BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.71/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

BAB III METODE PENELITIAN

*39929 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2002 (63/2002) TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PALANGKA RAYA

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN,

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2009 NOMOR : 25 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR : 25 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KOTA

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

: JONIGIUS DONUATA : : PERHUTANAN KOTA PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA HUTAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN LAHAN KERING

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kuantitas lingkungan. Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (2012: 43),

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG HUTAN KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAGIAN KEENAM PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN PENGHIJAUAN KOTA GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

KAJIAN HUTAN KOTA DALAM PENGEMBANGAN KOTA DEMAK

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

IDENTIFIKASI BENTUK, STRUKTUR DAN PERANAN HUTAN KOTA MALABAR MALANG

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 21 TAHUN 2013

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

19 Oktober Ema Umilia

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI

WALIKOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 8 TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sekolah

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

DAFTAR ISI... PARAKATA... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

Manfaat hutan kota diantaranya adalah sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.4

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI TABEL V.1 KESESUAIAN JALUR HIJAU

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara. keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN NGAWI

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER MATA KULIAH ILMU HUTAN KOTA LANJUTAN

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM

BAB I PENDAHULUAN. yang semula merupakan ruang tumbuh berbagai jenis tanaman berubah menjadi

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SITUBONDO,

BUPATI BANGKA TENGAH

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA)

I. PENDAHULUAN. Pola pemukiman penduduk di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KABUPATEN SINJAI

TINJAUAN PUSTAKA. ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota merupakan bagian dari ruang-ruang terbuka

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO

Transkripsi:

3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan). Sedangkan perencanaan kota yaitu upaya pemikiran dan perencanaan pengembangan kota agar dicapai pertumbuhan yang efisien dan teratur. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009, perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Arti kata kota menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ([Fak. Ilmu Komputer UI] 2008) adalah daerah permukiman yg terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat atau daerah yang merupakan pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 2.2 Penentuan Lokasi Hutan Kota Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.71/Menhut-II/2009, lokasi yang direncanakan untuk pembuatan tanaman hutan kota yaitu: a. Merupakan bagian dari RTH sesuai peruntukan dalam RTRW Kabupaten/Kota. b. Luas minimal hutan kota adalah 0.25 ha dalam satu hamparan yang kompak (hamparan yang menyatu) agar tanaman dapat menciptakan iklim mikro. c. Berada pada tanah negara atau tanah hak. 2.3 Luasan Hutan Kota Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.71/Menhut-II/2009, penentuan lokasi dan luas didasarkan pada :

4 a. Luas wilayah. b. Jumlah penduduk. c. Tingkat polusi. d. Kondisi fisik kota. Penentuan lokasi dan luas hutan kota dalam penelitian ini didasarkan pada luas wilayah Kota Selatpanjang. Luasan hutan kota dihitung seluas 10% dari luas Kota Selatpanjang. 2.4 Fungsi dan Manfaat Hutan Kota Fungsi dan manfaat hutan kota yang akan dibangun harus diketahui dalam perencanaan hutan kota yang dilakukan di Kota Selatpanjang. Hal tersebut bermanfaat guna menarik simpati dan dukungan berbagai pihak serta secara tidak langsung dapat mengukur keuntungan yang diperoleh dari hutan kota tersebut. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002, fungsi hutan kota meliputi: a. Memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika. b. Meresapkan air. c. Menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota. d. Mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Menurut Dahlan (2004), hutan kota memiliki 6 fungsi yaitu: a. Fungsi penyehatan lingkungan (penyerap dan penjerap partikel logam industri dan transportasi, penyerap dan penjerap debu, mengurangi bahaya hujan asam, penyerap gas beracun, dan penyerap gas karbondioksida). b. Fungsi pengawetan (pelestarian plasma nutfah dan habitat satwaliar). c. Fungsi estetika (meningkatkan citra dan menutupi bagian kota yang kurang baik). d. Fungsi perlindungan (peredam kebisingan, ameliorasi iklim mikro, penapis cahaya silau, penahan angin, penyerap dan penapis bau, mengatasi penggenangan, mengatasi intruisi air laut, mengamankan pantai dan membentuk daratan, mengatasi penggurunan). e. Fungsi produksi (air tanah, kayu, kulit, getah, bunga, buah, madu). f. Fungsi lainnya (identitas wilayah, pengelolaan sampah, pendidikan dan penelitian, mengurangi stress, penunjang rekreasi dan pariwisata, hobi dan

5 pengisi waktu luang, pertahanan dan keamanan, kekuatan magis, tempat berjualan, tempat pesta). Sesuai dengan fungsi-fungsi tersebut, perencanaan hutan kota di Kota Selat Panjang diharapkan dapat memenuhi semua fungsi sehingga pembangunannya dapat memberikan hasil yang maksimal dan bermanfaat. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002, hutan kota dapat dimanfaatkan untuk keperluan: a. Pariwisata alam, rekreasi dan atau olah raga. b. Penelitian dan pengembangan. c. Pendidikan. d. Pelestarian plasma nutfah. e. Budidaya hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan hutan kota dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsi hutan kota. 2.5 Tipe Hutan Kota Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002, rencana pembangunan hutan kota yang memuat penentuan tipe dan bentuk hutan kota disusun berdasarkan kajian dari aspek teknis, ekologis, ekonomis, sosial dan budaya setempat. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.71/Menhut-II/2009, kajian tersebut meliputi: a. Aspek teknis, yaitu memperhatikan kesiapan lahan, jenis tanaman, bibit, dan teknologi. b. Aspek ekologis, yaitu memperhatikan keserasian hubungan manusia dengan lingkungan alam kota. c. Aspek ekonomis, yaitu berkaitan dengan biaya dan manfaat yang dihasilkan. d. Aspek sosial dan budaya setempat yaitu memperhatikan nilai dan norma sosial serta budaya setempat. Menurut Fakultas Kehutanan IPB (1987), tipe hutan kota ditentukan berdasarkan pada obyek yang dilindungi, hasil yang ingin dicapai dari obyek tersebut, atau lokasi yang dibuat untuk tujuan tertentu. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.71/Menhut-II/2009, tipe hutan kota yaitu:

6 a. Tipe kawasan permukiman Tipe kawasan permukiman adalah hutan kota yang dibangun pada areal permukiman, yang berfungsi sebagai penghasil oksigen, penyerap karbondioksida, peresap air, penahan angin, dan peredam kebisingan, berupa jenis komposisi tanaman pepohonan yang tinggi dikombinasikan dengan tanaman perdu dan rerumputan. Karakteristik pepohonannya yaitu pohon-pohon dengan perakaran kuat, ranting tidak mudah patah, daun tidak mudah gugur, serta pohon-pohon penghasil bunga/buah/biji yang bernilai ekonomis. b. Tipe kawasan industri Tipe kawasan industri adalah hutan kota yang dibangun di kawasan industri yang berfungsi untuk mengurangi polusi udara dan kebisingan yang ditimbulkan dari kegiatan industri. Karakteristik pepohonannya yaitu pohonpohon berdaun lebar dan rindang, berbulu dan yang mempunyai permukaan kasar/berlekuk, bertajuk tebal, tanaman yang menghasilkan bau harum. c. Tipe rekreasi Tipe rekreasi adalah hutan kota yang berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan rekreasi dan keindahan, dengan jenis pepohonan yang indah dan unik. Karakteristik pepohonannya yaitu pohon-pohon yang indah dan atau penghasil bunga/buah (vektor) yang digemari oleh satwa, seperti burung, kupu-kupu dan sebagainya. d. Tipe pelestarian plasma nutfah Tipe pelestarian plasma nutfah adalah hutan kota yang berfungsi sebagai pelestari plasma nutfah, yaitu: 1. Sebagai konservasi plasma nutfah khususnya vegetasi secara insitu. 2. Sebagai habitat khususnya untuk satwa yang dilindungi atau yang dikembangkan. Karateristik pepohonannya yaitu pohon-pohon langka dan atau unggulan setempat. Hutan konservasi mengandung tujuan untuk mencegah kerusakan perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam. Bentuk hutan kota yang memenuhi kriteria ini antara lain kebun raya, hutan raya dan kebun binatang. Ada dua sasaran pembangunan hutan kota untuk pelestarian plasma nutfah yaitu

7 sebagai tempat koleksi plasma nutfah khususnya vegetasi secara ex-situ dan sebagai habitat khususnya untuk satwa yang akan dilindungi atau dikembangkan. e. Tipe perlindungan Tipe perlindungan adalah hutan kota yang berfungsi untuk : 1. Mencegah atau mengurangi bahaya erosi dan longsor pada daerah dengan kemiringan cukup tinggi dan sesuai karakter tanah. 2. Melindungi daerah pantai dari gempuran ombak (abrasi). 3. Melindungi daerah resapan air untuk mengatasi masalah menipisnya volume air tanah dan atau masalah intrusi air laut. Karakteristik pepohonannya yaitu: 1. Pohon-pohon yang memiliki daya evapotranspirasi yang rendah. 2. Pohon-pohon yang dapat berfungsi mengurangi bahaya abrasi pantai seperti mangrove dan pohon-pohon yang berakar kuat. f. Tipe pengamanan Tipe pengamanan adalah hutan kota yang berfungsi untuk meningkatkan keamanan pengguna jalan pada jalur kendaraan dengan membuat jalur hijau dengan kombinasi pepohonan dan tanaman perdu. Karakteristik pepohonannya yaitu pohon-pohon yang berakar kuat dengan ranting yang tidak mudah patah, yang dilapisi dengan perdu yang liat, dilengkapi jalur pisang-pisangan dan atau tanaman merambat dari legum secara berlapis-lapis. 2.6 Bentuk Hutan Kota Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.71/Menhut-II/2009, penentuan bentuk hutan kota disesuaikan dengan karakteristik lahan. Menurut Irwan (2007) bentuk hutan kota tergantung kepada bentuk lahan yang tersedia untuk hutan kota. Bentuk penghijauan kota disesuaikan dengan karakteristik lahan dan diprioritaskan pada bentuk kompak dalam satu hamparan. Namun demikian dapat dibuat dalam bentuk jalur (tanaman dibangun memanjang 3-5 baris tanaman) antara lain berupa jalur peneduh jalan raya, jalur hijau di tepi jalan kereta api, sempadan sungai dan sempadan pantai. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002, bentuk hutan kota yaitu:

8 a. Jalur Bentuk jalur adalah hutan kota yang dibangun memanjang antara lain berupa jalur peneduh jalan raya, jalur hijau di tepi jalan kereta api, sempadan sungai, sempadan pantai dengan memperhatikan zona pengaman fasilitas/instalasi yang sudah ada, antara lain ruang bebas SUTT dan SUTET. Menurut Irwan (2007), bentuk hutan kota jalur yaitu komunitas tumbuh-tumbuhannya tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan lainnya. Booth (1979) mengemukakan bahwa jalur hijau dengan lebar 183 m dapat mengurangi pencemaran udara sampai 75%. b. Mengelompok Bentuk mengelompok adalah hutan kota yang dibangun dalam satu kesatuan lahan yang kompak. Menurut Irwan (2007), bentuk hutan kota bergerombol atau menumpuk adalah hutan kota dengan komunitas tumbuhtumbuhannya terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah tumbuhtumbuhannya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat tidak beraturan. c. Menyebar Bentuk menyebar adalah hutan kota yang dibangun dalam kelompokkelompok yang dapat berbentuk jalur dan atau kelompok yang terpisah dan merupakan satu kesatuan pengelolaan. Menurut Irwan (2007), bentuk hutan kota menyebar yaitu hutan kota yang tidak mempunyai pola tertentu, dengan komunitas tumbuh-tumbuhannya tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil.