BAB II KAJIAN PUSTAKA. kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mata, bahkan tak sedikit yang mencibir dan menjaga jarak dengan mereka. Hal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

BAB III METODE PENELITIAN. Berdasarkan pada fokus permasalahan yang dikaji yaitu kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. manuisia bertujuan untuk melihat kualitas insaniah. Sebuah pengalaman

Penyandang Ketunaan: Istilah Alternatif Terbaik untuk Menggantikan Istilah "penyandang cacat"?

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir

BAB II TINJAUAN DIFABEL DAN PUSAT PELAYANAN DIFABEL

BAB 1 PENDAHULUAN. kecerdasan yang rendah di bawah rata-rata orang pada umumnya (Amrin,

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan

Bagaimana? Apa? Mengapa?

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi

Penyandang Cacat Berdasarkan Klasifikasi International Classification of Functioning for Disability and Health (ICF)

BAB III METODE PENELITIAN. sampel, (D) Metode pengumpulan data, (E) Validitas dan Reliabilitas alat ukur, 1. Variabel bebas : Adversity Quotient

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, cakupan dari disabilitas terdiri dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori atau Konsep 1. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa yang berbeda

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia terlahir di dunia dengan kekurangan dan kelebihan yang berbedabeda.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agama adalah sebagai dasar utama bagi umat muslim dan pondasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA BERPRESTASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak. Berdasarkan data dari Pusat Data Informasi Nasional (PUSDATIN)

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan

BAB I PENDAHULUAN. untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut adalah adversity

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

Implementasi Program Nawacita dalam Bidang Pendidikan untuk. Siswa Berkebutuhan Khusus di Sekolah Luar Biasa. Negeri 1 Bantul Tahun 2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang. Pengelolaan diri atau regulasi diri adalah upaya individu untuk

BAB I PENDAHULULUAN. di masyarakat terhambat. Seseorang dikatakan mengalami ketunadaksaan apabila

SETYO WAHYU WIBOWO, dr. Mkes Seminar Tuna Daksa, tinjauan fisiologis dan pendekatan therapiaccupressure, KlinikUPI,Nov 2009

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

2016 MINAT SISWA PENYANDANG TUNANETRA UNTUK BERKARIR SEBAGAI ATLET

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS. DRS. MUHDAR MAHMUD.M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. salah satunya adalah kecelakaan. Ada berbagai jenis kecelakaan yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam

A. Pengantar. lengkap atau sempurna. Mereka tergolong kelompok individu yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasannya jauh dibawah rata rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehidupan di tengah masyarakat modern memiliki tingkat persaingan

I. PENDAHULUAN. selalu berhubungan dengan tema tema kemanusiaan, artinya pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Sejarah MA Darussalam Agung Kota Malang. mengembangkan pendidikan di Kedungkandang didirikanlah Madrasah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak yang Spesial ini disebut juga sebagai Anak Berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Sebelumnya istilah Disabilitas. disebagian masyarakat Indonesia berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menunjukkan hardiness dan sesuai dengan aspek-aspek yang ada pada hardiness.

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar,

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang

BAB I PENDAHULUAN. yang begitu bahagia dan ceria tanpa lagi ada kesepian. dengan sempurna. Namun kenyataannya berkata lain, tidak semua anak dapat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan

Meja Mandiri Siswa untuk Interior Sekolah Dasar Luar Biasa YPAC Surabaya bernuansa modern.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kontribusi yang sangat besar pada masyarakat (Reni Akbar

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua merupakan sosok yang paling terdekat dengan anak. Baik Ibu

BAB I PENDAHULUAN. syndrome, hyperactive, cacat fisik dan lain-lain. Anak dengan kondisi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi membawa dampak pada terjadinya persaingan di segala bidang

BAB II KAJIAN TEORI. dialami oleh siswa sebagai peserta didik, untuk menentukan berhasil atau tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang

KONTRIBUSI KONSEP DIRI DAN PERSEPSI MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SISWA SMA GAMA YOGYAKARTA TAHUN 2009 TESIS

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi, yang merupakan kebutuhan mutlak manusia untuk dapat. menyampaikan pesan itu kepadanya (Hardjana, 2003:11).

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan perilaku maupun sikap yang diinginkan. Pendidikan dapat

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1

Transkripsi:

13 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Definisi Difabel Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyandang diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu (Moeliono, 1989). Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Dan difabel juga merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris different people are merupakan manusia itu berbeda dan able yang berarti dapat, bisa, sanggup, mampu (Echols & Shadily, 1976). Menurut WHO (1980) ada tiga definisi berkaitan dengan kecacatan, yaitu impairment, disability, dan handicap. Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi psikologis, fisiologis atau anatomis. Disability adalah suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan (sebagai akibat impairment) untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia. Handicap adalah suatu kerugian bagi individu tertentu, sebagai akibat dari suatu impairment atau disability, yang membatasi atau menghambat terlaksananya suatu peran yang normal (Sholeh, 2014). Konferensi Ketunanetraan Asia di Singapura pada tahun 1981 yang diselenggarakan oleh International Federation of The Blind (IFB) dan 13

14 World Council for the Welfare of The Blind (WCWB), istilah diffabled diperkenalkan, yang kemudian diindonesiakan menjadi difabel. Istilah diffabled sendiri merupakan akronim dari differently abled dan kata bendanya adalah diffability yang merupakan akronim dari different ability yang dipromosikan oleh orang-orang yang tidak menyukai istilah disabled dan disability. Di samping lebih ramah, istilah difabel lebih egaliter dan memiliki keberpihakan, karena different ability berarti memiliki kemampuan yang berbeda. Tidak saja mereka yang memiliki ketunaan yang memiliki kemampuan yang berbeda, tetapi juga mereka yang tidak memiliki ketunaan juga memiliki kemampuan yang berbeda (Sholeh, 2014). Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa difabel adalah suatu kemampuan yang berbeda untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia. B. Jenis - Jenis Difabel Terdapat beberapa jenis orang dengan difabel. Ini berarti bahwa setiap penyandang difabel memiliki defenisi masing-masing yang mana ke semuanya memerlukan bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik. Jenis-jenis penyandang difabel: a. Disabilitas Mental. Kelainan mental ini terdiri dari:

15 1) Mental Tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, dimana selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata individu juga memiliki kreativitas dan tanggung jawab terhadap tugas (Reefani, 2013). 2) Mental Rendah. Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/iq (Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus. 3) Berkesulitan Belajar Spesifik. Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achievment) yang diperoleh (Reefani, 2013). b. Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu: 1) Kelainan Tubuh (Tuna Daksa). Tunadaksa adalah individu yang mengalami kerusakan di jaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, dan pada sistem musculus skeletal (Fitriana, 2013). 2) Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra). Tunanetra adalah orang yang memiliki ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada mata yang baik, walaupun dengan memakai kacamata, atau yang daerah penglihatannya sempit sedemikian kecil sehingga yang

16 terbesar jarak sudutnya tidak lebih dari 20 derajat (Geniofam, 2010). 3) Kelainan Pendengaran (Tunarungu). Tunarungu adalah istilah umum yang digunakan untuk menyebut kondisi seseorang yang mengalami gangguan dalam indera pendengaran (Smart, 2010). 4) Kelainan Bicara (Tunawicara), adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat di mengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat di mengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat fungsional dimana kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara (Reefani, 2013). C. Pengertian Tuna Daksa Tuna daksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau juga dapat disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. Tuna daksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan

17 otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri (Somantri, 2005). Menurut Misbach (2012) tuna daksa adalah seseorang atau anak yang memiliki cacat fisik, tubuh, dan cacat orthopedi. Tuna daksa juga di definisikan sebagai seorang individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio dan lumpuh. Istilah tuna daksa berasal dari kata tuna yang berarti rugi atau kurang dan daksa yang berarti tubuh. Selanjutnya istilah cacat orthopedi terjemahan dari bahasa Inggris orthopedically handicapped. Orthopedic mempunyai arti yang berhubungan dengan otot, tulang, dan persendian. Dengan demikian, cacat orthopedi kelainannya terletak pada aspek otot, tulang dan persendian serta dapat juga merupakan akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem, otot, tulang, dan persendian (Misbach, 2012). Menurut Smart (2010) tuna daksa adalah istilah lain dari tuna fisik, berbagai jenis gangguan fisik yang berhubungan dengan kemampuan motorik dan beberapa gejala penyerta yang mengakibatkan seseorang megalami hambatan dalam mengikuti pendidikan normal, serta dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungannya (Smart, 2010). Tuna daksa adalah penderita kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti tangan, kaki, atau bentuk tubuh. Penyimpangan perkembangan terjadi pada ukuran, bentuk, atau kondisi lainnya (Geniofam, 2010).

18 Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tuna daksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti tangan, kaki, bentuk tubuh atau berbagai jenis gangguan fisik yang berhubungan dengan kemampuan motorik dan beberapa gejala penyerta yang mengakibatkan seseorang mengalami hambatan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungannya. D. Faktor Penyebab Difabel Tuna Daksa Penyandang disabilitas tubuh adalah seseorang yang mempunyai kelainan tubuh pada alat gerak yang meliputi tulang, otot dan persendian, baik dalam struktur maupun fungsinya yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Disabilitas tubuh dapat digolongkan sebagai berikut: a. Menurut sebab kecacatan: 1) Cacat sejak lahir 2) Cacat disebabkan penyakit 3) Cacat disebabkan kecelakaan 4) Cacat disebabkan faktor psikologi (Smart, 2010) b. Menurut jenis kecacatan: 1) Putus (amputasi) tungkai dan lengan 2) Cacat tulang, sendiri dan otot tungkai dan lengan 3) Cacat tulang punggung

19 4) Celebral palsy 5) Cacat lainnya termasuk pada cacat tubuh ortopedi 6) Para Plegia (Winarnie & Danudliga, 2014) c. Menurut berat ringannya: 1) Cacat ringan, yaitu mereka yang dapat melakukan seluruh kegiatan hidup sehari-hari. 2) Cacat sedang, adalah mereka yang dapat melakukan sebagian besar kegiatan sehari-hari. 3) Cacat berat, adalah mereka yang tidak dapat melakukan sebagian besar atau seluruh kegiatan hidup sehari-hari (Smart, 2010). Jika dilihat dari kerusakan otak, bisa terjadi pada saat sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir. Yaitu: a. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran: 1) Faktor keturunan 2) Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan 3) Usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak 4) Pendarahan pada waktu kehamilan 5) Keguguran yang dialami ibu b. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran: 1) Penggunaan alat-alat pembantu kelahiran (seperti: tang, tabung, vacuum, dan lain-lain) yang tidak lancar 2) Penggunaan obat bius pada waktu kelahiran

20 c. Sebab-sebab sesudah kelahiran: 1) Infeksi 2) Trauma 3) Tumor 4) Kondisi-kondisi lainnya (Somantri, 2005) E. Definisi Kemampuan Menghadapi Kesulitan (Adversity Quotient) Adversity Quotient dirumuskan oleh Stoltz (2000) dengan memanfaatkan tiga cabang ilmu pengetahuan yaitu: 1) Psikologi Kognitif Studi psikologi kognitif menunjukkan bahwa, orang-orang yang atribut kemunduran diri individu cenderung disiksa oleh kesulitan, sementara mereka yang menghubungkannya dengan penyebab eksternal dan menunjukkan bahwa membuat upaya dapat mengubah segalanya mampu untuk terus bergerak maju. Tanggapan terhadap kesulitan mempengaruhi individu kinerja efisiensi dan keberhasilan. 2) Neuropsikologi Adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara otak dan perilaku, disfungsi otak, dan defisit perilaku serta melakukan assesmen untuk perilaku yang berkaitan dengan pemahaman otak yang terganggu (Ardani & Rahayu & Sholichatun, 2007). Studi neuropsikologi ditemukan bahwa, struktur otak dapat membentuk kebiasaan, yang

21 dapat segera terganggu dan berubah. Sekali kebiasaan masyarakat yang sengaja berubah, seseorang akan membuang kebiasaan lama mereka dan menerima yang baru (Ying, 2014). 3) Neuroimmunologi Studi dari mental dan neuroimmunology menunjukkan bahwa, ada hubungan langsung antara tanggapan terhadap frustrasi dan kesehatan fisik dan psikologis. Adversity Quotient akan mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh, pemulihan pasca operasi, dan kemungkinan menderita penyakit kritis (Ying, 2014). Dalam kamus bahasa Inggris, adversity berasal dari kata adverse yang artinya kondisi tidak menyenangkan, kemalangan. Jadi dapat diartikan bahwa adversity adalah kesulitan, masalah atau ketidak beruntungan. Sedangkan, quotient adalah derajat atau jumlah dari kualitas spesifik/karakteristik atau dengan kata lain yaitu mengukur kemampuan seseorang (Wojowasito, 1980). Menurut Stoltz (2000) pengertian adversity quotient sebagai kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur. Adversity quotient membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari seraya tetap berpegang teguh pada prinsip dan impian tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi (Stoltz, 2000).

22 Menurut Hapsari (2005) Adversity Quotient adalah bentuk kecerdasan yang berupa kemampuan dalam menghadapi kesulitan, bertahan dalam kesulitan dan keluar dari kesulitan dalam keadaan sukses (Hapsari, 2005). Adversity Quotient adalah suatu kemampuan atau kecerdasan ketangguhan berupa seberapa baik seseorang bertahan atas cobaan yang dialami dan seberapa kemampuan seseorang untuk mengatasinya (Roosseno, 2008). Menurut Stoltz (2000, dalam Rahastyana, 2010) mendefinisikan Adversity Quotient sebagai suatu daya berpikir kreatif yang mencerminkan kemampuan individu dalam menghadapi rintangan serta menemukan cara mengatasinya sehingga mampu mencapai keberhasilan (Rahastyana, 2010). Menurut Stoltz (2000, dalam Shohib, 2013) kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan terutama ditentukan oleh tingkat adversity quotient. Adversity quotient tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu: a. Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan b. Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan c. Serangkaian alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan (Shohib, 2013). Berdasarkan beberapa pengertian diatas mengenai Adversity Quotient adalah kemampuan, kecerdasan, dan ketekunan dalam menghadapi kesulitan ataupun tantangan untuk mencapai kesuksesan.

23 F. Fungsi Adversity Quotient Fungsi Adversity Quotient sebagai berikut: 1) Memberi tahu seberapa jauh seseorang dapat bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan kita untuk mengatasinya. 2) Meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur. 3) Meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal. 4) Meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan (Rahastyana, 2010). Menurut Stoltz (2000) mengatakan bahwa fungsi Adversity Quotient dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) Untuk mengukur standar tanggapan masyarakat terhadap kesulitan, dan untuk memprediksi mana orang dapat mengatasi kesulitan dan yang tidak dapat menahan tes 2) Untuk memahami apakah orang mampu untuk memenuhi potensi dan mencapai tujuan. 3) Untuk memprediksi mana orang akan menyerah setengah dan yang akan bertahan sampai akhir untuk tujuan mereka (Ying, 2014). G. Dimensi-dimensi Adversity Quotient Stoltz (2000) menawarkan empat dimensi dasar yang akan menghasilkan kemampuan adversity quotient yang tinggi, yaitu :

24 a. Kendali/control ( C ) Mengukur tingkat kontrol bahwa seseorang memandang dia/dia memiliki lebih dari efek samping. Ini merupakan indikator kuat ketahanan dan kesehatan. Seseorang yang adversity quotient-nya lebih tinggi hanya memandang kontrol lebih besar atas peristiwa hidup daripada seseorang yang adversity quotient-nya lebih rendah. Akibatnya, mereka mengambil tindakan lebih lanjut yang menghasilkan kontrol lebih (Santos, 2012). b. Kepemilikan/origin and ownership ( O2 ) O2 menunjukkan asal dan kepemilikan, dan mewakili "Siapa atau apa yang menyebabkan kesulitan dan frustrasi?" dan "Tanggung jawab apa yang harus saya ambil untuk terjadinya kesulitan dan frustrasi?" Semakin tinggi skor O2, semakin besar kemungkinan individu tahu untuk menghindari penyesalan yang tidak perlu dan memahami mereka sendiri tanggung jawab atribusi (Ying, 2014). c. Jangkauan /reach ( R ) Jangkauan merupakan bagian dari adversity quotient yang mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian lain dari individu. Reach juga berarti sejauh mana kesulitan yang ada akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Reach atau jangkauan menunjukkan kemampuan dalam melakukan penilaian tentang beban kerja yang menimbulkan stress. Semakin tinggi jangkauan seseorang, semakin besar kemungkinannya dalam merespon

25 kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif dalam menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, maka seseorang akan lebih berdaya dan perasaan putus asa atau kurang mampu membedakan hal-hal yang relevan dengan kesulitan yang ada, sehingga ketika memiliki masalah di satu bidang dia tidak harus merasa mengalami kesulitan untuk seluruh aspek kehidupan individu tersebut (Stoltz, 2000). d. Daya tahan/endurance ( E ) Dimensi ini lebih berkaitan dengan persepsi seseorang akan lama atau tidaknya kesulitan akan berlangsung. Daya tahan dapat menimbulkan penilaian tentang situasi yang baik atau buruk. Seseorang yang mempunyai daya tahan yang tinggi akan memiliki harapan dan sikap optimis dalam mengatasi kesulitan atau tantangan yang sedang dihadapi. Semakin tinggi daya tahan yang dimiliki oleh individu, maka semakin besar kemungkinan seseorang dalam memandang kesuksesan sebagai sesuatu hal yang bersifat sementara dan orang yang mempunyai adversity quotient yang rendah akan menganggap bahwa kesulitan yang sedang dihadapi adalah sesuatu yang bersifat abadi, dan sulit untuk diperbaiki (Stoltz, 2000).

26 H. Kemampuan Menghadapi Kesulitan (Adversity Quotient) Penyandang Difabel Menurut WHO (1980) pengertian difabel yang sering menjadi acuan banyak negara, telah di kelompokkan menjadi tiga yaitu: impairment, disability, and handicap. Impairment memiliki arti dalam konteks kesehatan adalah suatu kondisi abnormal fisiologis, psikologis atau struktur fungsi anatomi. Sedangkan disability memiliki arti keterbatasan dalam melakukan fungsi atau aktivitas yang menurut ukuran orang normal biasa dilakukan. Disability dapat dikatakan sebagai dampak dari impairment. Handicap sendiri menurut WHO memiliki arti kerugian yang dialami seseorang yang disebabkan imparment atau disability yang membatasi dalam memenuhi perannya sebagai orang normal (bergantung pada usia, jenis kelamin, faktor budaya dan sosial). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), difabel adalah suatu kekurangan akibat kecelakaan atau lainnya yang menyebabkan kurang sempurnanya atau keterbatasan pada dirinya secara fisik (Sugiono, 2014). Difabel adalah suatu kemampuan yang berbeda untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia. Stoltz (2000) mendefinisikan Adversity Quotient sebagai suatu daya berpikir kreatif yang mencerminkan kemampuan individu dalam menghadapi rintangan serta menemukan cara mengatasinya sehingga mampu mencapai keberhasilan. Keberanian dalam menghadapi risiko

27 merupakan suatu kemampuan menghadapi rintangan yang apabila seseorang dengan Adversity Quotient rendah, tidak mungkin berani untuk melewatinya. Hal ini dapat diartikan pula bahwa diperlukan Adversity Quotient yang tinggi pada diri seseorang untuk berani melewati rintangan yang ada. Kemampuan Menghadapi Kesulitan (adversity quotient) penyandang difabel adalah kemampuan, kecerdasan, dan ketekunan dalam menghadapi kesulitan ataupun tantangan untuk mencapai kesuksesan yang dilakukan oleh individu yang memiliki suatu kemampuan yang berbeda untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia. Seperti yang terjadi terhadap difabel yang merupakan dua laki-laki dan seoang perempuan dengan usia 35 tahun ke atas yang merupakan penyandang difabel tuna daksa. Namun difabel telah memiliki pekerjaan yaitu sebagai wiraswasta. Subyek IS bekerja sebagai pedagang, subyek SS sebagai tukang pijat panggilan, dan subyek K sebagai penjahit. Difabel menyadari bahwa memiliki fisik yang berbeda tak seperti orang normal, namun hal itu tidak menjadikan difabel merasa minder dan terbebani. Itu terbukti dengan keakraban para difabel dengan lingkungan sekitar, meskipun masih ada yang memandang berbeda. Para difabel memilih menjadi wiraswata karena dengan kekurangan yang dimiliki masih banyak perusahaan dan lowongan pekerjaan yang belum dapat menerima

28 kekurangan subyek. Yang menjadi hal menarik adalah kemampuan para difabel dalam menghadapi kesulitan yang difabel alami. Dalam menghadapi kesulitan yang para difabel alami, ia tidaklah pantang menyerah. Itu dibuktikan dengan tetap semangatnya para difabel dalam menjalani kehidupannya dan tetap bersyukur atas apa yang diberikan oleh Allah SWT. Para difabel tak pernah meninggalkan ibadah. Difabel selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya dengan keterbatasan kemampuan yang difabel miliki. Seperti subyek IS yang sudah melakukan pekerjaan apapun dan berpindah tempat satu ke tempat lainnya guna mendapatkan pekerjaan untuk menyambung kehidupannya dan yang dilakukan oleh subyek SS, subyek melakukan pekerjaan apapun sesuai kemampuannya. Dan juga subyek K yang tetap bekerja sebagai penjahit dengan keterbatasannya. Dalam bukunya social Foundations of Thought and Action: A social Cognitive Theory Bandura (1986) mengatakan bahwa dalam teori kognitif sosial, teori ini mengakui asal usul sosial yang banyak pemikiran dan tindakan manusia. Aspek kognitifnya mengakui kontribusi kausal dari proses pemikiran terhadap motivasi, sikap, dan tindakan manusia. Menurut Bandura (1977), kemampuan masnusia untuk membuat simbol membuat mereka bisa merepresentasikan kejadian, maenganalisis pengalaman sadarnya, berkomunikasi dengan orang lain yang dipisahkan oleh jarak dan waktu, merencanakan, menciptakan, membayangkan, dan melakukan tindakan yang penuh pertimbangan (Olson, 2008).

29 Menurut Bandura (1999) dalam teori kognitif sosial menekankan agen manusia, perencanaan secara sadar dan pelaksanaan tindakan yang diniatkan yang mempengaruhi masa depan. Menurut Bandura (2001) pikiran manusia adalah generatif, kreatif, proaktif, dan reflektif, tidak sekedar reaktif (Olson, 2008). Menurut Bandura (2001) dalam skema kognisi, skema ini mencakup fokus pada tujuan yang direpresentasikan secara kognitif, antisipasi kejadian positif dan negatif yang mungkin terjadi, dan perilaku koreksi diri untuk mempertahankan kemajuan ke arah hasil yang diharapkan. Menurut Bandura (2001) ciri utama dari agen manusia ada empat, yaitu: 1) Intensionalitas (intentionality) yang di definisikan sebagai representasi arah tindakan yang akan dilakukan dimasa depan, dengan kata lain intensionalitas melibatkan perencanaan arah tindakan untuk tujuan tertentu. 2) Pemikiran ke depan (forethought) adalah sebagai antisipasi atau perkiraan konsekuensi dari niat seseorang. Orientasi ke masa depan ini memandu perilaku individu ke arah akuisisi hasil positif dan menjauhkan diri dari hasil negatif, dan karenanya bertindak sebagai fungsi motivasi. 3) Ke-reaktifan diri (self reactiveness) yang menghubungkan pikiran dan tindakan. Bandura (2001) mengatakan bahwa orang melakukan hal-hal yang membuat seseorang puas, rasa bangga, dan bermartabat, dan tak mau berbuat sesuatu yang menimbulkan kekecewaan, merendahkan diri, dan mempermalukan diri. Dalam teori kognitif sosial yang menjadi pemberi

30 pedoman adalah faktor kecakapan, keyakinan, dan nilai. Dan dalam kereaktifan diri faktor memandu pelaksanaan perilaku aktual. 4) Ke-reflektifan diri (self reflectiveness) yaitu kemampuan metakognisi untuk merenungkan arah, konsekuensi, dan makna dari rencana dan tindakan seseorang. Usaha yang telah dilakukan subyek ini merupakan kemampuan menghadapi kesulitan dalam hidupnya. Dan dijelaskan dalam teori kognitif sosial Bandura bahwa manusia cukup fleksibel dan sanggup mempelajari beragam kecakapan bersikap maupun berperilaku. Dan titik pembelajaran terbaik dari semua adalah pengalaman-pengalaman tak terduga. Bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self-regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, dan mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri. Kemampuan kecerdasan untuk berpikir simbolik menjadi sarana yang kuat untuk menangani lingkungan dengan menyimpan pengalaman dalam ingatan dalam wujud verbal dan gambaran imajinasi untuk kepentingan tingkah laku pada masa yang akan datang. Kemampuan untuk menggambarkan secara imajinatif hasil yang diinginkan pada masa yang akan datang akan mengembangkan strategi tingkah laku yang membimbing ke arah tujuan jangka panjang.