BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB III METODE PENELITIAN. dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien sesuai dengan tujuannya (Moh.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Kajian Geografi. a. Pengertian Geografi. Geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang keterkaitan

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

BAB I PENDAHULUAN. kecepatan infiltrasi. Kecepatan infiltrasi sangat dipengaruhi oleh kondisi

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Jumlah desa, dusun dan luas Kabupaten Bantul per kecamatan dapat

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. memberi gambaran baik mengenai potensi maupun permasalahan secara

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak semua kerusakan alam akibat dari ulah manusia. yang berbentuk menyerupai cekungan karena dikelilingi oleh lima gunung

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB III TINJAUAN LOKASI

BAB III METODE PENELITIAN. adanya dan mengungkapkan fakta-fakta yang ada, walaupun kadang-kadang

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis dan Fisiografis. perbukitan karst berarti bentuk wilayahnya perbukitan dan batuannya karst.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

BAB III TINJAUAN WILAYAH

Perancangan Perkuatan Longsoran Badan Jalan Pada Ruas Jalan Sumedang-Cijelag KM Menggunakan Tiang Bor Anna Apriliana

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terletak di Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas dan Luas Daerah Penelitian. wilayah Desa Muntuk yang terdiri dari 11 dusun, yaitu Dusun Gunung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah

KARAKTERISTIK WILAYAH

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perbandingan Peta Topografi

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB II TINJAUAN UMUM

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M)

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP

BAB II TINJAUAN UMUM

KONDISI W I L A Y A H

TINGKAT ERODIBILITAS TANAH DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PENTUNG KECAMATAN PATUK KABUPATEN GUNUNGKIDUL

- : Jalur utama Bandung-Cirebon BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dikenal sebagai sektor penting karena berperan antara lain sebagai sumber

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

GEOLOGI DAERAH KLABANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di DAS Hulu Mikro Sumber Brantas, terletak di Desa

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

ERODIBILITAS TANAH DI KECAMATAN NGRAMBE KABUPATEN NGAWI PROPINSI JAWA TIMUR

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM 3.1 Lokasi, Administrasi, dan Transportasi 3.2 Geologi dan Bahan Induk

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

KEASLIAN PENELITIAN...

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan

DAFTAR ISI. II. LINGKUP KEGIATAN PENELITIAN Ruang Lingkup Penelitian Kerangka Alur Pikir Penelitian... 22

EROSI DAN SEDIMENTASI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

ANALISIS SPASIAL KEMAMPUAN INFILTRASI SEBAGAI BAGIAN DARI INDIKASI BENCANA KEKERINGAN HIDROLOGIS DI DAS WEDI, KABUPATEN KLATEN-BOYOLALI

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Transkripsi:

32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian Daerah yang digunakan sebagai tempat penelitian merupakan wilayah sub DAS Pentung yang terletak di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sub DAS Pentung merupakan salah satu bagian dari DAS Oyo sehingga akan bermuara di Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator (UTM) zone 49S daerah penelitian terletak diantara 441247 mt 449410 mt dan 9128603 mu 9134043 mu. Secara adminsitratif batas wilayah dari Sub DAS Pentung adalah sebagai berikut: Sebelah utara Sebelah timur : Kecamatan Piyungan : Desa Nglegi, Kecamatan Patuk Sebelah selatan : Kecamatan Playen dan Kecamatan Dlingo Sebelah barat : Kecamatan Piyungan Berdasarkan analisis peta RBI skala 1:25.000 daerah penelitian tersebut memiliki luas 23,02 km 2. Luas daerah penelitian terbagi menjadi delapan desa yang meliputi Desa Ngoro-oro seluas 4,70 km 2, Desa Patuk seluas 2,14 km 2, Desa Nglanggeran seluas 2,71 km 2, Desa Salam seluas 5,19 km 2, Desa Semoya seluas 4,88 km 2, Desa Pengkok seluas 2,49 km 2, Desa Putat 0,06 km 2 dan Desa Beji seluas 0,85 km 2 32

Gambar 6. Peta Administratif Sub Das Pentung 33

34 2. Iklim a. Curah Hujan Curah hujan berperan dalam pengisian air pada pori tanah yang mengakibatkan tanah mengembang dan jenuh air sehingga berat tanah menjadi bertambah. Curah hujan menjadi dasar pengklasifikasian tipe iklim oleh para ahli. Air hujan yang menjadi aliran permukaan adalah unsur utama penyebab erosi. Semakin tinggi intensitas hujan maka semakin besar aliran permukaan. Klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson mendasarkan pada curah hujan bulanan yaitu dengan memperhatikan jumlah bulan kering dan bulan basah dalam periode satu tahun. Kriteria untuk menentukan bulan kering dan bulan basah pada curah hujan bulanan adalah: 1) Bulan kering, apabila memiliki curah hujan kurang dari 60 mm dalam kurun waktu satu bulan. 2) Bulan lembab, apabila memiliki curah hujan antara 60 mm 100 mm dalam kurun waktu satu bulan. 3) Bulan basah, apabila memiliki curah hujan lebih dari 100 mm dalam kurun waktu satu bulan. Tipe iklim ditentukan berdasarkan hasil perbandingan (Q) antara bulan basah dan bulan kering seperti ditunjukkan dalam persamaan: Q = x 100 Setelah nilai Quotient (Q) diketahui selanjutnya dicocokkan ke dalam kelas kriteria tipe curah hujan menurut Schmidt-Ferguson seperti terdapat pada tabel 6.

35 Tabel 5. Tipe Curah Hujan Menurut Schmidt-Ferguson Tipe Iklim Nilai Q Kriteria A B C D E F G H Q < 0,143 0,143 Q < 0,333 0,333 Q < 0,600 0,600 Q < 1,000 1,000 Q < 1,670 1,670 Q < 3,000 3,000 Q < 7,000 7,000 Q Sumber : A.G Kartasapoetra, 2008: 21-22 Sangat basah Basah Agak basah Sedang Agak kering Kering Sangat kering Luar biasa kering Besarnya curah hujan yang ada di daerah penelitian diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Gunungkidul. Data curah hujan yang diperoleh merupakan pencatatan curah hujan dalam kurun waktu sepuluh tahun dari tahun 2003 2012. Data curah hujan yang telah diperoleh digunakan sebagai dasar pengklasifikasian iklim daerah penelitian menurut iklim Schmidt-Ferguson. Q Gambar 7. Grafik Penentuan Tipe Iklim Menurut Schmidt-Ferguson Berdasarkan data curah hujan yang diperoleh, maka dapat diketahui nilai Q dengan penghitungan sebagai berikut:

36 Q = x 100% Q = x 100% Q = 96,5 % Hasil perhitungan data curah hujan diperoleh nilai Q sebesar 96,5 % sehingga klasifikasi iklim di daerah penelitian termasuk ke dalam klasifikasi tipe iklim D dengan kriteria iklim sedang. Berdasarkan data curah hujan selama sepuluh tahun dapat diketahui jumlah rata-rata hujan di Kecamatan Patuk adalah 2179,4 mm/th. b. Temperatur Temperatur atau suhu menunjukkan tinggi rendahnya derajat panas pada suatu wilayah tertentu. Tinggi rendahnya temperatur sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Semakin tinggi tempat dari permukaan air laut, maka temperatur akan semakin menurun. Berdasarkan data ketinggian tempat daerah penelitian yang diperoleh dari peta Rupa Bumi Indonesia, dapat diketahui bahwa titik terendah berada pada ketinggian 19 m dan titik tertinggi berada pada ketinggian 428 m. Untuk menentukan suhu suatu tempat menggunakan rumus Braak, yaitu: T = 26,3 C 26,3 C = rata-rata temperatur dpal 0,6 = angka gradien temperatur setiap naik 100 m h = ketinggian rata-rata dalam meter

37 Temperatur rata-rata pada titik terendah di daerah penelitian yaitu: T = 26,3 C = 26,18 C Temperatur rata-rata pada titik tertinggi di daerah penelitian yaitu: T = 26,3 C = 23,69 C Jadi, temperatur udara rata-rata pada daerah penelitian berkisar antara 23,69 hingga 26,18. 3. Kondisi Geologi Berdasarkan peta geologi yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Gunungkidul, daerah penelitian terbagi menjadi tiga formasi batuan, yaitu Formasi Nglanggeran, Formasi Sambipitu, dan Formasi Semilir. a. Formasi Nglanggeran Formasi Nglanggeran diperkirakan terbentuk pada Zaman Miosen Awal sampai Miosen Tengah. Formasi ini terletak di sebagian besar Sub DAS Pentung yang tertutup selaras oleh Formasi Sambipitu. Formasi Nglanggeran terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat, tuff, dan lava andesit-basal. Batuan pembentuk utama berupa breksi gunungapi dan aglomerat yang terdapat dalam Formasi Nglanggeran umumnya tidak berlapis. Komponen dari batuan andesit hingga basalt, berukuran 2 hingga 50 cm. Ketebalan Formasi Nglanggeran sekitar 325 m. Formasi ini mempunyai susunan batuan breksi andesit. Breksi yang pejal dan

38 berlapis tersingkap dengan baik di tebing lembah sungai Oyo. Formasi Nglanggeran yang meliputi daerah penelitian seluas 20,20 km 2 atau 87,75% yang menempati sebagian besar daerah penelitian. b. Formasi Sambipitu Formasi Sambipitu tersusun dari batu pasir dan batu lempung yang berumur Miosen Tengah. Bagian bawah Formasi Sambipitu terdiri dari batu pasir kasar terutama batu pasir sela yang tidak berlapis dan batu pasir halus yang setempat diselingi serpih dan batu lanau gampingan. Struktur sedimen berupa perlapisan bersusun, perairan sejajar, dan gelembur gelombang, yang menunjukkan adanya arus turbid. Tebal formasi ini sekitar 380 m. Formasi Sambipitu berada di sebagian wilayah yang termasuk Desa Beji seluas 1,75 km 2 atau 7,60%. c. Formasi Semilir Formasi Semilir memiliki batuan berupa tuf, breksi batu apung, batu pasir tufan, dan serpih. Formasi Semilir pada awalnya pernah tenggelam oleh laut. Di bagian tengah dijumpai lignit yang berasosiasi dengan batu pasir tufan gampingan dan kepingan koral pada breksi gunung api sedangkan bagian atasnya ditemukan batu lempung dan serpih dengan tebal lapisan sampai 15 cm dan berasal dari longsoran bawah laut. Ketebalan formasi ini lebih dari 460 m. Formasi ini terbentuk pada Miosen Awal hingga awal Miosen Tengah.

39 Formasi ini dicirikan dengan warna batuan yang abu-abu dan berada di Kecamatan Patuk bagian utara, pengaruhnya terhadap kesuburan tanah yaitu batuan yang tersusun atas hasil letusan gunungapi dimana material yang ada lebih subur untuk tanaman. Pada daerah penelitian Formasi Sambipitu memiliki luas 1,07 km 2 atau 4,65%. Deskripsi tersebut disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Pembagian Luas Wilayah Berdasarkan Kondisi Geologi Luas Wilayah No. Nama Formasi (km 2 Persentase ) 1. Formasi Nglanggeran 20,20 87,75 % 2. Formasi Sambipitu 1,75 7,60 % 3. Formasi Semilir 1,07 4,65 % Sumber: Analisis 2013 Jumlah 23,02 100 Berdasarkan Tabel 6 wilayah yang paling luas merupakan Formasi Nglanggeran. Sebagian besar Formasi Nglanggeran menduduki wilayah Sub DAS Pentung dengan luas 20,20 km 2. Formasi Sambipitu dan Formasi Semilir yang berada di Sub DAS Pentung hanya memiliki luas 1,75 km 2 dan 1,07 km 2.

40 Gambar 8. Peta Geologi Sub DAS Pentung 40

41 4. Topografi Kondisi topografi adalah gambaran yang menjelaskan tentang tingkat kemiringan lereng dan ketinggian tempat yang diukur dari permukaan air laut. a. Ketinggian Tempat Ketinggian tempat di daerah penelitian memiliki garis kontur interval 100 meter yang diperoleh dari BAPPEDA Gunungkidul. Daerah penelitian memiliki ketinggian antara 50 meter hingga 600 meter di atas permukaan air laut. Tabel 7. Pembagian Luas Wilayah Berdasarkan Ketinggian Tempat No Ketinggian Luas (km 2 ) Persentase 1 200 M - 300 M 10,17 44,18 2 100 M - 200 M 5,81 25,24 3 300 M - 400 M 4,01 17,42 4 400 M - 500 M 0,09 0,39 5 500 M - 600 M 0,01 0,04 6 300 M - 400 M 2,43 10,56 7 50 M - 100 M 0,50 2,17 Jumlah 23,02 100 Sumber: Analisis 2013 Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa sebagian besar daerah penelitian berada di ketinggian 200-300 mdpal seluas 10,17 km 2 dengan persentase 44,18%. Daerah paling tinggi berada pada ketinggian 500-600 mdpal dengan luas wilayah 0,01 km 2 atau 0,04 dan merupakan wilayah paling sempit dalam daerah penelitian. Ketinggian paling rendah berada pada 50-100 mdpal seluas 0,50 km 2 atau 2,17%. Ketinggian 100-200 mdpal seluas 5,81 km 2 atau 25,24%. Ketinggian tempat 300-400 mdpal

42 seluas 4,01 km 2 atau 17,42%. Ketinggian tempat 400-500 mdpal seluas 0,09 km 2 atau 0,39%. b. Kemiringan Lereng Kemiringan lereng di daerah penelitian cukup bervariasi mulai dari datar hingga sangat curam. Kemiringan lereng berpengaruh terhadap tingkat erodibilitas karena kemiringan lereng berhubungan dengan kemampuan tanah untuk menahan tetesan air hujan yang jatuh. Tabel 8. Pembagian Luas Wilayah Berdasarkan Kemiringan Lereng No. Kemiringan Kelas Luas (km 2 ) Persentase 1. 0 8 % Datar 5,47 23,76 2. 8 15 % Landai 11,53 50,06 3. 15 25 % Miring 4,83 20,99 4. 25 40 % Agak Terjal 0,85 3,69 5. > 40 % Terjal 0,34 1,50 Jumlah 23,02 100 Sumber: Analisis 2013 Pada tabel 8 dapat diketahui bahwa luas daerah dengan kemiringan lereng 0-8% seluas 5,57 km 2 atau 23,76 merupakan daerah datar. Kemiringan lereng 8-15% seluas 11,53 km 2 atau 50,06% merupakan daerah dengan kemiringan lereng paling luas dengan kategori landai. Pada daerah ini digunakan sebagai permukiman, tegalan, dan persawahan. Kemiringan lereng 15-25% seluas 4,83 km 2 atau 20,99% merupakan daerah miring. Kemiringan lereng 25-40% seluas 0,85 km 2 atau 3,69% termasuk lereng agak terjal. Kemiringan lereng >40% seluas 0,35 km 2 atau 1,50% merupakan daerah dengan kategori terjal.

Gambar 9. Peta Kemiringan 43 Lereng Sub DAS Pentung 43

44 5. Geomorfologi Rangkaian pegunungan selatan yang membentang dari barat ke timur sering disebut dengan Pegunungan Baturagung. Pegunungan Baturagung merupakan hasil pengangkatan dalam proses pembentukannya. Di bagian utara kecamatan Patuk, menjulang pegunungan Nglanggeran yang membentuk variasi pegunungan dari lembah sampai puncak pegunungan Nglanggeran. Sedangkan untuk bagian selatan kecamatan Patuk terdapat pegunungan Hogback yang memanjang di utara-selatan batas kecamatan Patuk bagian barat. Bagian selatan pada daerah penelitian merupakan wilayah yang lebih rendah dari bagian utara yang berupa kumpulan perbukitan. Pegunungan Hogback merupakan perbukitan yang terbentuk karena adanya pemiringan (dipping) lereng lebih dari 35% dan termasuk dalam kategori lereng curam. Pembentukan tersebut disertai dengan terjadinya patahan sehingga terbentuk gawir (escarpment) pada lereng belakangnya. Pada lereng gawir terlihat strata batuan secara jelas, sedangkan pada lereng pemiringan (dip slope) hanya tersusun oleh satu lapisan saja, yang umumnya lapisan batuan yang relatif resisten. Pegunungan Hogback ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu lereng atas pegunungan Hogback Formasi Nglanggeran (S1), lereng tengah pegunungan Hogback Formasi Nglanggeran (S2) dan lereng bawah pegunungan Hogback Formasi Nglanggeran (S3). Selain ketiga bagian lereng yang telah disebutkan, adapula lembah pegunungan Hogback Formasi Nglanggeran (S13) yang

45 terbentuk akibat adanya erosi tingkat lanjut sehingga membentuk lembah yang lebih rendah. Di bagian utara daerah penelitian terdapat lereng tengah pegunungan struktural Formasi Nglanggeran (S6) dan lereng bawah pegunungan struktural Formasi Nglanggeran (S7). Zona di bagian ini didominasi oleh batuan breksi gunung api yang bersifat keras. Lereng kaki koluvial Formasi Sambipitu (D1) dan dataran koluvial Formasi Sambipitu (D2) merupakan daerah yang relatif datar sehingga lahan yang berada pada daerah ini dapat dimanfaatkan secara lebih optimal. Dataran aluvial (F1) merupakan bentuk lahan yang terjadi karena adanya proses fluvial sungai-sungai. Bentuk lahan ini berada di sepanjang aliran sungai. Tanahnya lebih subur karena mengandung bahan endapan sungai yang terlarut. Tabel 9. Pembagian Wilayah Berdasarkan Bentuk Lahan No. Bentuk Lahan Luas (km 2 ) Persentase 1 Lembah Pegunungan Hogback Formasi Nglanggeran (S13) 2,34 10,17 2 Lembah Koluvial Pegunungan Struktural Formasi Nglanggeran (S16) 1,48 6,43 3 Lereng Tengah Pegunungan Formasi Nglanggeran (S6) 4,26 18,51 4 Lereng Bawah Pegunungan Struktural Formasi Nglanggeran (S7) 1,98 8,60 5 Lereng Kaki Koluvial Formasi Sambipitu (D1) 2,45 10,64 6 Dataran Koluvial Formasi Sambipitu (D2) 1,08 4,70 7 Lereng Bawah Pegunungan Hogback Formasi Sambipitu (S3) 1,81 7,85 8 Dataran Aluvial (F1) 2,50 10,86 9 Lereng Tengah Pegunungan Hogback Formasi Nglanggeran (S2) 5,12 22,24 Jumlah 23,02 100 Sumber: Analisis 2013

Gambar 10. Peta Bentuk Lahan Sub DAS Pentung 46

47 6. Jenis Tanah Jenis tanah yang terdapat di Sub DAS Pentung adalah tanah Latosol dan Litosol. Tanah Latosol mendominasi hampir seluruh bagian yang ada di Sub DAS Pentung. Tanah Latosol yang berada di Sub DAS Pentung seluas 20,80 km 2. Tanah Latosol merupakan tanah yang paling muda sehingga dekat dengan bahan induknya. Tanah Litosol yang terdapat di Sub DAS Pentung seluas 2,22 km 2. Ciri tanah yang terdapat di Sub DAS Pentung berwarna cokelat tua dan cokelat kemerahan. Tanahnya sebagian besar berupa lempung. 7. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di wilayah Sub DAS Pentung dimanfaatkan masyarakat untuk perkampungan, sawah irigasi, sawah tadah hujan, kebun campuran serta tegalan atau ladang. Penggunaan lahan di daerah penelitian disajikan dalam tabel 10. Tabel 10. Pembagian Luas Wilayah Berdasarkan Penggunaan Lahan Jenis Penggunaan Lahan Luas (km 2 ) Persentase Hutan Sejenis 0,10 0,43 Kampung 10,29 44,70 Kebun Campuran 0,75 3,26 Sawah Irigasi 1,63 7,08 Sawah Tadah Hujan 0,27 1,17 Tanah Rusak 0,07 0,30 Tegalan/Ladang 9,91 43,06 Jumlah 23,02 100 Sumber: Analisis data 2013 Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa penggunaan lahan untuk perkampungan lebih dominan seluas 10,29 km 2. Penggunaan lahan seluas

48 9,91 km 2 dimanfaatkan untuk tegalan/ladang. Lahan yang digunakan untuk sawah terbagi menjadi sawah irigasi seluas 1,63 km 2 dan sawah tadah hujan seluas 0,27 km 2. Lahan seluas 0,10 km 2 digunakan untuk kawasan hutan sejenis. Kebun campuran meliputi wilayah seluas 0,75 km 2 dan sisanya seluas 0,07 km 2 merupakan tanah rusak. B. Kondisi Daerah Aliran Sungai Pentung Pola aliran sungai Pentung merupakan tipe pola aliran dendritik, yaitu pola aliran yang tampak menyerupai percabangan pohon. Luas DAS Pentung adalah sebesar 23,02 km 2. Panjang sungai utama Pentung ± 6,7 km. Gambar 11. Bagian Sungai Pentung Gambar 12. Sungai Pentung di bagian Hilir

Gambar 13. Peta Jenis Tanah Sub DAS Pentung 49

Gambar 14. Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Pentung 50

51 C. Nilai Erodibilitas Tanah Sub DAS Pentung 1. Satuan Lahan Sub DAS Pentung Tabel 11. Satuan Lahan Daerah Penelitian No. Satuan Lahan Luas (km 2 ) 1. S2 II La Tg 1,69 2. S2 III La Tg 1,95 3. S3 II La Tg 2,24 4. S3 II La Kp 3,02 5. F1 I Li Si 2,32 6. S13 I La Kp 2,03 7. S2 I La Tg 1,35 8. S13 I La Kp 0,45 9. S6 I La Kc 0,33 10. S6 I La Kp 0,77 11. S6 II La Kp 0,84 12. F1 II La Tg 0,52 13. S6 III La Kp 1,55 14. S6 III La Kp 1,01 15. S16 II Li Kp 1,25 16. S16 III La Kp 0,68 17. S7 II La Kp 1,02 Sumber: Analisis 2013 Berdasarkan hasil overlay peta jenis tanah, bentuk lahan, kemiringan lereng dan jenis penggunaan lahan sub DAS Pentung maka diperoleh 17 satuan lahan. Satuan lahan yang diperoleh adalah sebagai berikut: 1) S2 II La Tg merupakan satuan lahan yang berada pada lereng tengah pegunungan Hogback Formasi Nglanggeran yang memiliki kemiringan lereng landai. Jenis tanah yang berada pada satuan lahan ini adalah jenis tanah Latosol dan

52 lahan digunakan untuk tegalan/ladang. Satuan lahan tersebut memiliki luas 1,69 km 2. 2) S2 III La Tg merupakan satuan lahan yang berada pada lereng tengah pegunungan Hogback Formasi Nglanggeran dengan lereng miring. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Latosol dengan penggunaan lahan sebagai tegalan/ladang. Satuan lahan tersebut memiliki luas 1,95 km 2 3) S3 II La Tg merupakan satuan lahan yang berada pada lereng bawah pegunungan Hogback Formasi Sambipitu dengan kemiringan lereng landai. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Latosol dengan penggunaan lahan sebagai tegalan/ladang. Satuan lahan tersebut memiliki luas 2,24 km 2. 4) S3 II La Kp merupakan satuan lahan yang berada pada lereng bawah pegunungan Hogback Formasi Nglanggeran dengan kemiringan landai. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Latosol dengan penggunaan lahan sebagai kampung/permukiman penduduk. Satuan lahan tersebut memiliki luas 3,02 km 2. 5) F1 I Li Si merupakan satuan lahan yang berada pada dataran aluvial dengan lereng datar. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Litosol dengan penggunaan lahan sebagai

53 persawahan irigasi. Satuan lahan tersebut memiliki luas 2,32 km 2. 6) S13 I La Kp merupakan satuan lahan yang berada pada lembah pegunungan Hogback Formasi Nglanggeran dengan kemiringan lereng landai. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Latosol dengan penggunaan lahan sebagai perkampungan. Satuan lahan tersebut memiliki luas 2,03 km 2. 7) S2 I La Tg merupakan satuan lahan yang berada pada lereng tengah pegunungan Hogback Formasi Nglanggeran dengan kemiringan datar. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Latosol dengan penggunaan lahan sebagai tegalan/ladang. Satuan lahan tersebut memiliki luas 1,35 km 2. 8) S13 I La Kp merupakan satuan lahan yang berada pada lembah pegunungan Hogback Formasi Nglanggeran dengan kemiringan datar. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Latosol dengan penggunaan lahan sebagai perkampungan. Satuan lahan tersebut memiliki luas 0,45 km 2. 9) S6 I La Kc merupakan satuan lahan yang berada pada lereng tengah pegunungan Formasi Nglanggeran dengan kemiringan lereng datar. Jenis tanah pada satuan lahan ini

54 adalah Latosol dengan penggunaan lahan sebagai kebun campuran. Satuan lahan tersebut memiliki luas 0,33 km 2. 10) S6 I La Kp merupakan satuan lahan yang berada pada lereng tengah pegunungan Formasi Nglanggeran dengan kemiringan lereng datar. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Latosol dengan penggunaan lahan sebagai kampung/permukiman. Satuan lahan tersebut memiliki luas 0,77 km 2. 11) S6 II La Kp merupakan satuan lahan yang berada pada lereng tengah pegunungan Formasi Nglanggeran dengan kemiringan landai. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Latosol dengan penggunaan lahan sebagai perkampungan. Satuan lahan tersebut memiliki luas 0,84 km 2. 12) F1 II La Tg merupakan satuan lahan yang berada pada dataran aluvial dengan kemiringan lereng landai. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Latosol dengan penggunaan lahan sebagai tegalan/ladang. Satuan lahan tersebut memiliki luas 0,52 km 2. 13) S6 III La Kp merupakan satuan lahan yang berada pada lereng tengah pegunungan Formasi Nglanggeran dengan lereng miring. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Latosol dengan penggunaan lahan sebagai perkampungan. Satuan lahan tersebut memiliki luas 1,55 km 2.

55 14) S6 III La Kp merupakan satuan lahan yang berada pada lereng tengah pegunungan Formasi Nglanggeran dengan lereng miring. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Latosol dengan penggunaan lahan sebagai kampung/permukiman. Satuan lahan tersebut memiliki luas 1,01 km 2. 15) S16 II Li Kp merupakan satuan lahan yang berada pada lembah koluvial pegunungan struktural Formasi Nglanggeran dengan kemiringan landai. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Litosol dengan penggunaan lahan sebagai kampung/permukiman. Satuan lahan tersebut memiliki luas 1,25 km 2. 16) S16 III La Kp merupakan satuan lahan yang berada pada lembah koluvial pegunungan struktural Formasi Nglanggeran dengan lereng miring. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Latosol dengan penggunaan lahan sebagai perkampungan. Satuan lahan tersebut memiliki luas 0,69 km 2. 17) S7 II La Kp merupakan satuan lahan yang berada pada lereng bawah pegunungan struktural Formasi Nglanggeran dengan kemiringan landai. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Latosol dengan penggunaan lahan sebagai

56 perkampungan. Satuan lahan tersebut memiliki luas 1,02 km 2. Berdasarkan deskripsi masing-masing satuan lahan dapat diketahui bahwa jenis tanah yang dominan menjadi sampel daerah penelitian adalah jenis tanah Latosol. Jenis tanah yang lain berada pada satuan lahan daerah penelitian yang menjadi sampel yaitu Litosol yang hanya terdapat pada sebagian kecil wilayah Sub DAS Pentung. Kemiringan lereng bervariasi mulai landai hingga miring/berbukit. Penggunaan lahan yang paling banyak terdapat pada satuan lahan adalah perkampungan dan tegalan/ladang. 2. Tekstur Tanah Tekstur merupakan ukuran dan proporsi kelompok butir-butir primer pada bagian mineral tanah. Butir-butir primer tanah terbagi dalam liat (clay), debu (silt) dan pasir (sand). Tanah-tanah bertekstur kasar seperti pasir dan pasir berkerikil mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, dan jika tanah tersebut dalam, maka erosi dapat diabaikan. Tanah bertekstur pasir halus juga mempunyai kapasitas infiltrasi cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran permukaan maka butir-butir halus akan mudah terangkut. Tekstur tanah di Sub DAS Pentung di dominasi oleh tekstur lempung dari 17 sampel yang diujikan. Dua sampel tekstur tanah di Sub DAS Pentung berupa lempung berliat.

57 Tabel 12. Nilai Tekstur Tanah (M) Satuan Lahan Pasir Debu Liat Pasir + 100 debu liat Hasil (M) Kelas S2 II La Tg 32 23 45 55 55 3025 Lempung S2 III La Tg 14 28 58 42 42 1764 Lempung S3 II La Tg 19 31 50 50 50 2500 Lempung S3 II La Kp 30 28 42 58 58 3364 Lempung F1 I Li Si 23 42 35 65 65 4225 Lempung berliat S13 I La Kp 14 28 58 42 42 1764 Lempung S2 I La Tg 21 23 56 44 44 1936 Lempung S13 I La Kp 19 37 44 56 56 3136 Lempung S6 I La Kc 19 22 59 41 41 1681 Lempung S6 I La Kp 17 28 55 45 45 2025 Lempung S6 II La Kp 16 26 58 42 42 1764 Lempung F1 II La Tg 39 28 33 67 67 4489 Lempung S6 III La Kp 28 26 46 54 54 2916 Lempung S6 III La Kp 38 20 42 58 58 3364 Lempung S16 II Li Kp 32 31 38 63 62 3906 Lempung berliat S16 III La Kp 28 26 46 54 54 2916 Lempung S7 II La Kp 22 23 55 45 45 2025 Lempung Sumber: Hasil Uji Laboratorium Tekstur tanah di daerah penelitian didominasi oleh tanah lempung. Berdasarkan uji laboratorium mengenai tekstur tanah dari 17 satuan lahan yang masing-masing diambil sampelnya diperoleh hasil struktur tanah di daerah penelitian berupa lempung dengan jumlah nilai M sebesar 34.180. Tanah lempung berliat dengan jumlah nilai M sebesar 12.620. Tekstur tanah lempung yang mendominasi sebagian besar daerah penelitian di Sub DAS Pentung yaitu jenis tanah Latosol. Jenis tanah Litosol yang hanya memiliki luas wilayah kecil memiliki ciri lempung berliat.

58 3. Struktur Tanah Struktur adalah ikatan butir primer ke dalam butir sekunder. Tanah-tanah yang berstruktur granular lebih terbuka dan lebih jarang dan akan menyerap air lebih cepat dari pada tanah berstruktur dengan susunan butir-butir primernya lebih rapi. Struktur tanah yang terdapat pada daerah penelitian adalah berupa struktur blocky, granuler halus dan granuler sangat halus. Struktur yang paling banyak ditemui pada satuan lahan yang terdapat pada daerah penelitian adalah blocky (gumpal). Berdasarkan pengamatan lapangan, data tentang struktur tanah yang terdapat di daerah penelitian tersaji pada Tabel 18. Tabel 13. Hasil Pengamatan Struktur Tanah No. Satuan Lahan Struktur Harkat 1 S2 II La Tg Blocky 4 2 S2 III La Tg Blocky 4 3 S3 II La Tg Granuler Halus 2 4 S3 II La Kp Blocky 4 5 F1 I Li Si Granuler Halus 2 6 S13 I La Kp Blocky 4 7 S2 I La Tg Granuler Halus 2 8 S13 I La Kp Granuler Halus 2 9 S6 I La Kc Granuler Sangat halus 1 10 S6 I La Kp Granuler Halus 2 11 S6 II La Kp Blocky 4 12 F1 II La Tg Blocky 4 13 S6 III La Kp Blocky 4 14 S6 III La Kp Granuler Sangat halus 1 15 S16 II Li Kp Granuler Halus 2 16 S16 III La Kp Granuler Halus 2 17 S7 II La Kp Granuler Sangat halus 1 Sumber: Analisis 2013

59 4. Permeabilitas Tanah Permeabilitas merupakan kemampuan tanah dalam meloloskan air. Semakin banyak air yang masuk ke dalam tanah, akan semakin banyak volume air yang ada di dalam tanah dan akan membuat kebutuhan tanaman terhadap air tercukupi, serta membuat kondisi tanah menjadi lembab. Tanah yang lembab akan memicu adanya hewan-hewan tanah dan populasi mikroba. Laju permeabilitas yang lambat dipengaruhi oleh kemampuan tanah yang tidak mampu meloloskan air dengan baik. Sehingga air yang diserap menjadi lebih sedikit dan sisanya menjadi aliran permukaan. Tabel 14. Nilai Permeabilitas Tanah No. Satuan Lahan Kecepatan (cm/jam) Harkat 1 S2 II La Tg 2.26 4 2 S2 III La Tg 0.81 5 3 S3 II La Tg 2.76 4 4 S3 II La Kp 1.98 5 5 F1 I Li Si 8.63 3 6 S13 I La Kp 3.01 4 7 S2 I La Tg 15.88 2 8 S13 I La Kp 2.35 4 9 S6 I La Kc 5.22 4 10 S6 I La Kp 2.46 4 11 S6 II La Kp 1.71 5 12 F1 II La Tg 6.00 4 13 S6 III La Kp 6.21 4 14 S6 III La Kp 4.00 4 15 S16 II Li Kp 4.10 4 16 S16 III La Kp 3.97 4 17 S7 II La Kp 7.40 3 Sumber: Analisis Hasil Uji Laboratorium

60 Berdasarkan hasil uji laboratorium kelas permeabilitas mulai dari lambat hingga sedang sampai cepat dengan kisaran kecepatan 0,81 15,88 cm/jam. 5. Kandungan Bahan Organik Tabel 15. Kandungan Bahan Organik No. Satuan Lahan Kandungan Bahan Organik (%) 1 S2 II La Tg 2.68 2 S2 III La Tg 1.59 3 S3 II La Tg 2.08 4 S3 II La Kp 1.62 5 F1 I Li Si 1.76 6 S13 I La Kp 1.70 7 S2 I La Tg 2.05 8 S13 I La Kp 2.27 9 S6 I La Kc 1.70 10 S6 I La Kp 3.81 11 S6 II La Kp 1.69 12 F1 II La Tg 2.81 13 S6 III La Kp 2.11 14 S6 III La Kp 1.29 15 S16 II Li Kp 2.83 16 S16 III La Kp 2.09 17 S7 II La Kp 1.09 Sumber: Hasil Uji Laboratorium Bahan organik sangat berperan pada proses pembentukan dan pengikatan serta penstabilan agregat tanah. Peningkatan dan penstabilan agregat tanah oleh bahan organik dapat dilakukan melalui pengikatan secara fisik butir-butir primer tanah oleh mycelia jamur, actinomycetes, akar-akar halus tanaman dan pengikatan secara kimia. Kandungan bahan organik di daerah penelitian rata-

61 rata termasuk dalam kategori rendah hingga sedang. Hanya ada satu satuan lahan yang kandungan bahan organiknya tinggi. Kadar bahan organik dapat dipengaruhi oleh organisme yang tinggal di dalam tanah dan penutup permukaan tanah seperti ranting dan daun. Berdasarkan hasil uji laboratorium nilai kandungan bahan organik pada daerah penelitian berkisar antara 1,09 hingga 3,81. Semakin besar nilai bahan organik, semakin subur kondisi tanah tersebut. 6. Nilai Erodibilitas Tabel 16. Hasil Penghitungan Nilai Erodibilitas (K) Satuan Lahan M a b C K Harkat S2 II La Tg 3025 2.68 4 4 0,35 agak tinggi S2 III La Tg 1764 1.59 4 5 0,29 sedang S3 II La Tg 2500 2.08 2 4 0,23 sedang S3 II La Kp 3364 1.62 4 5 0,44 agak tinggi F1 I Li Si 4225 1.76 2 3 0,38 agak tinggi S13 I La Kp 1764 1.70 4 4 0,26 sedang S2 I La Tg 1936 2.05 2 2 0,12 rendah S13 I La Kp 3136 2.27 2 4 0,29 sedang S6 I La Kc 1681 1.70 1 4 0,12 rendah S6 I La Kp 2025 3.81 2 4 0,16 rendah S6 II La Kp 1764 1.69 4 5 0,29 sedang F1 II La Tg 4489 2.81 4 4 0,48 tinggi S6 III La Kp 2916 2.11 4 4 0,36 agak tinggi S6 III La Kp 3364 1.29 1 4 0,30 sedang S16 II Li Kp 3906 2.83 2 4 0,34 agak tinggi S16 III La Kp 2916 2.09 2 4 0,27 sedang S7 II La Kp 2025 1.09 1 3 0,13 rendah Sumber: Analisis 2013 Berdasarkan Tabel 16 hasil penghitungan nilai erodibilitas, diketahui nilai tekstur tanah, struktur tanah, permeabilitas dan

62 kandungan bahan organik terdapat hasil yang bervariasi di setiap satuan lahan. Nilai erodibilitas tanah di sub DAS Pentung berada pada kisaran 0,12 0,48. Harkat tingkat erodibilitas tanah di sub DAS Pentung mulai dari rendah hingga tinggi yang tersebar di seluruh satuan lahan. Tingat erodibilitas rendah sebanyak empat satuan lahan. Tingkat erodibilitas sedang sebanyak tujuh satuan lahan. Tingkat erodibilitas agak tinggi sebanyak lima satuan lahan. Tingkat erodibilitas tinggi hanya berada pada satu satuan lahan. D. Persebaran Tingkat Erodibilitas di Sub DAS Pentung Persebaran tingkat erodibilitas Sub DAS Pentung yaitu dengan tingkat erodibilitas rendah berada pada satuan lahan S2 I La Tg, S6 I La Kc, S6 I La Kp dan S7 II La Kp. Tingkat erodibilitas sedang berada pada satuan lahan S2 III La Tg, S3 II La Tg, S13 I La Kp, S13 I La Kp, S6 II La Kp, S6 III La Kp dan S16 III La Kp. Tingkat erodibilitas agak tinggi berada pada satuan lahan S2 II La Tg, S3 II La Kp, F1 I Li Si, S6 III La Kp, S16 II Li Kp. Satuan lahan yang memiliki tingkat erodibilitas tinggi hanya terdapat pada satuan lahan F1 II T1 Tg. Tabel 17. Tingkat Erodibilitas No Kelas Luas (km 2 ) Persentase 1 Agak Tinggi 9,59 41,69 2 Rendah 4,14 17,97 3 Sedang 8,80 38,22 4 Tinggi 0,49 2,12 23,02 100 Sumber: Analisis 2013

63 Berdasarkan Tabel 17 dapat diketahui bahwa tingkat erodibilitas yang banyak terdapat di daerah penelitian adalah kelas agak tinggi dan sedang. Tingkat erodibilitas agak tinggi menempati wilayah seluas 9,59 km 2 atau 41,69%. Tingkat erodibilitas rendah menempati wilayah seluas 4,14 km 2 atau 17,93%. Tingkat erodibilitas sedang menempati wilayah seluas 8,80 km 2 atau 38,22%. Tingkat erodibilitas tinggi yang hanya terdapat pada satu satuan lahan memiliki luas 0,49 km 2 atau 2,12%. Tabel 18. Pembagian Wilayah Berdasarkan Tingkat Erodibilitas No. Nama Desa Tingkat Erodibilitas Luas (km 2 ) 1. Beji Agak Tinggi 0,85 2. 3. 4. 5. Nglanggeran Ngoro-oro Patuk Pengkok Agak Tinggi 0,98 Tinggi 0,16 Sedang 0,40 Rendah 0,93 Agak Tinggi 2,28 Tinggi 0,33 Sedang 2,42 Rendah 0,95 Sedang 1,21 Rendah 0,95 Agak Tinggi 1,71 Sedang 0,76 6. Putat Agak Tinggi 0,08 7. Salam 8. Semoya Agak Tinggi 2,60 Sedang 1,12 Rendah 1,31 Agak Tinggi 1,09 Sedang 2,89

Gambar 15. Peta Persebaran Tingkat Erodibilitas di Daerah Penelitian 64