4 Universitas Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

4 Universitas Indonesia

Pendahuluan. Harmas Yazid Yusuf 1

26 Universitas Indonesia

PREVALENSI KISTA ODONTOGENIK RONGGA MULUT DI RUMAH SAKIT IBNU SINA DAN RUMAH SAKIT SAYANG RAKYAT PERIODE TAHUN

BAB 2 DEFINISI, ETIOLOGI, HISTOPATOLOGIS DARI PINDBORG TUMOR. 2.1 Definisi Tumor Odontogenik Epitelial Berkalsifikasi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Setiap individu terdapat 20 gigi desidui dan 32 gigi permanen yang. 2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. sempurna jika tubuh mampu mengeliminasi penyebabnya, tetapi jika tubuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tumor odontogenik memiliki kelompok-kelompok lesi yang kompleks

BAB I. dalam kehidupan sehari-hari. Kesehatan pada dasarnya ditunjukan untuk. untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Penyakit gigi dan mulut

OSTEOSARCOMA PADA RAHANG

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menembus gingiva sampai akhirnya mencapai dataran oklusal. 5-7 Pada manusia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI GIGI. Drg Gemini Sari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEHILANGAN TULANG DAN POLA PERUSAKAN TULANG Kehilangan tulang dan cacat tulang yang diakibatkan penyakit periodontal membahayakan bagi gigi, bahkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pertumbuhan dalam tulang rahang melalui beberapa tahap berturut-turut hingga

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis,

TUMOR ODONTOGENIK. Lira Masri NPM Dosen Pembimbing : Agung Dinasti Permana,dr.,M.Kes.,Sp.THT-KL. Disusun Oleh :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan.

GAMBARAN RADIOGRAFI CEMENTO OSSIFYING FIBROMA PADA MANDIBULA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karakteristik sebagai tumor jinak, bersifat lokal invasif

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (Pedersen, 1966). Selama melakukan prosedur pencabutan gigi sering ditemukan

Grafik 1. Distribusi TDI berdasarkan gigi permanen yang terlibat 8

BAB I PENDAHULUAN. II. RUMUSAN MASALAH 2.1. Apa yang dimaksud dengan kista? 2.2. Apa saja klasifikasi kista rahang? 2.3. Bagaimana cara penanganannya?

BAB II KEADAAN JARINGAN GIGI SETELAH PERAWATAN ENDODONTIK. endodontik. Pengetahuan tentang anatomi gigi sangat diperlukan untuk mencapai

Odontektomi. Evaluasi data radiografi dan klinis dari kondisi pasien

Tahap-tahap penegakan diagnosis :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang melibatkan glandula saliva. Sebelum membahas mengenai kedua penyakit

Kista radikuler dan kista dentigerous

ADENOMATOID ODONTOGENIC TUMOR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

OROANTRAL FISTULA SEBAGAI SALAH SATU KOMPLIKASI PENCABUTAN DAN PERAWATANNYA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. insisif, premolar kedua dan molar pada daerah cervico buccal.2

Hanna H. Bachtiar Iskandar Menik Priaminiarti. Dipresentasikan di forum ilmiah PDGI Jakarta Timur - Juni 2008

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. gigi, mulut, kesehatan umum, fungsi pengunyahan, dan estetik wajah.1 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. semua orang tidak mengenal usia, golongan dan jenis kelamin. Orang yang sehat

BAB II TINJAUAN UMUM FRAKTUR DENTOALVEOLAR PADA ANAK. (Mansjoer, 2000). Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka fraktur

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Maturitas adalah proses pematangan yang dihasilkan oleh pertumbuhan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. KEADAAN ANATOMIS SEBAGAI FAKTOR PREDISPOSISI PENYAKIT PERIODONTAL

BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG. infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi

BAB 1 PENDAHULUAN. Teknik radiografi yang digunakan dalam bidang kedokteran gigi ada dua yaitu teknik intraoral dan ekstraoral.

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawatan orthodonti cekat pada periode gigi bercampur bertujuan untuk

MEKANISME ERUPSI DAN RESORPSI GIGI

Proses erupsi gigi adalah suatu proses isiologis berupa proses pergerakan gigi yang

BAB I PENDAHULUAN. ortodontik berdasarkan kebutuhan fungsional dan estetik. Penggunaan alat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENATALAKSANAAN PENCABUTAN GIGI DENGAN KONDISI SISA AKAR (GANGREN RADIK)

CROSSBITE ANTERIOR DAN CROSSBITE POSTERIOR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PROGNOSIS PENYAKIT GINGIVA DAN PERIODONTAL

BAB I PENDAHULUAN. manusia contohnya adalah obesitas, diabetes, kolesterol, hipertensi, kanker usus,

NEOPLASMA TULANG. Neoplasma : Berasal dari Tulang : Jinak : Osteoma, Osteoid osteoma, osteoblastoma

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

umumnya, termasuk kesehatan gigi dan mulut, mengakibatkan meningkatnya jumlah anak-anak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KLAS III MANDIBULA. Oklusi dari gigi-geligi dapat diartikan sebagai keadaan dimana gigi-gigi pada rahang atas

BAB 2 PENGERTIAN, ETIOLOGI, TANDA DAN GEJALA OSTEOSARKOMA. Osteosarkoma adalah suatu lesi ganas pada sel mesenkim yang mempunyai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. keberhasilan perawatan kaping pulpa indirek dengan bahan kalsium hidroksida

LAPORAN PRAKTIKUM PEMBUATAN PREPARAT SUPRAVITAL EPITELIUM MUKOSA MULUT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fungsional normalnya, karena itu dikategorikan sebagai patologik dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. gigi (Sherlin, 2013). Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang paling

I. PENDAHULUAN. terapeutik pilihan yang dilakukan pada gigi desidui dengan pulpa terinfeksi.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TRAUMA MAKSILOFASIAL. Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menilai usia skeletal karena setiap individu berbeda-beda (Bhanat & Patel,

CROSSBITE ANTERIOR. gigi anterior rahang atas yang lebih ke lingual daripada gigi anterior rahang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 SENDI TEMPOROMANDIBULA. Temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks yang dapat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 GAMBARAN KLINIS, GAMBARAN HISTOPATOLOGI, MANIFESTASI DAN GAMBARAN RADIOGRAFI NOONAN SYNDROME DI RONGGA MULUT

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (Rencana Kegiatan Belajar Mengajar)

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KISTA RAHANG 2.1.1 Definisi Kista adalah rongga patologik yang dibatasi oleh epitelium. (1-6) Kista berisi cairan atau setengah cairan yang bukan berasal dari akumulasi pus maupun darah. (7,10-11,13-14) Lapisan epitelium itu sendiri dikelilingi oleh jaringan ikat fibrokolagen. (11) 2.1.2 Gambaran Secara Umum Kista rahang merupakan kista yang paling sering ditemukan dibandingkan kista tulang lainnya, karena banyaknya sisa epitel yang tertinggal pada jaringan setelah pembentukan gigi. Menurut WHO (1992) kista rahang terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu kista odontogenik dan kista non-odontogenik. (1,7) Mayoritas kista berukuran kecil dan tidak menyebabkan pembengkakan di permukaan jaringan. (6) Apabila tidak ada infeksi, maka secara klinis pembesarannya minimal dan berbatas jelas. Pembesaran kista dapat menyebabkan asimetri wajah, pergeseran gigi dan perubahan oklusi, hilangnya gigi yang berhubungan atau gigi tetangga, serta pergeseran gigi tiruan. Kista yang terletak di dekat permukaan dan telah meluas ke dalam jaringan lunak, sering terlihat berwarna biru terang dan membran mukosa yang menutupi sangat tipis. (14) Kista dilihat dari gambaran radiografik menunjukkan lapisan tipis radioopak yang mengelilingi bulatan radiolusensi. (15-16) Namun dapat terjadi kalsifikasi distrofik pada kista yang sudah lama berkembang, sehingga menyebabkan gambaran kista tidak sepenuhnya radiolusensi pada struktur internalnya. (16) Kista dapat berbentuk unilokular dan multilokular. (15-16) 4

5 2.2 KISTA ODONTOGENIK 2.2.1 Definisi Kista odontogenik adalah kista yang berasal dari sisa-sisa epitelium pembentuk gigi (epitelium odontogenik). Seperti kista lainnya, kista odontogenik dapat mengandung cairan, gas atau material semisolid. (13) Kista odontogenik disubklasifikasikan menjadi kista yang berasal dari developmental atau inflammatory. Kista developmental yakni kista yang tidak diketahui penyebabnya, namun tidak terlihat sebagai hasil reaksi inflamasi. Sedangkan kista inflammatory merupakan kista yang terjadi karena inflamasi. (1) 2.2.2 Etiologi Ada tiga macam sisa jaringan yang masing-masing berperan sebagai asal-muasal kista odontogenik (13) : 1. The epithelial rests or glands of Serres yang tersisa setelah terputusnya dental lamina. Ini merupakan penyebab odontogenik keratosis. Selain itu, juga dapat menjadi penyebab beberapa kista gingival dan periodontal lateral developmental. 2. Email epitelium tereduksi yang berasal dari organ email dan selubung gigi yang belum erupsi namun telah terbentuk sempurna. Kista dentigerous (folikular) dan kista erupsi berasal dari jaringan ini. 3. The rests of Malassez yang terbentuk melalui fragmentasi dari epithelial root selubung Hertwig. 2.2.3 Klasifikasi Klasifikasi kista odontogenik menurut WHO tahun 1992 (1,7) 1. Developmental a. Kista dentigerous b. Kista erupsi c. Kista odontogenik keratosis d. Kista orthokeratinisasi odontogenik e. Kista gingival (alveolar) pada bayi

6 f. Kista gingival pada dewasa g. Kista lateral periodontal h. Calcifying odontogenic cyst i. Kista glandular odontogenik 2. Inflammatory a. Kista periapikal (radikular) b. Kista residual periapical (radikular) c. Buccal bifurcation cyst 2.2.4 Gambaran Secara Umum Menurut Cawson (1991) dan Archer (1975) kista dentigerous merupakan kista kedua yang paling banyak terjadi setelah kista radikular, yakni dengan jumlah 15-18%. (2,8) Menurut penelitian sebelumnya oleh Jean-Paul M, dkk pada tahun 2006, dengan jumlah kasus 695 ditemukan bahwa persentase kista odontogenik yang terdapat di Pitie-salpetriere University Hospital, Paris, Prancis yaitu (9) : 1. Kista periodontal 53,5% 2. Kista dentigerous 22,3% 3. Keratosis odontogenik 19,1% 4. Residual cyst 4,6% 5. Kista lateral periodontal 0,3% 6. Kista glandular odontogenik 0,2% Kista tumbuh secara ekspansi hidrolik dan dilihat dari gambar radiografik biasanya menunjukkan lapisan tipis radioopak yang mengelilingi radiolusensi. Adanya proses kortikasi yang terlihat secara radiografik adalah merupakan hasil dari kemampuan tulang disekitarnya untuk membentuk tulang baru lebih cepat dibandingkan proses resorpsinya, hal inilah yang terjadi selama perluasan lesi. (2)

7 2.3. KISTA DENTIGEROUS 2.3.1 Definisi Kista dentigerous adalah rongga patologik yang dibatasi oleh epitelium atau kantung jaringan ikat yang berbatas epitelium skuamosa berlapis yang terbentuk disekeliling mahkota gigi yang tidak erupsi dan terdapat cairan. (8) Kista dentigerous merupakan kista yang berasal dari pemisahan folikel disekitar gigi yang belum erupsi. (1,5,7) 2.3.2 Etiologi dan Patogenesis Kista dentigerous merupakan kista yang terbentuk pada saat mahkota gigi telah terbentuk dengan sempurna. Oleh karena itu, sebelumnya kita perlu mengetahui tahap-tahap pembentukan gigi. Tahaptahap tersebut yaitu (17) : 1. Tahap inisiasi yaitu tahap dimana dental lamina dan benih gigi yang merupakan bagian dari epitelium mulut mulai membentuk benih gigi. 2. Tahap proliferasi yaitu tahap dimana sel-sel epitel dalam bertambah banyak dan membentuk bagian dari organ-organ email. 3. Tahap histodifferensiasi yaitu tahap dimana sel-sel epitel dalam dari organ email berubah menjadi ameloblast dan sel-sel epitel tepi dari organ dentin menjadi odontoblast. 4. Tahap morphodifferensiasi merupakan tahap pertemuan sel-sel pembentuk disepanjang bagian yang akan menjadi dentinoenamel junction dan denticemento junction yang akan menentukan kontur dan ukuran mahkota gigi dan akar gigi. 5. Tahap aposisi merupakan tahap deposisi atau pengendapan matriksmatriks keras dari struktur gigi, seperti matriks email, dentin dan sementum dalam bagian-bagiannya yang berlapis-lapis. Kelainan atau gangguan pada masa pembentukan gigi akan menyebabkan terbentuknya kista. Perkembangan dari kista dentigerous disebabkan karena penumpukan atau akumulasi cairan antara sisa-sisa

8 organ email dan mahkota gigi, dan kadang-kadang di dalam organ email itu sendiri. (11) Adapun alternatif lain mengatakan bahwa mekanisme patogenesis dari pada pembentukan kista dentigerous merupakan degenerasi retikulum stelata organ email setelah pembentukan mahkota gigi selesai, tetapi kebanyakan merupakan akibat dari perubahan degenerasi sisa epitel email dan email epitelium tereduksi. (8) Gigi impaksi yang mempunyai potensi untuk erupsi akan menyebabkan penyumbatan aliran venous (venous outflow) dan mengakibatkan transudasi serum dinding-dinding kapiler. Hal ini akan mengakibatkan tekanan hidrostatik yang akan memisahkan folikel dari mahkota gigi. (8) Selain itu Thoma menyatakan bahwa pembentukan kista dentigerous berasal dari perubahan degeneratif dalam retikulum stelata dalam organ email pada perkembangan pertama. Cairan yang terkumpul melalui transudasi dari jaringan perifolikular akan mengakibatkan ekspansi dari organ email. Hal ini merupakan aktifitas osmotik yang dapat meningkatkan perkembangan kista dimana epitel merupakan membran yang permeabel. Folikel disekitar mahkota gigi akan membentuk membran fibrosa dari kista dan lapisan luar kista yang merupakan lapisan epitel berasal dari lapisan epitel luar organ email. (18) Tekanan hidrostatik tersebut berperan dalam pembesaran kista dan diduga sebagai penyebab dari tekanan hidrostatik berhubungan dengan adanya perbedaan tekanan osmotik di dalam kista. Disamping itu pelepasan deskuamasi sel-sel epitel dan sel-sel radang ke dalam lumen kista akan menambah tekanan osmotik di dalam kista dan lebih jauh lagi berperan dalam pembesaran atau ekspansi dari kista. (19) 2.3.3 Gambaran Klinis Jumlah kista dentigerous yakni 22,3% dari seluruh kista odontogenik dan merupakan kista kedua yang paling banyak terjadi setelah kista periodontal. (3,8-9)

9 Kisaran umur untuk kasus kista dentigerous sangat bervariasi. Menurut Cawson (1991), Neville (2002) dan Regezi (2003) kista dentigerous paling sering terjadi pada pasien dengan usia 10 30 tahun (dekade hidup kedua dan ketiga). (1-2,11) Sedangkan menurut Fonseca (2000) dan Langlais (2003) kista ini biasanya terjadi sebelum usia 20 tahun dan lebih sering terjadi pada pria. (3,20) Menurut penelitian yang dilakukan oleh Freitas (2005), di Brazil bahwa kasus kista dentigerous dapat terjadi pada kisaran usia 3 57 tahun. Dan ditemukan pula 10 dari kasus 17 kasus kista dentigerous terjadi pada anak dibawah usia 15 tahun. (12) Menurut Fonseca (2000) kemungkinan terjadinya kista ini akan bertambah seiring bertambahnya usia, karena berhubungan dengan gigi impaksi. Sebagai contoh seseorang berusia 50 tahun dengan gigi impaksi, kemungkinannya memiliki kista dentigerous lebih besar dibandingkan dengan pasien 21 tahun dengan gigi impaksi pula. Namun karena sebagian besar masyarakat telah membuang gigi impaksinya saat masih muda, maka kelompok usia muda mendominasi statistik yang ada. (3,20-21) Penelitian terakhir menunjukkan terjadi pemerataan jumlah kasus dari berbagai usia dalam lima dekade terakhir ini. (13) Kista dentigerous hampir selalu melibatkan gigi permanen, walaupun ada beberapa laporan mengenai keterlibatan gigi sulung. (1-3,10) Gigi permanen yang paling sering terlibat adalah molar ketiga rahang bawah, kaninus rahang atas, dan premolar rahang bawah, karena impaksi paling sering terjadi pada daerah tersebut diatas. (1,3,10) Dapat juga ditemukan pada complex compound odontoma atau pada gigi supernumerari. (1-10) Kista dentigerous biasanya tidak menimbulkan rasa sakit, tetapi kadang-kadang dapat pula menimbulkan rasa sakit yang disebabkan oleh pembesaran dari kista atau kista tersebut terinfeksi. (3,11) Kista ini dapat terinfeksi melalui jalur hematogen, dan dapat terkait dengan adanya rasa sakit dan bengkak. (1,8) Infeksi dapat terjadi karena erupsi gigi sebagian atau karena perluasan lesi periapikal atau periodontal yang mempengaruhi

10 gigi sekitar. (3,8,11) Secara ekstra oral, kista dapat diketahui bila kista sudah membesar dan ditandai dengan adanya asimetri wajah. Sedangkan, secara intra oral terlihat tidak tumbuhnya gigi pada daerah yang membengkak, adanya pergeseran letak gigi yang ekstrim, dan resorpsi tulang alveolar dan akar gigi, hal ini biasanya terjadi bila kista sudah menjadi kronis. (10) Jika kavitas kista mengandung darah, pembengkakan dapat berwarna ungu atau biru tua yang disebut eruption hematoma. (1-2,4) Pembesaran kista terutama pada regio molar ketiga rahang bawah dapat meliputi seluruh ramus sampai prosesus koronoid dan kondilus, diikuti pembesaran pada tulang kortikal. Pada keadaan ini gigi molar ketiga dapat terdesak sampai batas inferior tulang mandibula, pembesaran kista ini dapat mengakibatkan penipisan tulang kortikal karena proses erosi yang disebabkan dari ekspansi kista tersebut. Sehingga, penipisan dari tulang kortikal ini dapat mengakibatkan fraktur patologis walaupun hal ini jarang terjadi. Pada kasus kista dentigerous di regio kaninus rahang atas dapat mengakibatkan sinusitis akut atau selulitis. (3,11) 2.3.4 Gambaran Radiografik Pemeriksaan radiografik pada rahang dengan kista dentigerous menggambarkan daerah radiolusensi yang mengelilingi gigi impaksi atau mahkota gigi yang tidak erupsi. (1,3,10) Kista dentigerous dibagi menjadi beberapa tipe sesuai posisi dimana kista terbentuk dalam hubungannya dengan mahkota gigi (1,4,22) : 1. Tipe Sentral Kista dentigerous tipe ini mengelilingi mahkota gigi dan mahkota terproyeksi ke dalam kista. (1) Pada tipe sentral pembentukan kista terjadi sebelum degenerasi organ email yang meliputi mahkota gigi. Kista dentigerous sentral yang mengelilingi keseluruhan mahkota gigi secara berangsung-angsur akan membesar. (22)

11 Gambar 2.1. Kista Dentigerous. Tipe sentral menunjukan mahkota terproyeksi kedalam rongga kista. Sumber : Oral & Maxillofacial Pathology. 2 nd. (1) 2. Tipe Lateral Kista dentigerous tipe ini terbentuk pada sisi mesial atau distal gigi dan meluas jauh dari gigi, namun hanya terjadi disekitar mahkota gigi. (1,4) Kista ini terbentuk pada bagian email yang menetap setelah bagian atas permukaan oklusal telah berubah menjadi dental cuticle. Kista ini dapat memiringkan gigi atau menggantikan gigi ke arah sisi yang terlibat. (4) Gambar 2.2. Kista Dentigerous. Tipe lateral menunjukan kista yang besar sepanjang akar mesial gigi yang tidak erupsi. Sumber : Oral & Maxillofacial Pathology. 2 nd. (1)

12 3. Tipe Sirkumferensial Pada tipe ini, seluruh email disekitar leher gigi dapat menjadi kista dentigerous, dan biasanya sering menyebabkan gigi untuk erupsi melalui kista (seperti lingkaran donat), sehingga menghasilkan gambaran yang mirip dengan kista radikular. (4) Kista tampak mengelilingi mahkota dan meluas ke sepanjang akar sehingga akar tampak terletak di dalam kista. (1) Gambar 2.3. Kista Dentigerous. Tipe sirkumferensial menunjukan kista meluas sepanjang akar mesial dan distal gigi yang tidak erupsi. Sumber : Oral & Maxillofacial Pathology. 2 nd. (1) Gambaran radiografik kista dentigerous umumnya berupa lesi yang halus, unilokular, dan kadang-kadang multilokular. (3) Lesi yang terlihat unilokular berhubungan dengan gigi yang tidak erupsi atau odontoma. Daerah radiolusensi dibatasi oleh lapisan tipis sklerotik yang menunjukkan terjadinya reaksi tulang, yang hanya tampak jika terjadi infeksi sekunder. (1,3) Jika terdapat kasus kista dentigerous yang multipel, kemungkinan lain berupa kista odontogenik sindrom sel basal nevus. (10) Pada radiografik, kista terlihat sebagai radiolusensi perikoronal yang diselubungi oleh jaringan kortikal, dimana harus dibedakan dari ruang folikular normal. (20) Kadang terdapat pseudoloculation sebagai hasil dari trabekulasi atau penggabungan dinding yang keras (tulang). Lesi dapat menjadi cukup besar dan kemungkinan untuk terjadinya penetrasi

13 kortikal lebih besar jika ukurannya bertambah. (23) Pada gambar radiografik ruang folikular dari molar ketiga besarnya sekitar 2 mm, dimana 3 mm merupakan batas dari gigi kaninus yang impaksi. (3,20) Terdapat kesamaan tampilan antara kista dentigerous kecil dengan folikel yang hiperplastik. (24) Odontogenik keratosis atau ameloblastoma juga kadang menyelubungi mahkota gigi, dan keduanya dapat menciptakan tampilan radiografik seperti kista dentigerous. Oleh karena itu identifikasi intraoperatif dari lesi kista ini, paling baik dilakukan dengan cara dirujuk ke ahli patologi oral. Sebagai petunjuk umum, jika ruang folikular di sekitar mahkota lebih besar dari 3 mm, maka dapat di diagnosis sebagai kista dentigerous. (23) Lebar ruang perikoronal 2,5 mm atau lebih merupakan daerah minimal yang dibutuhkan untuk diagnosis kemungkinan kista dentigerous. (4) Jika kista tetap tidak dikenali selama periode yang panjang, maka gigi yang disertainya akan teresorbsi, namun jarang terjadi. (23) Gambar 2.4. Kista Dentigerous. Lesi radiolusensi melibatkan mahkota premolar mandibula yang tidak erupsi. Sumber : Oral & Maxillofacial Pathology. 2 nd. (1) 2.3.5 Gambaran Histopatologi Tidak ada gambaran mikroskopik yang khas untuk membedakan kista ini dengan kista odontogenik lainnya. (10) Kista dentigerous terdiri dari dinding jaringan ikat tipis dengan lapisan tipis epitel skuamosa berlapis.

darah. (10) Sediaannya menunjukkan jaringan ikat fibrokolagen yang padat 14 (3,10) Tidak ada pembentukan rete peg kecuali kista terinfeksi sekunder. Permukaan epitelium umumnya dilapisi lapisan beralur dari parakeratin atau orthokeratin. Terdapat infilrasi sel peradangan dari jaringan ikat. Kandungan lumen berupa cairan kuning, tipis, dan terkadang terdapat sebagai gambaran utamanya. Epithelial rest odontogenic biasanya terlihat disediaannnya, dengan konsentrasi disekitar lumen atau dibatas epitelnya meningkat. Batas luminalnya terdiri dari epitelium skuamosa berlapis dan non-keratin. (3) Pada gigi yang berkembang tidak wajar, dapat ditemukan email epitelium tereduksi dengan eosinofilik sitoplasma yang berbentuk kubus atau persegi panjang. Keseluruhan lumen biasanya tidak dibatasi dengan epitelium, bahkan beberapa bagian tampak hanya dibatasi oleh jaringan ikat. (25) Kadang juga ditemukan numerous mucous cells, sel bersilia, dan yang paling jarang, ditemukan sel sebasea di sisi (lining) epitel. (11) Gambar 2.5. Kista dentigerous. Kista dentigerous non inflamasi menunjukan lapisan tipis, nonkeratinized epithelial lining. Sumber : Oral & Maxillofacial Pathology. 2 nd. (1)

15 Gambar 2.6. Kista dentigerous. Kista dentigerous inflamasi menunjukan epithelial lining yang lebih tipis dengan hyperplastic rete ridges. Sumber : Oral & Maxillofacial Pathology. 2 nd. (1) Gambar 2.7. Kista dentigerous. Scattered mucous cell dapat tampak dalam epithelial lining. Sumber : Oral & Maxillofacial Pathology. 2 nd. (1) 2.3.6 Potensi Keganasan Setiap folikel gigi pada gigi yang impaksi atau gigi yang tidak erupsi dan gigi berlebih yang impaksi, berpotensi menjadi kista dentigerous. (10) Sedangkan kista dentigerous berpotensi menjadi ameloblastoma. Diperkirakan 33% dari kasus ameloblastoma berhubungan dengan kista dentigerous. Zegarelli pada tahun 1994 mengatakan bahwa kista odontogenik merupakan langkah pertama perkembangan ameloblastoma. (22)

16 Kista dentigerous dapat bertransformasi menjadi neoplasma sebenarnya, dengan riset menunjukkan bahwa 17% dari ameloblastoma dihubungkan dengan kista dentigerous yang sudah ada. Transformasi malignan yang paling sering dihubungkan dengan kista dentigerous adalah karsinoma sel skuamosa; karsinoma mukoepidermoid juga memungkinkan. (15) Beberapa komplikasi potensial yang dapat terjadi selain kemungkinan terjadinya rekurensi akibat pembedahan yang tidak sempurna, adalah (10) : 1. Perkembangan ameloblastoma Ameloblastoma berkembang pada dinding kista dentigerous dari lapisan epitelium atau sisa epitelial. Hasil penelitian dari 641 kasus ameloblastoma, 17% kasus berkaitan dengan gigi impaksi /folikular /kista dentigerous. Disposisi dari proliferasi epitelial neoplastik dalam bentuk ameloblastoma ini lebih sering ditemui pada kista dentigerous dibandingkan kista odontogenik lainnya. Manifestasi pembentukan tumor ini terjadi sebagai penebalan nodul pada dinding kista tetapi gambaran klinis yang jelas sulit ditentukan, sehingga perlu pemeriksaan mikroskopis dari jaringan kista dentigerous tersebut. 2. Perkembangan karsinoma epidermoid Perkembangan karsinoma epidermoid berasal dari lapisan epitelium. Faktor predisposisi dan mekanisme perkembangan belum diketahui, tetapi kejadiannya menampakkan unequivocal. 3. Perkembangan karsinoma mukoepidermoid Karsinoma mukoepidermoid merupakan bentuk dari tumor kelenjar saliva malignan dari lapisan epitelium kista dentigerous yang mengandung sel sekresi mukus. Lebih jarang terjadi dibandingkan karsinoma epidermoid. Dan sering terjadi pada kista dengan impaksi molar ketiga mandibula.

17 2.3.7 Perawatan dan Prognosis Kista dentigerous biasanya mudah diangkat dengan cara enukleasi, dimana pada gigi yang berhubungan juga dilakukan ekstraksi gigi. (3) Enukleasi dari kista tersebut dapat diikuti dengan perawatan orthodontik, untuk menahan gigi yang bersangkutan (seperti kaninus maksila). (1,3) Untuk kista yang lebih besar harus dilakukan marsupialisasi, karena apabila dilakukan enukleasi dan ekstraksi gigi maka dapat menghasilkan kerusakan saraf dan pembuluh darah terhadap gigi serta struktur anatomi disekitarnya, seperti sinus maksila, rongga nasal ataupun rongga orbita. (3) Pada kasus dimana kista mempengaruhi sebagian besar mandibula, maka tindakan awal yang dilakukan adalah eksteriorization atau marsupialisasi kista, sehingga memungkinkan terjadinya dekompresi (pengurangan tekanan udara) dan penyusutan pada lesi, dengan demikian dapat mengurangi luas bagian yang akan dibedah nantinya. (11) Untuk mendapat akses ke kistanya, diperlukan pembuatan flap mukoperiosteal yang cukup. (8) Alternatifnya gigi dapat di transplantasi ke alveolar ridge atau di ekstraksi, lalu kista dienukleasi. (2,23) Prognosis kista dentigerous baik, dan tanpa adanya rekurensi. (3) Rekurensi jarang terjadi jika pengangkatan keseluruhan kista dilakukan dengan baik. (1) 2.3.8 Diagnosis Banding Diagnosis banding radiolusensi perikoronal kista dentigerous meliputi odontogenik keratosis, ameloblastoma, dan tumor odontogenik lainnya. Transformasi ameloblastik dari dentigerous cyst lining juga bisa menjadi diagnosis banding. Tumor odontogenik adenomatoid bisa menjadi pertimbangan apabila ada radiolusensi perikoronal anterior, dan fibroma ameloblastik apabila ada lesi yang terjadi di rahang posterior pasien usia muda. (3)