BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

dokumen-dokumen yang mirip
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bagian Kedua Penyidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ALUR PERADILAN PIDANA

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

Institute for Criminal Justice Reform

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

Peran dan Masalah yang Dihadapi Penyidik Polri dalam Proses Perkara Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Saksi Sebagai Alat Bukti dan perlindungan Hukumnya

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

Transkripsi:

40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, aturan-aturan hukum yang digunakan dalam penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terbatas pada penggunaan ketentuan-ketentuan dalam KUHP dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya sudah banyak terjadi sebelum undang-undang tersebut diundangkan. Meskipun pada waktu itu belum ada kebijakan formulasi terhadap kekerasan dalam rumah tangga, tidaklah berarti perbuatan kekerasan tersebut dapat lolos dari jerat hukum. Sebelum UUPKDRT diundangkan, aturan-aturan hukum yang dapat dipergunakan oleh aparat penegak hukum untuk memidana pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah KUHP. Adapun pasal-pasal mengenai tindak pidana dalam KUHP yang dapat dipergunakan untuk menjerat pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah pasal-pasal yang menentukan adanya syarat khusus untuk dapat terjadinya tindak pidana, seperti adanya hubungan ayah-anak atau ibu-anak, maupun pasal-pasal yang tidak menentukan adanya syarat-syarat khusus tersebut, misalnya pembunuhan dan penganiayaan. Beberapa perbuatan yang termasuk dalam lingkup kekerasan dalam rumah tangga sudah dirumuskan sebagai perbuatan pidana dalam KUHP, misalnya Pasal 304 sampai dengan Pasal 309, isi dari pasal-pasal tersebut merumuskan tindak

41 pidana terhadap anak. Pasal 356 ayat (1) yang mengatur tentang tindak pidana terhadap perempuan sebagai istri yang hanya terbatas pada kekerasan fisik. Pasal 285-296 yang mengatur perkosaan dan perbuatan cabul, belum sepenuhnya mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan seksual, pasal tentang perkosaan (285) misalnya, masih mengeluarkan istri sebagai korban perkosaan dan belum mengakomodir bentuk-bentuk lain di luar persetubuhan. Dalam pasal-pasal lainnya tidak mengenal istilah pelecehan seksual, yang ada istilah perbuatan cabul. Walaupun sebagian bentuk pelecehan seksual bisa ditemukan dalam pasal ini, namun karena istilah pelecehan seksual tidak dikenal dalam KUHP, maka tidak seluruh bentuk-bentuk pelecehan seksual terakomodir di dalamnya. Definisi perbuatan cabul diartikan sebagai pelanggaran kesusilaan atau rasa susila masyarakat, bukan pelanggaran atas integritas tubuh seseorang. Dalam prakteknya pasal tersebut memiliki kelemahan mendasar untuk melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. KUHP tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. Istilah ini penting untuk dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi keluarga yang selama ini ditanamkan dalam benak masyarakat maupun aparat hukum, sehingga tidak menganggap serius adanya kekerasan dalam rumah tangga atau menganggap hanya masalah rumah tangga sebagai masalah privat. Kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga seringkali diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal dalam KUHP. Namun pada prakteknya hal itu menjadi tidak terlihat karena memang status mereka yang rentan mendapatkan perlakukanperlakuan kekerasan. Oleh karena itu dalam rangka untuk menanggulangi terjadinya kekerasan terhadap perempuan, maka pada tahun 1984 negara mengeluarkan Undang- Undang No. 7 Tahun 1984 yang mengesahkan konvensi mengenai Penghapusan

42 Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Form of Discrimination Against Women). Upaya normatif dari negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap perempuan (termasuk kekerasan terhadap istri), tersebut berlanjut dengan dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang secara lebih tegas dan luas merumuskan kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu tindak pidana dan dibuat agar dapat menjangkau pihak-pihak yang tidak hanya dalam hubungan suami istri, tetapi juga pihak lain. UUPKDRT tidak hanya mengatur hukum materilnya saja, tetapi juga mengatur hukum acaranya (kecuali jika ada hal-hal tertentu yang tidak diatur dalam UUPKDRT, maka akan menggunakan KUHAP). Selain digunakannya KUHAP, ketentuan yang ada di dalam KUHP juga digunakan atau dipakai dalam UUPKDRT. Hal tersebut diatur didalam Pasal 103 KUHP mengenai pasal terakhir dari buku I, yaitu bahwa ketentuan dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undangundang lain, kecuali kalau ada undang-undang (wet) tindakan Umum Pemerintahan Algemene maatregelen van bestuur) atau ordonansi menentukan peraturan lain. Dengan adanya ketentuan dalam pasal ini, berarti bahwa ketentuanketentuan yang termaktub dalam bab yang ke IX dari Buku I KUHP (Pasal 86 s/d Pasal 102 hanya berlaku untuk menerangkan hal-hal yang tersebut dalam KUHP ini saja, sedangkan sebaliknya ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Bab I, II, III, IV, V, VI, VII, dan VIII (Pasal 1 s/d Pasal 85) selain untuk menerangkan halhal yang tersebut dalam KUHP, berlaku pula untuk menerangkan hal-hal yang

43 tersebut dalam Undang-Undang dan peraturan hukum lainnya, kecuali bila Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau Ordonansi itu menentukan peraturanperaturan lain. Dengan demikian maka misalnya ketentuan-ketentuan mengenai apa yang dimaksud dengan malam (Pasal 98), anak kunci palsu (Pasal 100), dan hewan (Pasal 101), semua termuat dalam bab IX, itu hanya berlaku untuk menerangkan kata-kata yang tersebut dalam KUHP saja, sedangkan untuk undang-undang yang lain tidak. Sebaliknya ketentuan-ketentuan misalnya mengenai lingkungan berlakunya ketentuan pidana dalam undang-undang (Pasal 1 s/d Pasal 9), pengecualian, pengurangan dan penambahan hukuman (Pasal 44 s/d Pasal 52), percobaan (Pasal 53 s/d Pasal 54) dan gugurnya hak menuntut hukuman dan gugurnya hukuman (Pasal 76 s/d Pasal 85) yang masing-masing tersebut dalam Bab I, III, IV dan VIII itu selain untuk menerangkan hal-hal yang tersebut dalam KUHP, pun berlaku pula untuk menerangkan ketentuan-ketentuan pidana yang tersebut didalam undang-undang lainnya, misalnya : Undang-Undang Lalulintas Jalan, Undang-Undang Materai, Undang-Undang Senjata Api, Undang- Undang Penyakit Anjing Gila, Undang-Undang Obat Bius dan sebagainya. Namun demikian ada kecualinya ialah dalam hal apabila dalam Undang-Undang Lalu-lintas Jalan dan sebagainya itu menentukan paraturan lain. Dalam UUPKDRT ditentukannya beberapa pasal yang termasuk ke dalam delik aduan, maka ketentuan dalam Bab VII tentang Memasukkan dan Mencabut Pengaduan Dalam Perkara Kejahatan, yang Hanya Boleh Dituntut Atas Pengaduan, berlaku untuk UUPKDRT. Dalam UUPKDRT tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai tenggang waktu seseorang diperbolehkan untuk mengadu dan tenggang waktu seseorang

44 diperbolehkan untuk mencabut pengaduannya. Sehingga mengenai tengang waktu tersebut berlakulah Pasal 74 KUHP tentang tenggang waktu diperbolehkannya untuk mengadu dan Pasal 75 KUHP tentang tenggang waktu mencabut pengaduan. Selain itu tidak adanya dalam UUPKDRT ketentuan yang mengatur mengenai orang-orang yang turut serta melakukan tindakan kekerasan. Sehingga jika adanya seseorang yang membantu atau turut serta melakukan tindakan kekerasan tersebut, maka ketentuan yang dipakai untuk menghukum atau memberikan sanksi terhadap perbuatan tersebut. Misalnya jika orang tua yaitu suami bersama dengan istrinya melakukan tindakan kekerasan terhadap anaknya, maka untuk memberikan sanksi atau hukuman kepada suami atau istri tersebut, dipakailah ketentuan Pasal 55 ayat (1) KUHP. B. Proses Penyidikan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada pemeriksaan tingkat penyidikan dijumpai beberapa kegiatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, yaitu : penyelidikan, penyidikan, upaya paksa dan pembuatan berita acara. Adapun alasan aparat penegak hukum untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut adalah karena telah terjadi suatu tindak pidana (perbuatan pidana). Berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana maka pihak penyidik (kepolisian) dapat melakukan segera tindakan yaitu berupa tindakan penyelidikan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, pengeledahan, penyitaan,

45 pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum 29. Dalam hal apabila terjadi suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana maka tindakan segera yang dilakukan oleh penyidik yaitu disaat atau tidak beberapa lama kemudian, dalam hal ini tidak dibuat jangka waktunya untuk melakukan penyelidikan terhadap peristiwa itu untuk mengumpulkan buktibukti yang berhubungan dengan peristiwa itu, sehingga membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya. Pasal 102 KUHAP merumuskan : 1. Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. 2. Dalam hal terangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b. 3. Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2), penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkan kepada penyidik sedaerah hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 102 KUHAP diatas, maka menjadi keharusan bagi penyidik untuk segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan sebagai kewajiban baik keadaan tertangkap tangan maupun dalam keadaan tidak tertangkap tangan. Keharusan bagi penyidik (kepolisian) untuk segera melakukan tindakan penyelidikan tidak saja hanya diatur didalam KUHAP tetapi dalam UUPKDRT 29 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, PT Sarana Bakti Semesta, Jakarta, 2008, hal 101.

46 juga mengatur mengenai hal tersebut. Dalam Pasal 19 UUPKDRT disebutkan bahwa : Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 19 UUPKDRT mempertegas kembali apa yang telah diatur didalam Pasal 102 KUHAP, bahwa pihak kepolisian (baik itu penyelidik maupun penyidik) yang mengetahui atau menerima laporan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga segera melakukan penyelidikan guna untuk mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindakan penyidikan dan membuat terangnya tindakan kekerasan dalam rumah tangga tersebut dan dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Jadi setiap peristiwa yang diketahui atau dilaporkan atau yang diadukan kepada kepolisian, belum pasti merupakan suatu tindak pidana. Apabila hal demikian terjadi maka diperlukan suatu proses penyelidikan dimana pejabat polisi tersebut harus berlaku sebagai penyelidik yang wajib dengan segera melakukan tindakan yang diperlukan yaitu tindakan untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP. Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidik yang telah melaksanakan wewenangnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) KUHAP membuat berita acaranya dan melaporkannya kepada penyidik di daerah hukumnya. Penyelidik yang menjalankan tugasnya wajib menunjukkan tanda pengenalnya serta mereka di

47 dalam menjalankan tugas tersebut, dikoordinasi dan diawasi serta diberikan petunjuk oleh penyidik polri. Apabila setelah melalui tahap penyelidikan dapat ditentukan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana maka dilanjutkan dengan tahap penyidikan. Menurut Pasal 1 butir (2) KUHAP, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Tindakan penyidikan tersebut biasanya dilakukan penyidik setelah melalui hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh penyelidik, diyakini bahwa memang benar terjadi suatu peristiwa pidana. Pengetahuan akan, sedang dan telah terjadinya suatu peristiwa pidana di suatu tempat dan pada suatu waktu, biasanya diketahui penyidik melalui cara-cara, diantara lain : penyidik mengetahui sendiri terjadinya suatu peristiwa pidana, adanya laporan atau pengaduan (Pasal 106 KUHAP). Kepolisian (baik itu penyelidik maupun penyidik) yang mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, maka pihak kepolisian tersebut wajib segera memberikan perlindungan sementara kepada korban kekerasan dalam rumah tangga dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam. Waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam tersebut terhitung sejak kepolisian mengetahui atau menerima laporan tersebut. Perlindungan sementara itu otomatis diberikan oleh pihak kepolisian kepada korban setelah adanya pengaduan dari korban tersebut dan perlindungan sementara tetap diberikan kepada korban selama

48 proses pemeriksaan berjalan dan dengan melihat kondisi fisik si korban apakah mungkin untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap si korban 30. Menurut Pasal 1 butir (3) UUPKDRT, perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara tersebut diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban kekerasan tersebut diterima atau ditangani. Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Kepolisian (penyelidik atau penyidik) wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara yang diberikan oleh pihak kepolisian. Perintah perlindungan tersebut diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun. Untuk memperoleh surat perintah perlindungan, permohonannya dapat diajukan oleh : korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani. Permohonan yang diajukan oleh orangorang selain korban itu sendiri, maka pengajuan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari si korban itu sendiri dan dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan dari si korban. Keadaan tertentu tersebut misalnya pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya. Permohonan tersebut diajukan ke pengadilan baik itu dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tulisan. Pengadilan yang telah menerima permohonan perintah perlindungan tersebut, dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan tersebut wajib 30 Briptu Jaya Syahputra (Anggota Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Deli Serdang), wawancara tanggal 10 Mei 2010.

49 mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain. Setelah penyidik mengetahui akan adanya suatu peristiwa pidana, maka undang-undang kemudian mewajibkan penyidik untuk segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 106 KUHAP yang berbunyi : Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. Untuk melaksanakan kewajibannya itu, maka penyidik diberikan wewenang oleh undang-undang sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Menurut pasal tersebut wewenang penyidik, yaitu : 1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana, 2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian, 3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal tersangka, 4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, 6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang, 7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, 8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, 9. Mengadakan penghentian penyidikan, 10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

50 Wewenang yang diberikan kepada penyidik sedemikian rupa luasnya. Bersumber atas wewenang yang diberikan undang-undang tersebut, penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang, asal itu masih berpijak pada landasan hukum. Wewenang pengurangan kebebasan dan hak asasi itu, harus dihubungkan dengan landasan prinsip hukum yang menjamin terpeliharanya harkat martabat kemanusiaan seseorang serta tetap berpedoman pada landasan orientasi keseimbangan antara perlindungan kepentingan tersangka pada satu pihak, dan kepentingan masyarakat serta penegakan ketertiban hukum pada pihak lain. Bermacam bentuk tindakan dan wewenang yang diberikan undang-undang kepada penyidik dalam rangka pembatasan kebebasan dan hak asasi seseorang, mulai dari bentuk penangkapan, penahanan, penyitaan, dan penggeledahan. Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap seseorang. Penangkapan tersebut harus berdasarkan alasan yang sesuai dengan undang-undang. Dalam Pasal 17 KUHAP, telah ditentukan bahwa penangkapan yang dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana yang berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan yang cukup mengacu pada Pasal 183 KUHAP mengenai batas minimum pembuktian. Itu berarti bahwa bukti permulaan yang cukup terdiri dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang bisa terdiri dari dua orang saksi atau saksi ditambah dengan satu alat bukti lainnya. Adapun cara pelaksanaan penangkapan diatur dalam Pasal 18 KUHAP, yang menentukan : pelaksanaan penangkapan dilakukan petugas kepolisian negara RI, petugas yang diperintahkan melakukan penangkapan harus membawa surat tugas penangkapan, petugas memperlihatkan surat perintah penangkapan. Dalam hal jika surat tugas tersebut tidak ada, maka tersangka dapat menolak untuk mematuhi perintah penangkapan, karena surat tugas itu merupakan

51 syarat formal dan agar tidak terjadi penangkapan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Penangkapan oleh seorang petugas yang tidak mempunyai surat tugas harus ditolak dan tidak perlu ditaati. Berbeda halnya dengan delik kekerasan dalam rumah tangga, dalam Pasal 35 UUPKDRT menentukan bahwa : Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas. Penangkapan tersebut dapat dilakukan oleh pihak kepolisian apabila adanya bukti permulaan yang cukup yang membuktikan bahwa pelaku atau tersangka telah melanggar perintah perlindungan. Bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana. Hal tersebut dapat diketahui setelah dilakukannya pemeriksaan terhadap saksi korban dan telah mengetahui hasil visum (keterangan saksi korban ditambah dengan hasil visum terhadap luka) dan apabila memang telah terbukti maka dapat dilakukannya upaya paksa yaitu berupa penahanan terhadap tersangka. Penangkapan yang dapat dilanjutkan dengan penahanan yang dilakukan oleh pihak kepolisian tanpa adanya surat perintah tetapi setelah penyidik menangkap yang dapat dilanjutkan dengan menahan pelaku atau tersangka, maka penyidik wajib memberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam. Perintah perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban. Penahanan yang dikarenakan melanggar perintah perlindungan tidak dapat dimintakan penangguhan penahanan.

52 Hal tersebut dilakukan agar korban tersebut tidak mengalami kekerasan itu kembali. Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum (Pasal 109 ayat (1) KUHAP). Apabila penyidik telah menuntaskan tugas penyidikannya, penyidik wajib menyerahkan berkas perkara yang berisikan berita acara pemeriksaan (BAP) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 75 KUHAP, yang antara lain berisikan : berita acara pemeriksaan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemasukan rumah, penyitaan benda, pemeriksaan surat, pemeriksaan saksi, pelaksanaan penetapan hakim, pemeriksaan ditempat kejadian dan tindakan lainnya, kepada penuntut umum (Pasal 110 ayat (1) KUHAP). Berita acara adalah suatu upaya penyidik dalam memperoleh keterangan yang akan bermanfaat bagi pemeriksaan dimuka hakim atau disidang pengadilan. Berita acara merupakan rumusan pertanggungjawaban petugas yang membuatnya didalam mencari dan menyelidiki dan menyidik perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Untuk itu penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum (Pasal 110 ayat (3) KUHAP). Selesainya suatu penyidikan bila : Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas

53 waktu tersebut telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik (Pasal 110 ayat (4) KUHAP). C. Pembuktian Delik Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undangundang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa. Arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana, antara lain : 1. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasehat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar diluar ketentuan yang telah digariskan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus

54 diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Kalau tidak demikian, bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang yang tak bersalah mendapat ganjaran hukuman. 2. Sehubung dengan pengertian diatas, majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Untuk membuktikan kesalahan terdakwa tersebut, apakah dibuktikan dengan semua alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP atau sudah dianggap cukup, apabila kesalahan itu dibuktikan dengan sekurangkurangnya dua atau tiga alat bukti yang sah. Untuk itu KUHAP telah mengaturnya lebih lanjut mengenai batas minimum pembuktian. Asas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi membuktikan kesalahan terdakwa. Atau dengan kata lain, asas minimum pembuktian ialah suatu prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti yang membuktikan salah atau tidaknya terdakwa. Artinya sampai batas minimum pembuktian mana yang dapat dinilai cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Batas minimum pembuktian ini diatur didalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

55 keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam Pasal 183 KUHAP tersebut ditemukan kalimat dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah, maksud dari kalimat itu adalah untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa baru boleh dilakukan hakim apabila kesalahan terdakwa telah dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Jadi, minimum pembuktian yang dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa agar kepadanya dapat dijatuhkan pidana, harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Satu alat bukti saja, undang-undang menganggap tidak atau belum cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Batas minimum yang dianggap cukup oleh undang-undang, paling sedikit dua alat bukti yang sah. Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah disebutkan secara rinci atau limitatif alatalat bukti yang sah menurut undang-undang, yaitu : 1. Keterangan saksi, 2. Keterangan ahli, 3. Surat, 4. Petunjuk, 5. Keterangan terdakwa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, undang-undang menentukan lima jenis alat bukti yang sah. Diluar ini, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Jika ketentuan Pasal 183 KUHAP dihubungkan dengan jenis alat bukti tersebut terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman pidana, apabila kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat bukti yang disebut dalam

56 Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Kalau begitu, minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa, sekurangkurangnya atau paling sedikit dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah. Jelasnya, untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus saling bersesuaian, saling menguatkan dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain, atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan saksi dengan keterangan terdakwa jelas terdapat persesuaian. Sebenarnya prinsip minimum pembuktian bukan saja diatur dan ditegaskan dalam Pasal 183 KUHAP, tetapi dijumpai dalam pasal yang lain. Namun, sebagai aturan umum (general rule) dari prinsip minimum pembuktian, diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Oleh karena itu, tanpa mengurangi prinsip umum yang diatur dalam Pasal 183 tersebut, ada beberapa asas yang diatur pada pasalpasal lain yang bertujuan untuk lebih menegaskan prinsip umum yang diatur pada Pasal 183 KUHAP, antara lain : 1. Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Asas ini lazim disingkat dengan istilah satu saksi tidak merupakan saksi. Istilah ini merupakan pengertian yang ditarik dari rumusan : unus testis nullus testis.

57 2. Pasal 189 ayat (4), keterangan atau pengakuan terdakwa (confession by on accused) saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Bila melihat asas-asas tersebut, maka untuk membuktikan kesalahan terdakwa akan mengalami kesulitan Tetapi untuk delik kekerasan dalam rumah tangga, UUPKDRT memberikan kemudahan dalam pembuktian kesalahan terdakwa. Dalam Pasal 55 UUPKDRT disebutkan bahwa : Sebagai alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Melihat pasal tersebut berarti untuk membuktikan kesalahan terdakwa hanya diperlukan atau dibutuhkan keterangan seorang saksi korban saja dianggap cukup sepanjang didukung dengan satu alat bukti yang sah lainnya Bila melihat ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau unus tertis nullus testis. Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Walaupun seandainya keterangan keterangan saksi tunggal itu sedemikian rupa jelasnya, tetapi terdakwa tetap mungkir serta kesaksian tunggal itu tidak dicukupi dengan alat bukti lain, kesaksi ini harus dinyatakan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian atas alasan unus testis nullus testis.

58 Melihat ketentuan kedua pasal tersebut, ketentuan Pasal 55 UUPKDRT jelas membelakangi atau bertentangan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP karena dalam Pasal 55 disebutkan bahwa keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sepanjang didukung dengan suatu alat bukti sah lainnya. Alat bukti yang lainnya dapat berupa alat bukti surat misalnya seperti visum et repertum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti, atau dengan menggunakan alat bukti petunjuk, yang mana dapat ditarik atau digali dan dijabarkan hakim atau penuntut umum dari keterangan terdakwa atau dari kejadian maupun dari keadaan yang ada persesuaiannya antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, tidak mudah mencari suatu petunjuk sebagai alat bukti, karena agar petunjuk dapat dinilai sebagai alat bukti, harus terdapat persesuaian antara perbuatan, kejadian atau keadaan dengan peristiwa pidana. Walaupun demikian pembuktian dalam UUPKDRT masih tetap mengacu pada prinsip batas minimum pembuktian., yaitu : untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Pasal 55 UUPKDRT merupakan bentuk kemudahan pembuktian delik kekerasan dalam rumah tangga. Kemudahan dalam hal pembuktian tersebut tentunya mutlak diperlukan mengingat lingkup rumah tangga yang diatur oleh UUPKDRT dalam kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia masih dianggap tabu untuk dicampuri oleh pihak luar dan adanya angapan bahwa apa yang terjadi dalam lingkup rumah tangga merupakan urusan intern rumah tangga sehingga pada gilirannya akan menyulitkan proses pembuktian.