BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 LANDASAN TEORI

Pemodelan Angka Putus Sekolah Usia Wajib Belajar Menggunakan Metode Regresi Spasial di Jawa Timur

Pemodelan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Timur Tahun 2015 Menggunakan Regresi Spasial

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III PEMBAHASAN. Pada pembahasan kali ini akan diuraikan langkah-langkah dalam melakukan

PEMODELAN DAN PEMETAAN ANGKA BUTA HURUF PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN PENDEKATAN REGRESI SPASIAL. Bertoto Eka Firmansyah 1 dan Sutikno 2

PEMODELAN SPATIAL ERROR MODEL (SEM) UNTUK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) DI PROVINSI JAWA TENGAH

APLIKASI MODEL SPATIAL AUTOREGRESSIVE UNTUK PEMODELAN ANGKA PARTISIPASI MURNI JENJANG PENDIDIKAN SMA SEDERAJAT DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION (GWR)

APLIKASI MODEL REGRESI SPASIAL UNTUK PEMODELAN ANGKA PARTISIPASI MURNI JENJANG PENDIDIKAN SMA SEDERAJAT DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMODELAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BALITA GIZI BURUK DI JAWA TIMUR DENGAN PENDEKATAN REGRESI SPASIAL

Pemodelan Pneumonia pada Balita di Surabaya Menggunakan Spatial Autoregressive Models

MODEL REGRESI SPASIAL UNTUK ANAK TIDAK BERSEKOLAH USIA KURANG 15 TAHUN DI KOTA MEDAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMODELAN KASUS TINDAK PIDANA DI KOTA SURABAYA DENGAN PENDEKATAN REGRESI SPASIAL 1 Defi Mustika Sari, 2 Dwi Endah Kusrini dan 3 Suhartono

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN MODEL GALAT SPASIAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.11. Penduduk Yang Bekerja di Sektor Pertanian Pengangguran... 40

SPATIAL AUTOREGRESSIVE MODEL DAN MATRIKS PEMBOBOT SPASIAL ROOK CONTIGUITY UNTUK PEMODELAN GINI RATIO DI INDONESIA TAHUN 2014.

Teknik Ensemble dengan Additive Noise pada Estimasi Parameter Model Autoregressive Spasial

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN MODEL GALAT SPASIAL ABSTRACT

BAB III METODELOGI PENELTIAN. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur,

MODEL SPASIAL DURBIN EROR UNTUK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI JAWA TENGAH

TINJAUAN PUSTAKA Profil Kabupaten Jember Pengeluaran Per kapita

PEMBENTUKAN MODEL DATA PANEL FIXED EFFECT MENGGUNAKAN GUI MATLAB

ROBUST LAGRANGE MULTIPLIER PADA PEMODELAN REGRESI SPASIAL DEPENDENSI (STUDI KASUS PENYUSUNAN MODEL ANGKA KEMATIAN BAYI DI PROVINSI JAWA TIMUR)

ROBUST LAGRANGE MULTIPLIER PADA PEMODELAN REGRESI SPASIAL DEPENDENSI (Studi Kasus Penyusunan Model Angka Kematian Bayi di Provinsi Jawa Timur)

Regresi Spasial untuk Menentuan Faktorfaktor Kemiskinan di Provinsi Jawa Timur

PEMODELAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPASIAL AUTOREGRESSIVE MODEL PANEL DATA

Maslim Rajab Syafrizal 1, Setiawan 2, Sutikno 3

PENERAPAN MODEL SPASIAL DURBIN PADA ANGKA PARTISIPASI MURNI JENJANG SMA SEDERAJAT DI PROVINSI JAWA TENGAH

BAB 3 METODE PENELITIAN. Wilayah dan pengumpulan data yang diambil adalah di Kabupaten Bekasi

SBAB III MODEL VARMAX. Pengamatan time series membentuk suatu deret data pada saat t 1, t 2,..., t n

APLIKASI REGRESI SPASIAL UNTUK PEMODELAN ANGKA HARAPAN HIDUP (AHH) DI PROVINSI JAWA TENGAH SKRIPSI

PEMBENTUKAN MODEL SPASIAL DATA PANEL FIXED EFFECT MENGGUNAKAN GUI MATLAB (Studi Kasus : Kemiskinan di Jawa Tengah)

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORI. Sebuah Matriks adalah susunan segi empat siku-siku dari bilangan-bilangan.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data time series tahunan Data

BAB IV METODE PENELITIAN. dilakukan secara sengaja (purposive) melihat bahwa propinsi Jawa Barat

BAB III METODE PENELITIAN. di peroleh dari Website Bank Muamlat dalam bentuk Time series tahun 2009

BAB I PENDAHULUAN. Model regresi adalah persamaan matematik yang dapat meramalkan nilai-nilai

ANALISIS SPASIAL PENGARUH TINGKAT PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA (Studi Kasus Provinsi Jawa Tengah) Abstract

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu

Pemodelan Kasus Tindak Pidana di Kota Surabaya dengan Pendekatan Regresi Spasial

BAB III METODE PENELITIAN. Daerah) di seluruh wilayah Kabupaten/Kota Eks-Karesidenan Pekalongan

IV. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuntungan atau coumpouding. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa

ANALISIS GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION (GWR) DENGAN PEMBOBOT KERNEL GAUSSIAN UNTUK DATA KEMISKINAN. Rita Rahmawati 1, Anik Djuraidah 2.

BAB III METODE PENELITIAN. B. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan

BAB III MIXED GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION (MGWR)

PEMODELAN KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN METODE SEEMINGLY UNRELATED REGRESSION (SUR) SPASIAL

III. METODE PENELITIAN

BAB III PEMBAHASAN. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai model regresi robust dengan

PEMODELAN KRIMINALITAS DENGAN PENDEKATAN REGRESI SPASIAL DI PROVINSI SULAWESI SELATAN

PEMODELAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA MENGGUNAKAN SPATIAL PANEL FIXED EFFECT (Studi Kasus: Indeks Pembangunan Manusia Propinsi Jawa Tengah )

BAB III METODE PENELITIAN. Bangli, Kabupaten Karangasem, dan Kabupaten Buleleng.

PEMANFAATAN DATA HASIL SUSENAS PADA PEMODELAN RASIO KELUARGA PRA SEJAHTERA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011

(R.16) KAJIAN MODEL SPASIAL DURBIN (SDM) DALAM PEMODELAN KEADIAN DIARE DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (Studi Kasus : Kabupaten Tuban)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 1. Apakah investasi mempengaruhi kesempatan kerja pada sektor Industri alat

Pemodelan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kriminalitas di Jawa Timur dengan Analisis Regresi Spasial

BAB III MODEL STATE-SPACE. dalam teori kontrol modern. Model state space dapat mengatasi keterbatasan dari

SKRIPSI PENGARUH ANGKATAN KERJA YANG BEKERJA DAN LEMBAGA PELATIHAN KERJA TERHADAP PDRB KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR MENGGUNAKAN REGRESI SPASIAL

BAB II LANDASAN TEORI. landasan pembahasan pada bab selanjutnya. Pengertian-pengertian dasar yang di

PENDEKATAN REGRESI SPASIAL DALAM PEMODELAN TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA MARIANA

Estimasi Parameter pada Regresi Spatial Error Model (SEM) yang Memuat Outlier menggunakan Iterative Z Algorithm

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN MODEL SPATIAL AUTOREGRESSIVE (SAR)

pendekatan dalam penelitian ini dinilai cukup beralasan.

BAB III METODE PENELITIAN

PENDEKATAN EKONOMETRIKA PANEL SPASIAL UNTUK PEMODELAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO DI KALIMANTAN BARAT

BAB III METODE PENELITIAN. Objek dari penelitian ini adalah indeks pembangunan manusia di Indonesia

BAB III METODE PENELITIAN. Statistik). Data yang diambil pada periode , yang dimana di dalamnya

III. METODE PENELITIAN. runtut waktu (time series) atau disebut juga data tahunan. Dan juga data sekunder

SKRIPSI PEMODELAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SEKTOR INDUSTRI DI PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN METODE REGRESI SPASIAL

BAB III METODE PENELITIAN. data PDRB, investasi (PMDN dan PMA) dan ekspor provinsi Jawa Timur.

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. variabel prediktor terhadap variabel respons. Hubungan fungsional

PENGUJIAN KESAMAAN BEBERAPA MODEL REGRESI NON LINIER GEOMETRI (Studi Kasus : Data Emisi CO 2 dan Gross Nation Product di Malaysia, Bhutan, dan Nepal)

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis pengaruh antara upah

III. METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Analisis Pengaruh Tingkat

OPTIMALISASI MATRIK BOBOT SPASIAL BERDASARKAN K-NEAREST NEIGHBOR DALAM SPASIAL LAG MODEL

ABSTRAK. Mariana, Dosen Pendidikan Matematika Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Ambon ,

PENERAPAN REGRESI SPASIAL PADA PEMODELAN KASUS KETERGANTUNGAN SPASIAL (Studi Kasus: Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia Tahun 2010)

BAB II LANDASAN TEORI. : Ukuran sampel telah memenuhi syarat. : Ukuran sampel belum memenuhi syarat

PEMODELAN DATA PANEL SPASIAL DENGAN DIMENSI RUANG DAN WAKTU (Spatial Panel Data Modeling with Space and Time Dimensions)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Agriculture, Manufacture Dan Service di Indonesia Tahun Tipe

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan kajian mengenai Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Upah

PERBANDINGAN MODEL GWR DENGAN FIXED DAN ADAPTIVE BANDWIDTH UNTUK PERSENTASE PENDUDUK MISKIN DI JAWA TENGAH

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Data merupakan bentuk jamak dari datum. Data merupakan sekumpulan

ABSTRAK. Kata kunci: DBD, Efek Spasial, Spatial Autoregressive (SAR).

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Regresi Berganda Analisis regresi merupakan analisis untuk mendapatkan hubungan dan model matematis antara variabel dependen (Y) dan satu atau lebih variabel independen (X). Menurut Drapper dan Smith dalam Astuti (2013), hubungan antara satu variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen dapat dinyatakan dalam model regresi linier. Secara umum hubungan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut Y = β 0 + β 1 X 1 +... + β p X p + ε, dimana Y variabel dependen, sedangkan β 0, β 1,..., β p adalah parameter yang tidak diketahui, dan ε adalah error regresi. Jika dilakukan pengamatan sebanyak n, maka model pengamatan ke-i adalah Y = β 0 + β 1 X i1 +... + β p X ip + ε t, i = 1,2,...,n (2.1) Jika diubah dalam matrik maka dapat dinyatakan sebagai berikut: Y = X = [ ] β = = (2.2) ( ) ( ) ( ) kalau disederhanakan menjadi Y = Xβ + ε, dimana Y adalah vektor berukuran nx1, X matriks berukuran n x k, β vektor berukuran kx1, dan ε vektor berukuran nx1. Matriks X mempunyai rank kolom penuh yaitu k, dimana k = p+1. Dalam 7

model regresi berganda ada asumsi normalitas yaitu. Pengujian kesesuaian model secara serentak dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: H 0 : β 1 = β 2 =... = β p = 0 H 1 : Paling sedikit ada satu β k 0, k=1,2,...,p Tabel 2.1. ANOVA Sumber Variasi Sum Square Db Mean Square F hit Regresi P Error n - (p + 1) Total SSR+SSE n-1 Statistik uji dalam pengujian tersebut adalah F hit = (2.3) dengan : MSR MSE : Mean Square Regression (Rataan Kuadrat Regresi) : Mean Square Error (Rataan Kuadrat Sisa) dengan keputusan model regresi sesuai untuk data yang digunakan jika F hit > F α;v1;v2 dimana v 1 = p dan v 2 = (n-p-1). Setelah dilakukan pengujian secara serentak, maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji signifikansi secara parsial, untuk mengetahui variabel mana saja secara statistik signifikan mempengaruhi variabel dependen. Bentuk rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut : H 0 : β k = 0 H 1 : β k 0, dengan k=1,2,...,p Dengan taraf signifikansi α = 0,05 8

Statistik uji yang digunakan dalam pengujian secara parsial adalah t hit = ( ), (2.4) dengan keputusan tolak H 0 jika t hit > dimana df = n-2-k (n adalah jumlah pengamatan dan k adalah jumlah variabel independen). 2.2 Pemodelan Spasial Hukum pertama tentang geografi dikemukakan oleh Tobler (1979), menyatakan bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh (Anselin dalam Septiana, 2011). Hukum tersebut merupakan dasar pengkajian permasalahan berdasarkan efek lokasi atau metode spasial. Hukum tersebut merupakan dasar pengkajian permasalahan berdasarkan efek lokasi atau metode spasial. Dalam pemodelan, apabila model regresi klasik digunakan sebagai alat analisis pada data spasial, maka dapat menyebabkan kesimpulan yang kurang tepat karena asumsi error saling bebas dan asumsi homogenitas tidak terpenuhi. Anselin (1988) mendeskripsikan dua efek spasial dalam ekonometrika meliputi efek dependensi spasial dan heterogenitas spasial. Efek dependensi spasial menunjukkan adanya keterkaitan (autocorrelation) antar lokasi obyek penelitian (cross sectional data set). Heterogenitas spasial mengacu pada keragaman bentuk fungsional dan parameter pada setiap lokasi. Lokasi-lokasi kajian menunjukkan ketidakhomogenan dalam data. Secara umum regresi spasial dinyatakan pada persamaan (2.5) dan (2.6) (LeSage, 1999; dan Anselin 1988). y = ρw 1 y + Xβ + u (2.5) 9

dengan u = λw 2 u + ε (2.6) ε ~ N(0,σ 2 I) dimana y : Vektor variabel dependen, ukuran n x 1 X : matriks variabel independen, ukuran n x (k+1) β : Vektor parameter koefisien regresi, berukuran (k+1) x 1 ρ λ : Parameter koefisien spasial lag variabel dependen : Parameter koefisien spasial lag pada error u : Vektor error pada persamaan (2.5) berukuran n x 1 ε : Vektor error pada persamaan (2.6) berukuran n x 1, yang berdistribusi normal dengan mean nol dan varians σ 2 I W1,W2 : Matriks pembobot, berukuran n x n I : Matrik identitas, berukuran n x n n : Banyaknya amatan atau lokasi (i = 1, 2, 3,..., n) k : Banyaknya variabel independen (k = 1, 2, 3,..., l) Error regresi (u) yang diasumsikan memiliki efek lokasi random dan mempunyai autokorelasi secara spasial. W1 dan W2 merupakan pembobot yang menunjukkan hubungan continguity atau fungsi jarak antar lokasi dan diagonalnya bernilai nol. Berikut ini adalah bentuk matrik persamaan (2.5) dan (2.7). u = [ ] ε = [ ] y = [ ] 10

W 1 atau W 2 = [ ] X = [ ] I n = [ ] Pada persamaan (2.5), ketika X = 0 dan W 2 = 0 akan menjadi spasial autoregressive order pertama seperti pada persamaan (2.7). y = ρw 1 y + ε (2.7) ε = N(0,σ 2 I) Persamaan (2.7) tersebut menunjukkan variansi pada y sebagai kombinasi linear variansi antar lokasi yang berdekatan dengan tanpa variabel independen. 1. Pada persamaan (2.5) jika nilai W 2 = 0 atau λ = 0 maka akan menjadi model regresi spasial Mixed Regressive-Autoregressive atau Spatial Autoregressive Model (SAR) seperti pada persamaan (2.8). y = ρw 1 y + Xβ + ε (2.8) ε~ N(0, σ 2 I) Model persamaan (2.8) mengasumsikan bahwa proses autoregressive hanya pada variabel dependen. 2. Jika persamaan (2.5) nilai W 1 = 0 atau ρ = 0 maka akan menjadi model Spatial Error Model (SEM) seperti pada persamaan (2.9). y = Xβ + λw 2 u + ε (2.9) ε ~ N(0, σ 2 I) λw 2 u menunjukkan spasial struktur λw 2 pada spatially dependent error (ε). 11

3. Jika persamaan (2.5) nilai W1,W2 0, λ 0 atau ρ 0 disebut Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA) dengan persamaan sama seperti pada persamaan (2.5) Apabila ρ = 0 dan λ = 0, maka persamaan menjadi model regresi linear sederhana yang estimasi parameternya dapat dilakukan melalui Ordinary Least Square (OLS) seperti pada persamaan (2.10). y = Xβ + ε (2.10) ε~ N(0, σ 2 I) Yang berarti dalam model persamaan (2.10) tersebut tidak terdapat efek spasial. 2.3 Spatial Error Model (SEM) Uji Residual SEM berbasis Maximum Likelihood Estimation dilakukan untuk mengetahui SEM. Anselin (1988) memaparkan bahwa tes untuk menguji Residual Spatial Autocorrelation ada 3 metode yaitu: Wald, Likelihood Ratio Test (LRT), dan Lagrange Multiplier (LM). LRT merupakan metode yang sering dipakai untuk enferensi dari SEM. Hipotesis yang dikemukakan adalah H 0 : λ = 0 (tidak ada dependensi error spasial) H 1 : λ 0 (ada dependensi error spasial) Arbia (2006) mengemukakan inferensi dari LRT dengan persamaaan sebagai berikut. LRT = -2 { [ ] } (2.11) 12

dengan B = λw dimana λ = koefisien error spasial yang bernilai λ < 1 dan W merupakan matriks pembobot spasial. H 0 ditolak jika statistik uji LRT > 2.4 Metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) Estimasi parameter dilakukan dengan menggunakan metode MLE. Langkah pertama adalah dengan membentuk fungsi likelihood dari persamaan (2.8). Pembentukan fungsi likelihood tersebut dilakukan melalui error (ε) sehingga menjadi persamaan (2.13) dan persamaan (2.10). (2.12) = ( ) (2.13) = ( ) (2.14) dengan adalah fungsi Jacobian, yaitu differensial persamaan (2.12) terhadap y. Substitusi persamaan (2.14) pada persamaan (2.13) menghasilkan persamaan (2.14) maka didapatkan fungsi likelihood yaitu = (( ) ( )) (2.15) 13

Sehingga fungsi logaritma natural (ln Likelihood) yang didapat adalah pada persamaan (2.16) ln (L) = (( ) ( )) = (( ) ( )) (2.16) Dari persamaan (2.16) tersebut akan didapatkan estimasi parameter β. Sebuah estimator ML untuk β diperoleh dengan memaksimumkan fungsi ln likelihood persamaan (2.16), yaitu dengan mensubstitusikan β sama dengan nol. Estimasi ini sama dengan Generalised Least Square estimator (GLS estimator),, sehingga dapat dianggap sebagai estimator kuadrat yang dihasilkan pada regresi y* pada X* y* = dan X* =, sehingga estimasinya adalah [ ] (2.17) 2.5 Matriks Pembobot Salah satu hal yang sangat penting dalam analisis spasial adalah penentuan bobot atau penimbang. Cara untuk memperoleh matriks pembobot atau penimbang spasial (W) yaitu dengan menggunakan informasi jarak dari ketetanggan (neighborhood), atau kedekatan antara satu region dengan region yang lain. Lokasi yang dekat dengan lokasi yang diamati diberi pembobot besar, 14

sedangkan yang jauh diberi pembobot kecil. Pemberian koding pembobotan menurut Bivand dalam Kissling dan Carl (2007), diantaranya pada persamaan (2.18), (2.19), dan (2.20). 1. Kode biner W ij = { (2.18) 2. Row Standardization Didasarkan pada jumlah tetangga pada satu baris yang sama pada matriks pembobot (2.19) 3. Varians stabilization Menstabilkan varian dengan menjumlahkan semua baris dan kolom. (2.20) Tobler dalam Anselin (1988), merumuskan hukum first law of geography yang berbunyi everything is related to everything else, but near things are more related than distant things artinya segala sesuatu saling berkaitan satu sama lainnya, wilayah yang lebih dekat cenderung akan memberikan efek yang lebih besar dari pada wilayah yang lebih jauh jaraknya. Ada beberapa metode untuk mendefinisikan hubungan persinggungan (contiguity) antar wilayah tersebut. Menurut LeSage (1999), metode contiguity terdiri dari: 1. Linier contiguity (persinggungan tepi) adalah lokasi yang berada di tepi kiri maupun kanan dari lokasi yang menjadi perhatian diberi pembobotan w ij = 1, sedangkan untuk lokasi lainnya adalah w ij = 0. 15

2. Rook contiguity (persinggungan sisi) adalah lokasi yang bersisian dengan lokasi yang menjadi perhatian diberi pembobotan w ij = 1, sedangkan untuk lokasi lainnya adalah w ij = 0. 3. Bishop contiguity (persinggungan sudut) adalah lokasi yang titik sudutnya bertemu dengan sudut lokasi yang menjadi perhatian diberi pembobotan w ij = 1, sedangkan untuk lokasi lainnya adalah w ij = 0. 4. Double linier contiguity (persinggungan dua tepi) adalah lokasi yang berada di sisi kiri dan kanan lokasi yang menjadi perhatian diberi pembobotan w ij = 1, sedangkan untuk lokasi lainnya adalah w ij = 0. 5. Double rook contiguity (persinggungan dua sisi) adalah lokasi yang berada di kiri, kanan, utara dan selatan lokasi yang menjadi perhatian diberi pembobotan w ij = 1, sedangkan untuk lokasi lainnya adalah w ij = 0. 6. Queen contiguity (persinggungan sisi-sudut) adalah lokasi yang bersisian atau titik sudutnya bertemu dengan lokasi yang menjadi perhatian diberi pembobotan w ij = 1, sedangkan untuk lokasi lainnya adalah w ij = 0. Dalam penelitian ini menggunakan pembobot Queen contiguity (persinggungan sisi-sudut) karena matriks pembobot ini mensyaratkan adanya pengelompokan wilayah yang memiliki persinggungan antara sisi dan sudut dari wilayah tersebut, dimana Wij = 1 untuk wilayah yang bersisian (common side) atau titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan wilayah yang menjadi perhatian, Wij = 0 untuk wilayah lainnya. 16

2.6 Pemilihan Model Terbaik Kriteria pemilihan model terbaik yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan Akaike Info Criterion (AIC) Dinotasikan dengan AIC = -2Lm + 2m (2.22) dimana : Lm = Maksimum log-likelihood m = jumlah parameter dalam model. Model dengan nilai yang kecil adalah yang terbaik (Wei, 1990). 2.7 Komponen-komponen Penyusun IPM Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks komposit yang disusun dari tiga komponen : lama hidup yang diukur dengan Angka Harapan Hidup ketika lahir (e 0 ), pendidikan yang diukur berdasarkan Rata-rata Lama Sekolah dan Angka Melek Huruf, serta standar hidup yang diukur dengan Pengeluaran per Kapita (PPP-Puchasing Power Parity / paritas daya beli dalam rupiah). Perubahan angka yang terjadi pada komponen IPM sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel atau indikator pendukung. Jenis variabel atau indikator tersebut terbagi ke dalam indikator input, proses dan output. Sebagai contoh : angka harapan hidup merupakan indikator dampak (output) dari angka kematian bayi sebagai sasaran pembangunan. Angka kematian bayi sendiri dipengaruhi oleh cakupan imunisasi, penolong persalinan dan lain sebagainya (merupakan indikator proses). 17

Pada penelitian ini akan dibahas komponen-komponen penyusun IPM sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi IPM di Jawa Tengah. Variabelvariabel yang digunakan adalah sebagai berikut. 1. Angka Harapan Hidup (e 0 ) Angka Harapan Hidup pada suatu umur x adalah rata-rata tahun hidup yang masih akan dijalani oleh seseorang yang telah berhasil mencapai umur x, pada suatu tahun tertentu, dalam situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. AHH saat lahir adalah rata-rata tahun hidup yang akan dijalani oleh bayi yang baru lahir pada suatu tahun tertentu. AHH merupakan alat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya. AHH yang cukup tinggi di suatu daerah merupakan salah satu indikator dari keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan. Pernyataan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa lama hidup seseorang dipengaruhi oleh tingkat kesehatan yang tinggi, asupan gizi dan kalori yang baik dan kepedulian terhadap program sosial lainnya termasuk kesehatan lingkungan dengan cara merawatnya yang cukup tinggi, termasuk program pemberantasan kemiskinan. Dengan demikian harapan hidup panjang lagi akan lebih terwujud. Idealnya AHH dihitung berdasarkan Angka Kematian Menurut Umur (Age Specific Death Rate/ASDR) yang datanya diperoleh dari catatan registrasi kematian secara bertahun-tahun sehingga dimungkinkan dibuat 18

tabel kematian. Tetapi karena sistem registrasi penduduk di Indonesia belum berjalan dengan baik maka untuk menghitung AHH digunakan cara tidak langsung dengan program Mortpak4. AHH Propinsi Jawa Tengah Tahun 2011 adalah 71,55 tahun. Artinya bayi-bayi yang dilahirkan pada tahun 2011 diperkirakan dapat mencapai hampir usia 72 tahun. Sumber data lain untuk mendapatkan variabel penyusun indikator ini adalah Sensus penduduk dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS). 2. Angka Melek Huruf Angka Melek Huruf (AMH) adalah persentase penduduk usia 15 tahun keatas yang bisa membaca dan menulis serta mengerti sebuah kalimat sederhana dalam hidupnya sehari-hari. AMH merupakan salah satu komponen di bidang pendidikan yang diukur dengan kemampuan untuk membaca dan menulis. Semakain tinggi nilai komponen ini, maka akan semakin tinggi mutu sumber daya manusianya. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan modal yang sangat berarti bagi pembangunan, baik pembangunan manusianya sendiri maupun pembangunan secara keseluruhan. AMH dapat digunakan untuk: Mengukur keberhasilan program-program pemberantasan buta huruf, terutama di daerah pedesaan di Indonesia dimana masih tinggi jumlah penduduk yang tidak pernah bersekolah atau tidak tamat SD. Menunjukkan kemampuan penduduk di suatu wilayah dalam menyerap informasi dari berbagai media. 19

Menunjukkan kemampuan untuk berkomunikasi secara lisan dan tertulis. Sehingga angka melek huruf dapat berdasarkan kabupaten mencerminkan potensi perkembangan intelektual sekaligus kontribusi terhadap pembangunan daerah. AMH didapat dengan membagi jumlah penduduk usia 15 tahun keatas yang dapat membaca dan menulis dengan jumlah penduduk usia 15 tahun keatas kemudian hasilnya dikalikan dengan seratus. (2.25) dimana : : AMH ( penduduk usia 15 tahun keatas) pada tahun t : jumlah penduduk (usia diatas 15 tahun) yang bisa membaca dan menulis pada tahun t : jumlah penduduk usia 15 tahun keatas Sumber data AMH dapat dihitung menggunakan data Susenas pertanyaan "Dapat membaca dan menulis" di seksi Keterangan Pendidikan. Melek huruf adalah mereka yang bisa membaca menulis huruf latin dan huruf lainnya. AMH yang cukup tinggi merupakan langkah awal yang cukup baik sebagai pijakan untuk membangun sumber daya manusia di masa yang akan datang. Fakta terakhir menunjukkan bahwa semakin baik sumber daya manusianya, maka penguasaan terhadapa ekonomi / kesejahteraan akan semakin dominan. Ini dibuktikan dengan penguasaan ekonomi oleh negaranegara maju yang notabene sumber daya alamnya cukup terbatas, akan tetapi 20

karena penguasaan teknologi yang bagus menjadikannya sebagai salah satu penguasa ekonomi dunia. Sebaliknya, Angka Buta Huruf menunjukkan ketertinggalan sekelompok penduduk tertentu dalam mencapai pendidikan. Angka Buta Huruf ini juga merupakan cerminan besar kecilnya perhatian pemerintah, baik pusat maupun lokal terhadap pendidikan penduduknya. 3. Kemampuan Daya Beli (PPP) Daya beli adalah kemampuan masyarakat dalam membelanjakan uangnya dalam bentuk barang maupun jasa. Kemampuan daya beli menggambarkan tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai dampak semakin membaiknya tingkat ekonomi agar dapat dikatakan memenuhi standar hidup layak. Meningkatnya pendapatan diharapkan kemampuan daya beli akan meningkat pula, dengan syarat kenaikan pendapatan tidak dibarengi kenaikan harga barang dan jasa yang jauh lebih tinggi. Dasar penghitungan kemampuan daya beli tidak secara langsung dikaitkan dengan salah satu indikator pendapatan yang sudah dikenal luas yaitu PDRB. Alasannya karena tolok ukur pendapatan daerah, produksinya tidak langsung dirasakan oleh penduduk, alasan lainnya karena pendapatan orang yang sama belum tentu mempunyai kemampuan daya beli yang sama bila kedua orang tersebut mempunyai temat tinggal yang berbeda. Sehingga perlu dilakukan penghitungan daya beli yang representatife. 21

Kemampuan daya beli antar daerah berbeda-beda dengan rentang tertinggi 732.720 dan yang terendah 360.000. Semakin rendahnya nilai daya beli suatu masyarakat berkaitan erat dengan kondisi perekonomian pada saat itu yang sedang memburuk, yang berarti semakin rendah kemampuan masyarakat untuk membeli suatu barang atau jasa. Idealnya untuk mengukur daya beli, pendekatan yang terbaik adalah dengan mengukur tingkat pendapatan (income) dengan disposable income. Namun, permasalahannya sulit sekali untuk megukur pendapatan seseorang karena setiap orang tidak hanya mendapatkan pendapatan dari gaji pokok mereka tetapi mereka juga kerap mendapat tambahan-tambahan dari sumber-sumber penghasilan yang lain. Nilai pengeluaran perkapita tidak dapat digunakan untuk keterbandingan antar wilayah mana yang daya belinya lebih baik. Selain itu 27 komoditi yang digunakan untuk mengukur daya beli tidak mencerminkan kondisi spesifik lokal dimana komoditas tiap daerah mungkin berbeda. 22