BAB II KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM ORGANISASI PERIKANAN INTERNASIONAL. A. Prosedur dan Persyaratan dalam Organisasi Perikanan Internasional

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

Laporan Akhir Kajian Khusus Program-Program Pemerintah Pembangunan Kelautan Perikanan 2012 I. PENDAHULUAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF

Rekomendasi Kebijakan 2013

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC)

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Romawi menegaskanya ubi societas ubi ius dimana ada masyarakat,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

Oleh: Rachma Indriyani. Abstract

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERATURAN WALIKOTA DUMAI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DI KOTA DUMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

ASIA PACIFIC PARLIAMENTARIANS CONFERENCE ON ENVIRONMENT AND DEVELOPMENT (APPCED)

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

TARGET INDIKATOR KETERANGAN

KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. zona maritim yang berada di luar wilayah yuridiksi nasional suatu negara.

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 69 TAHUN 2012 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979)

TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU ( ) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan

BAB Respon Masyarakat Internasional dalam Menanggulangi Praktik Penangkapan Ikan Ilegal

5 PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN MINAMATA CONVENTION ON MERCURY (KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI)

BAB II PERMASALAH PERIKANAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN DI INDONESIA. Dalam bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai permasalahan dan isu

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hukum Laut Indonesia

JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

BAB II KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM ORGANISASI PERIKANAN INTERNASIONAL A. Prosedur dan Persyaratan dalam Organisasi Perikanan Internasional Berdasarkan hukum organisasi internasional akan dianalisis terkait dengan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan Western and Central Pasific Fisheries Commision (WCPFC) sebagai organisasi internasional yang merupakan subjek hukum internasional. Organisasi internasional merupakan suatu organisasi yang beranggotakan negara-negara sebagai institusi yang mempunyai kapasitas sebagai pengemban hak dan kewajiban internasional. 23 Pengertian lainnya, organisasi internasional adalah himpunan negaranegara yang terkait dalam suatu perjanjian internasional yang dilengkapi dengan suatu anggaran dasar dan organ-organ bersama serta mempunyai suatu personalitas hukum yang berbeda dari yang dimiliki oleh negara-negara anggota. 24 Landasan konstitusional dalam pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan adalah pasal 33 Undang-Undang Dasara Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk 23 Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional, Hukum yang hidup, Diadit Media, Jakarta, 2007, hal. 221 24 Boer Mauna, Pengertian Hukum Internasional, Peranan dan Fungsi dalam Era dinamika Globalisasi, Alumni, Bandung, 2000, hal 419-420.

kemakmuran rakyat. Negara mengatur pemanfaatan sumber daya ikan agar dapat berkelanjutan dan untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Dalam perkembangannya ternyata rakyat Indonesia tidak hanya memanfaatkan sumber daya ikan di dalam wilayah pengelolaan perikanan saja namun juga diluar wilayah pengelolaan perikanan yaitu laut lepas. Dengan demikian negara harus mengawasi rakyatnya yang memanfaatkan sumber daya ikan dilaut lepas sebagai bentuk tanggung jawab perlindungan terhadap mereka agar tidak terkena tuduhan melakukan illegal fishing. Wilayah pengelolaan perikanan diatur dalampasal 5 UU perikanan meliputi, (a) perairan Indonesia, (b) ZEE indonesia, (c) sungai, danau, waduk, rawa, genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang pontensial di wilayah Indonesia. Sebagai landasan hukum pengelolan sumber daya ikan di ZEE Indonesia diatur dalam Undang-undang ZEE (ZEEI) pada tanggal 18 Oktober 1983 ( UU no.5 Tahun 1983, LNRI 1983, No 44 dan TLNRI no 3260). Undang-undang ZEEI diundangkan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan memanfaatakan segenap sumber daya alam yang tersedia, baik hayati maupun non hayati; melindungi dan mengelola dengan cara yang tepat, terarah dan bijaksana terhadap sumber daya alam ZEE. Menyadari akan hal ini, maka Indonesia memperkuat sistem pengelolaan perikanan dengan masuknya Indonesia kedalam organisasi internasional yang mengatur mengenai pengelolaan ikan yakni Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT 2008) dan Western and Central Pasific Fisheries

Commision (WCPFC 2013). Amanat pasal 64 Unclos 1982 untuk bekerjasama berkaiatan dengan pengelolaan dan konservasi suberdaya ikan di laut lepas telah mendapat respon sejumlah negara di dunia dengan dibentuknya organisasi organisasi pengelolaan perikanan regional. Menurut Satya N Nanda, Amanat pasal 64 UNCLOS 1982 ini lahir karena adanya: 1) kesadaran keadaan penurunan stok ikan tidak hanya berbahaya bagi ekosistem laut, namun juga mengancam pasokan pangan (ketahanan pangan); 2) penurunan stok akan pangan akan mempengaruhi kesejahteraan ekonominelayan dan industri perikanan; 3) keputusan negara-negara terhadap usaha untuk melindungi pengelolaandilaut lepas. Namun tentunya sebelum masuk kedalam organisai tersebut ada prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi Indonesia agar dapat bergabung menjadi bagian CCSBT dan WCPFC. Keanggotaan untuk CCSBT terdiri dari dua bagian. Yang peratama full members yaitu Australia, Jepang, Slandia baru, Taiwan, Korea Selatan, Indonesia. Yang kedua Coorporeting Non-Members yaitu Afrika selatan dan Philipina dan Uni Eropa. Dalam keanggotaan penuh (full members) maka anggota akan ikut serta dalam semua keanggotaan organisasi dengan segala hakhaknya. Sedangkan dalam keanggotaan luar biasa (associate members), anggota dapat berpartisipasi namun tidak mempunyai hak suara di alat perlengkapan utama organisasi internasional.di dalam praktik, prinsip keanggotaan suatu

organisasi internasional tergantung pada maksud dan tujuan organisasi, fungsi yang akan dilaksanakan dan perkembangan apakah yang diharapkan dari organisasi internasioanl tersebut. Prinsip keanggotaan dapat dibedakan antara prinsip universalitas dan terbatas (selective) 25. Prinsip keanggotaan Universalitas dan terbatas tidak membedakan sistem pemerintahan, ekonomi ataupun politik yang dianut oleh negara anggota. Sedangkan dalam prinsip terbatas (selective) menekankan syaratsyarat tertentu bagi keanggotaan. Syarat tersebut adalah sebagai berikut: 1. keanggotaan yang didasarkan pada kedekatan letak geografis. Namun pengertian kedekatan geografis ini kadang tidak hanya didasarkan pada kedekatan geografis semata, namun sering juga didasarkan pada pertimbangan politis. 26 2. Keanggotaan yang didasarkan pada kepentingan yang akan dicapai 3. Keanggotaan yang didasarkan pada sistem pemerintahan tertentu atau pada sistem ekonomi tertentu 4. Keanggotaan yang didasarkan kerena adanya persamaan kebudayaan, agama, etnis, dan pengalaman sejarah. 5. Ketetapan yang diterapkan didasarkan pada penerapan hak-hak asasi. 25 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal 37 26 D.W. Bowett, The Law of International Institusional, Steven & sons, London, 1982, hal 11

Satu prasyarat untuk berdirinya suatau organisasi internasional adalah adanya keinginan untuk bekerja sama yang jelas-jalas kerjasama internasional tersebut akan bermanfaat dalam bidangnya dengan syarat organisasi tidak melanggar kekuasaan dan kedaulatan negara anggota. Suatu organisasi internasional semakin supranasional, maka semakin sedikit aspirasi negara dapat ambil bagian didalamnya. Persyaratan pendirian organisasi internasional dapat dikembangkan dari unsur-unsur perjanjian internasional sebagaimana tertuang dalam Konvensi Wina 1969 yang menegaskan bahwa: an internasional agreement conclude between states in written form and governed by internasional law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instrument, and whatever its particular designation. 27 Namun tentunya prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi Indonesia agar dapat bergabung menjadi bagian CCSBT dan WCPFC. Yang menjadi persyaratan dan prosedur masuk sebagai full member CCSBT, berdasarkan anggaran dasar yang menjadi pedoman bagi CCSBT, antara lain adalah: 1. Setiap anggota harus diwakili oleh extended komisi, dengan tidak lebih dari tiga delegasi yang dapat didampangi oleh para ahli dan penasihat. 2. Setiap anggota wajib menginformasikan kepada komisi sekretaris eksekutif nama-nama delegasi kepada komisi termasuk identitas kepala delegasi dan para ahli dan penasihat yang menyertai delegasi tersebut dan 27 Artikel 2 (1) Vienna Convention 1969.

perubahan-perubahannya sejauh belum dimulainya setiap pertemuan komisi. 3. Setiap anggota wajib menunjukan seorang koresponden yang akan memiliki tanggung jawab utama untuk penghubung dengan sekretaris eksekutif selama priodepertemuan dan akan segera menginformasikan sekretaris eksekutif nama dan alamat koresponden tersebut dan setiap perubahan daripadanya. 4. Kecuali untuk aturan 4 ayat (3) dan peraturan 9, peraturan tata tertib komisi untuk konservasi Southerm Bluiten Tuna berlaku mutatis mutandis kepada komisi sepanjang ada hal-hal lain yang tuduk pada hal berikut : a. Ganti Aturan 2 (1) Sampai saat sekretaris didirikan dan lokasi markas besar komisi ditentukan, maka pertemuan yahunan komisi akan dilaksanakan oleh rotasi atau seperti yang telah disetujui. b. Aturan pergantian 2 (b): Setelah sekretris telah dibentuk dan lokasi markas besar komisi telah ditentukan, setiap pertemuan tahuanan komisi akan dilaksanakan oleh salah satu anggota melalui rotasi. Dalam hal anggota tidak berkeinginan menjadi tuan rumah pertemuan tahunan,pertemuan itu akan diadakan dimarkas extended komisi, sepanjang tidak ditentukan oleh komisi.

Syarat dan prosedur manjadi anggota CCSBT berstatus Co-Operation Non Anggota ialah: Suatu negara, organisasi integrasi ekonomi regional atau badan yang diakui komisi dalam kapasitas co-opretion no-anggota akan memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam pertemuan Komisi, Komite Ilmiah Extended dan termasuk pertumbuhan mereka, namuun tidak terbatas pada hak untuk membuat proposal dan hak untuk bicara tetapi bukan hak untuk memilih. Komisi dapat memutuskan untuk membatasi partisipas dan kerjasama nonanggota dalam item agenda tertentu. Akibat hukum terdaftarnya indonesia sebagai anggota Convention for the conservation of southern bluefin secara tersendiri diatur sabagai berikut: 28 1. Hak negara anggota Convention for the conservation of southern bluefin 1993 adalah : a) Menempatkan perwakilan dalm komisi dengan tidak melebihi tiga delegasi didampingi oleh ahli dan penasihat, 29 b) Mendapatkan hak uuntuk mengajukan adanyapertemuan khusu komisi dengan didukung sedikitnya oleh dua negara pihak lainnya, 30 28 Diambil dari naskah penjelasan pengesahan CCSBT, Draft Final 22 Maret 2007, Departemen kelautan dan perikanan, Jakarta, 2007. 29 Pasal 7 CCSBT 1993 30 Pasal 7 CCSBT 1993

c) Mempunyai kesempatan untuk megajukan adanya pertemuan khusus komisi dengan didukung sedikitnya oleh dua negara Pihak lainnya, 31 d) Sebagai anggota dalam komite ilmiah, dimana Komite ilmiah merupakan badan penasihat komisi, 32 e) Menempatkan perwakilan yang memiliki kualifikasi ilmiah dalam komite Ilmiah atau diwakilkan oleh ahli dan penasihat, 33 f) Mendapatkan alokasi jumlah tangkapan tuna sirip biru selatan yang diperbolehkan (kuota) seuai dengan hasil rekomendasi Komite Ilmiah, 34 g) Memiliki kesempatan dalam mengusulkan amandemen konvensi, 35 h) Hak mendapatkan data perikanan, sampel biologis dan informasi lain yang berhubungan dengan penelitian ilmiah tuna sirip biru selatan, 36 i) Hak mendapatkan informasi tentang setiap penangkapan ikan tuna sirip biru selatan oleh warga negara, penduduk dan kapal-kapal dari setiap negara bukan konvensi. 37 2. Kewajiban Negara Anggota anatara lain a) Melakukan tindakan penting untuk menjamin penegakan Konvensi serta memenuhi ketentuan dalam konvensi secara mengikat, 38 31 Pasal 6 ayat (5) CCSBT 1993 32 Pasal 9 ayat (5)a CCSBT 1993 33 Pasal 9 ayat (5)a CCSBT 1993 34 Pasal 8 ayat (3) CCSBT 1993 35 Pasal 21 ayat (1) CCSBT) 1993 36 Pasal 5 ayat (3) CCSBT 1993 37 Pasal 5 ayat (4) CCSBT 1993

b) Bekerjasama dalam penyedian Informasi ilmiah kepada komisi, statistik hasil tangkapan, upaya penangkapan dan data lainnya yang berhubungan dengan upaya penangkapan dan data lainnya yang berhubungan dengan konservasi tuna sirip biru selatan dan spesies lain yang terkait secara ekologi. B. Keanggotaan Indonesia dalam Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) CCSBT (Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna) adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang bertanggungjawab atas pengelolaan dan konservasi ikan tuna sirip biru selatan secara global dan termasuk distribusinya. Pembentukan CCSBT didasari oleh menurunnya jumlah ikan tuna sirip biru (southern bluefin tuna) dewasa, dan tangkapan tahunan mulai jatuh secara cepat pada awal tahun 1960-an. Penurunan hasil tangkapan semakin meningkat, dimana pada pertengahan tahun 1980-an diperlukan pembatasan tangkapan. Hal inilah yang menuntut Australia, Jepang dan Selandia Baru melakukan tindakan pengelolaan dan konservasi untuk meningkatkan stok ikan SBT pada tahun 1985, dengan cara membatasi kuota hasil tangkapan kapal ikannya. 39 CCSBT 1993 ditandatangani di Canberra, Australia disepakati tanggal 10 Mei 1993, yang beranggotakan 3 negara yaitu Australia, Jepang dan Selandia 38 Pasal 5 ayat (1) CCSBT 1993 39 Mardia, Manfaat Keanggotaan Indonesia Dalam Indian Ocean Tuna Commision (IOTC), Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, tidak diterbitkan, 2011

Baru. CCSBT 1993 mulai berlaku secara efektif pada tanggal 20 Mei 1994. Negara-negara anggota CCSBT terdiri dari full members, yaitu Australia, Jepang, Selandia Baru, Taiwan (Fishing Entity of Taiwan), Korea Selatan, Indonesia dan Cooperating Non-Members yaitu Afrika Selatan, Filipina, dan Uni Eropa. Indonesia telah menjadi anggota tetap CCSBT sejak tanggal 8 April 2008 dan telah meratifikasi Convention of Southern Bluefin Tuna 1993 melalui Peraturan Presiden RI No. 109 tahun 2007 tentang Pengesahan CCBT 1993 pada tanggal 6 Desember 2007 (L.N. Tahun 2007 No.148). 40 Indonesia sebagai salah satu negara anggota CCSBT memiliki potensi yang sangat besar dalam produksi tuna dikarenakan wilayah laut lepas yang berdampingan dengan perairan Indonesia. Wilayah kompetensi pengelolaan CCSBT terhadap ikan tuna sirip biru selatan berada pada wilayah 57 dan 58 (Samudera Hindia dan barat Australia) yaitu 30 0 LS 50 0 LS 41 sebagaimana terlihat pada gambar dibawah ini. 42 40 Chomariyah, Op.Cit. hal.19 41 Ibid.hal.157 42 http://www.un.org/depts/los/consultative_process/documents/6_meltzer.pdf diakses 5 Februari 2015

Dari sejarah pembentukkannya, CCSBT merupakan salah satu organisasi pengelolaan perikanan regional yang berdiri sebelum disepakatinya UNFSA 1995, namun tetap memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan tersebut. 43 Permasalahan penurunan jumlah tangkapan ikan tuna sirip biru selatan juga disebabkan adanya kondisi overfishing dan praktik illegal fishing yang bersifat borderless (tanpa batas) karena sifat ikan yang selalu bergerak atau berpindah tempat yang jangkauannya melintasi batas negara. Tujuan utama CCSBT sudah jelas sesuai dengan isi Konvensi Pasal 3 CCSBT 1993 yaitu The objective of this Convention is to ensure, through appropriate management, the conservation and optimum utilisation of southern bluefin tuna. 44 Dengan kata lain, untuk memastikan, memalui pengelolaan yang tepat, konservasi dan pemanfaatan yang optimal tuna sirip biru selatan. Sebagaimana organisasi internasional umumnya, CCSBT memiliki legal personality yang artinya organisasi tersebut memiliki hak dan kewajibannya menurut hukum internasional. Legal personality CCSBT ini dapat dianalisis sebagai berikut : 1. Unsur pertama, organisasi pengelolaan perikanan regional, CCSBT dibentuk berdasarkan perjanjian internasional yaitu Conservation for the Conservation of Southern Bluefin Tuna 1993 dan berlaku mengikat pesertanya. CCSBT dilengkapi degan organ dan diatur oleh hukum internasional, yaitu: 43 Chomariyah, Op.Cit, hal. 22 44 Pasal 3 CCSBT 1993

(a.) Komisi (the Commission) yang terdiri dari ketua dan wakil ketua komisi, 45 dipilih pada setiap pertemuan tahunan; (b.) Badan penasehat Komisi, yaitu Komite Keilmuan (Scientific Committee); 46 (c.) Sekretariat terdiri dari Sekretaris Eksekutif, yang diangkat oleh Komisi, dan staf yang memadai, yang diangkat oleh Sekretaris Eksekutif; 47 2. Unsur kedua, CCSBT memiliki legal personality, 48 bahwa sebagai subjek hukum internasional CCSBT memiliki hak dan kewajiban. Legal personality diperlukan oleh Komisi CCSBT dalam hubungannya dengan organisasiorganisasi internasional lain dan di wilayah negara-negara pihak memiliki kemampuan hukum sebagaiman diperlukan untuk melaksanakan fungsinya dan mencapai tujuannya. Kekebalan hukum (immunities) dan hak istimewa (priviliges) yang didapatkan oleh Komisi dan pegawai-pegawainya dalam wilayah negara-negara CCSBT harus tunduk pada perjanjian antara Komisi dengan Negara-negara anggota yang bersangkutan. 3. Unsur ketiga, adanya pembagian kewenangan hukum anatara organisasi internasional dengan Negara-negara anggota. Organisasi internasional memiliki kewenangan untuk membuat ketentuan-ketentuan yang mengikat 45 Pasal 6 ayat (4) CCSBT 1993 46 Pasal 9 CCSBT 1993 47 Pasal 10 CCSBT 1993 48 Pasal 6 ayat (9) CCSBT 1993

Negara-negara anggotanya. CCBT sendiri melalui Komisinya berwenang untuk mengambil keputusan yang mengikat Negara-negara aggotanya, yaitu: 49 (a) Untuk mengumpulkan dan menghimpun informasi ilmiah, data statistik dan informasi lain yang berkaitan dengan tuna sirip biru selatan; (b) Informasi yang berkaitan dengan hukum, peraturan-peraturan dan langkah-langkah administrative tentang perikanan tentang perikanan tuna sirip biru selatan; (c) Setiap informasi lain yang berkaitan dengan tuna sirip biru selatan. Indonesia pada awalnya bukan merupakan anggota CCSBT, tetapi Indonesia beberapa kali diundang dalam pertemuan CCSBT dengan status sebagai peninjau bersama-sama Korea Selatan dan Taiwan. Hal ini mengingat ketiga negara tersebut dianggap banyak melakukan kegiatan penangkapan ikan tuna sirip biru selatan di wilayah kompetensi pengelolaan CCSBT, sehingga dituntut untuk menjadi anggota agar dapat turut bertanggung jawab dalam pengelolaan tuna sirip biru selatan. 50 Sanksi perdagangan internasional akibat status Indonesia yang bukan anggota CCSBT telah terjadi, seperti embargo tuna sirip biru selatan oleh Jepang sejak tahun 2009. 51 Dengan adanya embargo tersebut maka kemungkinan 49 Pasal 8 CCSBT 1993 50 Arif Satria, Ekologi Politik Nelayan, LKis Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hal.188 51 Ibid.

ancaman pemboikotan tuna Indonesia di negara-negara lain juga akan semakin besar apabila status Indonesia masih belum menjadi anggota CCSBT. Namun Indonesia masih memiliki senjata bahwa spawning ground tuna ada di wilayah Selatan Indonesia, dimana hal tersebut masih memungkinkan bagi Indonesia untuk melakukan negoisasi dengan anggota CCSBT. Alasan ini memiliki konsekuensi cukup serius bagi Indonesia, dikarenakan dengan tidak menjadi anggota, Indonesia akan dianggap tidak memiliki goodwill untuk mau memerhatikan aspek konservasi sumber daya ikan tuna di wilayah tersebut. 52 Dengan kondisi ilegal, tentu hasil produksi tuna Indonesia yang dilakukan di wilayah perairan tersebut akan tergolong unreported. Hasil produksi yang tidak terlaporkan itu akan mengganggu proses fisheries management yang selama ini diupayakan oleh negara-negara anggota. 53 Illegal Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing) merupakan bentuk-bentuk praktik penangkapan ikan yang dihindari dan dicegah oleh Indonesia maupun organisasi pengelolaan perikanan internasional dan regional termasuk CCSBT karena merusak sumber daya ikan, terumbu karang serta rusaknya mangrove. 54 Setelah bergabungnya Indonesia, posisi Indonesia dalam CCSBT belumlah menguntungkan karena masalah-masalah dalam negeri sendiri, seperti pencurian ikan, peningkatan kapasitas penangkapan, dan otonomi daerah dalam pengelolaan perairan. 55 52 Ibid. 53 Ibid. 54 Ibid. 55 Ibid.

Tanggungjawab dalam pengelolaan dan konservasi perikanan regional dan internasional yang berkelanjutan di laut lepas maupun Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) terutama di wilayah laut yang berdampingan dengan perairan Indonesia tidak hanya milik anggota CCSBT tetapi juga milik Indonesia sehingga didalam ketentuan menimbang PerPres RI No.109 tahun 2007 tentang Pengesahan CCSBT 1993 menyebutkan : 56 (a) Bahwa dalam rangka menjamin dan mendukung konservasi dan pengelolaan secara tepat sumberdaya perikanan tuna sirip biru selatan untuk pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan, di Canberra, Australia, pada tanggal 10 Mei 1993 telah ditandatangani Conservation for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (Konvensi tentang Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan). (b) Bahwa Indoneisa sebagai Negara pantai memiliki potensi sumberdaya ikan tuna sirip biru selatan, yang perlu dikelola dan dimanfaatkan bagi kepentingan nasional. (c) Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a dan b, perlu mengesahkan Konvensi tersebut dengan dengan Peraturan Presiden. CCSBT dalam menetapkan TAC (Total Allowable Catch) dan alokasi diantara Negara-negara anggota didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut : 57 (a) Bukti ilmiah yang berhubungan dengan jumlah tangkapan; 56 Pepres No.109 tahun 2007 tentang Pengesahan CCSBT 57 Pasal 8 ayat (4) CCSBT 1993

(b) Kebutuhan pembangunan perikanan tuna sirip biru selatan yang berkelanjutan dan teratur; (c) Kepentingan-kepentingan Negara anggota yang ZZEnya dilalui oleh migrasinya tuna sirip biru selatan; (d) Kepentingan-kepentingan Negara anggota yang kapalnya melakukan penangkapan tuna sirip biru selatan termasuk mereka yang secara historis melakukan penangkapan dan mereka yang perikanan tuna sirip biru selatannya belum berkembang; (e) Kontribusi Negara anggota untuk konservasi dan penelitian ilmiah. Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) (b) CCSBT, Komisi dapat, apabila diperlukan, memutuskan langkah-langkah tambahan lain. Langkah-langkah tambahan lain tersebut berupa resolusi-resolusi terkait dengan pengelolaan, konservasi dan pemanfaatan optimal tuna sirip biru selatan. Salah satunya ialah Resolution on establishing the CCSBT Vessel Monitoring System. 58 Pertimbangan yang mendasari resolusi tentang establishing the CCSBT Vessel Monitoring System (VMS) 59 adalah pentingnya system pemantauan kapal sebagai bagian integral dari Monitoring, Control and Surveillance (MCS) yang efektif untuk tuna sirip biru selatan,khususnya untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang dari stok. 60 58 Chomariyah, Op.Cit, hal.159 59 Resolusi diterima pada Pertemuan Tahunan ke-15, 14-17 Oktober 2008, di Auckland, New Zealand. 60 Ibid. hal.160

Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) yang telah ditetapkan Komisi pada pertemuan tahunan Komisi Tuna Sirip Biru Selatan ke-16, 20-23 Oktober 2009, di Jeju Island, Korea Selatan telah menetapkan TAC untuk keseluruhan negara anggota CCSBT dan Cooperating Non-Members, tahun 2009 sebesar 11.810 ton, Pada pertemuan tahunan ke-17, 15 Oktober 2010, di Narita, Jepang, Komisi menetapkan TAC global menjadi 9.449 ton, pengurangan alokasi tersebut untuk tahun 2010-2011, bagi anggota dan Cooperating Non-Members, penetapannya mulai tahun 2009-2011 sebagai berikut : (a) Jepang (3.000 ton; 2.261 ton) (b) Australia (5.265 ton; 4.270 ton) (c) Korea Selatan (1.140 ton; 859 ton) (d) Taiwan (1.140 ton; 859 ton) (e) Selandia Baru (420 ton; 754 ton) (f) Indonesia (750 ton; 651 ton) Sedangkan untuk Cooperating Non-Members and Observers : (g) Filipina (45 ton; 45 ton) (h) Afrika Selatan (40 ton; 40 ton) (i) Uni Eropa (10 ton; 10 ton) Perkembangan terakhir pada pertemuan tahunanan CCSBT ke-18, pada tanggal 10-13 Oktober, di Bali, Indonesia, alokasi yang didapatkan masing-

masing negara anggota dan Cooperating Non-Members and Observers, mengalami kenaikkan untuk tahun 2014, yaitu : 61 Jepang (3.366 ton), Australia (5.147 ton), Selandia Baru (909 ton), Korea Selatan (1.036 ton), Taiwan (1.036 ton), Indonesia (750 ton) dan untuk Cooperating Non-Members and Observers Filipina (45 ton), Afrika Selatan (150 ton) dan Uni Eropa (10 ton). Pada tahun 2012 sampai tahun 2014, penetapan alokasi TAC global adalah 10.449 ton, 10.949 ton dan 12.449 ton, yang kemudian dibagi kepada masingmasing anggota CCSBT sebagai berikut : (a) Jepang (2.519 ton; 2.689 ton; 3.366 ton) 62 (b) Australia (4.528 ton; 4.698 ton; 5.147 ton) (c) Selandia Baru (800 ton; 830 ton; 909 ton) (d) Korea Sealatan (911 ton; 945 ton; 1.036 ton) (e) Taiwan (911 ton; 945 ton; 1.036 ton) (f) Indonesia (685 ton; 707 ton; 750 ton) Pertemuan tahunan CCSBT ke-21 pada tanggal 13-16 Oktober 2014, di Auckland, New Zealand menyepakati bahwa adanya kenaikan jumlah TAC tuna sirip biru selatan untuk tahun 2015-2017 yaitu : 63 Jepang (4.337 ton; 4847 ton), Australia (5.665 ton; 5.665 ton), Selandia Baru (1.000 ton; 1.000 ton), Korea Selatan (1.140 ton; 1.140 ton), Taiwan (1.140 ton; 1.140 ton), Indonesia (750 ton; 61 Ibid, hal.159 62 Ibid, hal.161 63 Report of the Twenty First Annual Meeting of the Commission, 13-16 October 2014, Auckland, Newzealand

750 ton), sedangkan Cooperating Non-Members Afrika Selatan (150 ton; 40 ton), Filipina (45 ton; 45 ton) dan Uni Eropa (10 ton; 10 ton). Untuk Afrika Selatan diberikan kesempatan untuk menjadi anggota CCSBT per 31 Mei 2015 agar angka alokasi penangkapan tuna sirip biru selatannya tetap sebesar 150 ton dan apabila tidak maka akan turun menjadi 40 ton. Ketentuan tentang Scientific Committee, diatur dalam Pasal 9 CCSBT 1993, yang mempunyai kewajiban untuk : (a) Mengkaji dan menganalisa status dan kecenderungan-kecenderungan dengan populasi tuna sirip biru selatan; (b) Mengkoordinasikan penelitian dan pengkajian tuna sirip biru selatan; (c) Melaporkan kepada Komisi penemuan-penemuan termasuk konsensus, pandangan-pandangan mayoritas dan minoritas terhadap status persediaan tuna sirip biru selatan; (d) Membuat rekomendasi-rekomendasi, kepada Komisi melalui consensus terhadap hal-hal mengenai pengelolaan, konservasi dan pemanfaatan optimal tuna sirip biru selatan; (e) Mempertimbangkan hal-hal lain yang dirujuk oleh Komisi. Resolusi yang berkaitan dengan pengelolaan dan konservasi tuna sirip biru selatan diterima pada pertemuan tahunan ke-16, yaitu Resolution on Action to

Ensure Compliance with Conservation and Management Measures, terdiri dari lima penetapan yaitu : 64 (a) Masing-masing negara anggota dan Cooperating Non-Members harus menyerahkan rencana kegiatan untuk memastikan pentaatan terhadap langkah-langkah pengelolaan dan konservasi tuna sirip biru kepada sekretariat pada tanggal 1 April 2010; Rencana kegiatan harus meliputi skema verifikasi data penangkapan tuna sirip biru selatan dan Ecologically Related Species/ERS, secara sistematis; (b) Negara bendera dan Cooperating Non-Members,dari kapal-kapal longline harus menjelaskan rencana perbaikan kegiatannya; (c) Pada musim penangkapan 2011, negara Cooperating Non- Members, harus menjalankan Stereo Video System, untuk mengawasi 10% tuna sirip biru selatan yang menuju kandang (cage); (d) Komisi harus menggali semua kemungkinan dan pengembangan program penelitian regional untuk diterapkan ke semua kegiatan perikanan dan budi-daya tuna sirip biru selata; dan (e) Semua negara anggota dan Cooperating Non-Members harus mengumpulkan laporan pelaksanaan dan hasil rencana kegiatan tahun 2010 pada pelaksanaan rapat Komisi 2010. 64 Chomariyah, Op.Cit, hal.162

CCSBT melaksanakan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) melaui strategi pengelolaan yang disebut Management Procedure, yang dimana resolusi tentang pelaksanaan strategi tersebut juga dikenal sebagai Bali Procedure diterima pada pertemuan tahunan ke-18 tahun 2011. Dalam strategi Management Procedure terdapat pedoman tentang batas tangkapan global dan menyediakan industry perikanan agar menangkap ikan secara periode waktu yang telah tersedia. Parameter Management Procedure adalah 65 (1) untuk membangun kembali status stok menuju target reference point sebesar 20% dari original spawning biomass pada tahun 2035; (2) ditetapkan kemungkinan 70% untuk mencapai sasaran pembangunan kembali sementara; (3) minimum kenaikan atau penurunan TAC sebesar 100 ton; (4) maksimum kenaikan atau penurunan sebesar 3000 ton; (5) TAC ditetapkan untuk periode 3 tahun berdasarkan resolusi tentang TAC global, tahun 2010-2011 sebesar 9.449 ton; tahun 2012 sebesar 10.449 ton; tahun 2013 sebesar 10.949 ton dan tahun 2014 sebesar 12.449 ton. CCSBT melakukan tindakan penegakkan hukum untuk memberantas IUU Fishing, dengan menetapkan Resolution on Establishing a Program for Transshipment by Large Scale Fishing Vessels berisi tentang pengawasan kegiatan transshipment yang dilakukan oleh large scale fishing vessels dengan cara mengumpulkan data tangkapan ikan kapal-kapal tersebut untuk penilaian imiah stok ikan tuna sirip biru selatan. Selain itu CCSBT juga bekerja sama dengan FAO untuk mengembangkan system pemantau sumber daya perikanan (Fishery Resources Monitoring System-FIGIS). Tidak hanya kerja sama dengan 65 Ibid, hal.163

organisasi lain, CCSBT juga mengajak Cooperating Non-Members untuk menjadi anggota organisasi, melaui cara yang disebut allocation set asides. 66 Dalam hal langkah-langkah terkait perdagangan atau Trade Related Measures (TRM) terhadap ikan tuna sirip biru selatan CCSBT memberlakukan Catch Documentation Scheme (CDS) list of approved vessels. Pelaksanaan TRM oleh CCSBT tidak diskriminasi dikarenakan putusan didasarkan pertimbangan bukti ilmiah terbaik yang tersedia pada saat pertemuan tahunan sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) CCSBT 1993. CDS 67 sendiri mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2010 menggantikan Trade Information Scheme (TIS) yang sudah berlaku sejak tahun 2000 dan digantikan karena tidak efektif. CDS adalah menyediakan data penelusuran dan validasi perdagangan tuna sirip biru selatan yang legal mulai dari penjualan pertama, baik di pasar domestic maupun pasar ekspor. Tujuan CDS adalah 68 untuk mengawasi perdagangan internasional tuna sirip biru selatan, untuk mengidentifikasi asal-usul tuna sirip biru selatan, di impor atau di ekspor kea tau dari wilayah pengelolaan CCSBT, untuk menentukan tangkapan yang dilakukan di wilayah pengelolaan CCSBT dengan cara sesuai dengan tindakan konservasi yang ditetapkan oleh CCSBT, mengumpulkan data penangkapan oleh masing-masing Negara anggota dan Non- Contracting Members. 66 Metode ini digunakan dengan cara memberi alokasi penangkapan kepada Cooperating Non-Members secara bertahap menaikkan besaran alokasi penangkapan dengan harapan adanya insentif negara Cooperating Non-Members untuk segera bergabung. 67 Diterima pada pertemuan tahunan ke-15, 14-17 Oktober 2008, di Auckland, New Zealand. 68. Chomariyah, Op.Cit, hal.170

Southern Bluefin Tuna (Thunnus maccoyii) atau dalam bahasa Indonesia sering disebut ikan tuna sirip biru selatan merupakan jenis ikan pelagis besar dan termasuk dalam kategori ikan bermigrasi jauh (Highly Migratory Species). Tuna ini merupakan tuna besar, perenang cepat, ikan pelagis (hidup di laut lepas). Tuna sirip biru selatan dapat ditemukan di seluruh belahan bumi bagian selatan terutama di perairan antara 30 0 dan 50 0 selatan tapi jarang di Samudera Pasifik Timur. Daerah berkembang biak tuna ini berada di Samudera Hindia, selatantimur dari pulau Jawa, Indonesia. Tuna sirip biru selatan 69 dapat hidup sampai empat puluh tahu, mencapai berat 200 kg dan berukuran panjang lebih dari dua meter.namun ada ketidakpastian dalam hal ukuran dan kapan rata-rata usia ikan tersebut menjadi dewasa. Inilah subjek penelitian oleh anggota Komisi. Masa pembiakan berlangsung dari bulan Sepetember sampai April di perairan hangat selatan pulau Jawa. Hingga usia 5 tahun, ikan-ikan tuna remaja ini suka berkumpul bersama dalam kawanan dan beraktifitas di dekat permukaan laut namun setelah berumur lebih dari 5 tahun mereka tidak lagi berenang di dekat permukaan. Beberapa fakta lain yang dikenal tentang tuna sirip biru selatan adalah : (a) Mereka berenang dengan kecepatan rata-rata 2-3 km/jam; (b) Pertumbuhan rata-rata untuk umur 3 tahun adalah 1,5 cm per bulan (pertumbuhan ikan sudah lebih cepat sejak tahun 1980 dari sebelumnya); (c) Mereka dapat menjaga suhu tubuhnya lebih hangat dari pada air disekitarnya; 69 http://www.ccsbt.org/site/about_bluefin_tuna.php diakses 5 Februari 2015

(d) Mereka dapat menyelam sekurangnya 500 meter ke bawah laut. Status konservasi ikan tuna sirip biru ini adalah kritis (Critically Endangered) 70 dikarenakan pada habitat liar sudah mencapai penangkapan overfishing dan overexploited. Gambar ikan tuna sirip biru selatan (southern bluefin tuna) 71 C. Keanggotaan Indonesia dalam Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC 2013) Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stock in the Western and Central Pacific Ocean (WCPFC) atau yang disebut dengan Konvensi tentang Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Beruaya Jauh di Samudera Pasifik Barat dan Tengah merupakan organisasi internasional antar pemerintah Negara-negara yang memiliki pantai di Pasifik Barat dan Pasifik Tengah dan negara-negara yang menangkap ikan di wilayah tersebut. Konvensi ini ditandatangani pada tanggal 5 September 2000 72 di Honolulu, Amerika Serikat yang proses negoisasinya berlangsung selama empat tahun. Namun Konvensi ini 70 71 http://www.iucnredlist.org/details/summary/21858/0 diakses 5 Februari 2015 http://www.dpi.nsw.gov.au/ data/assets/image/0006/219687/southern-bluefintuna.jpg diakses tanggal 5 Februari 2015 72 http://www.wcpfc.int/frequently-asked-questions-and-brochures diakses 5 Februari 2015

mulai berlaku efektif pada tanggal 19 Juni 2004 dengan negara-negara yang meratifikasinya yaitu Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Fiji Islands, Kiribati, Marshall Island, Tonga dan Tuvalu. Masalah yang juga dihadapi oleh WCPFC sebelum terbentuknya organisasi ini ialah menagatasi masalah dalam pengelolaan perikanan di laut lepas akibat penangkapan ikan yang tidak diatur, kapasitas yang berlebih, terlalu banyak isi kapasitas kapal, kapal yang berganti bendendera untuk melarikan diri dari kontrol, tidak selektifnya pemakaian alat tangkap, tidak adanya data yang akurat dan harus adanya kerjasma multilateral yang cukup dalam hal konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya jauh. Berbagai masalah tersebut akhirnya mendorong negara-negara kepulauan yang langsung berdampingan dengan Samudera Pasifik khususnya Pasifik bagian Barat dan Tengah untuk mengadakan Konvensi Tingkat Tinggi Multilateral agar dapat menyelesaikan permasalahan perikanan regional. Sejarah terbentuknya WCPFC berbeda dari CCSBT yang dimana WCPFC berdiri setelah adanya UNFSA 1995. Dasar hukum berdirinya WCPFC ialah UNCLOS 1982 73 dan prinsip pererapan pendekatan kehati-hatiannya berdasarkan UNFSA 1995. Konvensi WCPFC sendiri adalah salah satu perjanjian perikanan regional pertama yang diadopsi setelah adanya kesimpulan dari UNFSA 1995 (United Nation Fish Stocks Agreement 1995). 74 73 Pasal 4 WCPFC 2000 74 http://www.wcpfc.int/convention-text diakses 5 Februari 2015

Prinsip-prinsip UNFSA 1995 yang diadopsi WCPFC antara lain: 75 penerapan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach), keputusan Komisi yang harus didasarkan pada bukti ilmiah yang terbaik, pertimbangan ekosistem dan pengakuan dari negara-negara kepulauan kecil yang berkembang. Wilayah kompetensi konservasi dan pengelolaan semua ikan beruaya jauh WCPFC ialah 76 Dari pantai Selatan Australia kea rah sepanjang 141 0 Bujur Timur sampai perpotongannya dengan 55 0 Lintang Selatan, kemudian ke arah Timur sejajar dengan 55 0 Lintang Selatan sampai perpotongannya dengan 150 0 Bujur Timur; kemudian sepanjang 150 0 Bujur Timur sampai perpotongannya dengan 60 0 sejajar Lintang Selatan, kemudian ke arah Timur 60 0 sejajar dengan Lintang Selatan sampai perpotongannya dengan 130 0 Bujur Barat; kemudian ke Utara sejajar 130 0 Bujur Barat sampai perpotongannya dengan 4 0 sejajar Lintang Selatan; kemudian ke Barat 4 0 sejajar Lintang Selatan sampai perpotongannya dengan 150 0 Bujur Barat; kemudian sepanjang Utara 150 0 Bujur Barat. 2015 75 http://www.wcpfc.int/frequently-asked-questions-and-brochures diakses 5 Februari 76 Pasal 3 ayat (1) WCPFC 2000

Di didalam mukadimah WCPFC 2000 dijelaskan bahwa Konvensi ini dibentuk karena adanya kesadaran perlunya menghindari dampak buruk terhadap lingkungan laut, melesatarikan kenaekaragaman hayati, menjaga integritas ekosistem laut, meminilakan resiko jangka panjang atau dampak yang tidak dapat diperbaiki dari operasi penangkapan ikan dan kondisi kerentanan ekologis dan geografis negara-negara pulau kecil yang sedang berkembang, wilayah dan kawasan, ketergantungan ekonomi dan sosialnya terhadap sediaan ikan yang beruaya jauh dan kebutuhan mereka akan bantuan khusus, termasuk bantuan finansial, ilmu pengetahuan dan teknologi, agar negara-negara berkembang tersebut dapat berperan-serta secara aktif di dalam konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan secara berkelanjutan sediaan ikan yang beruaya jauh. 77 Pada Pasal 2 WCPFC 2000 terdapat tujuan dari pada Konvensi ini yang berisi : The objective of this Convention is to ensure, through effective management, the long-term conservation and sustainable use of highly migratory fish stocks in the western and central Pacific Ocean in accordance with the 1982 Convention and the Agreement. Tujuannya ialah untuk memastikan melalui pengelolaan secara efektif, konservasi jangka panjang dan pemanfaatan secara berkelanjutan sediaan ikan beruaya jauh di Samudera Pasifik Barat dan Tengah sesuai dengan Konvensi 1982 dan Persetujuan. 77 Mukadimah WCPFC 2000

Daftar jenis ikan beruaya atau bermigrasi jauh (Highly Migratory Species) berdasarkan Lampiran I UNCLOS 1982, yaitu: 78 No. Nama Ikan Nama Latin dan Nama Indonesia 1 Albacore tuna Thunnus alalunga (Albakor) 2 Bluefin tuna Thunnus thynnus (Tuna sirip biru Atlantik) 3 Bigeye tuna Thunnus obesus (Tuna mata besar) 4 Skipjack tuna Katsuwonus pelamis (Cakalang) 5 Yellowfin tuna Thunnus albacores (Madidihang) 6 Blackfin tuna Thunnus atlanticus 7 Little tuna Euthynus alletteratus; Euthynus affinis (Tongkol) 8 Southen bluefin tuna Thunnus maccoyii (Tuna sirip biru selatan) 9 Frigate mackerel Auxis thazard, Auxis rochei (Makarel) 10 Pornfrets Family bramida 11 Marlins Tetrapturus angustirostris (Setuhuk) 12 Sail-fishes Istiophorus platypterus (Ikan layaran) 13 Swordfish Xiphias gladius (Ikan pedang) 14 Sauries Scomberesox saurus (Tenggiri) 15 Dolphin Coryphaena hippurus (Lumba-lumba) 16 Oceanic sharks Hexanchus griseus (Hiu) 17 Cetaceans Family Physeteridae Konvensi WCPFC melakukan konservasi kepada jenis ikan-ikan tersebut kecuali ikan Sauries (Tenggiri). Indonesia masuk menjadi anggota WCPFC melalui Peraturan Presiden No.61 Tahun 2013 tentang Pengesahan Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean (Konvensi tentang Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Beruaya Jauh di Sameudera Pasifik Barat dan Tegah). Pengesahan ini adalah yang terbaru untuk keikutsertaan Indonesia dalam organisasi pengelolaan dan konservasi perikanan regional. 78 Chomariyah,Op.Cit, hal.12

Sebelumnya Indonesia sudah mengikuti dan menjadi anggota Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) melalui PerPres No. 9 Tahun 2007 tentang Persetujuan Pembentukan Komisi Tuna Samudera Hindia dan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) melalui Perpres No.109 Tahun 2007 tentang Pengesahan CCSBT. 79 Dalam konsideran PerPres No.61 Tahun 2013 tentang Pengesahan WCPFC dalam isi menimbang menyebutkan : 80 (a) Bahwa di Honolulu, Amerika Serikat, pada tanggal 5 September 2000, Konferensi Tingkat Tinggi Multilateral mengenai Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Beruaya Jauh di Wilayah Pasifik Barat dan Tengah pada Sesi Ketujuh telah menetapkan Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stock on the Western and Central Pacific Ocean (Konvensi tentang Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Beruaya Jauh di Samudera Pasifik Barat dan Tengah); (b) Bahwa keikutsertaan Indonesia pada Konvensi tersebut dapat meningkatkan dan memajukan industry perikanan nasional dengan tetap menjaga dan melindungi kedaulatan wilayah laut terrtorial Republik Indonesia; (c) Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu mengesahkan Konvensi tersebut dengan Peraturan Presiden; 79 Chomariyah, Op.Cit, hal.19 80 PerPres No.61 Tahun 2013 tentang Pengesahan WCPFC

Dengan bergabungnya Indonesia pada tahun 2013 maka jumlah keanggotan WCPFC adalah 24 negara yaitu 81 Australia, Kanada, Cina, Kepulauan Cook, Federasi Mocronesia, Kepulauan Fiji, Prancis, Indonesia, Jepang, Republik Kiribati, Republik Kepulauan Marshall, Republik Nauru, Selandia Baru, Niue, Republik Palau, Papua New Guinea, Filipina, Korea Selatan, Samoa, Kepulauan Salomon, Kerajaan Tonga, Tuvalu, Inggris Raya, Amerika Serikat dan Republik Vanuatu. Indonesia memiliki beberapa manfaat dari keanggotanya di WCPFC, antara lain: 82 (a) Aspek politik domestic, akan mendukung kebijakan nasional bagi upaya konservasi dan pengelolaan perikanan yang bermigrasi jauh di wilayah Samudera Pasifik Bagian Barat dan Tengah; (b) Aspek politik luar negeri, akan memperkuat posisi dalam forum organisasi perikanan regional dan internasional, serta menegaskan komitmen Indonesia sebagai negara pihak pada UNCLOS 1982 bagi kerjasama internasional dalam kegiatan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya ikan; (c) Aspek teknis ekonomi, akan memberikan peluang bagi Indonesia dalam mengakses bantuan teknis dan financial dari WCPFC, serta untuk menghindari adanya embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC; 81 http://www.wcpfc.int/preparatory-conference diakses 5 Februari 2015 82 Mardia, Manfaat Keanggotaan Indonesia Dalam Indian Ocean Tuna Commision (IOTC), Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, tidak diterbitkan, 2011

(d) Dengan menjadi anggota WCPFC, akan memudahkan proses pertukaran informasi dan data perikanan yang tepat dan akurat diantara negara anggota dan adanya alih teknologi untuk Indonesia sebagai negara berkembang dalam kegiatan konservasi sumberdaya ikan di wilayah Samudera Pasifik bagian Barat dan Tengah.