PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI, KEGUNAAN DAN NILAI TAMBAH KAYU DARI HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN BOGOR

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III).

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UPAYA PENANGANAN LAHAN KRITIS DI PROPINSI JAWA BARAT. Oleh : Epi Syahadat. Ringkasan

POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN

7. Pencapaian Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi

Kajian Penyempurnaan Pedoman Penatausahaan Hasil Hutan Di Hutan Hak/Rakyat (Kasus Di Provinsi Jawa Barat) Oleh Epi Syahadat dan Apul Sianturi

MODAL DASAR PD.BPR/PD.PK HASIL KONSOLIDISASI ATAU MERGER

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hutan. Indonesia menempati urutan ketiga negara dengan hutan terluas di dunia

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Draft 18/02/2014 GUBERNUR JAWA BARAT,

Hutan Rakyat. Tonny Soehartono

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

Tabel I.1 Luas Panen dan Jumlah Produksi Singkong Provinsi Jawa Barat Tahun

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2014 (dalam rupiah)

KAJIAN PEREDARAN KAYU RAKYAT DI WILAYAH JAWA BAGIAN BARAT (Analysis of Circulation of Wood from Community in Western Part of Java Island)

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. Timur dan Tenggara. Negara-negara dengan sebutan Newly Industrializing Countries

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah.

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

Tabel 4.1. Perkembangan Luas Lahan Kritis di Luar Kawasan Hutan Per Kabupaten di Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 s/d 2005

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

BERITA RESMI STATISTIK

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Ekspor Buah-Buahan Indonesia Tahun Volume (Kg) Nilai (US $) Volume (Kg)

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Triwulan-I Tahun

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2013 (dalam rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

PROFIL INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA UTARA IWAN RISNASARI, S. HUT PROGRAM ILMU KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja, menaikan devisa negara serta mengangkat prestise nasional.

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia.

PENDAHULUAN. Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

Perkembangan Ekonomi Makro

BAB V KARAKTERISTIK DAN PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat pada

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012)

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sektor perindustrian ini adalah dengan cara mengembangkan industri kecil.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. RPJPN) tercantum delapan misi pembangunan nasional Indonesia mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT

Jumlah penduduk Jawa Barat berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 43 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 1,91 persen per tahun

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lampiran 1 Data luas lahan yang dimiliki petani hutan rakyat di masing masing desa penelitian No Responden Desa Margajaya

Industri Kayu. Tonny Soehartono

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp:// [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 12 Tahun 2010 TENTANG PENGELOLAAN PENGGUNAAN DAN PENGALOKASIAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor pertanian Indonesia memiliki peranan penting dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Kandungan Zat Gizi Komoditas Kedelai. Serat (g) Kedelai Protein (g) Sumber: Prosea 1996 ( Purwono: 2009)

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

PENGEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN BERBASIS PRODUK PERTANIAN DI KABUPATEN-KABUPATEN PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Katalog BPS

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu pendorong yang

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT Oleh: Ridwan A. Pasaribu & Han Roliadi 1) ABSTRAK Departemen Kehutanan telah menetapkan salah satu kebijakan yaitu soft lanmding, dengan demikian hutan tanaman industri dan hutan rakyat meruapakan harapan yang diunggulkan mengganti peran hutan alam dalam menyediakan bahan baku kayu. Sehubungan dengan itu diperlukan kepastian data dan informasi produksi dan permintaan kayu dari hutan rakyat, sebagaimana dilakukan melalui kajian terkait dengan topik tersebut di atas. Kajian tersebut mengambil lokasi kabupaten yang dipilih secara purposif bersasarkan catatan luas hutan rakyat dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan di Propinsi Jawa Barat, yaitu kabupaten: Sukabumi, Tasikmalaya, Ciamis, Majalengka, dan Kuningan. Kajian ini dibuat berdasarkan data primer dan sekunder. Hasil kajian menunjukkan bahwa pada tahun 2003, jumlah luas hutan rakyat di lima kabupaten tersebut seluas 94.119 ha dengan volume produksi kayu pertukangan sebesar 122.318 m 3. Kajian lebih lanjut menunjukkan bahwa pada tahun tersebut terjadi ketidak seimbangan antara kebutuhan bahan baku kayu dengan produksi kayu pertukangan dari hutan rakyat. Pada lima kabupaten di Jawa Barat, terjadi kekurangan bahan baku kayu sebesar 246.792 m 3, yang terdiri dari jenis sengon (180.282 m 3 ), mahoni (33.835 m 3 ), dan kayu campuran (32.675 m 3 ). Sedangkan untuk kayu pinus dan jati yang diproduksi hutan rakyat mengalami kelebihan sebesar berturut-turut 6.165 m 3 dan 15.916 m 3. Disarankan kabupaten yang memiliki potensi jenis kayu tertentu yang terbesar dijadikan sentra produksi dan industri pengolahan kayu yang sesuai, antara lain: kayu karet dan pinus untuk bahan baku industri kayu pertukangan di Sukabumi, dan kayu mahoni dan jati untuk industri di Ciamis. Kata kunci: Hutan rakyat, luas dan potensi, industri kayu pertukangan, jenis kayu pertukangan, produksi dan kebutuhan 1) Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor

I. PENDAHULUAN Kerusakan hutan alam Indonesia yang sangat parah, dimana laju degradasi mencapai 2,87 juta ha per tahun, menyebabkan tidak mampu lagi menjadi pemasok kayu untuk bahan baku industri perkayuan dan penggerak ekonomi nasional jangka panjang. Hal ini mengakibatkan industri kayu nasional semakin terpuruk atau tengah menghadapi ujian terbesar dalam sejarah industri perkayuan Indonesia. Tahun 2004, tercatat industri tersebut tumbuh minus 2,1%, tahun 2005 tumbuh minus 1,3%, lalu semakin terperosok pada kuartal pertama tahun 2006 yaitu minus 5,8% (Anonim, 2006 dan Balfas, 2003). Ini mengindikasikan bahwa pasokan bahan baku kayu secara kontinyu baik secara kualitas ataupun kuantita sangat penting guna menjamin kelangsungan usaha industri kayu, termasuk juga industri kayu pertukangan. Terhentinya kegiatan industri tersebut dapat mempengaruhi roda perekonomian bangsa dan stabilitas sosial karena berkurangnya kesempatan kerja di sektor kehutanan. Untuk menjamin keberadaan dan kelestarian hutan alam, Departemen Kehutanan telah mengambil beberapa kebijakan, diantaranya adalah soft landing yang pokok isinya: mengurangi peran hutan alam sebagai pemasok kayu untuk industri perkayuan, seperti pulp/kertas, kayu lapis dan industri kayu pertukangan lain (Menteri Kehutanan, 2002). Dengan demikian hutan tanaman industri dan hutan rakyat merupakan harapan yang diunggulkan mengganti peran hutan alam tersebut. Dalam kaitan ini, adanya kepastian data dan informasi mengenai potensi dan permintaan kayu dari hutan bukan alam, diantaranya hutan rakyat sangat diperlukan mengingat data/informasi tersebut belum diketahui dengan pasti atau masih sangat terbatas. Terkait dengan itu, telah dilakukan suatu kajian guna memberi gambaran data dan informasi produksi kayu pertukangan dari hutan rakyat dan kebutuhan bahan baku alternatif industri kayu pertukangan dengan mengambil kasus pada beberapa kabupaten di Jawa Barat. Kajian tersebut dibuat berdasarkan pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dan wawancara terutama mengenai: (1) Potensi hutan rakyat yang meliputi luas, jenis kayu, dan produksi kayu pertukangan dari hutan rakyat; dan (2) Kebutuhan kayu untuk industri pengolahan pertukangan skala kecil, menengah, dan besar meliputi volume dan jenis kayu. Sedangkan data sekunder atau pelengkap berasal dari laporan yang diterbitkan oleh instansi setempat terkait, ditambah dengan data/informasi hasil penelusuran pustaka. 36

II. LUAS DAN PRODUKSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT A. Luas Hutan Rakyat pada Beberapa Kabupaten di Jawa Barat Untuk mencukupi kebutuhan kayu dan non-kayu sebagai bahan bangunan dan bahan baku industri, serta memperbaiki lahan kritis dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka sejak tahun 1997 pemerintah telah mengadakan pembangunan kehutanan melalui kredit usaha hutan rakyat atau KUHR (Anonim, 2002a). Pemerintah daerah Jawa Barat sampai dengan tahun 2002 telah membangun hutan rakyat seluas 193.433 ha pada 16 kabupaten (Tabel 1). Pada tahun tersebut pembangunan hutan rakyat yang cukup luas terdapat di kabupaten Ciamis (28.982 ha), Tasikmalaya (27.287 ha), Sukabumi (15.578 ha), Kuningan (15.185 ha), dan Majalengka (9.375 ha) (Anonim, 2002). Pada tahun 2003, pembangunan jumlah luas hutan rakyat di kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya cenderung menurun masing-masing menjadi 28.947 ha dan 15.183 ha dibandingkan dengan tahun 2002, sedangkan jumlah luas tersebut pada kabupaten Sukabumi dan Majalengka mengalami peningkatan menjadi 15.877 ha dan 10.785 han (Tabel 2). Selanjutnya, berdasarkan luas hutan rakyat menurut jenis kayu yang ditanam, luas terbesar adalah jenis sengon (Paraserianthes falcataria), disusul oleh mahoni (Switenia mahgoni Jack), jenis kayu campuran, jati (Tectona grandis), hingga luas yang relatif kecil yaitu hutan karet (Hevea brasiliensis M.A.), manii atau kayu afrika (Maesopsis emini), dan pinus (Pinus merkusii). Tabel 1. Luas hutan rakyat pada beberapa kabupaten di Jawa Barat pada tahun 2002 No Kabupaten Luas (ha) No Kabupaten Luas (ha) 1 Majalengka 9.375,00 9 Cianjur 29.566,45 2 Cirebon 3.825,00 10 Sumedang 13.789,00 3 Indramayu 4.009,00 11 Garut 12.432,00 4 Purwakarta 74,00 12 Kuningan 15.184,86 5 Bogor 13.320,00 13 Subang 6.198,00 6 Karawang 4.251,00 14 Sukabumi 11.578,00 7 Tasikmalaya 27.187,47 15 Bekasi 463,00 8 Ciamis 28.982,00 16 Bandung 13.199,00 Jumlah (A) 91.022,47 Junlah (B) 102.410,31 Jumlah total (A + B) 193.432,78 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Jawa Barat (2003) 37

Tabel 2. Luas dan jenis kayu dari hutan rakyat pada beberapa kabupaten di Jawa Barat pada tahun 2003 Kabupaten Luas hutan rakyat menurut jenis yang ditanam (ha) Sengon Mahoni Jati Campuran Manii Pinus Karet Jumlah Sukabumi 3.544,80 2.386,70 2.355,70 2.590,80 1.233,70 57,00 3.707,95 15.876,65 Ciamis 17.369,30 4.341,80 2.894.50 4.341,80 - - - 28.947,40 Tasikmalaya 9.292,00 4.645,00 2.487,00 5.810,00 - - - 23.234,00 Kuningan 5.960,05 3.251,08 3.340,67 2.447,80-183,74-15.113,34 Majalengka 3.960,05 3.251,05 2.340,47 1.342,12 - - - 10.875.59 Jumlah : 40.126,20 17.875,63 14.418,34 16.514,52 1.233.70 240,74 3.707,95 94.119,08 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sukabumi; dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten: Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, dan Majalengka (2004) Dari uraian luas hutan rakyat pada beberapa kabupaten yang dikaji menunjukkan bahwa luas hutan rakyat untuk jenis kayu yang sama pada setiap kabupaten umumnya berbeda, dan bahkan ada beberapa kabupaten yang tidak memiliki hutan rakyat dengan jenis kayu tertentu. Han ini kemungkinan disebabkan oleh: (1) Kurangnya peran serta partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat; (2) Adanya petani yang tidak memiliki lahan; (3) Penggunaan lahan untuk keperluan lain, seperti pertanian, pemukiman, hutan lindung, dan hutan produksi; (4) Harga kayu yang tidak merangsang masyarakat atau petani untuk membangun hutan rakyat; (5) kurangnya informasi tentang jenis kayu dan kesesuaian lahan untuk jenis kayu tertentu; dan (6) kurang diberdayakannya penyuluh kehutanan dalam pembangunan hutan rakyat. B. Produksi Kayu Pertukangan Hutan Rakyat Volume dan jenis kayu yang dihasilkan hutan rakyat pada lima kabupaten terpilih yang dikaji di Jawa Barat disajikan pada Tabel 3. Apabila dihubungkan antara luas hutan rakyat (Tabel 1 dan 2) dengan volume produksi kayu pertukangan (Tabel 3) seperti diuraikan pada Tabel 4, ternyata kabupaten yang memiliki hutan rakyat yang cukup luas seperti Tasikmalaya menghasilkan jumlah volume kayu pertukangan yang relatif rendah. Sebaliknya jumlah luas hutan rakyat di kabupaten Kuningan relatif kecil, tetapi jumlah produksi kayunya lebih tinggi. Jumlah volume produksi kayu pertukangan yang rendah dari area hutan rakyat mungkin disebabkan oleh: (1) Pemanenan kayu dilakukan pada saat pohon belum masak tebang; 38

(2) Luas hutan rakyat relatif kecil; (3) Pemeliharaan tanaman tidak efektif; (4) Penanaman suatu jenis pohon kurang memperhatikan kesesuaian lahan; (5) Tidak menggunakan bibit unggul; dan (6) Kebiasaan masyarakat memanen kayu pada saat perlu biaya yang relatif besar (tabungan). Tabel 3. Produksi kayu pertukangan pada beberapa kabupaten di Jawa Barat pada tahun 2003 Kabupaten Produksi kayu pertukangan (m 3 ) Sengon Mahoni Jati Campuran Manii Pinus Karet Jumlah Sukabumi 7.404,40 4.710,00 2.426,00 1.406,10 674,30 6.497,40 943,80 24.062,00 Ciamis 6.475,48 43.564,99 17.056,54 1.482,42 - - - 68.581,43 Tasikmalaya 3.048,45 361,48 154,92 1.549,20 - - - 5.114,05 Kuningan 1.362,00 763,60 15.185,00 256,98-420,00-17.987,58 Majalengka 1.456,00 1.422,00 2.110,00 294,27 263,80 1.026,00-6.572,07 Jumlah 43.746,33 50.822,07 36.932,46 4.990,97 938,10 7.943,40 943,80 122.317,13 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sukabumi; dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten: Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, dan Majalengka (2004) Hasil kajian volume produksi kayu pertukangan (Tabel 3) dapat dijadikan indikator menetapkan lokasi sentra produksi kayu suatu jenis dan macam industri kayu pertukangan yang sesuai untuk dikembangkan, anatar lain: Kabupaten Ciamis sebagai sentra produksi kayu mahoni dan jati, maka sesuai sebagai lokasi industri kayu pertukangan dengan bahan baku ke dua jenis kayu tersebut, misalnya industri wood working atau furniture/meubel. Kabupaten Sukabumi sebagai produksi kayu pinus, karet, dan sengon, dengan demikian sesuai sebagai lokasi industri kayu pertukangan peti kemas dari kayu sengon, dan industri furniture/meubel dengan bahan baku kayu karet dan pinus. Kabupaten Kuningan sebagai sentra produksi kayu jati, maka sesuai sebagai lokasi industri furniture/meubel dengan bahan baku kayu tersebut. 39

III. KEADAAN DAN KEBUTUHAN KAYU OLEH INDUSTRI KAYU PERTUKANGAN A. Kondisi Industri Pengolahan Kayu Pertukangan 1. Jumlah dan jenis industri Pengolahan kayu adalah segala macam perlakuan/tindakan guna merubah kayu bulat menjadai barang jadi atau setengah jadi. Sedangkan kayu pertukangan hutan rakyat adalah kayu bulat yang ditebang atau dipanen dari areal hutan milik rakyat selanjutnya dipakai sebagai bahan baku pengolahan kayu gergajian (KG), kayu lapis (KL) atau joint laminated board (JLB), wood working (WW), dan peti kemas (PK). Pada tahun 2003 terdapat 598 unit industri pengolahan kayu pada lima kabupaten yang dikaji di Jawa Barat (Tabel 5), dengan junlah kapasitas produksi terpasang 653.460 m 3 per tahun (berdasarkan volume kayu bulat). Sedangkan realisasi produksi pada tahun tersebut sebesar 101.655 m 3, atau hanya sekitar 15.6% dari kapasitas terpasang tersebut. Selanjutnya apabila dirinci menurut kabupaten, maka realisasi produksinya berkisar 2,91 21,43% dari kapasitas produksi terpasang. Berarti industri kayu yang dikaji pada lima kabupaten yang dikaji beroperasi pada tingkat rendah, sehingga sulit mendapat keuntungan yang wajar. Hal tersebut mungkin disebabkan antara lain: kekurangan bahan baku, kualitas bahan baku rendah, kondisi mesin sudah tua, modal dan pemasaran produk terbatas karena rendahnya kualitas produk. Hal ini ditunjukkan dari 598 unit industri pengolahan kayu pertukangan, sebanyak 574 unit (96%) merupakan industri skala kecil (Anonim, 2002). Selanjutnya dari Tabel 4, dari 598 unit yang ada, ternyata didominasi oleh industri penggergajin (461 unit), industri wood working (102 unit), sedangkan selebihnya (kayu lapis dan peti kemas) terdapat dalam jumlah yang relatif rendah. 2. Sumber dan jenis kayu pertukangan untuk bahan baku industri Sumber bahan baku kayu pertukangan pada industri yang terdapat di wilayah penelitian selain dari hutan rakyat, sebagian berasal dari Perum Perhutani. Bahan baku terdiri dari dua bentuk: kayu gergajian dan kayu gelondongan. Pada dasarnya setiap penggunaan kayu melalui proses penggergajian kecuali industri kayu lapis berupa kayu gelondongan. Berbagai sistim distribusi ditemui pada wilayah penelitian dengan sedikit perbedaan panjang-pendek saluran tersebut ataupun pelakunya. Dari bentuk distribusi 40

tersebut, ada paling sedikit tiga macam konsumen: konsumen akhir (pengguna kangsung), industri primer (penggergajian), dan industri hilir yaitu: industri kayu lapis/joint laminated board (Tabel 5). Industri penggergajian dan pengerjaan kayu umumnya menggunakan bahan baku asal wilayah setempat terutama hutan rakyat jenis kayu sengon, pinus, kayu campuran, dan mahoni. Sedangkan industri peti kemas mengggunakan bahan baku kayu campuran, sengon, manii, dan kayu karet. Tabel 4. Jumlah dan produksi industri pengolahan kayu pertukangan pada beberapa kabupaten di Jawa Barat pada tahun 2003 Kabupaten Jenis industri kayu (Jumlah, unit) KG KL/JLB WW PK Total Kapasitas terpasang 1) (m 3 /tahun) Realisasi produksi (m 3 /tahun) % Sukabumi 54 4 35 21 114 74.086,80 15.256,30 20,59 Ciamis 80 - - - 80 320.000,00 68.581,43 21,43 Tasikmalaya 105 - - - 105 175.888,00 5.114,07 2,91 Kuningan 21-67 - 88 35.191,20 7.437,79 21,14 Majalengka 201 - - - 201 48.240,00 5.265,03 10.91 Jumlah 461 4 102 21 598 653.460,00 101.655,16 15,60 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sukabumi; dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten: Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, dan Majalengka Keterangan: KG = Kayu gergajian; KL/JLB = Kayu lapis/joint laminated board; WW = Wood working; dan PK = Peti kemas; 1) Berdasarkan volume kayu bulat; 3. Pemasaran produk Permintaan kayu rakyat dewasa ini terdiri dari dua macam: (1) pasar lokal, dan (2) pasar di mana produknya ditujukan untuk pasar yang lebih luas dan berorientasi ekspor. Untuk pasar lokal (1), umumnya industri masih menggunakan peralatan sederhana dalam pengolahan kayunya sehingga mutu produk yang dihasilkan masih rendah atau setengah jadi. Belum dikenalnya standar produk serta mutu input bahan baku mengakibatkan hasil produk kurang sesuai dengan permintaan pasar. Untuk hal kedua (2), masing-masing industri sudah memiliki pasar produknya sendiri. Industri pengolah kayu rakyat dan penggergajian skala kecil memiliki pasar lokal dalam dan antar kabupaten. Sedangkan industri menengah (kayu lapis / joint laminated board) memiliki pasar nasional ataupun ekspor terutama ke Taiwan, Hongkong, Korea, Jepang, Malaysia, dan China. 41

B. Kebutuhan Kayu dari Industri Pengolahan Kayu Pertukangan Kebutuhan kayu pada berbagai industri kayu pertukangan yang produknya berupa kayu gergajian, kayu lapis/joint laminated board, furnitur (wood working), dan peti kemas pada beberapa kabupaten yang dikaji di Jawa Barat disajikan pada Tabel 4 dan 5. Dapat dilihat bahwa kebutuhan kayu terbesar dalam tahun 2003 terdapat pada kabupaten Ciamis, diikuti oleh kabupaten Sukabumi, Tasikmalaya, Kuningan, hingga Majalengka (terendah). Adanya kebutuhan kayu yang tinggi di Kabupaten Ciamis disebabkan oleh banyaknya dan jumlah kapasitas industri kayu penggergajian terpasaang, yaitu berturut-turut 80 unit dan 320.000 m 3 per tahun (Tabel 4). Tabel 5. Kebutuhan kayu pertukangan oleh berbagai industri pengolahan kayu pertukangan pada beberapa kabupaten di Jawa Barat pada tahun 2003 No Kabupaten Kebutuhan kayu per jenis industri pengolahan kayu (m 3 ) KG KL/JLB WW PK Jumlah 1 Sukabumi 14.400,00 46.080,00 870,00 12.736,80 74.086,00 2 Ciamis 242.000,00 - - - 242.000,00 3 Tasikmalaya 12.340,00 - - - 12.340,00 4 Kuningan 7.026,73 - - - 7.026,73 5 Majalengka 4.791,13 - - - 4.791,13 Jumlah 280.557,86 46.080,00 870,00 12.736,80 340.244,68 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sukabumi; dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten: Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, dan Majalengka Keterangan: KG = Kayu gergajian; KL/JLB = Kayu lapis/joint laminated board; WW = Wood working; dan PK = Peti kemas Kayu pertukangan dari hutan rakyat terdiri dari beberapa jenis. Kebutuhan kayu pertukangan tersebut menurut jenis kayu di beberapa kabupaten yang dikaji di Jawa Barat disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Kebutuhan kayu pertukangan menurut jenis kayu pada beberapa kabupaten di Jawa Barat pada tahun 2003 No Kabupaten Kebutuhan kayu pertukangan per jenis kayu (m 3 ) Jumlah Sengon Mahoni Campuran Jati Pinus (m 3 ) 1 Sukabumi 46.080,00-28.006,80 - - 74.586,80 2 Ciamis 144.000,00 72.000,00 9.000,00 17.000,00-242.000,00 3 Tasikmalaya 7.500,00 3.600,00 400,00 840,00-12.340,00 4 Kuningan 1.710,69 1.487,56 927,74 1.859,45 1.041,29 7.026,73 5 Majalengka 737,70 1.053,11 947,30 1.316,38 737,17 4.791,13 Jumlah 200.027,70 78.140,67 39.281,84 21.015,83 1.778,46 340.244,66 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sukabumi; dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten: Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, dan Majalengka Keterangan: Campuran = manii, puspa, agathis, rasamala, dan kayu karet 42

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa pada tahun 2003 jenis kayu sengon paling banyak dibutuhkan yaitu di kabupaten Ciamis, disusul oleh kabupaten Sukabumi, Tasikmalaya, Kuningan, hingga Majalengka (terendah). Untuk kayu mahoni, kebutuhan terbesar terdapat pada kabupaten Ciamis, diikuti berturut-turut oleh kabupaten Tasikmalaya, Kuningan, dan Majalengka. Pada kabupaten Sukabumi, kebutuhan kayu mahoni termasuk ke dalam jenis kayu campuran (Tabel 6). Selanjutnya kebutuhan kayu jati terbanyak terdapat pada Kabupaten Ciamis, diikuti oleh Majalengka dan Ciamis. Kebutuhan kayu jati oleh kabupaten Sukabumi sudah termasuk dalam kayu campuran. Untuk kayu campuran, kebutuhan terbesar terdapat pada kabupaten Sukabumi (sudah termasuk jenis mahoni, jati, dan pinus), diikuti oleh kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, dan Majalengka. Untuk kayu pinus, kebutuhannya terdapat pada kabupaten Kuningan dan Majalengka. Kebutuhan kayu pinus di kabupaten Sukabumi sudah termasuk pada perhitungan kayu campuran. III. PERIMBANGAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT Setelah diketahui produksi kayu hutan rakyat (Tabel 3) dan kebutuhan kayu pertukangan (Tabel 5 dan 6), maka dapat dihitung kemampuan produksi kayu dari hutan rakyat untuk memenuhi kebutuhan kayu pertukangan dari industri pengolahan kayu yang terdapat pada beberapa kabupaten yang di kaji di Jawa Barat, yaitu: Sukabumi, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, dan Majalengka (Tabel 7 dan 8). Tabel 7. Perimbangan produksi dan kebutuhan kayu pertukangan untuk bahan baku industri pengolahan kayu pertukangan pada beberapa kabupaten di Jawa Barat pada tahun 2003 No Kabupaten Produksi Kebutuhan Kekurangan Kelebihan (m 3 ) (m 3 ) (m 3 ) (m 3 ) 1 Sukabumi 15.256,30 74.086,80 58.830,50-2 Ciamis 68.581,30 242.000,00 173.418,70-3 Tasikmalaya 5.114,15 12.340,00 7.225,85-4 Kuningan 7.437,79 7.026,73-411,06 5 Majalengka 5.265,73 4.791,13-474,60 Jumlah 101.655,27 340.244,66 239.475,05 885,66 43

Tabel 7 terlihat bahwa produksi kayu pertukangan pada tiga kabupaten di Jawa Barat (Sukabumi, Ciamis, dan Tasikmalaya) lebih kecil dari kebutuhannya. Adapun kekurangan kayu pertukangan dari masing-masing kabupaten tersebut pada tahun 2003 berturut-turut sebesar 58.831 m 3, 173.419 m 3, dan 7.226 m 3. Kekurangan tersebut disebabkan sebagian produksi kayu pertukangan hutan rakyat di tiga kabupaten tersebut dipasarkan ke luar kabupaten. Sebaliknya pada kabupaten Kuningan dan Majalengka ternyata produksi kayu pertukangan dari hutan rakyat telah mencukupi kebutuhan, bahkan terjadi kelebihan sebesar berturut-turut 411 m 3 dan 475 m 3. Kemungkinan ini disebabkan jumlah industri dan kapasitas produksi kayu pertukangan pada kedua kabupaten tersebut relatif rendah. Selanjutnya perimbangan produksi kayu dari hutan rakyat dan kebutuhan kayu pertukangan menurut jenis disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Perimbangan produksi dan kebutuhan kayu pertukangan menurut jenis untuk bahan baku industri pengolahan pada beberapa kabupaten di Jawa Barat pada tahun 2003 No Jenis kayu /Kabupaten Produksi kayu pertukangan (m 3 ) Kebutuhan kayu pertukangan (m 3 ) Kelebihan (m 3 ) Kekurangan (m 3 ) 1 Sengon Sukabumi 7.404,40 46.080,00-38.675,60 Ciamis 6.475,48 144.000,00-137.524,52 Tasikmalaya 3.048,45 7.500,00-4.451,55 Kuningan 1.362,00 1.710,69-348,69 Majalengka 1.456,00 737,17 718,83 - Jumlah 19.746,33 200.027,86 718,83 181.000,36 2 Mahoni Sukabumi 4.710,00 72.000,00 4.710,00 - Ciamis 43.564,99 3.600,00-28.435,01 Tasikmalaya 361,48 1.487,56-3.238,52 Kuningan 763,60 1.487,56-7.239,96 Majalengka 1.422,00 1.053,11 368,89 - Jumlah 50.822,07 78.140,67 5.078,89 38.913,49 3 Campuran Sukabumi 3.024,20 28.006,80-24.982,60 Ciamis 1.482,42 9.000,00-7.517,58 Tasikmalaya 1.549,20 400,00 1.149,20 - Kuningan 256,98 927,74-670,76 Majalengka 294,27 947,30-653,03 Jumlah 6.607,07 39.281,84 1.149,20 33.823,97 4 Jati Sukabumi 2.426,00-2.426,00 - Ciamis 17.056,54 17.000,00 56,54 - Tasikmalaya 154,92 840,00-685,08 Kuningan 15.185,00 1.859,45 13.325,55 - Majalengka 2.110,00 1.316,38 793,62 - Jumlah 36.932,46 21.015,83 16.601,71 685,08 44

5 Pinus Sukabumi 6.497,00-6.497,00 - Ciamis - - - - Tasikmalaya - - - - Kuningan 420,00 1.041,29-621,29 Majalengka 1.026,00 737,13 288,47 - Jumlah 7.943,00 1.778,42 6.785,87 621,29 Jumlah total 122.050,90 340.244,60 22.081,21 240.274,90 Tabel 8 menunjukkan, untuk sengon, pada tahun 2003 produksi kayu pertukangan jenis tersebut belum cukup memenuhi kebutuhan pada kabupaten Sukabumi, Ciamis, Tasikmalaya, dan Kuningan yang jumlahnya sebesar 181.000,36 m 3, kecuali di Majalengka terjadi kelebihan produksi sebesar 718,83 m 3. Jadi secara keseluruhan pada industri pengolahan kayu pertukangan di lima kabupaten terjadi kekurangan kayu sengon 180.281,53 m 3 (= 181.000,36 m 3 718,83 m 3 ). Selanjutnya untuk jenis kayu mahoni, terdapat kekurangan bahan baku jenis tersebut sebesar 38.913,49 m 3, yaitu meliputi kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, dan Kuningan. Sedangkan di kabupaten Sukabumi dan Majalengka terjadi kelebihan kayu pertukangan mahoni 5.078,89 m 3. Secara keseluruhan untuk industri pengolahan kayu pertukangan, di lima kabupaten terjadi kekurangan kayu mahoni 33.834,60 m 3 (= 38.913,49 m 3 5.078,89 m 3 ). Untuk kayu campuran (Tabel 8), terjadi kekurangan produksi kayu pertukangan di kabupaten Sukabumi, Ciamis, Kuningan, dan Majalengka dengan jumlah sebesar 33.823,97 m 3. Kecuali di kabupaten Tasikmalaya terdapat kelebihan produksi 1.149,20 m 3. Dengan demikian di lima kabupaten secara keseluruhan terjadi kekurangan bahan baku kayu campuran 32.674,77 m 3 (= 33.823,97 m 3 1.149,20 m 3 ). Dalam hal jati, industri pengolahan kayu pertukangan mengalami kelebihan produksi 16.601,71 m 3 yang meliputi kabupaten Sukabumi, Ciamis, Kuningan, dan Majalengka. Sedangkan di kabupaten Tasikmalaya sebaliknya terjadi kekurangan produksi kayu jati 685,08 m 3. Secara keseluruhan, di lima kabupaten tersebut terdapat kelebihan produksi kayu jati 15.916,63 m 3 (= 16.601,71 m 3 685,08 m 3 ). Akhirnya untuk kayu pinus, terdapat kelebihan produksi di kabupaten Sukabumi dan Majalengka dengan jumlah sebesar 6.785,87 m 3. Sedangkan di kabupaten Kuningan terjadi kekurangan kebutuhan kayu pinus 621,29 m 3. Jadi secara keseluruhan di lima kabupaten terdapat kelebihan produksi kayu pinus 6.164,58 m 3 (= 6785,87 m 3 621,29 m 3 ). 45

Dari uraian di atas, secara keseluruhan pada lima kabupaten yang dikaji di Jawa Barat (Tabel 8) terdapat kekurangan bahan baku kayu pertukangan sebesar 246.790,90 m 3, terdiri dari kayu sengon (180.281,53 m 3 ), mahoni (33.834,60 m 3 ), dan kayu campuran (32.674,77 m 3 ). Kecuali kayu jati dan pinmus yang mengalami kelebihan produksi (masing-masing 15.916,63 m 3 dan 6.164,58 m 3 ). Untuk jenis sengon di mana volume kekurangannya terbesar (Tabel 8), kayunya umumnya baik sehingga kekurangan jenis tersebut mungkin disebabkan banyak industri pengolahan kayu pertukangan yang membutuhkannya baik secara lokal ataupun dari luar kabupaten. Sedangkan kekurangan jenis kayu lain karena rakyat terkonsentrasi mengusahakan hutan sengon rakyat. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Gambaran singkat potensi kayu pertukangan pada beberapa kabupaten yang dikaji di Jawa Barat menunjukkan bahwa peranan hutan rakyat dalam mendukung perekonomian masyarakat dan mencukupi kebutuhan bahan baku kayu untuk industri pengolahan kayu sangat penting. Dukungan tersebut terindikasi pada tumbuhnya tradisi masyarakat setempat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kegiatan pembangunan hutan rakyat. Pada lima kabupaten di Jawa Barat yang dikaji (Sukabumi, Tasikmalaya, Ciamis, Majalengka, dan Kuningan) pada tahun 2003 terdapat hutan rakyat seluas 94.119 ha dengan volume produksi kayu pertukangan 122.318 m 3. Kebutuhan kayu untuk bahan baku industri pengolahan kayu pertukangan pada tahun tersebut 340.245 m 3, sehingga terjadi ketidak seimbangan antara produksi kayu pertukangan dari hutan rakyat dengan kebutuhan bahan baku, yang ditandai dengan kekurangan kayu pertukangan sebesar 224.709 m 3. Banyaknya industri pengolahan kayu yang berbeda atau yang sama menggunakan suatu jenis kayu dengan bahan baku sejenis dan keterbatasan tersedianya bahan baku tersebut mengakibatkan persaingan antar produksi memperoleh suatu jenis kayu. Hal tersebut menyebabkan tingkat pemanfaatan (utility) industri pengolahan kayu di lima kabupaten yang di Jawa Barat masih rendah yaitu 15,6% dengan kisaran 2,91 21,43 %. Industri pengolahan kayu pertukangan pada lima kabupaten di Jawa Barat saat ini ada sebanyak 598 unit dan sebanyak 96% (574 unit) dari jumlah industri tersebut 46

berskala kecil, yang terdiri dari industri penggergajian (64%), industri pengerjaan kayu (27%), dan peti kemas (5%). Hanya sebagian kecil atau sebesar 4% dari jumlah industri pengolahan kayu tersebut merupakan industri kayu lapis / joint laminated board (JLB) yang berskala menengah dan besar. Volume produksi kayu pertukangan yang terbesar dari jenis kayu tertentu dari kajian ini, dapat dijadikan indikator penetapan lokasi sentra produksi suatu jenis kayu dan jenis industri pengolahan kayu pertukangan yang sesuai untuk dikembangkan. B. Saran Untuk mengatasi rendahnya volume produksi kayu pertukangan pada jenis tertentu disarankan agar kegiatan penyuluhan perlu ditingkatkan baik, antara lain dalam hal: memilih bibit, pemilihan lokasi, cara pemeliharaan, dan cara pemanenan kayu dari hutan rakyat Dari lima kabupaten di Jawa Barat yang dikaji berdasarkan volume produksi suatu jenis kayu terbesar saat ini, maka kabupaten Ciamis merupakan sentra produksi dan industri kayu pertukangan yang menggunakan kayu mahoni dan jati. Kabupaten Sukabumi sebagai sentra produksi dan industri yang menggunakan kayu pinus dan kayu karet untuk memproduksi kayu lapis/jlb dan furnitur, sedangkan penggunaan kayu sengon untuk me,produksi peti kemas karena kualitasnya rendah. Kabupaten Kuningan merupakan sentra produksi dan industri yang menggunakan kayu jati untuk produksi furnitur. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2002. Statistik Kehutanan Indonesia, Departemen Kehutanan. Jakarta. Anonim, 2002. Luas dan produksi kayu dari hutan rakyat di Jawa Barat. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Jawa Barat. Bandung. Anonim, 2003. Luas hutan rakyat di kabupaten Sukabumi. Laporan Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi. Sukabumi Anonim, 2003. Produksi kayu dari hutan rakyat Kabupaten Sukabumi. Laporan Balai Pelayanan dan Pengamatan Peredaran Hasil Hutan. Sukabumi Anonim, 2003. Luas hutan rakyat di kabupaten Tasikmalaya. Laporan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya. Tasikmalaya 47

Anonim, 2003. Luas dan produksi kayu dari hutan rakyat di Kabupaten Ciamis. Laporan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis. Ciamis. Anonim, 2003. Luas dan produksi kayu dari hutan rakyat di Kabupaten Majalengka Laporan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Majalengka, Majalengka. Anonim, 2003. Luas dan produksi kayu dari hutan rakyat di Kabupaten Kuningan. Laporan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan. Kuningan. Anonim, 2006. Kayu alam distop total mulai 2014: Laju degradasi hutan 2,87 juta hektar per tahun. Harian Kompas, tanggal 28 April 2006, Hlmn. 22, Jakarta Anonim, 2006. Industri kayu makin terpuruk. Harian Kompas, tanggal 28 Juni. 2006, Hlmn. 17. Jakarta. Balfas, J., 2003. Potensi kayu pertukangan alternatif sebagai industri kayu pertukangan. Makalah utama disajikan pada: Ekspose Hasil-hasil Litbang Hasil Hutan dalam Mendukung Program Restrukturisasi Industri Kehutanan, tanggal 16 Desember 2003, 15 hlm. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor 48