BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

STUDI KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI HUTAN RAKYAT DI WILAYAH CIANJUR SELATAN

NORMA & LEMBAGA SOSIAL. fitri dwi lestari

KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI HUTAN RAKYAT DI DESA BUNIWANGI KECAMATAN PELABUHAN RATU, SUKABUMI MARTINUS ARDI RUBIYANTO

BAB 1 PENDAHULUAN. Ketika seorang individu bekerja pada suatu organisasi, instansi ataupun

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB I PENDAHULUAN. organisasi baik organisasi dalam skala besar maupun kecil. Dalam organisasi berskala

BAB I PENDAHULUAN. agar terus bertahan dan terus berkembang, hal-hal yang mesti diperbaiki. adalah semua aspek khususnya pada sumber daya manusia.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai & Norma DORIS FEBRIYANTI M,SI

Lembaga Kemasyarakatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penggerak dan penentu jalannya suatu organisasi. Dari sudut pandang manajemen

BAB I PENDAHULUAN. situasi persaingan khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang sejenis menjadi

Lembaga Kemasyarakatan. Yesi Marince, S.IP., M.Si

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditentukan sebelumnya. Apabila secara formal dalam organisasi maka proses

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS

BAB V KESIMPULAN, SARAN, DAN IMPLIKASI PENELITIAN. Berdasarkan hasil Penelitian tentang pengaruh penerapan tata tertib

LEMBAGA KEMASYARAKATAN (LEMBAGA SOSIAL)

BAB I PENDAHULUAN. Koentjaraningrat sebagaimana yang dikutip oleh Adon Nasrulloh 2 memberikan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN HIBAH BERSAING

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. sebagai dasar untuk memberi jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Upaya penyelenggaraan pendidikan formal yang berkualitas sangat

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. dianggap cukup representatif dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Dalam

I. PENDAHULUAN. dan sistem. Sumber daya organisasi terpenting yang harus dimiliki oleh instansi

BAB I PENDAHULUAN. Desa Setrojenar terletak di Kecamatan Buluspesantren, desa tersebut

WAWASAN SOSIAL BUDAYA. Kehidupan Pedesaan Dan Perkotaan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

LEMBAGA KEMASYARAKATAN (LEMBAGA SOSIAL)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pembangunan nasional menunjuk pada kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. yang dipilih secara khusus untuk melakukan tugas negara sebagai bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Penataan SDM perlu terus diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan

KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika

STANDAR ETIKA PUBLIK. Nana Rukmana D. Wirapradja NRDW- STANDAR ETIKA PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. telah di tentukan bersama. Setiap organisasi pastilah memiliki tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya mempunyai sifat untuk

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

Good Governance. Etika Bisnis

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan profesionalisme. Pelaksanaan pemerintahan yang baik (good governance),

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. organisasi untuk membantu mewujudkan tujuan organisasi itu sendiri. Siswanto

BAB III LEMBAGA SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

LEMBAGA SOSIAL. Oleh : Lia Aulia Fachrial, M.Si

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 116 TAHUN 2016 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN. memasuki era pemerintahan yang kompetitif tersebut. Kemampuan ini sangat

PENEGAKAN DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)

KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN PENATAAN RUANG Oleh : Deddy Koespramoedyo, MSc. Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas

BAB I PENDAHULUAN. satu perangkat daerah yang memiliki Kegiatan Produksi holtikultura, Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sistem manajemen pemerintahan dan pembangunan antara lain

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan tujuan organisasi, karena manusia dalam melakukan aktivitas di

II. TINJAUAN PUSTAKA. nilai budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola, dan

TERWUJUDNYA MASYARAKAT SELOMARTANI YANG AGAMIS SEJAHTERA BERBUDAYA DAN MANDIRI DENGAN KETAHANAN PANGAN PADA TAHUN 2021

BAB I PENDAHULUAN. di segala bidang. Kenyataan tersebut menuntut profesionalisme sumber daya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Selain bertujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perusahaan atau instansi pemerintah. Disiplin kerja digunakan untuk dapat meningkatkan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai

VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. dan pembangunan nasional sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup

BAB I PENDAHULUAN. ketat dan terbuka, perusahaan harus mampu memaksimalkan sumber daya yang dimilikinya.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH (RPJPD) KOTA BATAM BATAM, 8 DESEMBER 2011

BAB I PEMBAHASAN. manusia dapat memperoleh pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan

Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

BAB I PENDAHULUAN. melalui Otonomi Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia

BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RENJA SKPK TAHUN LALU 2.1. EVALUASI PELAKSANAAN RENJA SKPK TAHUN LALU DAN CAPAIAN RENSTRA SKPK

KODE ETIK PROFESI MANAJEMEN SDM INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Inisiasi 3 INDIVIDU DAN MASYARAKAT: KEDUDUKAN DAN PERAN INDIVIDU SEBAGAI PRIBADI DAN SEBAGAI ANGGOTA MASYARAKAT

III KERANGKA PEMIKIRAN

Menelisik Kembali Kondisi Ventura UI

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi memiliki budaya yang merupakan ciri khas organisasi

BAB I PENDAHULUAN. 1 Gary Dessler, Manajemen Sumber Daya Manusia, PT Prenhallindo, Jakarta, 1998, Hlm.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Suatu organisasi baik pemerintah maupun swasta didirikan karena

PEMBANGUNAN & PERUBAHAN SOSIAL. Modal Sosial (Social Capital)

BAB I PENDAHULUAN I- 1 LAPORAN STANDAR PELAYANAN MINIMUM BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

BAB I PENDAHULUAN. Dunia telah memasuki era perubahan dan transformasi yang sangat cepat.

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122 TAHUN 2001 TENTANG TIM KEBIJAKAN PRIVATISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya

BAB I PENDAHULUAN. diprioritaskan adalah sektor pendidikan. Menyadari betapa pentingnya. tentang pendidikan harus selalu ditingkatkan.

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. organisasi. Kesuksesan suatu organisasi sangat ditentukan oleh seorang pemimpin

VII. RANCANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelembagaan 2.1.1 Pengertian Kelembagaan Suatu kelembagaan merupakan suatu sistem kompleks yang sengaja dibuat manusia untuk mengatur cara, aturan, proses, dan peran masing-masing komponen pendukung di dalamnya untuk mencapai tujuan tertentu. Komponen pendukung di dalam suatu kelembagaan yaitu antara lain subjek atau orang sebagai penggerak sistem, segala aturan dan cara yang mengatur jalannya suatu sistem di dalam kelembagaan yang melibatkan banyak peran subjek tersebut. Pengertian kelembagaan menurut para ahli berbeda-beda sesuai pemikirannya masing-masing. Menurut Soekanto (2002) istilah kelembagaan diartikan sebagai lembaga kemasyarakatan yang mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut. Sedangkan menurut Tjondronegoro (1977) dalam Pranadji (2003) perihal pengertian tentang lembaga cenderung menyempitkan makna lembaga dalam kaitan perbedaan dengan organisasi. Cenderung menempatkan makna lembaga dengan pendekatan ciri kemajuan masyarakat. Selain itu Soemardjan dan Soelaeman (1974) menuliskan bahwa lembaga mempunyai fungsi sebagai alat pengamatan kemasyarakatan (social control) artinya kelembagaan dapat bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat yang berperan besar terhadap sirkulasi kelembagaan tersebut. Sedikit berbeda dengan Rahardjo (1999) yang dikutip oleh Pasaribu (2007), konsep kelembagaan yang dianut oleh masyarakat menggunakan konsep lembaga sosial yang secara lebih sederhana diartikan sebagai kompleks norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipandang sangat penting dalam masyarakat. Sedangkan dalam kasus kelembagaan usaha, Susanty (2005) memaparkan bahwa kelembagaan usaha atau kelembagaan kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi atau digunakan dalam kegiatan usaha kesejahteraan sosial (UKS). Melalui kelembagaan itu pula hubungan antar manusia diatur oleh sistem norma dan organisasi sosial mengatur hubungan manusia tersebut. Sementara dalam hal hubungan perilaku yang terjadi dalam suatu

6 organsiasi sosial, Rahayuningsih (2004) mengatakan di dalam suatu kelompok terdapat pengaruh dari perilaku organisasi (kelompok) terhadap perilaku perorangan. Sebaliknya perilaku perorangan juga memberikan pengaruh terhadap norma dan sistem nilai bersama yang biasanya menjadi perilaku kelompok. Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian kelembagaan yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa kelembagaan merupakan suatu sistem yang sarat dengan nilai dan norma yang kompleks yang bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia di dalam kelembagaan pada khususnya maupun manusia di luar kelembagaan pada umumnya. Norma-norma yang tumbuh dalam masyarakat memiliki tingkatan kekuatan mengikat tersendiri. Seperti yang dipaparkan Soekanto (2002) dalam Sosiologi sebagai Pengantar mengatakan, untuk dapat membedakan kekuatan mengikat normanorma tersebut dikenal adanya empat pengertian, yaitu: a) Cara (usage) b) Kebiasaan (folkways) c) Tata kelakuan (mores), dan d) Adat-istiadat (custom) Setiap tingkatan di atas memiliki kekuatan memaksa yang semakin besar mempengaruhi perilaku seseorang untuk mentaati norma. Begitu pula yang dipaparkan oleh Soemardjan dan Soelaeman (1974) bahwa setiap tingkatan tersebut menunjukkan pada kekuatan yang lebih besar yang digunakan oleh masyarakat untuk memaksa para anggotanya untuk mentaati normanorma yang terkndung di dalamnya. 2.1.2 Pembentukan dan Perubahan Kelembagaan Menurut Soekanto (2002) proses pembentukan suatu lembaga kemasyarakatan disebut proses institutionalization yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan, yang dimaksud ialah sampai norma itu dikenal oleh masyarakat, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembentukan lembaga kemasyarakatan berasal dari perilaku masyarakat yang lama kelamaan menjadi perilaku masyarakat yang disebut tata kelakuan dan adat istiadat. Dalam perkembangannya, suatu kelembagaan dapat mengalami perubahan baik cepat ataupun lambat, kecil ataupun besar maupun dikehendaki atau tidak dikehendaki. Masih menurut Soekanto (2002), perubahan yang terjadi pada lembaga-

7 lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Menurut Ibrahim (2002) dalam Pasaribu (2007), komponen-komponen kelembagaan yang dapat mengalami perubahan mencakup : (1) Perubahan unsur-unsur lembaga kemasyarakatan itu sendiri, seperti sebagian norma-norma dalam lembaga kemasyarakatan berubah atau bisa juga perubahan funsi lembaga itu; (2) Perubahan lembaga dalam arti kemasyarakatan lama hilang dan diganti dengan lembaga yang baru. 2.1.3 Komponen Utama Kelembagaan Mengutip dari Pasaribu (2007), kelembagaan tersusun atas tiga komponen utama yaitu hak kepemilikan (property rights), batas yurisdiksi dan aturan representatif. Hak kepemilikan mengandung makna sosial, muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Karena itu, pernyataan hak milik memerlukan pengesahan dari masayarakat dimanapun ia berada. Implikasi dari hal ini adalah : (1) hak seseorang adalah kewajiban orang lain, (2) hak yang dicerminkan oleh kepemilikan adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Hak milik dapat diperoleh dari penemuan, pemberian atau warisan dan pembelian. Batas yuridiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu kelembagaan dalam suatu masyarakat. Konsep batas yuridiksi dapat mencakup wilayah kekuasaan atau batas otorita yang dimiliki oleh suatu institusi, atau mengandung makna keduanya. Aturan representatif merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Aturan representatif mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa yang terdapat dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan menurut Pranadji (2003) kelembagaan yang bercirikan terhadap kemajuan masyarakatnya memiliki beberapa elemen pendukung diantaranya sebagai berikut. 1) Kompetensi SDM Komponen kompetensi yang dimaksud disini mencakup: a) Ketrampilan yang cukup pada individu, b) Kematangan emosional yang tinggi, c) Kemampuan bekerjasama yang bersifat mutualistik,

8 d) Apresiasi terhadap tata-nilai maju, e) Apresiasi tinggi terhadap penggunaan ilmu pengetahuan di bidang manajemen dan keorganisasian sosial yang progresif, dan f) Responsif terhadap kepemimpinan futuristik. 2) Tata Nilai Maju Untuk mengidentifikasi dan menentukan gambaran kemajuan yang dicapai masyarakat, baik dalam tingkat kelompok tani, desa, maupun negara diperlukan beberapa komponen tata nilai seperti di bawah ini. a) Penghargaan terhadap kerja keras, b) Rajin (tidak malas), c) Produktif (tidak konsumtif), d) Hemat (tidak menghabiskan aset strategis), e) Rasa malu dan harga diri tinggi, f) Prestasi-kompetitif, g) Sabar dan rendah hati (tidak pemarah dan suka pamer), h) Haus inovasi (tidak resisten terhadap inovasi), i) Cara kerja/berpikir sistematik dan terorganisir, j) Daya empati tinggi k) Rasional dan impersonal (tidak seenaknya dan mengikuti selera pribadi) l) Bervisi jangka panjang yang jelas. 3) Kepemimpinan Kepemimpinan yang dibahas disini bukan menekankan pada tipe kepemimpinan seseorang melainkan pada komponen apa saja yang menentukan suatu kepemimpinan untuk memajukan masyarakat pertanian dan pedesaan. Komponen kepemimpinan yang dimaksud adalah: a) Integritas personal yang tinggi yang melekat pada pribadi seorang pemimpin. b) Visi ke depan yang jelas dan implementatif c) Kemampuan seorang pemimpin memberi inspirasi dan mengarahkan anggota masyarakatnya d) Memiliki kemampuan untuk mengabdi pada masyarakatnya e) Mempunyai keunggulan atau keistimewaan yang signifikan dan sangat interaktif dengan kebutuhan masyarakat f) Memiliki kemampuan dalam pemecahan konflik yang terjadi di masyarakat

9 g) Memiliki kemampuan dalam berkomunikasi yang baik dengan anggota masyarakat yang dipimpinnya h) Mengajarkan penggunaan rasionalitas yang tinggi pada setiap pengambilan keputusan i) Menjunjung tinggi kewajiban untuk menegakkan sistem kerja kolektif masyarakat yang dipimpinnya. 4) Struktur dan Organisasi Sosial Struktur sosial yang sehat adalah cerminan dari diferensiasi dan spesialisasi pekerjaan yang sehat. Sedangkan organisasi sosial bisa didekati dengan memperhatikan sistem kemitraan dan keterlibatan masyarakat untuk tujuan di bidang pemenuhan kebutuhan pokok, peningkatan kegiatan ekonomi dan ketenagakerjaan, penguatan identitas individu dan sosial, pengelolaan pemerintahan, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, dan sistem pemeliharaan keteraturan sosial yang telah terbentuk. 5) Manajemen Sosial Manajemen sosial terkait erat dengan sistem pengambilan keputusan yang bersifat kolektif. 6) Hukum dan Pemerintahan Aspek hukum dapat ditelusuri dari konsistensi anatar norma ideal yang dirumuskan dalam bentuk aturan dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan aspek pemerintahan ditekankan pada penagturan untuk peningkatan kreativitas dan peran masyarakat agar tercapai kesejahteraan bersama. 2.2 Kelembagaan Hutan Rakyat Kelembagaan tradisional yang tumbuh dan berkembang di masyarakat seperti hukum adat sering dianggap tidak sesuai atau bahkan mengganggu kepentingan hukum positif yang berlaku. Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, sebenarnya aturan-aturan adat yang ada di tengah masyarakat di dalam dan di sekitar hutan memiliki suatu kearifan yang mendalam. Kelembagaan adat sangat besar pengaruhnya pada pola tingkah laku kehidupan sosial masyarakat di sekitar hutan. Aturan-aturan adat yang ada merupakan peninggalan leluhur yang tetap harus dijaga dan dipatuhi walaupun aturan-aturan adat tersebut tidak tertulis. Aturan adat bagi masyarakat merupakan hukum yang mengikat dan memiliki sanksi yang tegas atas segala pelanggaran yang dilakukan. Secara luas

10 kelembagaan adat yang ada tidak hanya mengatur dan mengatasi tentang konflik sosial yang terjadi dalam masyarakatnya namun juga mengatur tentang pola perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan yang ada di sekitar mereka. Hal ini adalah wajar mengingat hutan merupakan lingkungan hidup mereka dan juga sebagai tempat untuk mmemenuhi kebutuhan hidup yang serba sederhana. Dengan kata lain, kerusakan hutan berarti ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat sekitarnya (Yanuar 2001). Peran kelembagaan dalam pengelolaan hutan rakyat sangat penting diperhatikan keseimbangannya. Seperti yang disebutkan dalam Ngadiono (2004) bahwa tujuan pengelolaan hutan rakyat adalah terwujudnya hutan rakyat yang memiliki keseimbangan fungsi lingkungan, sosial dan ekonomi. Beberapa komponen keseimbangan tersebut antara lain: (1) Data dasar tingkat desa; (2) Tujuan dan sasaran; (3) Instrumen kebijakan dalam kegiatan hutan desa; (4) Program dan kegiatan hutan desa; (5) Dukungan kelembagaan dan dana. Menurut Ngadiono (2004) dana merupakan unsur penting dalam mewujudkan program dan kegiatan. Oleh karena itu, sistem dukungan pendanaan harus dibicarakan sejak awal dengan masyarakat. Kelembagaan akan mencakup 2 (dua) hal yaitu: (1) Organisasi masyarakat dan organisasi pengelola hutan rakyatnya; dan (2) Aturan hukum dan norma yang berkaitan dengan sistem pengelolaan hutan rakyat. 2.2.1 Kedudukan Kelembagaan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Ada beberapa kendala yang mengiringi perjalanan pengusahaan hutan rakyat. Hal ini dikemukakan oleh Andayani (2003) sebagai berikut : (1) Teknologi, (2) Modal usaha, (3) Manajemen usaha tani, (4) Skill (kemampuan), (5) Kondisi fisik lahan usaha, dan (6) Kebijakan pemerintah. Akan tetapi Andayani dalam tulisannya juga menekankan pada penguatan kelembagaan dalam rangka melaksanakan usaha perhutanan rakyat yang berkesinambungan, karena apabila dalam melaksanakan produksi masih dilakukan secara individu diduga posisi tawarnya akan rendah. Kedudukan kelembagaan dalam hutan rakyat menurut Ngadiono (2004) merupakan unsur yang tidak kalah penting dengan unsur dukungan pendanaan hutan rakyat itu sendiri. Karena di dalam kelembagaan mencakup organisasi masyarakat dan aturan hukum yang berkaitan dengan sistem pengelolaan hutan rakyat. 2.2.2 Ruang Lingkup Kelembagaan Hutan Rakyat Hutan rakyat sebagaimana hutan negara juga membutuhkan sistem pengelolaan yang terencana yang mendukung pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan rakyat itu

11 sendiri. Karena pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan secara personal akan berbeda dengan pengelolaan secara kelompok. Pengelolaan hutan rakyat dengan membentuk kelembagaan atau organisasi di dalamnya akan semakin menumbuhkan interaksi dan koordinasi antar anggota sehingga tujuan bersama akan cepat tercapai. Kelembagaan hutan rakyat sebagaimana sub sektor kehutanan yang lainnya memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Keterkaitan tersebut nantinya akan memberikan efek terhadap kemajuan pembangunan kehutanan secara menyeluruh. Lingkup kelembagaan social forestry makro digambarkan secara lintas sektoral. Berhasil tidaknya pelaksanaan kegiatan hutan rakyat tidak bergantung dari pihakpihak yang berkecimpung dalam sektor kehutanan, tetapi juga tergantung dari sektorsektor lain seperti pertanian, perkebunan, transmigrasi, kementrian, dan UKM. Pelaksanaan kegiatan dikoordinir oleh suatu komisi yang disebut komisi social forestry. Komisi social forestry beranggotakan pemerintah, swasta, perguruan tinggi, LSM, dan masyarakat. Untuk selanjutnya hasil yang diharapkan dari pelaksanaan serangkaian kegiatan adalah terwujudnya good corporate governance atau sistem pemerintahan yang baik (Ngadiono 2004). 2.3 Kelompok Tani Hutan Kelompok tani hutan (KTH) merupakan sekumpulan orang yang mengelompokkan diri dalam usaha-usaha dalam bidang pengelolaan tanah hutan negara yang tumbuh dan berkembang dari, oleh, dan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan anggotanya untuk mencapai tujuan bersama (Perum Perhutani, 1987 dalam Permana, 1998). Sedangkan Suharjito (1994) menyatakan bahwa pembentukan kelompok tani merupakan awal dari sebuah upaya mewujudkan partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan negara. Mulyana (2001) dalam Puspita (2006) menyatakan kriteria pemilihan petani sebagai KTH itu adalah kedekatan dengan hutan, hak-hak yang sudah ada, ketergantungan dan pengetahuan lokal. Keempat dimensi itu sangat erat kaitannya dengan sumber daya hutan dan mudah untuk dikenali. Selanjutnya dalam tulisannya juga dikatakan proses pembentukan KTH adalah sebagai berikut : 1. Pembentukan kelompok 2. Penguatan kelembagaan 3. Penyuluhan 4. Insentif

12 Menurut Suharjito (1994) pengertian pembinaan KTH adalah suatu proses yang timbul dalam suatu hubungan antara pembina atau petugas Perum Perhutani bersama dengan instansi terkait dengan kelompok tani (KTH) binaan dalam upaya menemukan dan memecahkan masalah atau mengembangkan kegiatan kelompok. Tujuan pembinaan yang ingin dicapai tentunya tidak terlepas dari tujuan perhutanan sosial pada umumnya, yaitu memaksimalkan partisipasi masyarakat sekitar hutan untuk bersama-sama membangun dan mengelola hutan secara penuh tanggung jawab dalam pembangunan hutan dan lingkungan sekitar.