksi bagi yang melanggar pasal tersebut. Kalau pelakunya disanksi pidana atau administratif kemudian tidak mau lagi memberikan pelayanan kesehatan, karena kekurangan biaya, pemerintah tidak bisa mengganti pelayanan kesehatan yang diberikan lembaga tersebut. Karenanya pasal 34 UU Kesehatan terasa tak bergigi. Demikian juga pasal-pasal lain seperti dalam bab Gizi, Makanan, dan Minuman; Kesehatan Lingkungan; dan Kesehatan Kerja. Pasal-pasalnya terasa tak bergigi, tidak menggambarkan jaminan realisasi, yang kalau diusut akan berujung pada masalah yang timbul karena tidak ada jaminan pembiayaan yang cukup. Jadi agar terealisasi kesehatan bagi warga negara, perlu penerapan syariah tidak hanya di bidang kesehatan saja? Ya, benar. Kesehatan masyarakat hakiki, yaitu kesehatan fisik, mental, spiritual dan sosial, 4 / 5
adalah buah dari pengelolaan ekonomi, pendidikan, dan penegakan hukum sesuai syariah. Pengelolaan semua itu dengan syariah mengharuskan tegaknya sistem pemerintahan yang sesuai dengan syariah pula, yang kita kenal dengan istilah Khilafah.[] 5 / 5