II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

HUBUNGAN KELAS JALAN DENGAN KECENDERUNGAN INKONSISTENSI PEMANFAATAN RUANG DI KOTA BOGOR TOPAN LISTIAWAN A

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN I.1

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

Pengertian Sistem Informasi Geografis

II. TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan Tata Ruang Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Peranan Aplikasi GIS Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian

TINJAUAN PUSTAKA. tahun, sebagian besar akibat kegiatan perambahan ilegal, sisanya karena

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) Oleh : Djunijanto

Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Banjir

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

LOGO Potens i Guna Lahan

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

Kesesuaian Lahan dan Geographic Information System (GIS)

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS KEBUTUHAN JALAN DI KAWASAN KOTA BARU TEGALLUAR KABUPATEN BANDUNG

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PEMERINTAH KABUPATEN KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

A. Pendahuluan Sistem Informasi Geografis/GIS (Geographic Information System) merupakan bentuk cara penyajian informasi terkait dengan objek berupa

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN TEORI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I P E N D A H U L U A N Latar Belakang RTRW Kabupaten Serdang Bedagai

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Umum. Sistem jaringan jalan terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian kuantitatif dengan pendekatan spasial. Metode penelitian kuantitatif dapat

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 14 (Empat belas)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 KETENTUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

III. METODE PENELITIAN

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG:

II. TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI BOGOR PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

TINJAUAN PUSTAKA Penutupan dan Penggunaan Lahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

REDESAIN TERMINAL TERPADU KOTA DEPOK

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI

Kata Kunci: Pemanfaatan Ruang, Inkonsistensi, Kecamatan Singkil, Kota Manado

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JALAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

EVALUASI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya (Pasal 1 butir 1 UU No. 26/2007). Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak, yang menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang (UU No. 26 Tahun 2007). Dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, penataan ruang adalah suatu upaya untuk mewujudkan tata ruang yang terencana dengan memperhatikan keadaan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, interaksi antar lingkungan, tahapan dan pengelolaan pembangunan, serta pembinaan kemampuan kelembagaan dan sumberdaya manusia yang ada dan tersedia, dengan selalu berdasarkan pada kesatuan wilayah nasional dan ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, pemeliharaan lingkungan hidup dan diarahkan untuk mendukung upaya pertahanan keamanan. Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan 1) dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, 2) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang dan 3) tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang (UU Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007, Pasal 5). Berdasarkan UU No.26/2007, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada dimensi perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk dimensi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang merupakan proses penyusunan rencana tata ruang, baik untuk wilayah administratif (seperti propinsi, kabupaten dan kota), maupun untuk kawasan fungsional (seperti kawasan perkotaan dan perdesaan); pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme

6 perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya. Karakteristik penataan ruang terkait erat dengan ekosistem. Oleh karenanya penataan ruang menekankan pendekatan sistem yang tidak dibatasi oleh batasbatas administrasi wilayah, dengan dilandasi oleh 4 (empat) prinsip pokok penataan ruang yakni: (a) holistik dan terpadu, (b) keseimbangan antar kawasan (misal antar kota-desa atau hulu-hilir), (c) keterpaduan penanganan secara lintas sektor dan lintas wilayah administratif, serta (d) pelibatan peran serta masyarakat mulai tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang (http://www.penataanruang.net/taru/makalah/sesdirprpusdiklatmakassar.pd f). 2.2. Permasalahan Tata Ruang Pemberlakuan Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) telah memberikan arti yang cukup besar dalam pembangunan nasional, namun seiring dengan perkembangannya, banyak fakta empiris dan yuridis menunjukkan berbagai permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan, sehingga dewasa ini berkembang adanya tuntutan pemikiran di tengah masyarakat untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan penataan ruang yang lebih langsung menyentuh hal-hal yang terkait dengan permasalahan kehidupan masyarakat, yang pada akhirnya menuntut dilakukannya perubahan pengaturan penataan ruang. Beberapa fakta empirik dan yuridis tentang berbagai permasalahan penyelenggaraan tata ruang yang terjadi hingga saat ini, seperti semakin tingginya konversi penggunaan lahan, meningkatnya permasalahan bencana banjir dan longsor, urban sprawl, semakin meningkatnya kemacetan lalu lintas dan perumahan kumuh serta semakin berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau perkotaan, kurang memadainya kapasitas kawasan metropolitan terhadap tekanan jumlah penduduk, dan kurang seimbangnya pembangunan kawasan pedesaan dan perkotaan, masalah keamanan bangsa, posisi geostrategik, konflik perbatasan dan isu-isu keamanan internasional telah menguatkan kehendak seluruh pemangku kepentingan penataan ruang untuk melakukan restorasi penataan ruang (www.penataanruang.net/http:/penataanruang.pu.go.id).

7 2.3. Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Pemanfaatan ruang pada dasarnya merupakan realisasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disusun. Namun demikian, kompleksitas permasalahan dalam proses perkembangan wilayah dapat mengakibatkan terjadinya pemanfaatan ruang yang menyimpang dari RTRW. Konsistensi dalam pemanfaatan ruang terlihat dari kesesuaian antara aktivitas penggunaan ruang dengan RTRW. Analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW bertujuan untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang yang telah dilakukan sesuai dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasar/pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang. Menurut Rustiadi (2001), proses alih fungsi lahan dapat dipandang merupakan suatu bentuk konsekuansi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: 1) pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap pengguanaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita, dan 2) adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer (sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktivitas sektorsektor sekunder (industri manufaktur dan jasa). Meningkatnya kebutuhan akan lahan akibat bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan terjadinya tumpang tindih kepentingan terhadap sebidang lahan. Hal ini jika dibiarkan dapat mengarah pada pola sebaran kegiatan yang secara ekonomis paling menguntungkan, namun belum tentu menguntungkan atau bahkan merugikan dari segi lingkungan (Wiradisastra, 1989). 2.4. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi, tumbuhan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini yang bersifat mantap atau mendaur. Lahan merupakan matrik dasar kehidupan manusia dan pembangunan karena hampir semua aspek kehidupan

8 pembangunan, baik langsung maupun tidak langsung, berkaitan dengan permasalahan lahan (Saefulhakim dan Nasoetion, 1995). Terdapat perbedaan antara penutup lahan (land cover) dengan penggunaan lahan (land use). Penutup lahan didefinisikan sebagai bahan-bahan seperti vegetasi dan pondasi yang menutup tanah. Sedangkan inti dari penggunaan lahan adalah aktivitas manusia yang mencirikan suatu daerah sebagai daerah industri, pertanian, atau pemukiman (Marsh,1991, dalam Saefulhakim, 1994). Penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang tertentu (Lillesand dan Kiefer, 1997). Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989). Sepuluh kelas penggunaan lahan menurut Barlowe (1978) adalah sebagai berikut: 1) lahan pemukiman, 2) lahan industri dan perdagangan, 3) lahan bercocok tanam, 4) lahan peternakan dan penggembalaan, 5) lahan hutan, 6) lahan mineral/pertambangan, 7) lahan rekreasi, 8) lahan pelayanan jasa, 9) lahan transportasi dan 10) lahan tempat pembuangan. Perubahan penutupan lahan merupakan bentuk peralihan dari penutupan lahan sebelumnya ke penutupan lahan yang lain, yang berarti berubahnya luas dan lokasi penggunaan lahan tertentu pada suatu kurun waktu. Perubahan penggunaan lahan dan penutupan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penggunaan lahan dan penutupan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penggunaan lahan. Secara umum Barlowe (1978) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan adalah faktor fisik dan biologi (sumberdaya alam dan sumberdaya manusia), faktor ekonomi, dan kelembagaan. Proses perubahan penggunaan lahan umumnya bersifat tidak dapat diubah (irreversible), contohnya adalah lahan-lahan sawah yang dikonversikan ke berbagai aktivitas urban sangat kecil kemungkinannya untuk kemudian dikembalikan lagi menjadi sawah. Oleh karenanya proses-proses perubahan

9 penggunaan lahan harus selalu ditempatkan dalam perspektif perencanaan jangka panjang (Rustiadi, 2001). Alih fungsi lahan berskala luas maupun kecil seringkali memiliki permasalahan klasik berupa: 1) efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, 2) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Ketiga masalah tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya sehingga permasalahan-permasalahan tersebut tidak bersifat independen dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan parsial, namun memerlukan pendekatan-pendekatan intregatif (Rustiadi et al, 2005). 2.5. Konsep Dasar Ekonomi Lahan Suatu lahan yang diusahakan untuk penggunaan tertentu mempunyai nilai. Dalam bidang pertanian dikenal istilah richardian rent, yaitu rent yang nilainya sangat ditentukan oleh kualitas lahannya. Artinya, semakin baik kualitas suatu lahan, maka semakin tinggi nilai richardian rent nya, begitu pula sebaliknya. Dalam penelitian ini dikenal istilah rent yang lain, yaitu land rent. Land rent adalah sisa surplus ekonomi sebagai bagian dari nilai produk total yang ada setelah pembayaran dilakukan untuk semua faktor biaya total (Barlowe, 1986). Produktivitas dari suatu lahan yang memiliki surplus ekonomi akibat kesuburan tanah (tingkat kesesuaian lahan sesuai), akan menghasilkan land rent yang tinggi. Surplus ekonomi dari sumberdaya lahan akibat kesuburan tanah tersebut mengakibatkan perbedaan output yang paling banyak dibandingkan dengan lahan yang tidak subur, sehingga land rent pada tanah yang subur akan lebih tinggi dari tanah atau lahan yang kurang subur. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam hal besarnya rata-rata nilai produksi dan biaya produksi per unit lahan dengan tingkat kesuburan yang berbeda tersebut (Sitorus, 2004). Nilai land rent ditentukan oleh kisaran jarak terhadap pusat-pusat pertumbuhan wilayah lahan yang berlokasi dekat pasar atau pusat kegiatan bisnis memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi dan alternatif penggunaan yang lebih banyak (Barlowe, 1986).

10 2.6. Sistem Transportasi, Jalan dan Tata Guna Lahan Sistem transportasi secara menyeluruh (makro) dapat dipecahkan menjadi beberapa sistem yang lebih kecil (mikro) yang masing-masing saling terkait dan saling mempengaruhi. Sistem transportasi mikro tersebut terdiri dari: a) Sistem Kegiatan, b) Sistem Jaringan Prasarana Transportasi, c) Sistem Pergerakan Lalu Lintas, d) Sistem Kelembagaan. Sistem kegiatan, sistem jaringan, dan sistem pergerakan akan saling mempengaruhi. Perubahan pada sistem kegiatan jelas akan mempengaruhi sistem jaringan melalui perubahan pada tingkat pelayanan pada sistem pergerakan. Begitu juga perubahan pada sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksesbilitas dari sistem pergerakan tersebut (Rahmani, 2000). Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Jalan dapat meningkatkan kegiatan ekonomi di suatu tempat karena menolong orang untuk pergi atau mengirim barang lebih cepat ke suatu tujuan. Dengan adanya jalan, komoditi dapat mengalir ke pasar setempat dan hasil ekonomi dari suatu tempat dapat dijual kepada pasaran di luar wilayah itu. Selain itu, jalan juga mengembangkan ekonomi lalu lintas di sepanjang lintasannya Jalan merupakan prasarana pembentuk struktur ruang (id.wikipedia.org/wiki/perencanaan_tata_ruang). Sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan hierarki. Sistem jaringan jalan disusun dengan mengacu pada RTRW dan dengan memperhatikan keterhubungan antarkawasan dan atau dalam kawasan perkotaan, dan kawasan perdesaan. Sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut: 1) menghubungkan pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan

11 lingkungan; dan 2) menghubungkan antarpusat kegiatan nasional. Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan RTRW kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil (id.wikipedia.org/wiki/jalan). Jalan arteri primer menghubungkan secara efisien antar Pusat Kegiatan Nasional, atau antara Pusat Kegiatan Nasional dengan Pusat Kegiatan Wilayah (serta menghubungkan Pusat Kegiatan Nasional dengan kota lain di negara tetangga yang berbatasan langsung). Ciri jalan arteri primer adalah: 1. Jalan arteri primer (antar kota) yang memasuki wilayah perkotaan tidak boleh terputus (menerus); 2. Jalan arteri primer melalui dan atau menuju kawasan primer; 3. Lalu lintas jarak jauh pada jalan arteri primer adalah lalu lintas regional (menerus); lalu lintas menerus tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik atau lalu lintas lokal (dari kegiatan bersifat lokal); 4. Kendaraan angkutan barang dan kendaraan angkutan umum jenis bus dapat diijinkan melalui jalan ini; 5. Jalan arteri primer sebaiknya dilengkapi/disediakan tempat istirahat menurut pedoman perencanaan tempat istirahat yang ada. Jalan kolektor primer menghubungkan secara efisien antar pusat kegiatan wilayah atau menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal, sedangkam jalan lokal primer menghubungkan secara efisien pusat kegiatan nasional dengan persil atau pusat kegiatan wilayah dengan persil atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lokal, pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan di bawahnya, pusat kegiatan lokal dengan persil, atau pusat kegiatan di bawahnya sampai persil. Pertambahan jumlah penduduk pada akhirnya juga akan mempengaruhi peningkatan keragaman aktivitas yang berpotensi untuk menimbulkan bangkitan dan beban transportasi di masa depan yang lebih dari saat ini. Bila peningkatan jumlah penduduk tesebut tidak diikuti prasarana transportasi seperti panjang dan

12 lebar jalan, jumlah jalur jalan, luasan maupun jumlah halte, stasiun dan terminal yang sebanding maka akan terjadi kemacetan yang lebih buruk lagi (www.scribd.com/doc/pengelolan-sistem-transportasi-kota-bogor). Jenis tata guna lahan yang berbeda (pemukiman, pendidikan dan komersial) mempunyai ciri bangkitan lalu lintas yang berbeda yaitu jumlah arus lalu lintas, jenis lalu lintas (pejalan kaki, truk, mobil) dan lalu lintas pada waktu tertentu. Studi hubungan tata guna lahan dan transportasi pertama kali dilakukan di AS yaitu Detroit Area Tranportation Study (1953) dan Chicago Area Transportation Study (1956) dengan motif keraguan akan dampak negatif dari hasil interaksi tata guna lahan dan transportasi. Pelaksanaan studi biasanya didorong oleh tujuan efisiensi yaitu penyiapan rencana transportasi yang dapat menampung lonjakan permintaan perjalanan di suatu lokasi dalam jangka panjang (Lubis dan Karsaman, 1997). 2.7. Sistem Informasi Geografi (SIG) Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan salah satu produk ilmu komputer yang paling mutakhir saat ini. Pengertian tentang SIG sangat beragam. Hal ini sejalan dengan perkembangan SIG itu sendiri sejak pertama kali SIG dikembangkan oleh Tomlinson tahun 1967. Murai (1999) mengartikan SIG sebagai sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data berefrensi geografis atau data geospatial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumberdaya alam, lingkungan, transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya. Menurut Aronoff (1993), SIG merupakan sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. Sedangkan Bernhardsen (2001) mendefinisiskan SIG sebagai sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang berfungsi untuk akusisi dan verifikasi data, kompilasi data, penyimpanan data, perubahan dan pembaharuan data, manajemen dan pertukaran data, manipulasi data, pemanggilan dan presentasi data serta analisa data. Walaupun SIG tak lepas

13 dari perangkat keras dan perangkat lunak komputer serta manajemen data dan informasi yang berhubungan dengan permukaan bumi. Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non-spasial (Star dan Estes, 1990 dalam Barus dan Wiradisastra, 2000). Menurut Barus dan Wiradisastra (2000) Sistem Informasi Geografi atau disingkat sebagai SIG, terjemahan dari Geographical Information System (GIS), pada saat ini sudah merupakan teknologi yang dianggap biasa pada kalangan perencana atau kelompok-kelompok lain yang berkecimpung dalam hal pemetaan sumberdaya maupun dalam berbagai bidang lainnya seperti pengelolaan dalam penggunaan lahan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. SIG juga unggul dalam mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisis dan menampilkan data spasial baik biofisik maupun sosial ekonomi. 2.8. Penginderaan Jauh, Citra SPOT dan Ikonos Ciri utama dari penginderaaan jauh adalah kemampuannya menghasilkan data spasial yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dengan cepat dan dalam jumlah yang besar. Pemanfaatan jumlah data spasial yang besar tersebut akan tergantung pada cara penanganan dan pengolahan data yang akan mengubahnya menjadi informasi yang berguna. Perkembangan penginderaan jauh sekarang ini adalah penggunaan satelit yang mengorbit bumi secara terus-menerus sehingga mampu merekam data sesaat secara berulang-ulang dalam luasan yang sangat besar (synoptic) (Barus dan Wiradisastra, 2000). Ikonos merupakan satelit observasi komersial bumi yang dapat mendeteksi obyek sampai dengan ketelitian satu meter. Citra Ikonos diluncurkan pertama kali pada tanggal 24 september 1999 di California (http://en.wikipedia.org/wiki/ikonos). SPOT (Satelite Probatoire de l`observation de la Terra) merupakan citra satelit resolusi tinggi keluaran Perancis yang melakukan perekaman ulang pada daerah yang sama setiap 26 hari sekali (CNES, 1989). Dalam penggunaannya

14 Citra SPOT memiliki beberapa kelebihan misalnya: untuk kawasan kota dengan foto udara skala 1:50.000 membutuhkan 28 lembar, sedangkan bila menggunakan Citra SPOT hanya dibutuhkan satu lembar citra dalam bentuk cetakan kertas. 2.9. Konsep Buffering Terminologi buffer sering kali digunakan di dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan regulasi lingkungan karena sangat penting dan dapat dimodelkan secara spasial, konsep-konsepnya sejak lama telah diadopsi dan kemudian diimplementasikan oleh sejumlah (hampir semua) paket perangkat lunak SIG. Buffer, biasanya dibangun dengan arah ke luar untuk melindungi elemen-elemen spasial (atau dimodelkan secara spasial) yang bersangkutan. Dengan membuat buffer, maka akan terbentuk suatu area, poligon, atau zone baru yang menutupi (atau melindungi) objek spasial (buffered object yang berupa objek-objek spasial titik, garis,atau area (poligon tertentu) dengan jarak tertentu (Murai, 1999). Zone-zone buffer ini digunakan untuk mendefinisikan fungsi kedekatankedekatan secara spasial suatu objek terhadap objek-objek lain yang berada di sekitarnya. Data spasial zone buffer dapat diperlakukan sebagaimana poligonpoligon biasa (theme di dalam perangkat SIG ArcView atau coverage milik ArcInfo) yang dapat dikenakan beberapa operasi-operasi spasial (misalnya overlay) dan atribut.