BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Suwardjo dan Dariah (1995) mulsa adalah berbagai macam bahan seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

II. TINJAUAN PUSTAKA. ditanam pada lahan tersebut. Perlakuan pengolahan tanah diperlukan dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk dibedakan menjadi 2 macam yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik

III. PERANAN ORGANISME TANAH FUNGSIONAL UNTUK KESUBURAN TANAH

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami

II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu merupakan tanaman semusim dari Divisio Spermathophyta dengan

BAB I PENDAHULUAN. hidup dari bidang pertanian (Warnadi & Nugraheni, 2012). Sektor pertanian

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Teknologi revolusi hijau di Indonesia digulirkan sejak tahun 1960 dan

Menurut Syariffauzi (2009), pengembangan perkebunan kelapa sawit membawa dampak positif dan negatif Dampak positif yang ditimbulkan antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempunyai fungsi penting dari ekosistem darat yang menggambarkan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah

PEMANFAATAN BIOTA TANAH UNTUK KEBERLANJUTAN PRODUKTIVITAS PERTANIAN LAHAN KERING MASAM

PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH. Oleh: Arif Nugroho ( )

I. PENDAHULUAN. pupuk tersebut, maka pencarian pupuk alternatif lain seperti penggunaan pupuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa

I. PENDAHULUAN. perkebunan tebu terbesar di Lampung adalah PT. Gunung Madu Plantation

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

BAB I PENDAHULUAN. beberapa pengolahan yang dapat dilakukan adalah pengolahan sampah organik

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007).

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai bahan pangan utama (Purwono dan Hartono, 2011). Selain

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Cacing Tanah. 2.2 Cacing Tanah berdasarkan Jenis Makanan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Pengolahan tanah merupakan suatu tahapan penting dalam budidaya tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

IV. ORGANISME TANAH UNTUK PENGENDALIAN BAHAN ORGANIK TANAH

BAB I PENDAHULUAN. Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan makhluk hidup

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, jagung (Zea mays L.) merupakan bahan pangan penting sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. saat ini adalah pembibitan dua tahap. Yang dimaksud pembibitan dua tahap

BAB I PENDAHULUAN. Ternak ruminansia seperti kerbau, sapi, kambing dan domba sebagian besar bahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

1. PENDAHULUAN. yang biasa dilakukan oleh petani. Tujuan kegiatan pengolahan tanah yaitu selain

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

I. PENDAHULUAN. Cabai (Capsicum annuum) merupakan komoditas sayuran yang memiliki nilai

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani Tanaman Pakchoi dan Syarat Tumbuh. Pakchoy adalah jenis tanaman sayuran yang mirip dengan tanaman sawi.

Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) merupakan salah satu komoditas

BAB I PENDAHULUAN. firman Allah dalam QS Al-Imran 190 yang berbunyi : Allah SWT kepada manusia yang telah diberi kenikmatan berupa akal dan pikiran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kumpulan tanaman pinus. Pinus yang memiliki klasifikasi berupa : Species : Pinus merkusii (van Steenis, et al., 1972).

V. ORGANISME TANAH UNTUK PENINGKATAN KESUBURAN TANAH

PENDAHULUAN. Buah melon (Cucumis melo L.) adalah tanaman buah yang mempunyai nilai

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memudahkan hewan tanah khususnya cacing untuk hidup di. sebagai pakan ayam dan itik. Para peternak ikan juga memanfaatkan

I. PENDAHULUAN. Jagung manis (Zea mays saccharata) merupakan salah satu komoditas pertanian

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang penting

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri.

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah merupakan habitat kompleks untuk organisme. Di dalam tanah hidup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clitellata, Ordo Oligochaeta. Pengolongan ini didasarkan pada bentuk morfologi,

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. dengan sifat dan ciri yang bervariasi, dan di dalam tanah terjadi kompetisi antara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gayatri Anggi, 2013

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. yang besar bagi kepentingan manusia (Purnobasuki, 2005).

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal

VERMIKOMPOS (Kompos Cacing Tanah) PUPUK ORGANIK BERKUALITAS DAN RAMAH LINGKUNGAN

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditi tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Kandungan zat gizi yang lengkap dalam menu makanan yang sehat dan seimbang

Kompos Cacing Tanah (CASTING)

TINJAUAN PUSTAKA Botani

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

BAB I. PENDAHULUAN A.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakter Sludge Limbah Organik Saus. Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan sistem biakan

I. PENDAHULUAN. banyak ditemukan pada 0 sampai 10 cm (Kuhnelt et al, 1976). Kelompok hewan

I. PENDAHULUAN. Ekstensifikasi pertanian merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi

Soal Jawab DIT (dibuat oleh mahasiswa)

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya.

Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Cacing tanah yang ditemukan pada agroforestri berbasis kopi di Desa

I. PENDAHULUAN. Tanah Ultisol mencakup 25% dari total daratan Indonesia. Penampang tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Umum Latosol

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Cacing Tanah Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata) yang digolongkan dalam filum Annelida dan klas Clitellata, Ordo Oligochaeta. Pengolongan ini didasarkan pada bentuk morfologi, karena tubuhnya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (chaeta), yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak. Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior. Pada bagian anteriornya terdapat mulut dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelium (Edward & Lofty, 1977). Morfologi cacing tanah dapat dilihat pada gambar 2. Gambar 2. Morfologi Cacing Tanah

Rukmana (1999) menyatakan bahwa cacing tanah bersifat hermaprodit atau biseksual. Artinya, pada tubuhnya terdapat dua alat kelamin, yaitu jantan dan betina. Namun, untuk pembuahan cacing tanah tidak dapat melakukannya sendiri, tetapi harus dilakukan oleh sepasang cacing tanah. Dari perkawinan tersebut, masing-masing cacing tanah dapat menghasilkan satu kokon yang didalamnya terdapat beberapa butir telur. Subowo (2008) menyatakan bahwa kopulasi dan produksi kokon biasanya dilakukan pada bulan panas. Berbagai hasil penelitian didapat lama siklus hidup cacing tanah hingga mati mencapai 1-10 tahun. Palungkun (1999), menjelaskan siklus hidup cacing tanah dimulai dari kokon, cacing muda (juvenil), cacing produktif dan cacing tua. Lama siklus hidup tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan makanan, dan jenis cacing tanah. Kokon yang dihasilkan dari cacing tanah akan menetas setelah berumur 14-21 hari. Setelah menetas, cacing tanah muda ini akan hidup dan dapat mencapai dewasa kelamin dalam waktu 2,5-3 bulan. Saat dewasa kelamin cacing tanah akan menghasilkan kokon dari perkawinannya yang berlangsung selama 6-10 hari dan masa produktifnya berlangsung selama 4-10 bulan. Sherman (2003) menjelaskan bahwa cacing tanah tidak mempunyai kepala, tetapi mempunyai mulut pada ujungnya (anterior) yang disebut prostomium. Bagian belakang mulut terdapat bagian badan yang sedikit segmennya dinamakan klitelium yang merupakan pengembangan segmensegmen, biasanya mempunyai warna yang sedikit menonjol atau tidak dibandingkan dengan bagian tubuh lain. Cacing tanah tidak mempunyai alat pendengar dan mata, tetapi peka sekali terhadap sentuhan dan getaran, sehingga dapat mengetahui kecenderungan untuk menghindari cahaya, selain itu cacing tidak mempunyai gigi.

2.2 Ekologi Cacing Tanah Paoletti (1999), menyatakan bahwa cacing tanah secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan tempat hidupnya, kotorannya, kenampakan warna, dan makanan kesukaannya sebagai berikut: (1) Epigaesis; cacing yang aktif dipermukaan, warna gelap, penyamaran efektif, tidak membuat lubang, kotoran tidak nampak jelas, pemakan serasah di permukaan tanah dan tidak mencerna tanah. Contohnya : Lumbricus rubellus dan L. castaneus. (2) Anazesis; berukuran besar, membuat lubang terbuka permanen ke permukaan tanah; pemakan serasah di permukaan tanah dan membawanya ke dalam tanah, mencerna sebagian tanah, warna sedang bagian punggung, dengan penyamaran rendah, kotoran di permukaan tanah atau terselip di antara tanah. Contohnya : Eophila tellinii, Lumbricus terrestris, dan Allolobophora longa. (3) Endogaesis; hidup di dalam tanah dekat permukaan tanah, sering dalam dan meluas, kotoran di dalam lubang, tidak berwarna, tanpa penyamaran, pemakan tanah dan bahan organik, serta akar-akar mati. Contohnya : Allolobophora chlorotica, Allolobophora caliginosa, dan Allolobophora rosea. (4) Coprophagic; hidup pada pupuk kandang, seperti : Eisenia foetida, Dendrobaena veneta, dan Metaphire schmardae. (5) Arboricolous; hidup di dalam suspensi tanah pada hutan tropik basah, seperti : Androrrhinus spp. Berdasarkan jenis makanannya cacing tanah dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) litter feeder (pemakan bahan organik sampah, kompos, pupuk hijau), (2) limifagus (pemakan tanah subur/mud atau tanah basah), dan (3) geofagus (pemakan tanah) (Lee 1985). Kelompok geofagus akan memakan masa tanah dan litter feeder/limifagus biasanya dengan mendesak masa tanah. Hal ini berhubungan dengan kegiatan membuat lubang yang berbeda pada tiap jenis cacing tanah. Ada yang dilakukan dengan mendesak masa tanah dan ada juga yang dilakukan dengan memakan masa tanah (Minnich 1977).

Aktivitas hidup cacing tanah dalam suatu ekosistem tanah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: iklim (curah hujan, intensitas cahaya dan lain sebagainya), sifat fisik dan kimia tanah (temperatur, kelembaban, kadar air tanah, ph dan kadar organik tanah), nutrien (unsur hara) dan biota (vegetasi dasar dan fauna tanah lainnya) serta pemanfaatan dan pengelolaan tanah (Buckman & Brady, 1982). Selanjutnya Wallwork (1970) menjelaskan bahwa keberadaan dan kepadatan fauna tanah, khusunya cacing tanah sangat ditentukan oleh faktor abiotik dan biotik. Disamping itu faktor lingkungan lain dan sumber bahan makanan, cara pengolahan tanah, seperti di daerah perkebunan dan pertanian turut mempengaruhi keberadaan dan distribusi cacing tanah tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan cacing tanah sebagai berikut: a. Kelembaban tanah Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas pergerakan cacing tanah karena sebagian tubuhnya terdiri atas air berkisar 75-90 % dari berat tubuhnya. Itulah sebabnya usaha pencegahan kehilangan air merupakan masalah bagi cacing tanah. Meskipun demikian cacing tanah masih mampu hidup dalam kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan dengan cara berpindah ke tempat yang lebih sesuai atau pun diam. Lumbricus terrestris misalnya, dapat hidup walaupun kehilangan 70% dari air tubuhnya. Kekeringan yang lama dan berkelanjutan dapat menurunkan jumlah cacing tanah (Wallwork, 1970; Edward & Lofty, 1977). Rukmana (1999) menjelaskan bahwa kelembaban tanah yang terlalu tinggi atau terlalu basah dapat menyebabkan cacing tanah berwarna pucat dan kemudian mati. Sebaliknya bila kelembaban tanah terlalu kering, cacing tanah akan segera masuk ke dalam tanah dan berhenti makan serta akhirnya mati. b. Suhu (temperatur) tanah Kehidupan hewan tanah juga ikut ditentukan oleh suhu tanah. Suhu yang ekstrim tinggi atau rendah dapat mematikan hewan tanah. Di samping itu suhu tanah pada

umumnya mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme hewan tanah. Tiap spesies hewan tanah memiliki kisaran suhu optimum (Odum, 1996). Suhu tanah pada umumnya dapat mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme. Tiap spesies cacing tanah memiliki kisaran suhu optimum tertentu, contohnya L. rubellus kisaran suhu optimumnya 15 18 0 C, L. terrestris ± 10 0 C, sedangkan kondisi yang sesuai untuk aktivitas cacing tanah di permukaan tanah pada waktu malam hari ketika suhu tidak melebihi 10,5 0 C (Wallwork, 1970). c. ph tanah Kemasaman tanah sangat mempengaruhi populasi dan aktivitas cacing tanah sehingga menjadi faktor pembatas penyebaran dan spesiesnya. Umumnya cacing tanah tumbuh baik pada ph sekitar 4,5-6,6, tetapi dengan bahan organik tanah yang tinggi mampu berkembang pada ph 3 (Fender dan Fender, 1990). Tanah pertanian di Indonesia umumnya bermasalah karena ph-nya asam. Tanah yang ph-nya asam dapat mengganggu pertumbuhan dan daya berkembangbiak cacing tanah, karena ketersediaan bahan organik dan unsur hara (pakan) cacing tanah relatif terbatas (Rukmana, 1999). Di samping itu, tanah dengan ph asam kurang mendukung percepatan proses pembusukan (fermentasi) bahan-bahan organik. Oleh karena itu, tanah pertanian yang mendapatkan perlakuan pengapuran sering banyak dihuni cacing tanah. Pengapuran berfungsi menaikkan (meningkatkan) ph tanah sampai mendekati ph netral (Brata, 2006). Cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah, karena itu ph merupakan faktor pembatas dalam menentukan jumlah spesies yang dapat hidup pada tanah tertentu. Dari penelitian yang telah dilakukan secara umum didapatkan cacing tanah menyukai ph tanah sekitar 5,8-7,2 karena dengan kondisi ini bakteri dalam tubuh cacing tanah dapat bekerja optimal untuk mengadakan pembusukan.

Penyebaran vertikal maupun horizontal cacing tanah sangat dipengaruhi oleh ph tanah (Edwards & Lofty, 1970). d. Kadar Organik Suin (1997) mengatakan materi organik tanah sangat menentukan kepadatan organisme tanah. Materi organik tanah merupakan sisa-sisa tumbuhan, hewan organisme tanah, baik yang telah terdekomposisi maupun yang sedang terdekomposisi. Selanjutnya Buckman & Brady (1982) mengatakan bahwa materi organik dalam tanah tidaklah statis tetapi selalu ada perubahan dengan penambahan sisa-sisa tumbuhan tingkat tinggi dan penguraian materi organik oleh jasad pengurai. Materi organik mempunyai pengaruh besar pada sifat tanah karena dapat menyebabkan tanah menjadi gembur, meningkatkan kemampuan mengikat air, meningkatkan absorpsi kation dan juga sebagai ketersediaan unsur hara. Bahan organik tanah sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan populasi cacing tanah karena bahan organik yang terdapat di tanah sangat diperlukan untuk melanjutkan kehidupannya. Bahan organik juga mempengaruhi sifat fisik-kimia tanah dan bahan organik itu merupakan sumber pakan untuk menghasilkan energi dan senyawa pembentukan tubuh cacing tanah (Anwar, 2007). e. Vegetasi Suin (1982) menyatakan bahwa pada tanah dengan vegetasi dasarnya rapat, cacing tanah akan banyak ditemukan, karena fisik tanah lebih baik dan sumber makanan yang banyak ditemukan berupa serasah. Menurut Edwards & Lofty (1977) faktor makanan, baik jenis maupun kuantitas vegetasi yang tersedia di suatu habitat sangat menentukan keanekaragaman spesies dan kerapatan populasi cacing tanah di habitat tersebut. Pada umumnya cacing tanah lebih menyenangi serasah herba dan kurang menyenangi serasah pohon gugur dan daun

yang berbentuk jarum. Selanjutnya dijelaskan bahwa cacing tanah lebih menyenangi daun yang tidak mengandung tanin. 2.3 Peranan Cacing Tanah Cacing tanah merupakan organisme tanah yang memiliki peranan penting pada pertumbuhan tanaman yang telah diketahui lebih dari seabad yang lalu, sejak terbit publikasi buku dari Charles Darwin berjudul The formation of vegetable mould through the action of worms pada tahun 1881. Peranan utama cacing tanah adalah untuk mengubah bahan organik, baik yang masih segar maupun setengah segar atau sedang melapuk, sehingga menjadi bentuk senyawa lain yang bermanfaat bagi kesuburan tanah (Buckman dan Brady, 1982). Selanjutnya Suin (1982) mengatakan bahwa cacing tanah juga berperan memperbaiki aerasi tanah dengan cara menerobos tanah sedemikian rupa sehingga pengudaraan tanah menjadi lebih baik, disamping itu cacing tanah juga menyumbangkan unsur hara pada tanah melalui eksresi yang dikeluarkannya, maupun dari tubuhnya yang telah mati. Makrofauna tanah, khususnya cacing tanah merupakan bagian dari biodiversitas tanah yang berperan penting dalam perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah melalui proses imobilisasi dan humifikasi. Dalam dekomposisi bahan organik, makrofauna tanah lebih banyak berperan dalam proses fragmentasi (comminusi) serta memberikan fasilitas lingkungan mikrohabitat yang lebih baik bagi proses dekomposisi lebih lanjut yang dilakukan oleh kelompok mesofauna dan mikrofauna tanah serta berbagai jenis bakteri dan fungi (Lavelle et al., 1994). Secara umum peranan cacing tanah adalah sebagai bioamelioran (jasad hayati penyubur dan penyehat) tanah terutama melalui kemampuannya dalam memperbaiki sifat-sifat tanah, seperti ketersediaan hara, dekomposisi bahan organik, pelapukan mineral, sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah (Hanafiah et al., 2005).

Hegner & Engeman (1978) menyatakan bahwa pembentukan pori-pori tanah dilakukan oleh cacing tanah sehingga campuran bahan organik dan anorganik membentuk bahan-bahan lain yang tersedia bagi tanah. Cacing tanah juga dapat meningkatkan daya serap tanah dalam menyerap air pada waktu hujan karena cacing tanah memiliki kemampuan membuat liang-liang dalam tanah. Oleh sebab itu persediaan air dalam tanah akan lebih teratur, sehingga menjamin pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman yang baik akan menyebabkan daundaun tumbuhan lebih baik. Apabila daun-daun yang telah tua jatuh akan menjadi humus sehingga secara langsung cacing tanah mengurangi banjir pada saat hujan dan menjaga persedian air pada musim kering. Suin (1982) menyatakan bahwa tanah dengan kepadatan populasi cacing tanahnya tinggi akan menjadi subur, sebab kotoran cacing tanah (kasting) yang bercampur dengan tanah merupakan pupuk yang kaya akan nitrat organik, posfat, dan kalium, yang membuat tanaman mudah menerima pupuk yang diberikan ke tanah, disamping formasi bahan organik tanah dan mendistribusikan kembali bahan organik di dalam tanah. Komposisi komponen kimiawi pada kascing dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Komposisi komponen kimiawi pada kascing Komposisi Kimiawi Komposisi (%) Na 0,82 Kalium (K) 0,43 KTK 13,20 Magnesium (Mg) 1,41 Al 0,00 Ca 13,59 Sumber: Subowo, 2002 Wallwork (1976) menyatakan bahwa cacing tanah dan organisme tanah lainnya merupakan variabel biotis penyusun suatu komunitas yang memiliki beberapa peranan, diantaranya adalah sebagai pengurai dalam rantai makanan, jembatan transfer energi kepada organisme yang memiliki tingkat tropik yang lebih tinggi, membantu kegiatan metabolisme tumbuhan dengan menguraikan

serasah daun-daunan dan ranting. Disamping itu cacing tanah dapat digunakan untuk mengestimasi kondisi ekologis suatu ekosistem tanah. Selanjutnya dijelaskan bahwa cacing tanah juga dapat mengubah kondisi tanah yang didiaminya melalui keunikan aktivitas dan perilakunya. Hewan ini memakan tanah berikut bahan organik yang terdapat di tanah dan kemudian dikeluarkan sebagai kotoran di permukaan tanah. Aktivitas ini menyebabkan lebih banyak udara yang masuk ke dalam tanah, tanah menjadi teraduk dan terbentuk agregasiagregasi sehingga tanah dapat menahan air lebih banyak dan menaikkan kapasitas air tanah. Cacing tanah sangat penting dalam proses dekomposisi bahan organik tanah. Kegiatan cacing tanah menerowongi tanah dapat membentuk pori mikro yang mantap dan sambung menyambung melancarkan daya antar air, memudahkan proses pertukaran gas, menyediakan medium yang baik bagi pertumbuhan akar (Notohadiprawiro, 1998). 2.4 Pertanian Organik dan Anorganik Pertanian organik dibanyak tempat dikenal dengan istilah yang berbeda-beda. Ada yang menyebut sebagai pertanian lestari, pertanian ramah lingkungan, sistem pertanian berkelanjutan dan pertanian organik itu sendiri. Penggunaan istilah pertanian organik/organic Farming pertama kali oleh Northbourne pada tahun 1940 dalam bukunya yang berjudul Look to the Land. Northbourne menggunakan istilah tersebut tidak hanya berhubungan dengan penggunaan bahan organik untuk kesuburan lahan, tetapi juga kepada konsep merancang dan mengelola sistem pertanian sebagai suatu sistem utuh atau organik, mengintegrasikan lahan, tanaman panenan, binatang dan masyarakat (Lotter, 2003). Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang bertujuan untuk tetap menjaga keselarasan sistem alami dengan memanfaatkan dan mengembangkan semaksimal mungkin proses-proses alami dalam pengelolaan usaha tani.

Mutiarawati (2001) menyatakan bahwa, sistem pertanian organik mempunyai konsep antara lain: - Suatu budidaya pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia (buatan) - Mewujudkan sikap dan perilaku hidup yang menghargai alam - Berkeyakinan bahwa kehidupan adalah anugerah Tuhan, harus dilestarikan. Suwantoro (2008) mendefinisikan pertanian organik sebagai suatu sistem produksi pertanian yang berasaskan daur ulang secara hayati. Daur ulang hara dapat melalui sarana limbah tanaman dan ternak, serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Pertanian organik menurut IFOAM (International Federation of Organik Agriculture Movements), 2005 didefinisikan sebagai sistem produksi pertanian yang holistic dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan berkelanjutan. Pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang mendukung dan mempercepat biodiversity, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Salah satu alasan pentingnya pengembangan pertanian organik adalah persoalan kerusakan lahan pertanian yang semakin parah. Penggunaan pupuk kimia secara terus-menerus menjadi penyebab menurunnya kesuburan lahan bila tidak diimbangi dengan penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati (Ansyori, 2004). Sistem pertanian konvensional selain menghasilkan produksi yang meningkat dan terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem pertanian itu sendiri dan lingkungan lainnya. Keberhasilan yang dicapai dalam sistem pertanian konvensional hanya bersifat sementara, karena lambat laun ternyata tidak dapat dipertahankan akibat rusaknya habitat pertanian itu sendiri. Oleh karena itu perlu upaya untuk memperbaiki sistem pertanian konvensional dengan mengedepankan kaidah-kaidah ekosistem yang berkelanjutan (Aryantha,

2003). Kemajuan teknologi dalam bidang pertanian sebagai dampak dari revolusi industri, revolusi kimia dan revolusi hijau, mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara global, namun juga membawa dampak negatif. Mutiarawati (2001) menyatakan bahwa, penggunaan sarana produksi pertanian yang tak terbarukan (not renewable) seperti pupuk buatan dan pestisida secara terus menerus pada sistem pertanian konvensional dan dengan takaran yang berlebihan, menyebabkan antara lain: - Pencemaran air tanah dan air permukaan oleh bahan kimia pertanian - Membahayakan kesehatan manusia dan hewan - Menurunkan keanekaragaman hayati - Meningkatkan resistensi organisme pengganggu - Menurunkan produktivitas lahan karena erosi dan pemadatan tanah Keberlanjutan produksi pertanian membutuhkan pemeliharaan kualitas tanah. Istilah kualitas tanah (soil quality) yang diaplikasikan pada ekosistem menunjukkan kemampuan tanah untuk mendukung secara terus menerus pertumbuhan tanaman pada kualitas lingkungan yang terjaga. Untuk aplikasi di bidang pertanian, yang dimaksud kualitas tanah adalah kemampuan tanah yang berfungsi dalam batas-batas ekosistem yang sesuai untuk produktivitas biologis, mampu memelihara kualitas lingkungan dan mendorong tanaman dan hewan menjadi sehat (Magdoff, 2001). Penilaian kualitas tanah melalui pengukuran sifat fisik dan kimia, seperti kelembaban tanah, kemantapan agregat, kepadatan tanah, jumlah air tersimpan, hara tersedia, sifat meracun alumunium dan lainnya sering kali memiliki kelemahan, karena diukur oleh peralatan dan ekstraktan kimia yang diasumsikan memiliki kemampuan yang sama dengan kemampuan kerja akar tanaman dan hanya menggambarkan kondisi pada saat tersebut saja. Oleh karena itu pemanfaat an organisme tanah sebagai indikator sudah seharusnya dikembangkan sebagai

salah satu alternatif. Menurut Doran dan Zeiss (2000), ada lima kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu indikator termasuk bioindikator untuk dapat menilai kualitas tanah, yaitu: (1) Sensitif terhadap variasi pengelolaan (2) Berkorelasi baik dengan fungsi tanah yang menguntungkan (3) Dapat digunakan dalam menguraikan proses-proses di dalam ekosistem (4) Dapat dipahami dan berguna untuk pengelolaan lahan; serta (5) Mudah diukur dan tidak mahal Di dalam tanah terdapat berbagai jenis biota tanah, antara lain mikroba (bakteri, fungi, aktinomisetes, mikroflora, dan protozoa) serta fauna tanah. Masing-masing biota tanah mempunyai fungsi yang khusus. Dalam kaitannya dengan tanaman, mikroba sangat berperan dalam membantu pertumbuhan tanaman dalam penyediaan hara (mikroba penambat N, pelarut P), membantu penyerapan hara (cendawan mikoriza arbuskula), memacu pertumbuhan tanaman (penghasil hormon), dan pengendali hama-penyakit (penghasil antibiotic, antipogen). Demikian pula fauna tanah, setiap grup fauna tanah mempunyai fungsi ekologis yang khusus. Keanekaragaman biota dalam tanah dapat digunakan sebagai indikator biologis kualitas tanah. Salah satu biota tanah yang memegang peranan penting dalam siklus hara didalam tanah yang bersifat saprofagus maupun geofagus adalah cacing tanah (Tim Sintesis Kebijakan, 2008).