Bab III. Hasil dan Pembahasan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

Model Populasi Nyamuk Aedes Aegypti

BAB III MODEL MATEMATIKA DINAMIKA PENYEBARAN AEDES AEGYPTI BERDASARKAN ANGIN DAN SAYAP

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

3 MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Nyamuk Uji 3.3 Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin

BAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel

BAB III METODA PENELITIAN. pengaruh ekstrak daun pepaya (Carica papaya) dalam menghambat proses

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Nyamuk sebagai vektor

Pengaruh Kualitas Pelayanan Dan Tingkat Harga Terhadap Peningkatan Penjualan Mie Ayam Keriting Permana di Perumahan Harapan Baru 1

SIMULASI MODEL POPULASI NYAMUK DENGAN FUNGSI KARAKTERISASI HABITAT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS AKHIR. Oleh Erdina Sri Febriyanti NRP Dosen Pembimbing Dr. Erna Apriliani, M.Si Drs. Setijo Winarko, M.Si

BAB IV ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Pada table 4.1 diatas menunjukan bahwa hasil uji statistik deskriptif untuk

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. O1 X 0 O k : Observasi awal/pretest sebanyak 3 kali dalam 3minggu berturut-turut

II. TELAAH PUSTAKA. Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Aedes spp. (Wikipedia, 2013)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh adalah spesies atau subspecies dari genus Coturnix yang tersebar di

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

Statistik merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang paling banyak

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

A. LATAR BELAKANG MASALAH

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah?

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN Analisis Rasio ROI, ROE, NPM, DAR dan DER pada Perusahaan

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.)TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK Aedes aegypti INSTAR III

BAB 2 LANDASAN TEORI. Istilah regresi pertama kali diperkenalkan oleh Francis Galton. Menurut Galton,

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. bunga dan inflasi selama kurun waktu Februari sampai dengan Desember 2009.

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Yang menjadi objek Pada penulisan skripsi ini, adalah Analisis Modal

BAB 11 ANALISIS REGRESI LINIER BERGANDA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder.

BAB IV HASIL PENELITIAN. salah satunya menggambarkan karakteristik responden yaitu : Jenis kelamin, usia,

BAB 2 LANDASAN TEORI. 1. Analisis Korelasi adalah metode statstika yang digunakan untuk menentukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi,

Hubungan Linier Jumlah Penduduk Yang Bekerja dengan Belanja Langsung

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Setelah penyebaran kuesioner kepada siswa kelas X SMA Negeri 11 Kota

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian adalah Kerangka kerja dalam suatu studi tertentu, guna

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

REGRESI DAN KORELASI PADA JASA PARIWISATA DAN PERHOTELAN. Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., M.MA., MA.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Aedes sp. ,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. teori yang menjadi dasar dan data yang diperoleh dari Badan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai gambaran umum

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

BAB II TINJAUAN UMUM AEDES AEGYPTI DAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

III. METODOLOGI PENELITIAN. dan verifikatif. Metode deskriptif adalah studi untuk menentukan fakta dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Unilever Indonesia, Tbk, didapatkan informasi Earning Per Share Tahun Tabel 4.1

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

Nama : Setiyanti Rianta P. NPM : Jurusan : Akuntansi Pembimbing : Dr. Lana Sularto

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode yang sudah

BAB ΙΙ LANDASAN TEORI

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Statistik deskriftif menggambarkan tentang ringkasan data-data penelitian. dalam penelitian ini sebanyak 10 sampel.

BAB 2 LANDASAN TEORI. berkenaan dengan studi ketergantungan dari suatu varibel yaitu variabel tak bebas (dependent

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN. menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL ). Perlakuan yang diberikan

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. membantu dalam menyelesaikan penelitian ini.

3. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. untuk membentuk model hubungan antara variabel dependen dengan satu atau

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian daya tolak ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) terhadap

PENGARUH MOTIVASI KERJA DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA PUSAT ADMINISTRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IX. HUBUNGAN ANTARA PENGUSAHAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI

BAB IV HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB IV REGRESI LINIER BERGANDA. Tujuan Pengajaran: Setelah mempelajari bab ini, anda diharapkan dapat:

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. Objek penelitian ini adalah perusahaan LQ45 yang terdaftar di Bursa Efek

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah non eksperimental analitik dengan desain

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Data Laporan Keuangan PT Mayora Indah Tbk. Tabel. 4.1 Data Laporan Keuangan PT Mayora Indah Tbk.

3. METODE PENELITIAN

BAB 4 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Transkripsi:

Bab III Hasil dan Pembahasan Bab 3 menguraikan formulasi model siklus hidup nyamuk Aedes aegypti, pengolahan dan analisis data serta model regresi data telur nyamuk hasil pengamatan 3.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti terdiri dari empat fase, mulai dari telur, larva, pupa dan kemudian menjadi nyamuk dewasa. Fase-fase siklus hidup nyamuk Aedes aegypti ini dapat dilihat pada tabel 3.1. Tabel 3.1 Ringkasan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti No. Fase Keterangan 1. Telur 1. Telur menjadi larva dalam waktu 1 2 hari. 2. Ukuran telur 0.7 mm per butir 3. Bentuk telur ovoid 4. Telur diletakkan nyamuk satu per satu pada dinding bejana 1,5 cm di atas permukaan air. 5. Telur tidak berpelampung 6. Sekali bertelur nyamuk betina menghasilkan 100 butir 7. Telur kering dapat tahan 6 bulan 2. Larva Terdapat empat tahapan perkembangan larva yang disebut instar. Tahapan perkembangan larva (instar) dari 1 sampai 4 memerlukan waktu 6 hari. 25

Setelah mencapai instar ke-4 larva ada yang berubah menjadi pupa. Larva memiliki sifon dengan satu kumpulan rambut Pada waktu istirahat larva membentuk sudut dengan permukaan air. 3. Pupa Sebagian kecil tubuhnya kontak dengan permukaan air. Bentuk terompet panjang dan ramping. Dalam 1 2 hari pupa menjadi nyamuk Aedes aegypti. 4. Nyamuk Nyamuk Aedes aegypti rata-rata hidupnya 8 10 hari. Panjang 3 4 mm. Bintik hitam dan putih pada badan dan kepala, dan punya ring putih di kakinya. Sumber: data diolah dari berbagai sumber. 3.3 Formulasi Model Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti 3.3.1 Persamaan Model Matematika Siklus Hidup Nyamuk Berdasarkan siklus model yang telah dipelajari sebelumnya seperti yang dirangkum pada sub bab 3.1, selanjutnya akan dibuat model matematis siklus hidup nyamuk Aedes aegypti. Dalam tugas akhir ini, model siklus hidup nyamuk Aedes aegypti ini mengacu pada tulisan D. R. Miller, D. E. Weidhaas, dan R. C. Hall [2]. Dalam tulisannya, Miller, et al. [2] membangun model ini untuk memahami dan menjelaskan perilaku populasi nyamuk Culex pipiens quinquefasciatus secara rinci mulai dari fase telur sampai dengan fase dewasa dalam keadaan tunak serta parameter-parameter yang berpengaruh terhadap populasi nyamuk dalam setiap 26

tingkatan siklus hidupnya, seperti dapat dilihat pada gambar 3.1. Dalam model ini, siklus hidup nyamuk digambarkan dalam bentuk kompartemen yang dibagi menjadi interval-interval yang sama panjangnya (dalam kasus ini interval waktunya adalah hari). Meskipun model kompartemen dalam [2] digunakan untuk menjelaskan nyamuk Culex pipiens quinquefasciatus, namun model ini dapat digunakan untuk menjelaskan populasi nyamuk Aedes aegypti yang digunakan sebagai objek penelitian tugas akhir ini. Secara umum, siklus hidup nyamuk Culex pipiens quinquefasciatus dan Aedes aegypti mempunyai kesamaan, mulai dari fase telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa, seperti dirangkum pada tabel 3.1. Pada kondisi sesaat, model populasi nyamuk dapat dijelaskan dengan jumlah individu-individu yang berada dalam masing-masing interval atau kompartemen tersebut. Parameter-paremater yang menjelaskan peningkatan individu-individu populasi dari kompartemen ke kompartemen lainnya membolehkan model untuk mengikuti perkembangan suatu populasi sesuai dengan berjalannya waktu. Dalam model ini waktu intervalnya adalah satu hari karena untuk nyamuk lebih tepat horisontal waktunya adalah hari. 27

Gambar 3.1 Model kompartemen siklus hidup serangga nyamuk. Sumber Miller, et. al [2] Jika gambar 3.1 digunakan untuk memodelkan nyamuk Aedes aegypti, maka dapat dilihat bahwa masing-masing individu nyamuk diasumsikan pada kondisi saat ini berada dalam satu dari 21 kompartemen. Perpindahan dari satu blok ke blok lainnya, dalam model gambar 3.1, diindikasikan dengan garis panah tebal, yang diasumsikan memenuhi dengan pasti satu hari. Dari model gambar 3.1 dapat dinyatakan bahwa x 1, x 2,,x 21 berturut-turut merupakan jumlah individual nyamuk yang hidup pada hari 1, 2, 3,, 21. Nilai subskrip 1, 2, 3, pada x i mengacu pada posisi kompartemen model. Dalam model tersebut, terdapat perbedaan antara nyamuk jantan dan betina setelah ruang kamar x 10. Untuk nyamuk jantan, fase yang akan dilalui setelah fase pupa (x 10 ) menjadi nyamuk jantan muda-1, x 19, nyamuk jantan muda-2, x 20, sampai menjadi nyamuk dewasa, x 21. Nyamuk dewasa pada tahap ini (x 21 ) akan membuahi betina untuk kemudian tetap bertahan pada sampai akhirnya mati. Berbeda dengan nyamuk jantan, untuk nyamuk betina, tahapan yang dilalui setelah fase pupa x 10 adalah nyamuk betina muda-1, x 11, nyamuk betina muda-2, x 12, sampai dengan nyamuk betina yang bertelur (egg-laying female), x 18. 28

Untuk nyamuk betina dewasa, setelah tahap x 18, nyamuk tersebut kembali ke tahap G1, x 14, tahap nyamuk betina dewasa yang dibuahi nyamuk jantan dewasa. Pada model tersebut terdapat beberapa fraksi P, yaitu P 1, P 2, P 3, P 4, P 5, dan P 6. Nilai probabilitas yang ada tersebut merupakan nilai-nilai parameter untuk menjelaskan empat tahapan yang berbeda. Akan tetapi dalam kenyataannya, nilainilai parameter ini sangat sulit untuk didapatkan. Dari model, P 1 merupakan fraksi yang menyatakan peluang larva berubah menjadi pupa setelah 4 hari (x 6 ) dari fase larva. P 2 merupakan peluang seekor larva berubah menjadi pupa pada hari ke-5 (x 7 ) dari fase larva. P 3 merupakan peluang pupa menjadi nyamuk betina muda. Nyamuk betina muda menjadi dewasa dalam dua hari, dan fraksi nyamuk muda dinyatakan dengan parameter P 4. P 4 merupakan peluang seekor nyamuk betina dibuahi tepat 1 hari setelah fase pupa, yaitu pada fase nyamuk betina muda (x 11 ). P 5 merupakan peluang seekor nyamuk betina bertelur, tepat 2 hari setelah dibuahi. P 6 adalah peluang seekor nyamuk betina bertelur, tepat 3 hari setelah dibuahi. Penjelasan tingkat bertahan hidup nyamuk sulit untuk diprediksi lebih akurat. Pada tahapan dewasa, diasumsikan bahwa kematian nyamuk tetap setelah kemunculannya. Salah satu kondisi terpenting dalam kematian nyamuk adalah pada fase larva akhir. Pada fase ini akan masuk akal jika diasumsikan fraksi bertahan hidup akan berkurang dengan meningkatnya kerapatan populasi kondisi maksimum 1 ke kondisi minimal 0. Parameter ini dinyatakan dengan N. Tingkat kematian larva diasumsikan terjadi pada semua tahapan keempat fase tersebut untuk penyederhanaan. Disamping parameter P, terdapat beberapa parameter lainnya, yaitu: R yang menyatakan jumlah rata-rata telur nyamuk, F merupakan fraksi fertilitas telur menjadi larva, D adalah 29

peluang hidup nyamuk dari fase larva ke fase pupa, dan s adalah peluang hidup nyamuk setelah fase pupa. Selanjutnya berdasarkan gambar 3.1 persamaan-persamaan yang menyatakan populasi siklus hidup nyamuk dapat dinyatakan dengan persamaan-persamaan x 1 (k) sampai persamaan x 21 (k) berikut. Jumlah telur hari pertama pada hari k+1 akan bergantung pada jumlah nyamuk betina yang bertelur pada hari k dalam media R, sebagai berikut. x 1 (k+1) = Rx 18 (k) (3.1) Selanjutnya jumlah seluruh telur sampai hari kedua akan berjumlah x 2 (k+1) = x 1 (k) (3.2) Diasumsikan bahwa tidak semua telur dapat menetas menjadi larva. Terdapat parameter F yang menyatakan peluang telur menjadi larva. Parameter ini bergantung pada beberapa kriteria, termasuk kondisi lingkungan, persaingan dan lain-lain). Parameter F merupakan parameter yang dapat mengendalikan jumlah telur menjadi larva, sehingga persamaan pada fase ini adalah sebagai berikut. x 3 (k+1) = F.x 2 (k) (3.3) x 3 (k+1) merupakan hari pertama nyamuk dalam fase larva atau hari ketiga dari siklus. Selanjutnya persamaan dalam fase larva, berturut-turut dapat dilihat pada persamaan (3.4) sampai dengan (3.6). x 4 (k+1) = x 3 (k) (3.4) x 5 (k+1) = x 4 (k) (3.5) x 6 (k+1) = Dx 5 (k) (3.6) 30

Pada persamaan (3.6) terdapat parameter D yang menyatakan fungsi bertahan hidup nyamuk, dan dalam kasus ini dinyatakan dengan persamaan berikut. D = 0.9 0.89 x 5 /N Nilai N merupakan nilai populasi tunak pada hari keempat pada fase larva. Untuk penyederhanaan, jumlah larva secara substansial akan bertambah besar dan nilai N juga akan bertambah besar. Untuk nilai x 5 lebih besar dari N, nilai D dapat diset menjadi 0.01 untuk menghindari nilai negatif. Selajutnya dari gambar 3.1 tersebut, persamaan-persamaan berikutnya akan dinyatakan sebagai berikut. x 7 (k+1) = (1-P 1 ). x 6 (k) (3.7) (3.7) adalah persamaan yang menyatakan sebagian larva menjadi pupa pada hari ke- 5 fase larva dengan peluang (1-P 1 ). x 8 (k+1) = (1-P 2 ) x 7 (k) (3.8) (3.8) menyatakan persamaan sisa larva yang ada berubah menjadi pupa pada hari ke- 6 fase larva dengan peluang (1-P 2 ). x 9 (k+1) = P 1 x 6 (k) + P 2 x 7 (k) + x 8 (k) (3.9) (3.9) menyatakan persamaan hari dimana seluruh nyamuk dari fase larva telah menjadi pupa dan yang tidak berubah diasumsikan musnah. x 10 (k+1) = x 9 (k) (3.10) (3.10) menyatakan persamaan hari kedua dalam fase pupa x 11 (k+1) = P 3.s. x 10 (k) (3.11) 31

(3.11) menyatakan persamaan hari pertama nyamuk betina muda. Dalam persamaan ini nilai parameter P 3 adalah peluang munculnya nyamuk betina muda dari fase pupa. Mulai hari ke-1 dari fase ini ada parameter tambahan yaitu s. Paremeter s timbul karena nyamuk telah dapat terbang, sehingga nyamuk mempunyai peluang mati karena faktor lingkungan pada saat nyamuk terbang. x 12 (k+1) = (1-P 4 ) s x 11 (k) (3.12) (3.12) menyatakan persamaan hari kedua nyamuk dalam fase nyamuk betina muda. Pada hari kedua ini nyamuk betina dapat dibuahi oleh jantan. Oleh karena itu muncul peluang dibuahi pada hari ini adalah (1-P 4 ). x 13 (k+1) = P 4 s x 11 (k) + s x 12 (k) (3.13) (3.13) menyatakan persamaan hari pertama nyamuk dalam kondisi telah dibuahi. Pada fase kawin, jumlah nyamuk merupakan penjumlahan dari jumlah nyamuk betina muda yang dibuahi pada hari pertama ditambah nyamuk betina muda yang dibuahi pada hari kedua. x 14 (k+1) = s x 13 (k) + s x 18 (k) (3.14) (3.14) merupakan persamaan hari pertama nyamuk mengandung atau hari pertama nyamuk siap bertelur (G 1 ). Jumlah nyamuk pada fase G 1 adalah nyamuk yang telah dibuahi ditambah nyamuk yang telah bertelur, namun akan bertelur lagi. Ini terdapat pada penjelasan model bagan siklus hidup nyamuk. x 15 (k+1)=s x 14 (k) (3.15) (3.15) merupakan persamaan hari dimana nyamuk yang telah siap bertelur, bertelur tepat pada satu hari setelahnya. x 16 (k+1) = (1-P 5 ) s x 15 (k) (3.16) 32

(3.16) merupakan persamaan hari nyamuk bertelur tepat 2 hari setelah siap bertelur. x 17 (k+1) = (1-P 6 ) s x 16 (k) (3.17) (3.17) merupakan persamaan hari nyamuk bertelur tepat 3 hari setelah siap bertelur. x 18 (k+1) = P 5 s x 15 (k) + P 6 s x 16 (k)+p 7 s x 17 (k) (3.18) (3.18) merupakan persamaan hari dimana nyamuk telah bertelur. Jumlahnya adalah hasil penjumlahan dari fase nyamuk bertelur. Pada tahap ini nyamuk yang telah bertelur dan akan bertelur lagi kembali pada fase G 1. Setelah sampai pada x 18, telur nyamuk akan berada dalam siklus, yaitu mulai dari x 1 dan akan mengikuti iterasi hingga sampai ia bertelur (untuk betina) atau membuahi (jantan) kemudian pada suatu saat akan mati. Selanjutnya persamaan (3.19) menyatakan persamaan hari pertama nyamuk menjadi nyamuk jantan muda. Peluang menjadi nyamuk jantan muda adalah 1-P 3. x 19 (k+1) = (1-P 3 ) s x 10 (k) (3.19) x 20 (k+1) = s x 19 (k) (3.20) (3.20) menyatakan persamaan hari kedua nyamuk dalam fase nyamuk jantan muda. x 21 (k+1) = s x 20 (k) + s x 21 (k) (3.21) (3.21) menyatakan persamaan hari dimana nyamuk jantan muda menjadi dewasa. Nyamuk dapat menjadi dewasa hanya dalam 1 hari, karena itu x 21 (t) adalah penjumlahan dari 2 hari sebelumnya. Tidak seperti betina, nyamuk jantan tidak dapat membuahi betina jika belum dewasa. Sedangkan nyamuk betina sudah dapat dibuahi semenjak menjadi nyamuk muda pada hari pertama. 3.2.2 Analisis Kondisi Tunak Model 33

Dari gambar 3.1 didapatkan bahwa terdapat 21 persamaan dengan 21 variabel yang tidak diketahui mulai dari x 1 sampai dengan x 21. Jika diasumsikan bahwa semua tahapan populasi nyamuk tersebut dalam keadaan setimbang sesuai dengan berjalannya waktu, seluruh k dalam persamaan-persamaan tersebut dapat diabaikan. Dengan demikian, kondisi tunak tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan solusi x i di tahapan manapun. Dari gambar 3.1, dapat diamati bahwa tahapan siklus tersebut dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: a. Bagian linear Bagian linier ini dimulai dari fase telur sampai fase pupa. Dalam bagian ini terdapat beberapa faktor (parameter) yang mempengaruhi, yaitu D, F dan R, yang semua nilainya tetap (semua fase dalam keadaan setimbang). b. Bagian yang dimulai dari muculnya nyamuk sampai proses kawin terdapat faktor s, yaitu survival rate, parameter P 3, dan P 4 c. Bagian peletakkan telur oleh nyamuk betina yang telah dibuahi terdapat faktor s, P 5, dan P 6. Langkah awal proses kondisi tunak dimulai dari bagian c. Persamaan (3.22) merupakan probabilitas bahwa nyamuk betina pada tahap G1 (blok 14) akan bertahan hidup cukup lama untuk bertelur, misalnya sampai mencapai blok 18. P e = P 5 s 2 + P 6 (1-P 5 )s 3 + (1-P 5 )(1-P 6 )s 4 (3.22) dimana P e adalah probabilitas nyamuk betina yang dapat bertahan hidup cukup lama dari pembuahan hari pertama sampai menaruh telur sebanyak satu kali. Namun ada kemungkinan nyamuk betina tersebut dapat menaruh telurnya lebih dari satu kali ke dalam ovitrap. Anggaplah setelah menaruh telur nyamuk tersebut akan 34

menaruh telurnya kembali ke dalam ovitrap yang sama, maka probabilitas nyamuk betina tersebut menaruh telur sebanyak 2 kali adalah sp e. Dengan asumsi yang sama, probabilitas nyamuk betina yang menaruh telur sebanyak 3 kali adalah 2 sp e dan seterusnya. Dari sini didapatkan ekspektasi banyaknya nyamuk betina menaruh telur ke ovitrap adalah Nr, dan dinyatakan dengan persamaan (3.23). P e P 2 e + Pe(sPe) + Pe(sPe ) +... = (3.23) 1 spe Akhirnya nilai Pe Nr= jumlah kemungkinan telur yang dihasilkan nyamuk 1 sp e betina selama hidupnya sejak kawin. Selanjutnya dari bagian b dapat dicari nilai probabilitas bahwa nyamuk betina yang lahir baru akan bertahan untuk kawin, dan P 3 merupakan probabilitas munculnya nyamuk dewasa adalah betina. Dengan demikian, perkalian semua ini akan menghasilkan persamaan (3.24) N 2 3 e 4 = RNrP3[s P4 + s ( 1 P )] (3.24) Jika nilai Ne pada persamaan (3.24) ini digabungkan ke dalam bagian a akan menghasilkan persamaan (3.25) [P 5 s 2 + P ( 1 P )s 6 1 s[p 5 2 5s 3 + P + ( 1 P 6 5 5 ( 1 P )s )( 1 P )s 3 6 4 + ( 1 P 5 ][P 4 s 3 )( 1 P )s + ( 1 P 6 4 ] 4 )s 4 ] DFR= 1 (3.25) Karena parameter F dan D berada dalam keadaan setimbang, maka persamaan kondisi tunaknya menjadi persamaan (3.26) N e.d.f = 1 (3.26) 35

3.3 Hasil dan Pengolahan Data Telur Nyamuk 3.3.1 Lokasi Pengamatan Telur Nyamuk Pengamatan dan pegumpulan data telur nyamuk Aedes aegypti dilakukan dengan menempatkan ovitrap nyamuk sebanyak 50 buah yang diletakkan di lokasi lingkungan gedung Labtek III, Departemen Matematika, ITB. Pengumpulan data telur ini dimaksudkan untuk mendapatkan salah satu parameter model, yaitu ratarata telur nyamuk, R, seperti telah diuraikan pada sub bab 3.2. Seperti dijelaskan pada sub bab 2.1.3 e, nyamuk Aedes aegypti menyukai tempat gelap yang tersembunyi sebagai tempat beristirahat dan berkembang biaknya, dan telur nyamuk banyak ditemukan tidak jauh dari lokasi tempat beristirahatnya [3]. Atas dasar tersebut, dipilihlah lokasi-lokasi tempat menyimpan ovitrap nyamuk percobaan tersebut. Adapun lokasi yang tempat penyimpanan ovitrap adalah sebagai berikut: a. Lantai dasar Lokasi di dekat AC sebanyak 4 ovitrap, di selasar sebanyak 5 ovitrap, di depan kantor TU sebanyak 3 ovitrap, di depan ruang rapat sebanyak 2 ovitrap, b. Lantai I Di lorong I sebanyak 6 ovitrap, di lorong II sebanyak 7 ovitrap, dan di taman sebanyak 9 ovitrap. 36

Gambar 3.2 Ovitrap yang digunakan dalam penelitian 3.3.2 Ovitrap Nyamuk Ovitrap nyamuk yang digunakan untuk mengamati dan mendata jumlah telur nyamuk Aedes aegypti terbuat dari bekas gelas air mineral yang dicat berwarna hitam, sedangkan tempat nyamuk betina menempatkan telur digunakan stik es krim, seperti dapat dilihat pada gambar 3.2. 3.3.3 Waktu Pengamatan Telur Nyamuk Pengamatan dan pengumpulan data penelitian telur nyamuk Aedes aegypti dilakukan selama dua minggu berturut-turut. No Lantai Jumlah Ovitrap(posisi) Minggu I Jumlah Telur Minggu I (%) Minggu II Minggu II (%) 1 Dasar 4 (dekat AC) 111 26.81 61 18.60 2 5 (selasar) 70 16.91 35 10.67 3 3 (depan TU) 28 6.76 21 6.40 4 7 (Rudis) 37 8.94 47 14.33 5 I 2 (depan r.rapat) 48 11.59 44 13.41 37

6 6 (lorong I) 25 6.04 23 7.01 7 7 (lorong II) 28 6.76 0 0.00 8 9 (taman) 67 16.18 97 29.57 Jumlah 414 100 328 100 Tabel 3.2 Data populasi telur hasil pengamatan 3.3.4 Hasil Pengamatan Telur Nyamuk Hasil pengamatan jumlah telur pada ovitrap yang dilakukan dengan lokasi berbeda di lingkungan gedung Matematika ITB dapat dilihat pada tabel 3.2. Dari tabel 3.1 dapat dilihat bahwa pada minggu I, populasi telur nyamuk terbanyak berada di lokasi lantai dasar dekat AC sebanyak 111 buah atau sebesar 26,81 %, sedangkan populasi telur nyamuk terkecil berada di lokasi lantai dasar lorong I sebanyak 25 buah atau sebesar 6,04 %. Pada minggu II, populasi telur nyamuk terbanyak berada di lokasi lantai I taman sebanyak 97 buah atau sebesar 29,57 %, sedangkan populasi telur nyamuk terkecil berada di lantai I lorong II sebanyak 0 atau sebesar 0 %Gambar 3.3, gambar 3.3, dan gambar 3.4 berturut-turut merupakan grafik jumlah telur nyamuk pada pengamatan minggu I, grafik jumlah telur nyamuk pada pengamatan minggu II, dan grafik jumlah telur nyamuk pada minggu I dan minggu II digabungkan. Pada minggu I, jumlah telur nyamuk Aedes aegypti berturut-turut dari yang paling banyak berada di dekat AC, selasar, taman, depan ruang rapat, rudis, depan TU, lorong II, dan lorong I. Di lokasi lantai dasar, jumlah telur nyamuk yang paling banyak terdapat di dekat AC, selasar, rudis, dan depan TU. Kondisi ini polanya tidak jauh berbeda dengan jumlah telur nyamuk hasil 38

pengamatan minggu II. Begitu juga dengan pengamatan di lokasi lantai I, pada minggu I, jumlah telur nyamuk yang terdapat di ovitrap dari yang paling banyak berturut-turut adalah lokasi taman, depan ruang rapat, lorong II, dan lorong I. Kondisi ini polanya tidak jauh berbeda dengan hasil pengamatan telur nyamuk pada minggu II, seperti pada gambar 3.5. Jumlah Telur Nyamuk Pada Pengamatan Minggu I 120 100 80 60 40 20 0 Jumlah Telur Lokasi ovitrap Gambar 3.3 Jumlah telur nyamuk pada pengamatan minggu I Jumlah Telur Nyamuk Pada Pengamatan Minggu II 100 80 60 40 20 0 Jumlah Telur Lokasi ovitrap Gambar 3.4 Jumlah Telur Nyamuk Pengamatan Minggu II 39

Jumlah Telur Nyamuk Pada Pengamatan Minggu I dan II 120 100 80 60 40 20 0 Jumlah Telur m 1 Jumlah Telur m 2 Lokasi ovitrap Gambar 3.5 Jumlah Telur Nyamuk Pengamatan Minggu I dan II 3.4 Penjelasan Nilai Parameter Model Untuk memahami dan mengendalikan dinamika populasi nyamuk Aedes aegypti, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengetahui parameternyamuk dari parameter yang mempunyai pengaruh penting dalam dinamika populasi model yang telah dibangun sebelumnya. Pada sub bab 3.1 telah diformulasikan model matematika sikluss hidup nyamuk Aedes aegypti. Formulasi model tersebut terdiri dari 21 persamaan dengan 21 variabel yang tidak diketahui mulai dari x 1 sampai dengan x 21. Variabel x 1 dan x 2 menyatakan populasi telur nyamuk, variabel x 3 sampai dengan x 8 menyatakan populasi nyamuk pada fase larva, variabel x 9 dan x 10 merupakan populasi nyamuk fase pupa, dan x 11 sampai dengan x 21 menyatakan populasi dalam fase nyamuk dewasa. Pada model ini terdapat 6 parameter lain, yaitu fraksi P 1, P 2, P 3, P 4, P 5, dan P 6. Nilai parameter ini berkisar antara 0 sampai 1, merupakan nilai-nilai parameter untuk menjelaskan empat tahapan siklus hidup nyamuk yang berbeda. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, parameter P1 merupakan 40

fraksi yang menyatakan peluang larva berubah menjadi pupa setelah 4 hari dari fase larva. Nilai P 1 = 0.1 karena diasumsikan bahwa 10 % dari larva menjadi pupa pada hari ke-4 setelah fase larva. P 2 merupakan parameter probabilitas larva berubah menjadi pupa setelah 5 hari dari fase larva. Nilai P 2 = 0,1 atau P 2 = 0,111. P 3 merupakan peluang pupa menjadi nyamuk betina muda. Nilainya diasumsikan P 3 =0.7. P 4 merupakan peluang seekor nyamuk betina dibuahi tepat 1 hari setelah fase pupa, yaitu pada fase nyamuk betina muda (x 11 ). Nilai P 4 = 0.1. P 5 merupakan peluang seekor nyamuk betina bertelur, tepat 2 hari setelah dibuahi, nilainya adalah 0.5. Sedangkan P 6 menyatakan peluang seekor nyamuk betina bertelur, tepat 3 hari setelah dibuahi. Nilainya adalah 0.5. Dari beberapa publikasi [1], keberlangsungan hidup (bertahan hidup) nyamuk antara 90 % sampai 80%. Salah satu kondisi terpenting dalam kematian nyamuk adalah pada fase larva akhir. Pada fase ini akan masuk akal jika diasumsikan fraksi bertahan hidup akan berkurang dengan meningkatnya kerapatan populasi kondisi maksimum 1 ke kondisi minimal 0. Dalam model dapat diasumsikan bahwa kemampuan bertahan hidup pada saat kerapatan populasi rendah adalah 0.9, kondisi ini akan menurun menjadi 0.01 ketika populasi mencapai nilai tertentu. Parameter ini dinyatakan dengan N. Tingkat kematian larva diasumsikan terjadi pada semua tahapan keempat fase tersebut untuk penyederhanaan. Disamping parameter P, terdapat beberapa parameter lainnya, yaitu: R yang menyatakan jumlah rata-rata telur nyamuk, F merupakan peluang hidup nyamuk dari fase telur ke fase larva, D adalah peluang hidup nyamuk dari fase larva ke fase pupa, dan s adalah peluang hidup nyamuk setelah fase pupa. Secara lengkap nilai-nilai parameter model dapat dilihat pada tabel 3.3. 41

Dalam tugas akhir ini, data R diperoleh dengan cara melakukan pengamatan dengan memasang ovitrap yang digunakan untuk menangkap nyamuk di lingkungan matematika ITB. Dari percobaan ovitrap didapatkan nilai rata-rata banyaknya telur (R) dalam satu kali siklus hidup nyamuk, yaitu 50. Dari nilai parameter model di atas diperoleh bahwa probabilitas nyamuk betina yang bertahan hidup dari sejak menjadi nyamuk sampai melakukan pembuahan adalah 0.435. Faktor yang paling penting adalah banyaknya jumlah telur yang diharapkan dari pembuahan yang dilakukan (lebih atau sama dengan 1). Selanjutnya dengan menggunakan persamaan (3.22), (3.23) dan (3.24) model Miller [2] serta nilai-nilai parameter tabel 3.3, nilai dari Pe, Nr dan Ne berturut-turut dapat dihitung sebagai berikut. P e = P 5 s 2 + P 6 (1-P 5 )s 3 + (1-P 5 )(1-P 6 )s 4 = 0.5*0.75 2 + 0.5 *(1-0.5)*0.75 3 + (1-0.5)*(1-0.5)*0.75 4 = 0,466 Pe Nr = 0. 465 = 1 sp 1 0. 75 * 0. 465 N = 0,537 e 2 3 e 4 = RNrP3[s P4 + s ( 1 P )] = 50*0.537*0.7*(0.75 2 *0.1+0.75 3 *(1-0.1)) = 8,19 Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa nilai Pe, probabilitas nyamuk betina yang dapat bertahan hidup cukup lama dari pembuahan hari pertama sampai menaruh 42

telur sebanyak satu kali adalah 0.46, nilai Nr, jumlah kemungkinan telur yang dihasilkan nyamuk betina selama hidupnya sejak kawin adalah 0.537, sedangkan nilai Ne, rata-rata telur yang diproduksi oleh nyamuk betina muda dalam siklus hidupnya adalah 8.19. Salah satu parameter penting adalah jumlah ekspektasi telur dari total nyamuk yang beranjak dewasa, N e = 8.19. Sebagai catatan bahwa gambaran ini untuk keseluruhan nyamuk dewasa, termasuk nyamuk jantan. Berkaitan dengan ini, nilai rata-rata banyaknya telur per ovitrap per total nyamuk dewasa yang berhasil adalah 8.19/50 = 0.1638, dan nilai rata-rata banyaknya telur per ovitrap per nyamuk betina yang berhasil mencapai fase dewasa adalah 0.233. Dari persamaan (3.26) diperoleh bahwa nilai D.F = 1/8.19 = 0.122 = 12.2 % untuk rate bertahan dari telur sampai menjadi dewasa. Jika nilai F = 1, tidak ada nyamuk jantan yang membuahi, kerapatan populasi akan mendekati maksimum, didefinisikan sebagai level dimana bertahannya fase larva berkurang sampai mendekati nilai 1 %. Tabel 3.3 Nilai parameter model No. Parameter Nilai Keterangan Sumber 1 P 1 0.1 10 % dari larva menjadi pupa setelah Miller,et. al. [1] 4 hari berada pada fase larva. 2 P 2 0.11 11 % dari larva menjadi pupa setelah Miller,et. al. [1] 5 hari berada pada fase larva. 3 P 3 0.7 70 % pupa menjadi nyamuk betina Miller,et. al. [1] 4 P 4 0.1 10 % nyamuk betina menjadi dewasa dalam dua hari 5 P 5 0.5 Nyamuk betina yang menghasilkan telur setelah 3, 4 atau 5 hari inseminasi. 6 P 6 0.5 Nyamuk betina yang menghasilkan telur setelah 3, 4 atau 5 hari Miller,et. al. [1] Miller,et. al. [1] Miller,et. al. [1] 43

inseminasi. 7 R 50 Rata-rata banyaknya telur (R) dalam satu kali siklus hidup nyamuk hasil pengamatan di lapangan Pengamatan di lapangan 8 s 0.75 Probabilitas kemampuan bertahan Miller,et. al. [1] nyamuk 10 D 0.01 peluang hidup nyamuk dari fase Miller,et. al. [1] larva ke fase pupa 11 F 1 Fraksi fertilitas telur Miller,et. al. [1] 12 P e 4.66 Probabilitas nyamuk betina yang dapat bertahan hidup cukup lama dari Perhitungan pembuahan hari pertama sampai menaruh telur sebanyak satu kali 13 Nr 0.537 jumlah kemungkinan telur yang Perhitungan dihasilkan nyamuk betina selama hidupnya sejak kawin 14 Ne 8.19 Rata-rata telur yang diproduksi oleh Perhitungan nyamuk betina muda dalam siklus hidupnya. 15 A r 6.37 nilai ratio anhiliasi Perhitungan Satu hal yang perlu di perhatikan adalah jika terdapat sejumlah kecil saja nyamuk dewasa yang mandul, menyebabkan nilai F berkurang secara drastis, dan kemudian menyebabkan meningkatnya faktor rate bertahan dari D. Program melepaskan nyamuk jantan steril akan mempunyai hasil jika ia menyebabkan nilai F menurun sampai titik dimana bahkan suatu nilai maksimum untuk D tidak dapat mempertahankan nilai persamaan N e DF=1. Jika nilai N e konstan, dan jika nyamuk jantan steril sama bersaingnya dengan nyamuk jantan fertile, sehingga nilai F hanya merupakan rasio nyamuk jantan steril terhadap nyamuk jantan total. Nilai rasio ini dikenal dengan nilai ratio anhiliasi. Ar= steril fertil = Ne Dmaks 1= 8.19* 0.9 1= 6.37 44

Nilai A r (atau rasio anhiliasi) ini juga berkaitan dengan potensial biotik sekitar 6.37 kali untuk populasi ini. Nilai sebenarnya bisa jadi lebih kecil dari nilai tersebut. 3.5 Analisis Regresi Linier Data Telur Nyamuk Berdasarkan data telur nyamuk hasil pengamatan tabel 3.1, selanjutnya akan dicari persamaan regresi liniernya. Dari tabel 3.1 data hasil pengamatan, akan dicari persamaan regresi liniernya masing-masing untuk data lantai dasar, data lantai I, dan data gabungan antara lantai dasar dan lantai I. Pengolahan data untuk mencari persamaan regresi ini menggunakan paket program SPSS r.18. 3.5.1 Persamaan Regresi Data Pengamatan Lantai Dasar Tabel 3.4 merupakan data hasil pengamatan telur nyamuk di lantai dasar gedung Departemen Matematika ITB yang diurutkan dari jumlah telur yang terkecil ke jumlah telur yang terbesar untuk minggu I. Tabel 3.4 Data hasil pengamatan telur nyamuk di lantai dasar minggu I Lokasi Jumlah Telur Depan TU 1 28 Rudis 2 37 Selasar 3 70 Dekat AC 4 111 45

dimensi on1 Dengan menggunakan paket program SPSS, besarnya koefisien penduga, persamaan regresi dan grafik persamaan regresi liniernya data tabel 3.4 dapat dilihat pada gambar 3.6. Persamaan regresi linier data telur nyamuk di lantai dasar adalah sebagai berikut. Y = -9,00 + 28,20 X (3.27) dengan X menyatakan jumlah lokasi ovitrap di lantai dasar Y menyatakan jumlah telur nyamuk Dari pesamaan (3.27), nilai -9,00 merupakan parameter penduga bagi intersep, sedangkan nilai 28,200 merupakan penduga bagi koefisien regresi. Persamaan (3.27) tersebut dapat dituliskan kembali menjadi Jumlah Telur Nyamuk = -9,00 + 28,20 x (lokasi ovitrap lt dasar m I) Jika lokasi ovitrap di lantai dasar jumlahnya bertambah sebanyak 1 satuan lokasi, maka jumlah telur nyamuk akan bertambah sebesar 19.2 buah 19 buah. Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable:Jml_Telur Equation Model Summary Parameter Estimates R Square F df1 df2 Sig. Constant b1 Linear.937 29.585 1 2.032-9.000 28.200 The independent variable is Lokasi_Ovitrap. 46

Gambar 3.6 Hasil pengolahan data telur nyamuk di lantai dasar minggu I: koefisien regresi dan grafik persamaan regresinya. Tabel 3.5 merupakan data hasil pengamatan telur nyamuk di lantai dasar gedung Departemen Matematika ITB yang diurutkan dari jumlah telur yang terkecil ke jumlah telur yang terbesar untuk minggu II. Tabel 3.5 Data hasil pengamatan telur nyamuk di lantai dasar minggu II Lokasi Jumlah Telur Depan TU 5 21 Selasar 6 35 Rudis 7 47 47

Dekat AC 8 61 Persamaan regresi linier data telur nyamuk di lantai dasar pada minggu II dari hasil pengolahan data tabel 3.5 menggunakan paket program SPSS adalah sebagai berikut. Y = 8,00 + 13,200 X (3.28) dengan X menyatakan jumlah lokasi ovitrap di lantai dasar Y menyatakan jumlah telur nyamuk Dari pesamaan (3.28) dapat dilihat bahwa nilai 8,00 merupakan parameter penduga bagi intersep, sedangkan nilai 13,20 merupakan penduga bagi koefisien regresi persamaan regresinya. Persamaan (3.28) tersebut dapat dituliskan kembali menjadi Jumlah Telur Nyamuk = 8,00 + 13,200 x (lokasi ovitrap lt dasar m II) Dari pesamaan (3.28) didaptkan bahwa jika lokasi ovitrap di lantai dasar minggu II jumlahnya bertambah sebanyak 1 satuan lokasi, maka jumlah telur nyamuk akan bertambah sebesar 21,2 buah 21 buah Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable:Jml_Telur Equation Model Summary Parameter Estimates R Square F df1 df2 Sig. Constant b1 48

dimensi on1 Linear.999 2178.000 1 2.000 8.000 13.200 The independent variable is Lokasi_Ovitrap. Gambar 3.7 Hasil pengolahan data telur nyamuk di lantai dasar minggu II: koefisien regresi dan grafik persamaan regresinya. Dari kedua persamaan regresi linier yang didapatkan dapat dilihat bahwa untuk setiap penambahan 1 ovitrap pada setiap data, jumlah telur akan bertambah masingmasing sebanyak 19 untuk minggu I dan 21 buah untuk minggu II. Jika kedua hasil ini dibandingkan dapat dilihat bahwa meskipun kedua hasil ini berbeda, namun perbedaan ini relatif kecil. Dengan demikian data kedua persamaan regresi ini masih dapat dianggap sama. 49

3.5.2 Persamaan Regresi Data Pengamatan Lantai I Tabel 3.6 merupakan data hasil pengamatan telur nyamuk di lantai I gedung Departemen Matematika ITB yang sudah diurutkan dari mulai jumlah telur yang terkecil ke jumlah telur yang terbesar untuk minggu I. Tabel 3.6 Data hasil pengamatan telur nyamuk di lantai I minggu I Lokasi Jumlah Telur Lorong I 1 25 Lorong II 2 28 R. rapat 3 48 Taman 4 67 Dengan menggunakan paket program SPSS, besarnya koefisien penduga, persamaan regresi dan grafik persamaan regresi liniernya data tabel 3.6 dapat dilihat pada gambar 3.8. Persamaan regresi linier data telur nyamuk di lantai dasar adalah sebagai berikut. Y = 5,50 + 14,620 X (3.29) dengan X menyatakan jumlah lokasi ovitrap di lantai I Y menyatakan jumlah telur nyamuk Dari pesamaan (3.29), nilai 5,50 merupakan parameter penduga bagi intersep, sedangkan nilai 14,620 merupakan penduga bagi koefisien regresi. Persamaan (3.29) tersebut dapat dituliskan kembali menjadi Jumlah Telur Nyamuk Y = 5,50 + 1,.620 x (lokasi ovitrap lt I m I) 50

dimensi on1 Jika lokasi ovitrap di lantai dasar jumlahnya bertambah sebanyak 1 satuan lokasi, maka jumlah telur nyamuk akan bertambah sebesar 20,1 buah 20 buah. Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable:Jml_Telur Equation Model Summary Parameter Estimates R Square F df1 df2 Sig. Constant b1 Linear.930 26.579 1 2.036 5.500 14.600 The independent variable is Lokasi_Ovitrap. Gambar 3.8 Hasil pengolahan data telur nyamuk di lantai I minggu I: koefisien regresi dan grafik persamaan regresinya. 51

Tabel 3.7 merupakan data hasil pengamatan telur nyamuk di lantai I gedung Departemen Matematika ITB yang diurutkan dari jumlah telur yang terkecil ke jumlah telur yang terbesar untuk minggu II. Tabel 3.7 Data hasil pengamatan telur nyamuk di lantai I minggu II Lokasi Jumlah Telur Lorong II 1 0 Lorong I 2 23 R. rapat 3 44 Taman 4 97 Dengan menggunakan paket program SPSS, besarnya koefisien penduga, persamaan regresi dan grafik persamaan regresi liniernya data tabel 3.7 dapat dilihat pada gambar 3.9. Persamaan regresi linier data telur nyamuk di lantai dasar adalah sebagai berikut. Y = -37,00 +31,20 X (3.30) dengan X menyatakan jumlah lokasi ovitrap di lantai I Y menyatakan jumlah telur nyamuk Dari pesamaan (3.30), nilai -37,00 merupakan parameter penduga bagi intersep, sedangkan nilai 31,200 merupakan penduga bagi koefisien regresi. Persamaan (3.30) tersebut dapat dituliskan kembali menjadi Jumlah Telur Nyamuk Y = -37,00 +31,20 x (lokasi ovitrap lt I m II) Jika lokasi ovitrap di lantai dasar jumlahnya bertambah sebanyak 1 satuan lokasi, maka tidak ada penambahan jumlah telur (hasilnya negatif). 52

dimensi on1 Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable:Jml_Telur Equation Model Summary Parameter Estimates R Square F df1 df2 Sig. Constant b1 Linear.945 34.421 1 2.028-37.000 31.200 The independent variable is Lokasi_Ovitrap. Gambar 3.9 Hasil pengolahan data telur nyamuk di lantai I minggu II: koefisien regresi dan grafik persamaan regresinya. Dari kedua persamaan regresi linier yang didapatkan untuk lokasi lantai I dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan antara hasil minggu I dan hasil minggu II. Pada 53

minggu I, untuk setiap penambahan 1 ovitrap pada setiap data, jumlah telur akan bertambah 20 buah. Sedangkan hasil pada minggu II, setiap penambahan 1 ovitrap tidak ada penambahan telur. Besarnya perbedaan hasil antara minggu I dan minggu II karena pada pengamatan minggu II, data pengamatan di lokasi lorong II nilainya nol. Dugaan sementara data pengamatan di lorong II ini nol, karena lorong ini relatif sering dilewati orang, sehingga ovitrap yang ditempatkan di tempat ini seringkali harus diganti karena airnya seringkali tumpah akibat tersapu atau terinjak orang yang lewat. 3.5.3 Persamaan Regresi Data Pengamatan Lantai Dasar dan Lantai I Jika hasil persamaan regresi linier lantai dasar (3.27) dan lantai I (3.29) untuk pengamatan minggu I dibandingkan, maka hasilnya dapat dilihat untuk setiap penambahan 1 lokasi ovitrap di kedua lantai tersebut, jumlah telur nyamuk akan bertambah masing-masing sebesar 19 dan 20 buah. Besar penambahan telur ini relatif sama untuk kedua lokasi ini untuk hasil persamaan regresi linier minggu I. Untuk pengamatan minggu II, hasil persamaan regresi linier lantai dasar (3.28) dan lantai I (3.30) dapat dilihat bahwa untuk setiap penambahan 1 lokasi ovitrap di lantai dasar, jumlah telur akan bertambah sebanyak 21 buah, sedangkan di lokasi lantai I tidak ada penambahan. Dari hasil pengamatan yang dilakukan selama dua minggu berturut-turut untuk kedua lokasi pengamatan yang berbeda (lantai dasar dan lantai I), secara umum dapat dilihat bahwa untuk setiap penambahan 1 lokasi ovitrap, baik minggu I maupun minggu II, jumlah telur yang akan bertambah jumlahnya relatif sama, ratarata 20 buah (tanpa memasukkan data pengamatan di lantai I pada minggu II). 54

Seperti telah disinggung sebelumnya, adanya perbedaan mencolok hasil regresi linier data pengamatan di lantai I pada minggu II karena adanya data di lokasi lorong II yang hasilnya = 0. Tempat ovitrap di lorong II ini relatif mudah hilang atau tumpah airnya ketika orang melewati lorong ini. Ovitrap di lorong II seringkali harus diganti karena tumpah. Dengan demikian telur nyamuk di ovitrap ini tidak dapat diamati. Dari hasil pengamatan diperkirakan bahwa lokasi lantai dasar lebih disukai nyamuk Aedes aegypti untuk bertelur dibandingkan dengan lokasi lantai I. Lokasi lantai dasar merupakan lokasi yang lebih disukai nyamuk Aedes Aegypti karena tempatnya lebih rendah, lebih gelap, dan lebih tersembunyi dibandingkan lantai I. Tabel 3.8 Nilai Ne, DF, dan Ar karena penambahan jumlah telur untuk per lokasi pengamatan Lokasi Lantai dasar Penambahan telur (1 ovitrap) (data mg I) 19 Lantai dasar (data mg II) 21 Lantai I (data mg I) 20 Lantai I (data mg II) 0 Ne D.F Ar 11,307 0,088441 9,176259 11,6347 0,08595 9,471223 11,4708 0,087178 9,323741 8,19345 0,122049 6,374101 3.6 Pengaruh Perubahan Parameter Jumlah Telur terhadap Model 55

Dari uraian sub bab 3.1.1 terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menganalisis model tersebut dalam keadaan tunak. Parameter-parameter tersebut adalah P e, N r, N e. Masing-masing nilai P e, N r, dan N e hasil perhitungan berdasarkan nilai-nilai parameter tabel 3.3 adalah 0.466, 0,537, dan 8,19. Dari percobaan ovitrap yang dilakukan di kedua lokasi pengamatan didapatkan nilai ratarata banyaknya telur (R) dalam satu kali siklus hidup nyamuk, yaitu 50. Dengan menggunakan persamaan (3.24) diperoleh jika nilai nilai Ne, yaitu jumlah ekspektasi telur dari total nyamuk yang beranjak dewasa sebesar 8,19. Dalam perhitungan ini nilai telur nyamuk dianggap konstan. Jika nilai telur nyamuk ini berubah (dianggap tidak konstan), hasil perhitungan persamaan regresi linier (lokasi lantai dasar, lantai I) digunakan terhadap persamaan (3.24), maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 3.8. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa nilai R sekarang untuk masing-masing lokasi tersebut adalah 69, 71, 70, dan 50. Besarnya nilai Ne, DF, dan Ar untuk ketiga lokasi pengamatan sekarang dapat dilihat pada tabel 3.6. Dari tabel 3.5 untuk penambahan sebesar 1 satuan lokasi ovitrap, jumlah ekspektasi telur dari total nyamuk yang beranjak dewasa (Ne) masing-masing untuk lantai dasar dan lantai I sebesar 11.307, 11,367, 11,47, dan, 8,19. Sedangkan rate bertahan dari telur sampai menjadi dewasa (D.F) akan mengalami penurunan dengan semakin banyaknya jumlah telur. Sedangkan nilai ratio anhiliasi semakin bertambah dengan pertambahan rata-rata telur di lokasi pengamatan. Dari tabel 3.8 diperoleh bahwa ketika jumlah telur nyamuk bertambah karena adanya penambahan ovitrap akan menyebabkan perubahan nilai Ne masing-masing sebesar 38 %, 42 %, 40%, 0%, pengurangan nilai DF masing-masing sebesar 27,52 56