BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. tugas dan sumber-sumber ekonomi (Olson and defrain, 2006).

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang No.1 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

GAMBARAN DUKUNGAN SOSIAL DAN KOMITMEN PADA INDIVIDU YANG BERPACARAN BEDA AGAMA

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN SEKSUAL DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jaman yang melaju sangat pesat dan persaingan global

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. individu saling mengenal, memahami, dan menghargai satu sama lain. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS CINTA DAN KETERBUKAAN DIRI DENGAN KOMITMEN PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI

memberi-menerima, mencintai-dicintai, menikmati suka-duka, merasakan

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB I PENDAHULUAN. dan kasih sayang. Melainkan anak juga sebagai pemenuh kebutuhan biologis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di dalamnya terdapat komitmen dan bertujuan untuk membina rumahtangga serta

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan tersebut.

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. satunya ditentukan oleh komunikasi interpersonal suami istri tersebut. Melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam sejarah manusia, belum. ditemukan seorang manusia yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun Dalam pasal 1 ayat 1

8. Sebutkan permasalahan apa saja yang biasa muncul dalam kehidupan perkawinan Anda?...

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun. Pada masa ini, orang-orang mencari keintiman emosional dan fisik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. yang mendukung dimiliki di jalur kehidupan yang sedang dilalui.

KATA PENGANTAR KUESIONER. Dalam rangka memenuhi persyaratan pembuatan skripsi di Fakultas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa berelasi dengan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dra.Ny.Singgih D.Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988 hal. 82

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhannya, terutama kebutuhan interpersonal dan emosional. Selain bertumbuh secara

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. lahir, menikah, dan meninggal. Pernikahan merupakan penyatuan dua jiwa

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah

BAB I PENDAHULUAN. Kelahiran, perkawinan serta kematian merupakan suatu estafet kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. 1 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976, p. 5

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang senantiasa memerlukan interaksi dengan orang lain. Saat berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya, manusia belajar untuk menerima atau memberikan pertolongan, tukar-menukar informasi, bahkan juga saling memberikan dukungan saat senang ataupun sedih. Saat masih kanak-kanak, individu sangat bergantung pada interaksinya dengan orangtua untuk memperoleh berbagai kebutuhan dan keinginannya. Seiring dengan waktu, individu pun mengembangkan interaksi dengan lingkungan-lingkungan di sekitarnya dan menjadi mandiri dalam berelasi dengan orang lain. Semakin bertambah usia, semakin luas pula jejaring sosialnya, tidak hanya terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua, ataupun lebih muda, namun dalam relasinya dengan orang-orang tersebut tidak semuanya terbina dekat. Hanya dengan orang-orang tertentu yang dianggapnya dekat saja, individu akan merasa nyaman untuk bisa berbagi dan menerima berbagai hal dalam hidupnya. Hal-hal fisik seperti belaian dan pelukan yang menyamankan dan non-fisik, seperti perhatian, kasih sayang, ataupun bertukar pikiran terjalin hanya dengan orang tertentu saja yang dianggapnya signifikan. Pada seseorang yang dewasa, relasi yang signifikan ini terjalin dengan pasangan hidupnya dalam sebuah pernikahan. 1

2 Individu memutuskan untuk menikah setelah mengalami proses pencarian pasangan hidupnya. Diawali dengan saling ketertarikan, dua individu yang mengalami masa penjajakan, mengembangkan hubungannya, lalu muncul keinginan untuk tetap dapat dekat satu sama lain baik secara fisik dan emosional. Setelah sekian lama hubungan terjalin dan jika pasangan merasa sudah cukup saling mengenal pasangannya dan menemukan ketertarikan, kecocokan, dan kenyamanan pasangan menginginkan untuk melanjutkan hubungannya dalam sebuah ikatan pernikahan. Keinginan pasangan untuk melanjutkan hubungan dalam sebuah pernikahan ini membutuhkan komitmen di antara keduanya. (www.library.gunadarma.ac.id). Menurut Undang-undang Perkawinan RI (1974), pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama dan pemerintah menyarankan agar hubungan pernikahan yang telah sah dapat berlangsung seumur hidup sehingga pasangan perlu memiliki komitmen dalam pernikahannya (http://bsdm.bappenas.go.id). Komitmen pernikahan dihayati sebagai orientasi niat jangka panjang dalam hubungan, termasuk perasaan dekat dan terikat pada pasangan, dan keinginan untuk mempertahankan hubungan dalam keadaan suka maupun duka. Penghayatan seorang individu akan komitmennya dapat berbeda-beda satu dengan yang lainnya dan dihayati secara subjektif dalam hubungan pernikahannya. Keberlangsungan komitmen pernikahan, menurut Rusbult (1993) dapat tergambar melalui commitment level. Commitment level dapat diartikan sebagai

3 seberapa besar saling ketergantungan pada pasangan dapat mendorong terciptanya kesetiaan seseorang untuk mempertahankan pernikahan. Commitment level seseorang terhadap pasangan dalam perkawinan dibentuk melalui satisfaction level, quality alternatif, dan investment size (Rusbult & Buunk, 1993 : 181-189). Commitment level dapat dikatakan tinggi jika mengalami peningkatan kepuasan individu pada hubungan pernikahan (satisfaction level) dan semakin banyaknya keterlibatan individu dalam kebersamaan dengan pasangan pernikahan secara menyeluruh seperti waktu, rahasia, pemikiran, identitas, dan kenangan; juga energi emosional dalam setiap pengorbanan, rasa kehilangan, juga kedekatan dengan pasangan (investment size) akan meningkatkan pula saling ketergantungan pada pasangan. Sedangkan meningkatnya ketertarikan akan pilihan-pilihan dan jejaring sosial yang berada di luar hubungan pernikahannya (quality of alternatives), akan menurunkan saling ketergantungan pada pasangan yang mendorong terciptanya kesetiaan untuk mempertahankan pernikahan Pernikahan merupakan situasi yang kompleks, di mana laki-laki dan perempuan akan berupaya untuk terus menurus menyesuaikan diri agar hubungan pernikahan mereka berhasil. Kondisi pernikahan yang ideal adalah ketika pasangan merasa sangat bergantung pada pasangannya, maka dapat memperkuat komitmen mereka untuk mempertahankan pernikahan. Namun, meskipun seseorang sudah merasa yakin dan memutuskan untuk mengikatkan diri dengan pasangan dalam pernikahan, komitmen dalam hubungan pernikahan ini tidak jarang diuji dalam kendala-kendala di dalamnya.

4 Situasi-situasi yang menggambarkan satisfaction level yang dapat berpengaruh pada commitment level. Hal ini dapat tergambar melalui kendalakendala dalam kehidupan rumah tangga seperti ketika suami atau istri merasa bahwa pernikahannya tidak sesuai dengan harapannya. Tidak mustahil perasaan tidak bahagia mendera, ketidakpuasan hadir dalam pernikahan, dan bisa saja individu memilih untuk menolak mengkomunikasikannya dengan pasangan dan mencoba memperbaiki situasi sendiri. Ketika upaya memperbaiki hubungan dalam cara ini gagal, pasangan yang tidak puas meyakini pernikahan bisa tidak terselamatkan (http://kosmo.vivanews.com). Quality alternatives dapat juga berpengaruh pada commitment level. Hal ini dapat tergambar melalui kendala-kendala dalam kehidupan rumah tangga. Saat suami atau istri justru membuka dirinya pada orang lain dan memilih untuk berbagi cerita bukan pada pasangannya, tapi pada orang lain tersebut. Disadari atau tidak, biasanya ketika individu akan memilih seseorang sebagai teman berbagi cerita seringkali sebenarnya individu akan memilih seseorang yang dikagumi. Alam bawah sadar individu menginginkan orang tersebut sebagai pengganti dari pasangan yang mungkin mulai terasa menjengkelkan dan terlihat banyak kekurangannya. Biasanya ada hal-hal yang mengagumkan yang dilihat pada orang tersebut yang mungkin tidak kita dapatkan pada pasangan. Dengan demikian, sebenarnya bibit ketertarikan sudah ada sebelumnya, namun tidak berani dinyatakan secara langsung (http://www.waspada.co.id). Kejadian ini dapat menguji commitment level suami atau istri pada pasangannya.

5 Situasi yang dapat mempengaruhi commitment level dalam perkawinan tergambar melalui keterbukaan suami atau istri yang seharusnya terbina erat dengan pasangan malah dikurangi bahkan terbatasi dikarenakan keterbukaan antara suami atau istri ( investment size) justru diumbar dengan orang lain. Suami atau istri membuka dirinya pada orang lain selain pasangannya dengan mencurahkan segenap perasaannya maupun sebagian rahasia yang dimilikinya dan bukan kepada pasangannya. Membagi rahasia dan perasaan pada orang lain membutuhkan rasa percaya terhadap orang lain yang dipilih sebagai tempat bercerita. Dengan menanamkan kepercayaan pada orang lain untuknya berbagi bagaian dari dirinya yang terdalam, keterbukaan suami atau istri pada pasangannya sendiri untuk berbagi mengenai hal-hal pribadi dan terdalam dari dirinya pun menjadi terbatas dan bahkan dapat membangun jarak diantara keduanya, jika ternyata lebih terbuka pada orang lain daripada pasangannya sendiri (http://www.waspada.co.id). Menghadapi realitas kehidupan berumahtangga ini, beberapa intitusi mulai serius menyingkapinya, di antaranya adalah Family Meeting yang diselenggarakan Gereja X. Dari hasil wawancara dengan Bapak Pendeta Agus, diketahui bahwa kegiatan Family Meeting ini awalnya dibuat karena menyadari bahwa hubungan rumah tangga yang sejahtera dan bahagia tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Setiap anggota keluarga perlu mendapatkan tuntunan dan dilengkapi oleh dasar ajaran Kristiani mengenai hubungan dalam pernikahan agar membentuk keluarga yang kokoh. Family Meeting dibuat didasari dengan visi membentuk keluarga harmonis dalam Tuhan. Misinya adalah menggembalakan pasangan suami istri

6 dan melengkapi pasangan suami istri menuju pertumbuhan rohani. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan tuntunan bagi suami/istri dalam pasang surut kehidupan pernikahan, memelihara komitmen pernikahan juga dapat tercipta rumah tangga yang sejatera, kokoh, dan bahagia. Family Meeting diadakan setiap bulannya dalam format talkshow yang bertujuan agar pasangan yang datang pada kegiatan ini dapat merasakan manfaat dari materi yang diberikan secara lebih aplikatif dalam hubungan suami istri dan hubungan jemaat dengan pasangannya dapat dipererat satu sama lainnya. Sebagaimana penuturan di atas, tujuan dari Family Meeting adalah untuk memperkuat komitmen dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. (Bpk. Pdt. Agus, 2009). Berdasarkan hasil kuesiener kepada delapan orang peserta Family Meeting Gereja X, didapatkan hasil mengenai penghayatan peserta mengenai hubungan pernikahan yang dijalaninya. Satisfaction level dapat dilihat sebagai seberapa besar kepuasan atas pernikahan yang dihayati oleh suami-istri dari Family Meeting Gereja X jika dibandingkan dengan harapan yang mereka miliki dalam pernikahan. Empat orang responden (50%) merasa sudah cukup puas akan kehidupan rumah tangganya, meskipun ada kalanya harapan responden untuk mengetahui diri pasangan seutuhnya masih belum tercapai sehingga menimbulkan keresahan dalam hubungannya. Tiga orang diantaranya (37,5%) menyatakan bahwa mereka masih kurang puas akan kehidupan pernikahannya. Responden menghayati adanya kekurangan dalam pernikahannya diakrenakan harapan merekan untuk lebih bahagia, lebih menghormati, saling mengalah, lebih mencintai satu sama lainnya, atau belum hadirnya buah hati belum terpenuhi.

7 Satu responden (12,5%) merasa sangat puas karena harapannya mendapatkan jodoh seperti pasangannya terkabul, pasangannya memiliki karakter yang sabar dan hal ini membuat dirinya cocok dengan karakter dirinya yang terkadang keterlaluan saat marah. Mengenai kemenarikan pilihan-pilihan lain dan jejaring sosial di luar hubungan pernikahan yang menjauhkan hubungan dengan pasangan (quality of alternatives). Sebanyak tiga orang responden (37,5%) menyatakan bahwa aktivitas, minat, kegiatan hingga kebiasaaan yang tidak disukai oleh pasangannya berpeluang menciptakan pertengkaran dalam rumah tangganya. Bahkan saat aktivitas, minat, kegiatan hingga kebiasaaan menjadi lebih menarik daripada kebersamaan dengan pasangan sehingga memicu pertengkaran, dua dari tiga orang tersebut cukup sering berpikir untuk mengakhiri pernikahannya. Empat responden (50%) menyatakan bahwa aktivitas, minat, kegiatan hingga kebiasaaan ada yang tidak disukai oleh pasangannya, tapi dengan saling menghargai dan adanya toleransi, hal ini tidak menimbulkan permasalahan berarti bagi hubungan pernikahan responden. Seorang responden (12,5%) menyatakan bahwa pasangannya justru memberikan dukungan penuh baginya untuk aktivitas, minat, kegiatan di luar rumah. Meskipun demikian, responden berupaya untuk selalu melibatkan dan hadir dengan pasangannya dalam kegiatan bersama mereka. Penghayatan keterlibatan peserta Family Meeting Gereja X dalam kebersamaan dengan pasangan pernikahan secara menyeluruh seperti waktu, rahasia, pemikiran, identitas, dan kenangan; juga energi emosional dalam setiap pengorbanan, rasa kehilangan, juga kedekatan dengan pasangan yang mengikat

8 dirinya dengan pasangan (investment size) dihayati oleh respondenseabgai berikut. Delapan orang responden (100%) menghayati besarnya rasa kehilangan seperti rasa kesepian dan kekhawatiran dalam dirinya jika pasangan meninggalkannya. Rasa kehilangan ini menjadi sebuah ikatan bagi dirinya dengan pasangannya, sehingga membuat responden ingin mempertahankan hubungan pernikahan mereka. Ketiga aspek commitment level, baik satisfaction level, quality of alternatives, dan investment size yang diiuraikan dalam survei awal di atas memiliki kontribusinya masing-masing dalam menentukan commitment level peserta Family Meeting Gereja X pada pasangannya. Individu dapat saja mengharapkan pernikahannya bertahan menghadapi kendala-kendala dari waktu ke waktu, akan tetapi terkadang harapan ini tidak semudah itu diwujudkan. Ada hubungan pernikahan dapat bertahan di tengah masa sulit, tapi adapula hubungan pernikahan yang terlihat baik-baik saja ternyata gagal untuk dipertahankan. Nyatanya sebuah komitmen tidak sebatas hanya sebuah harapan saja, tapi sebuah niat bagi tiap-tiap individunya dan teruji oleh tiap permasalahan yang mereka temui sehari-hari. Ketiga aspek pembentuk commitment level, yaitu satisfaction level, quality of alternatives, dan investment size memberikan kontribusi masing-masing dalam membentuk commitment level. Seberapa signifikankah ketiga aspek tersebut dalam membentuk commitment level. Olehkarena itu peneliti ingin mengetahui seberapa besar kontribusi aspekaspek commitment level (satisfaction level, quality of alternatives, dan investment size) terhadap commitment level pada peserta Family Meeting Gereja X.

9 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui seberapa besar kontribusi commitment level (satisfaction level, quality of alternatives, dan investment size) terhadap commitment level pada peserta Family Meeting Gereja X. 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai aspek-aspek commitment level (satisfaction level, quality of alternatives, dan investment size) dan commitment level peserta Family Meeting Gereja X. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai besarnya kontribusi aspek-aspek commitment level (satisfaction level, quality of alternatives, dan investment size) terhadap commitment level peserta Family Meeting Gereja X. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1.Kegunaan Teoritis -. Memberi masukan bagi peneliti lain yang hendak melakukan penelitian lanjutan yang berhubungan dengan commitment level.

10 -. Memberikan sumbangan informasi mengenai commitment level bagi ilmu psikologi, khususnya untuk psikologi perkembangan keluarga, yang berkonsentrasi pada hubungan pernikahan. 1.4.2. Kegunaan Praktis -. Memberikan informasi untuk pengurus Family Meeting Gereja X mengenai keadaan aktual commitment level peserta Family Meeting agar bisa digunakan untuk pemberian materi pada Family Meeting. 1.5 Kerangka Pikir Dalam kerangka konsep perkembangan keluarga, individu menjalani berbagai tahapan dalam tahun-tahun kehidupan berkeluarga. Menurut Duvall (1977) individu mengalami perkembangan, pendewasaan, dan berulang kali menyesuaikan diri pada tiap tahapan perkembangan keluarga. Diawali dengan pernikahan dengan pasangan, memiliki anak, anak beranjak remaja, hingga akhirnya anak mereka menikah, dan pasangan kembali tinggal hanya berdua. Ketika seseorang menikah, berbagai perubahan terjadi misalnya, muncul peran-peran yang diharapkan dalam lingkungan baik dari seseorang hak maupun kewajiban sebagai pasangan, menantu, ipar, orangtua. Latar belakang yang berbeda di antara suami istri pun ikut mewarnai berbagai penyesuaian diri pasangan pada pernikahan mereka. Berbagai perubahan yang terjadi membutuhkan penyesuaian bagi suami dan istri. Penyesuaian yang terus menerus dihadapi semasa kehidupan berumah tangga tentu tidak semuanya mudah untuk dilalui. Dalam menyelesaikan setiap

11 tahapan perkembangan ini, terdapat tantangan yang perlu mereka hadapi bersama. Cara pasangan dapat menyingkapi tantangan tersebut pun beragam. Beberapa diantaranya menganggap keadaan ketika ia mengalami tantangan tersebut sebagai pasang surut dalam pernikahan. Kondisi pernikahan yang mengalami pasang-surut menuntut pasangan terus belajar pelbagai perubahan dan perkembangan hubungan dengan pasangan dalam kehidupan pernikahannya. Para peserta Family Meeting Gereja X dengan permasalahannya masing-masing datang dan mencari bimbingan untuk menghadapi tantangan menyesuaikan diri dalam menghadapi pasang surut kehidupan rumah tangganya (Bpk. Pdt. Agus, 2009). Setiap penyesuaian dalam menghadapi pasang surut kehidupan berumah tangga dapat mempengaruhi kualitas hubungan peserta Family Meeting Gereja X dengan pasangannya. Menurut Rusbult (1993), kualitas yang diharapkan dalam sebuah hubungan pernikahan adalah terciptanya saling ketergantungan di antara suami dan istri dalam bentuk relasi interdependensi. Dalam relasi interdependensi terjadi saling ketergantungan antara pasangan. Artinya hubungan pernikahan berisikan hubungan yang saling memberi dan menerima. Peserta Family Meeting Gereja X yang saling menggantungkan pemenuhan kebutuhan dengan pasangannya dan menghayati besar pengaruh pasangannya terhadap dirinya akan berkomitmen untuk mempertahankan hubungan pernikahannya agar tetap sehat dan ingin mempertahankan hubungan pernikahan. Penghayatan dan persepsi peserta Family Meeting Gereja X terhadap komitmen pernikahan dapat berbeda-beda yang selanjutnya akan dicerminkan

12 melalui commitment level. Commitment level didefinisikan sebagai keadaan psikologis individu dalam menghayati ketergantungan akan hubungan dengan pasangan yang terinternalisasi melalui pengalaman-pengalaman yang dijalani sebelumnya, juga dalam menampilkan reaksinya pada situasi-situasi baru (Buunk & Rusbult; 1993 : 179). Artinya, commitment level pada peserta Family Meeting Gereja X secara gamblang terlihat dalam seberapa besar saling ketergantungan pada pasangan sehingga mendorong terciptanya kesetiaan untuk mempertahankan pernikahan. Menurut Rusbult dan Buunk (1993), commitment level dibentuk oleh satisfaction level, quality of alternatives, dan investment size. Satisfaction level diartikan sebagai tingkat kepuasan atas pernikahan yang dihayati oleh peserta Family Meeting Gereja X. Aspek kedua adalah quality of alternatives yaitu penilaian individu mengenai seberapa besar daya tarik alternatif lain, di luar hubungan pernikahan sehingga menjauhkan peserta Family Meeting Gereja X dan hubungannya dengan pasangan. Sedangkan investment size adalah pelbagai cara yang individu investasikan sehingga merasa terikat dalam hubungan dengan pasangan (Buunk & Rusbult; 1993 : 181-189). Sebuah hubungan pernikahan seperti pada peserta Family Meeting Gereja X dapat menghayati tinggi rendahnya satisfaction level lewat sebesar apa kebutuhan-kebutuhan terpenting dalam sebuah hubungan pernikahan (seperti kedekatan emosional, kebersamaan, kebutuhan seksual, keterlibatan emosional, dan rasa aman) terpenuhi dalam interaksinya dengan pasangan pernikahannya. Seberapa besar terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ini erat kaitannya dengan

13 harapan-harapan peserta Family Meeting Gereja X akan sebuah hubungan pernikahan yang diwarnai oleh pengalaman hubungan cinta, baik yang dialaminya dalam keluarga di masa lalu maupun teman, sanak-keluarga lainnya. Semakin banyak kepuasaan yang terbentuk dari banyaknya terpenuhinya kebutuhan sesuai dengan harapan yang dimilikinya, maka akan mempertinggi kesetiaan suami atau istri pada pasangannya dalam pernikahan. Jika pernikahan dirasa memuaskan semakin suami atau istri menginginkan kepuasan dalam kehidupan berumahtangganya tetap dapat bertahan sehingga ia akan semakin setia pada pernikahannya. Sebaliknya jika peserta Family Meeting Gereja X semakin tidak merasakan kepuasan sesuai dengan harapannya, maka semakin mudah ia memutuskan meninggalkan kesetiakan hubungan pernikahannya yang tidak bahagia ketika ada kesempatan yang sesuai dengan harapannya. Aspek kedua adalah quality of alternatives merujuk pada seberapa menarik peserta Family Meeting Gereja X menilai pilihan-pilihan dan jejaring sosial (di luar hubungan pernikahannya) sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya dalam hal kebersamaan, kedekatan emosional, kebutuhan seksual, dan rasa aman. Artinya semakin banyak alternatif pilihan yang dinilai lebih menarik, maka semakin besar kemungkinan untuk meninggalkan kesetiaan hubungan dengan pasangan, sehingga commitment level pun akan menurun. Ini berarti semakin besar daya tarik alternatif di luar hubungan perkawinan peserta Family Meeting Gereja X, dan kebutuhannya tidak secara efektif dapat terpenuhi dalam hubungan dengan pasangan, maka semakin ia mudah untuk memutuskan mengakhiri kesetiaan dengan pasangan. Ataupun sebaliknya saat peserta Family

14 Meeting Gereja X semakin banyak berpikiran bahwa pilihan di luar pernikahan kalah menarik daripada hubungan dengan pasangan, maka semakin ia memilih untuk setia pada pernikahanya dengan pasangan. Dalam periode pasang surut dalam pernikahan yang tidak selalu memuaskan ataupun pilihan lain di luar pernikahanpun tidak akan serta merta berhenti datang ketika peserta Family Meeting Gereja X menikah, ada aspek lain yang membuat sebuah hubungan pernikahan tetap bertahan menghadapi saatsaat tersebut. Aspek ini adalah aspek ketiga dari commitment level, yaitu investment size. Ketika peserta Family Meeting Gereja X menghayati semakin banyak bagian dari hidupnya diinvestasikan untuk hubungan pernikahan, seperti waktu yang diluangkan untuk kebesamaan, energi emosional untuk setiap pengorbanan yang dilakukan, begitu pula kenangan, rahasia yang dibagikan satu sama lainnya, pemikiran yang bisa dibagikan, dan kerugian yang dihayati bila harus mengakhiri hubungan dan mengakhiri identitas bersama; maka peserta Family Meeting Gereja X akan menghayati bahwa dirinya lebih setia untuk mempertahankan perkawinan pada pasangannya. Keterlibatan peserta Family Meeting Gereja X pada hubungan pernikahan ini akan mengikatkan diri mereka dengan pasangannya dan menjadikan hubungan dengan pasangannya sebagai sebagian dari dirinya sendiri yang ingin dipertahankan keberadaannya. Singkatnya, peningkatan keterikatan peserta Family Meeting Gereja X lewat banyaknya keterlibatan suami atau istri ini dalam kehidupan pasangannya, meningkatkan kesetiaan pada diri suami istri pula. Sebaliknya jika peserta Family Meeting Gereja X

15 penurunan keterlibatan dengan pasangannya, maka ia menjadi kurang mengenal pasangannya. Keterasingan dalam hubungan pernikahan membuat peserta Family Meeting Gereja X merasa ragu untuk mempertahankan kesetiaan dalam pernikahannya. Dalam suatu hubungan, satisfaction level dan investment size memiliki korelasi yang positif (Rusbult, Olsen, Davis, & Hannon., 2001:95) Artinya, peningkatan pada kepuasan dalam pernikahan atau keterlibatan peserta Family Meeting Gereja X dalam kehidupan pasangannya akan meningkatkan pula commitment level peserta Family Meeting Gereja X. Sebaliknya, quality of alternatives memiliki korelasi yang negatif dengan commitment level (Rusbult & Buunk, 2004:95). Hal ini pun berarti bahwa peningkatan ketertarikan peserta Family Meeting Gereja X akan berbagai pilihan di luar kehidupan berumah tangga dibandingkan pernikahannya sendiri, akan menurunkan commitment level peserta Family Meeting Gereja X. Melalui penelitian ini, ingin melihat seberapa besar kontribusi aspek-aspek commitment level (satisfaction level, quality of alternatives, dan investment size) terhadap commitment level peserta Family Meeting Gereja X. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan skema kerangka pikir sebagai berikut:

16 Satisfaction level rs Peserta Family Meeting Gereja X Bandung Quality of Alternatives Investment Size rs rs Commitment Level Bagan 1.1 Kerangka Pikir 1.6. Asumsi Dalam menjalani pernikahan peserta Family Meeting Gereja X membutuhkan penyesuaian terus menerus dari waktu ke waktu. Dalam upaya penyesuaian terus menerus, peserta Family Meeting Gereja X membutuhkan commitment level. Peserta Family Meeting Gereja X memiliki commitment level yang berbeda-beda. Commitment level dibentuk oleh satisfaction level, alternative quality, dan investment size. Kuat level komitmen dibentuk oleh kuatnya satisfaction level, lemahnya quality alternative, dan kuatnya investment size. 1.7. Hipotesis

17 Satisfaction level memberikan kontribusi signifikan terhadap commitment level peserta Family Meeting Gereja X. Quality of alternatives memberikan kontribusi signifikan secara negatif terhadap commitment level peserta Family Meeting Gereja X. Investment size memberikan pengaruh kontribusi terhadap commitment level peserta Family Meeting Gereja X.

18