II. TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan Tata Ruang Wilayah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan Tata Ruang Wilayah"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perencanaan Tata Ruang Wilayah Menurut UUPR 26/2007, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Selanjutnya, perencanaan wilayah dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai kontrol yang relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, serta menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan atau sasaran tersebut. Dalam paradigma perencanaan tata ruang yang modern, perencanaan tata ruang diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial, dan ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan ruang dalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktivitas agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan (Rustiadi 2004). Menurut UU 26/2007, rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan: - Keserasian, keselarasan, dan kesinambungan, fungsi budidaya, dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi ketahanan keamanan - Aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumberdaya, fungsi dan estetika lingkungan, serta kualitas ruang Kawasan Kota Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Kawasan kota (urban) merupakan kawasan yang dinamis, dimana secara tetap terjadi perubahan. Kota merupakan sebuah hasil proses produksi yang permanen (Lefebvre 1990, diacu dalam Martokusumo 6

2 2006). Perubahan ini bisa bersifat ekspansif (perluasan) atau intensifikasi (restrukturisasi internal) sebagai respon dari kebijakan ekonomi atau tekanan sosial yang timbul. Desain urban dapat dilihat sebagai sebuah alat untuk mengontrol perubahan, sebagai konsekuensi terhadap perkembangan dan pembangunan perkotaan, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik. Desain Urban bukanlah merupakan suatu produk akhir. Namun demikian, desain urban akan sangat turut menentukan kualitas dari produk akhirnya, yaitu lingkungan binaan yang dihuni. Dengan demikian desain urban harus dipahami sebagai suatu proses yang mengarahkan perwujudan suatu lingkungan binaan fisik yang layak, sesuai dengan aspirasi masyarakat, ramah terhadap lingkungan, termaksud kepada kemampuan sumberdaya setempat dan daya dukung lahan serta merujuk kepada aspek lokal (Martokusumo 2006). Kriteria Umum Kawasan Perkotaan (Kepmenkimpraswil 327/2002): Memiliki fungsi kegiatan utama budidaya bukan pertanian atau lebih dari 75% mata pencaharian penduduknya di sektor perkotaan; Memiliki jumlah penduduk sekurang-kurangnya jiwa; Memiliki kepadatan penduduk sekurang-kurangnya 50 jiwa per hektar; Memiliki fungsi sebagai pusat koleksi dan distribusi pelayanan barang dan jasa dalam bentuk sarana dan prasarana pergantian moda transportasi Perencanaan tata ruang Kawasan Perkotaan Perencanaan tata ruang Kawasan Perkotaan secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang perkotaan serta pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk mengakomodasikan kegiatan sosial ekonomi yang diinginkan. Berdasarkan Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan dari Departeman Permukiman dan Prasarana Wilayah, kawasan perkotaan diklasifikasikan berdasarkan jumlah penduduk menjadi : a) Kawasan Perkotaan Kecil, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar hingga jiwa; b) Kawasan Perkotaan Sedang, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar hingga jiwa; 7

3 c) Kawasan Perkotaan Besar, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari jiwa; d) Kawasan Perkotaan Metropolitan, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari jiwa. Berdasarkan PP No. 47/1997, kawasan budidaya terdiri dari kawasan pertanian, pertambangan, peruntukan industri, pariwisata, permukiman, dan kawasan budidaya lainnya yang terdiri dari kawasan hutan kota dan kawasan hutan rakyat. 1) Kawasan Pertanian - Kawasan Pertanian Lahan Basah : kawasan pertanian dengan sistem pengelolaan yang memerlukan air (gilir musim atau terus menerus sepanjang tahun) dengan tanaman utama padi/sagu dan atau dibudidayakan untuk usaha tani perikanan. - Kawasan Pertanian Lahan Kering : areal lahan yang keadaan dan sifat fisiknya mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi bagi tanaman palawija dan holtikultura (kebun rakyat, tanaman holtikultura, palawija, padi ladang, dan dapat dibudidayakan untuk usaha tani peternakan). - Kawasan Tanaman Tahunan/Semusim : areal yang diperuntukkan untuk jenis tanaman keras/tahunan sebagai tanaman utama yang dikelola dengan teknologi sederhana sampai tinggi dan memperhatikan asas konservasi tanah dan air (perkebunan besar atau rakyat dan hutan produksi). Dalam kawasan ini dimungkinkan adanya budidaya permukiman terbatas. Kriteria ruang : Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat pengolahan hasil pertanian seperti kawasan industri, dan kawasan peternakan; Memiliki akses terhadap pasar lokal, regional, nasional, dan internasional (angkutan sungai, jaringan jalan); Didukung oleh ketersediaan tenaga kerja; Didukung oleh prasarana irigasi/sumber air; Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan permukiman pedesaan; 8

4 Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan industri pengolahan hasil pertanian; Radius pelayanan jaringan jalan regional dan lokal; Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan kegiatan perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. 3) Kawasan Pertambangan Kawasan pertambangan terdiri dari : Kawasan pertambangan terbuka (surface mining) : kawasan pertambangan dimana semua kegiatan penggaliannya dilakukan di tempat terbuka, langsung berhubungan dengan udara luar. Kawasan pertambangan bawah tanah (underground mining) : kawasan pertambangan dimana kegiatan penggaliannya dilakukan di bawah tanah dengan menggunakan sistem tambang bawah tanah. Kriteria ruang : Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat pengolahan hasil pertanian seperti kawasan industri dan kawasan peternakan; Memiliki akses terhadap pasar lokal, regional, nasional dan internasional (pelabuhan laut, angkutan sungai, jalan raya, kereta api); Didukung oleh ketersediaan tenaga kerja; Di luar wilayah permukiman penduduk dan hutan lindung minimal jarak 3 20 km dengan batas yang jelas, dapat dipisahkan oleh hutan dan atau perkebunan; Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas sumberdaya air seperti sungai, mata air, air tanah, waduk dan udara. 4) Kawasan Industri Kawasan industri terdiri dari : Kawasan industri yang mendekati bahan baku : industri kimia dasar (ammonia, semen, clinker, kaca, pulp dan kertas, industri organik dan anorganik), industri mesin dan logam dasar (besi baja, aluminimum, tembaga, timah, kereta api, pesawat terbang, kapal, alat-alat berat lainnya). 9

5 Kawasan industri yang mendekati pasar : industri aneka pangan, industri aneka tekstil dan kimia, industri aneka alat listrik dan logam, industri aneka bahan bangunan dan umum Kriteria ruang : Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat produksi seperti kawasan pertanian, pertambangan, perikanan, peternakan; Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan pasar lokal, regional, nasional, dan internasional (pelabuhan laut, terminal kargo, angkutan sungai, bandar udara, jalan raya, kereta api); Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan konsumen dan bahan baku; Memiliki akses yang tinggi dengan jaringan jalan regional atau sekitar jalan regional untuk menampung angkutan berat (klasifikasi Jalan Kelas A ton; Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan ketersediaan tenaga kerja; Di luar wilayah permukiman penduduk/permukiman perkotaan dan hutan lindung minimal jarak 3 20 km dengan batas yang jelas, dapat dipisahkan oleh hutan dan atau perkebunan; Antara kawasan industri dengan kawasan perumahan perlu dikembangkan suatu kawasan penyangga (buffer zone); Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas sumberdaya air (sungai, mata air, air tanah, waduk dam udara). 5) Kawasan Pariwisata Kawasan pariwisata terdiri dari : Kawasan wisata alam : lebih menonjolkan panorama alam, dilengkapi dengan jasa pelayanan makan, minum, akomodasi. Wisata alam dibagi lagi menjadi dua yaitu wisata pegunungan dan wisata bahari. Kawasan wisata buatan : terdiri dari wisata sejarah dan budaya, dan taman rekreasi. 10

6 Kriteria ruang : Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat produksi seperti kawasan pertanian, perikanan dan perkebunan; Memiliki akses terhadap pasar lokal, retgional, nasional, dan internasional (pelabuhan laut, terminal kargo, angkutan sungai, bandar udara, jalan raya, kereta api); Didukung oleh ketersediaan tenaga kerja; Jauh dari kegiatan yang memproduksi polusi tinggi (industri, tambang, TPA, pasar ternak/ikan); Didukung oleh prasarana dan sarana penunjang serta pelengkapnya (pasar/kios hasil kerajinan, akomodasi, energi listrik, telepon, air bersih, persampahan, sanitasim jaringan jalan); Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan kawasan industri kecil/handycraft, pusat budaya masyarakat/kesenian, bangunan pertunjukan. 6) Kawasan Permukiman Kawasan permukiman dibagi dua : Kawasan permukiman perkotaan : ruang yang diperuntukkan bagi pengelompokan permukiman penduduk dengan dominasi kegiatan non pertanian (pemerintahan, perdagangan, dan jasa lainnya) untuk menampung penduduk pada saat sekarang maupun perkembangannya di masa yang akan datang. Kawasan permukiman perdesaan : ruang yang diperuntukkan bagi pengelompokan permukiman penduduk yang terikat dengan pola lingkungan pedesaan, dominasi kegiatan usahanya di bidang pertanian dan sarana serta prasarana pertanian. Kriteria ruang kawasan permukiman secara umum : Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat produksi seperti kawasan pertanian, pertambangan, perikanan, peternakan, kehutanan, dsb; Memiliki aksesibilitas cukup baik terhadap wilayah sekitarnya (adanya jalan raya, jalan kereta api, angkutan umum, angkutan sungai); 11

7 Didukung oleh ketersediaan prasarana dan sarana penunjang seperti rumah sakit, sekolah, pasar, fasilitas sosial dan fasilitas umum, dsb; Tidak meinmbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya air; Berada di luar kawasan yang berfungsi lindung. Kriteria ruang kawasan permukiman perkotaan : Memiliki kawasan perumahan dengan kepadatan bangunan rendah sampai tinggi (rumah susun), tipe rumah mewah sampai sederhana, kavling besar sampai kecil; Memiliki aksesibilitas yang lengkap (jaringan sistem primer, tol, sekunder, dan lokal), dengan sistem pelayanan angkutan jalan raya, jalan rel, angkutan udara dan angkutan sungai); Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan prasaran dan sarana penunjang seperti rumah sakit, sekolah sampai perguruan tinggi, perdagangan dan jasa, pelabuhan udara, pelabuhan laut, kargo, terminal, parkir, jaringan utilitas yang baik, serta fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya sesuai dengan jumlah penduduk dan hirarki kota (metropolitan, besar, menengah, kecil); Antar kawasan dihubungkan oleh aksesibilitas yang baik, sesuai dengan fungsi pelayanan kegiatannya; Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya air; Berada di luar kawasan yang berfungsi lindung. Kriteria ruang kawasan permukiman pedesaan : Memiliki kawasan perumahan dengan kepadatan bangunan rendah sampai sedang, tipe rumah relatif homogen, kavling besar sampai sedang; Memiliki aksesibilitas cukup baik (sekunder dan lokal), dengan sistem pelayanan angkutan jalan raya, dan angkutan sungai/danau/laut; Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan prasaran dan sarana penunjang seperti puskesmas, sekolah, perdagangan tradisional, terminal, tambatan perahu/perahu motor, Balai Desa, industri 12

8 penggilingan padi, kios/depot/koperasi/bpr, pasar pelelangan hasil bumi, industri es, tempat pengeringan, perbengkelan, jaringan utilitas, serta fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya yang diatur menurut jumlah penduduk dan perkembangan wilayahnya; Antar kawasan dihubungkan oleh aksesibilitas yang baik (jalan desa/lingkungan/setapak, angkutan pedesaan); Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya air; Berada di luar kawasan yang berfungsi lindung. 7) Kawasan Budidaya Lainnya a. Kawasan Hutan Kota Pembagian Kawasan Hutan Kota adalah sebagai berikut : Jalur Hijau, Taman Kota, Kebun dan Halaman, Kebun Raya, Hutan Raya, dan Kebun Binatang, Hutan Lindung, Kuburan dan Taman Makam Pahlawan. Kriteria ruang kawasan hutan kota : Berfungsi sebagai kawasan lindung; Diarahkan pada lokasi yang memiliki tingkat polusi tinggi, dan atau pinggiran kota, bantaran sungai/laut. b. Kawasan Hutan Rakyat Kawasan hutan rakyat mempunyai fungsi hidrologis/pelestarian ekosistem, luas penutupan tajuk minimal 50 persen dan merupakan tanaman cepat tumbuh dengan luas minimal 0,25 hektar. Kriteria ruang kawasan hutan rakyat : Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat pengolahan hasil hutan seperti kawasan industri; Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan pasar lokal, regional, nasional, dan internasional (pelabuhan laut, angkutan sungai, jalan raya, kereta api); Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan ketersediaan tenaga kerja; Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas sumberdaya lingkungan dan sumberdaya air (sungai, mata air, air tanah). 13

9 Sehubungan dengan tuntutan kualitas, eksistensi sebuah kota yang baik secara ideal dapat diukur melalui beberapa persyaratan mendasar. Adapun persyaratan tersebut meliputi (H. Frey 1999, diacu dalam Martokusumo 2006): 1. Pada tingkatan dasar, kota yang baik mampu mewadahi kebutuhan fisik warganya, tempat untuk tinggal dan tempat untuk bekerja, membuka peluang untuk mendapatkan nafkah/penghasilan, pendidikan, transportasi, dan kemungkinan untuk berkomunikasi serta akses kepada berbagai jasa pelayanan dan fasilitas. 2. Sebuah kota yang baik harus menjamin keamanan, keamanan dan perlindungan, pengaturan secara visual dan fungsi serta kontrol terhadap lingkungan yang bebas polusi, kebisingan, kecelakaan dan kejahatan. 3. Selain itu, sebuah kota yang baik harus mampu memberikan dan menciptakan suatu lingkungan sosial yang kondusif. Menjadi sebuah tempat tumbuh berkembangnya sebuah keluarga, memunkinkan individuindividu untuk menjadi bagian dari sebuah komunitas, serta menyuguhkan perasaan keterikatan kepada sebuah tempat dan daerah/kawasan. 4. Kota yang baik juga harus memiliki citra yang baik, reputasi yang bagus dan prestige. Hal ini memberikan warganya rasa percaya diri, kekuatan, status dan kejayaan. 5. Dalam tingkatan yang lebih tinggi sebuah kota yang baik memungkinkan warganya untuk bisa menjadi kreatif, membentuk lingkungan pribadinya dan mengekspresikan diri serta mengembangkan lingkungan komunitas sesuai dengan kebutuhan dan aspirasinya. Kota yang baik harus dirancang dengan baik, direncanakan dengan menyenangkan, secara fisik mudah dicitrakan dan kota yang baik merupakan tempat kebudayaan dan produk seni Standar pelayanan minimal. Berikut adalah Standar Pelayanan Minimal (SPM) kabupaten/kota yang dikeluarkan oleh dinas permukiman dan prasarana wilayah untuk bidang penataan ruang adalah : 14

10 Pelibatan masyarakat minimal 2 (dua) kali pada tahap proses penyusunan RTRW Kabupaten/ Kota meliputi penyusunan kebijakan dan penentuan pola dan struktur pemanfataan ruang; Setiap kecamatan memiliki papan informasi tata ruang wilayahnya berupa peta, papan pengumuman; Penyediaan akses yang mudah untuk mendapatkan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota. Standar Pelayanan Minimal dalam Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota adalah : Pelibatan masyarakat dalam penyusunan program dan anggaran sesuai dengan Rencana Tata Ruang dengan Bappeda/ Tim Penyusun Anggaran yang diberi kewenangan untuk itu; Penyediaan akses setiap saat untuk mendapatkan informasi bidang Penataan Ruang (Pemanfaatan Ruang). Standar Pelayanan Minimal dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut : Penyebaran informasi hasil pemantauan dan evaluasi kepada masyarakat minimal 2 (dua) kali dalam 1 tahun; Pemberian pelayanan kepada masyarakat atas setiap pengaduan yangberkaitan dengan pemanfaatan ruang; Di setiap Kantor Camat tersedia wadah/ unit kerja yang dapat menampung pengaduan masyarakat atas pelanggaran pemanfaatan ruang; Pemberian sanksi atas pelanggaran tata ruang; Penyediaan kotak saran dan melakukan komunikasi timbal balik dengan masyarakat melalui media yang tersedia. Informasi yang akan disampaikan harus memenuhi syarat : Informasi yang hendak disampaikan harus sesuai dengan materi kewenangan bidang penataan ruang; Informasi yang disampaikan harus memenuhi syarat-syarat, yaitu: a. Umum, yaitu berisikan hal-hal yang umum dipahami oleh masyarakat, bukan hal-hal yang dapat dipahami oleh sebagian atau sekelompok orang saja. 15

11 b. Jelas dan gamblang, yaitu informasi yang disampaikan tidak boleh memberikan banyak penafsiran. c. Bahasa yang jelas, yaitu informasi yang disampaikan hendaklah menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan mudah dipahami oleh masyarakat. Jangan menggunakan istilah-istilah yang tidak dipahami. d. Positif, yaitu informasi yang disampaikan dalam bentuk positif, simpatik dan menarik. e. Seimbang, yaitu informasi yang disampaikan tidak ekstrem dan mempertentangkan hal yang satu dengan yang lainnya. Informasi yang disampaikan harus informatif artinya bersifat memberikan keterangan atau fakta dan masyarakat mengambil kesimpulan atas informasi yang diberikan; Seluruh masyarakat mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi bidang penataan ruang; Seluruh masyarakat dapat memperoleh dengan mudah informasi bidang penataan ruang; Masyarakat dapat menyampaikan informasi bidang penataan ruang. Penyebaran Informasi Papan informasi Penataan Ruang harus disediakan disetiap halaman Kantor Camat. Dalam papan informasi dimaksud harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: Terbuat dari bahan kayu/ besi; Ukuran minimal 2 x 3 meter; Harus memuat informasi rencana struktur dan pola pemanfataan ruang dengan skala minimal 1 : (Kabupaten) dan 1 : (Kota) untuk kecamatan yang bersangkutan, legenda, alamat pengaduan, Nomor telepon/faxcimili yang dapat dihubungi. Peta dinding memuat peta rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kota dengan skala minimal 1 : (Kabupaten), 1 : (Kota) harus tersedia di setiap kantor Camat. 16

12 Penyebaran Hasil Pemantauan Dan Evaluasi Hasil pemantauan pemanfaatan ruang yang perlu diinformasikan kepada masyarakat adalah Penyimpangan Pemanfaatan Ruang yang disajikan dalam bentuk selebaran yang ditempatkan di setiap kantor camat. Penyimpangan pemanfaatan ruang : 1. Perubahan fungsi lahan Misal : peruntukkan lahan pertanian berubah menjadi lahan permukiman. 2. Perubahan fungsi kawasan Misal : Kawasan lindung menjadi kawasan budidaya. Mekanisme penyebaran informasi hasil pemantauan dan evaluasi dapat dilihat pada Gambar 2. DINAS KANTOR CAMAT KANTOR LURAH/ KADES MASYARAKAT Gambar 2. Mekanisme penyebaran informasi 2.2. Pemanfaatan Ruang/penggunaan lahan Menurut FAO Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda di atasnya sepanjang memiliki pengaruh terhadap penggunaan lahan, termasuk di dalamnya hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang (Arsyad 1989). Lahan memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi produksi dan wadah (misalnya tempat tinggal, produksi tanaman, penggembalaan), fungsi regulasi (misalnya siklus tanaman, keseimbangan air dan 17

13 tanah, proses asimilasi), dan fungsi informasi (ilmu pengetahuan, sejarah) (Graaff 1996, diacu dalam Savitri 2007). Penggunaan lahan adalah setiap campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhannya, baik material maupun spiritual (Vink 1975, diacu dalam Sitorus 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor kelembagaan. Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, kondisi pasar dan transportasi. Faktor kelembagaan dicirikan oleh hukum pertanahan, situasi politik, sosial ekonomi, dan secara administrasi dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan hidup (Barlowe 1986, diacu dalam Savitri 2007). Menurut UU 26/2007, Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukkan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukkan ruang untuk fungsi budidaya. Menurut Rustiadi (2004), tata ruang sebagai wujud pola dan struktur pemanfaatan ruang terbentuk secara alamiah dan merupakan wujud dari proses pembelajaran (learning process) yang terus menerus. Sebagai alat pendeskripsian, istilah pola spasial (ruang) erat dengan istilah-istilah kunci seperti pemusatan, penyebaran, pencampuran dan keterkaitan, posisi/lokasi, dan lain-lain. Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan aspek-aspek sebaran sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap jenis aktifitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda, dan tingkat penyebaran yang berbeda-beda pula (Rustiadi 2004). Menurut Rustiadi (2004), pola pemanfaatan ruang juga dicerminkan dengan gambaran pencampuran atau keterkaitan spasial antar sumberdaya dan pemanfaatannya. Kawasan perdesaan dicirikan dengan dominasi pencampuran antara aktifitas-aktifitas pertanian, penambangan, dan kawasan lindung. Sebaliknya, kawasan perkotaan dicirikan oleh pencampuran yang lebih rumit antara aktifitas jasa komersial dan permukiman. Adapun, kawasan sub urban di daerah perbatasan perkotaan dan perdesaan dicirikan dengan kompleks pencampuran antara aktifitas permukiman, industri dan pertanian. Peta penggunaan lahan (land use map) dan peta penutupan lahan (land cover map) 18

14 adalah bentuk deskriptif terbaik dalam menggambarkan pola pemanfaatan ruang yang ada. Bagi seorang perencana, pengetahuan mengenai penggunaan lahan dan penutupan lahan sangatlah penting dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang memperhatikan aspek lingkungan. Penggunaan lahan (land use) dan penutup lahan (land cover) merupakan dua istilah yang sering diberi pengertian sama, padahal keduanya mempunyai pengertian berbeda. Menurut Lillesand dan Kiefer (1987), penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia pada obyek tersebut, dapat berupa konstruksi vegetasi maupun buatan. Pertambahan penduduk yang pesat dan pemenuhan kesejahteraan penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman, pertanian, industri, dan rekreasi. Keadaan tersebut menyebabkan perubahan penggunaan lahan yang sering tidak mengikuti kaidah konservasi alam (Mahmudi 2002). Perubahan penggunaan lahan, misalnya dari hutan menjadi permukiman atau industri akan mengurangi daya serap tanah terhadap air Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Pemanfaatan ruang pada dasarnya merupakan realisasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disusun. Namun demikian, kompleksitas permasalahan dalam proses perkembangan wilayah dapat mengakibatkan terjadinya pemanfaatan ruang yang menyimpang dari RTRW. Konsistensi dalam pemanfaatan ruang terlihat dari kesesuaian antara aktifitas penggunaan ruang dengan RTRW. Analisis konsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW bertujuan untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang yang telah dilakukan sesuai dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasar/pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang. Menurut Meyer dan Turner (1994), perubahan penggunaan lahan (land use change) meliputi pergeseran penggunaan lahan menuju penggunaan lahan yang berbeda (conversion) atau intensifikasi pada penggunaan yang telah ada 19

15 (modification). Menurut Rustiadi (2001), proses alih fungsi lahan dapat dipandang merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: (1) pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita; dan (2) adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer (sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktivitas sektorsektor sekunder (industri manufaktur dan jasa). Menurut Dardak (2006), upaya menciptakan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dirasakan masih menghadapi tantangan yang berat. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya permasalahan yang mencerminkan bahwa kualitas ruang kehidupan kita masih jauh dari cita-cita tersebut. Permasalahan tersebut antara lain adalah semakin meningkatnya frekuensi dan cakupan bencana, lingkungan perumahan kumuh dan kemacetan lalu lintas terutama di kawasan perkotaan besar dan metropolitan, semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup di kawasan perkotaan akibat penurunan luas ruang terbuka hijau, pencemaran lingkungan, dan sebagainya. Meningkatnya kebutuhan akan lahan akibat bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan terjadinya tumpang tindih kepentingan terhadap sebidang lahan. Hal ini jika dibiarkan dapat mengarah pada pola sebaran kegiatan yang secara ekonomi paling menguntungkan, namun belum tentu menguntungkan atau bahkan merugikan dari segi lingkungan (Wiradisastra 1989). Penggunaan lahan secara umum dipengaruhi oleh dua faktor utama : (1) alami dan (2) manusia. Faktor alami meliputi iklim, topografi, tanah dan bencana alam, sedangkan faktor manusia merupakan aktifitas manusia pada sebidang lahan. Faktor manusia lebih dominan berpengaruh dibandingkan dengan faktor alam karena sebagian besar perubahan penggunaan lahan disebabkan oleh aktifitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya dari sebidang lahan tertentu (Vink 1965, diacu dalam Sudadi et al. 1991). Menurut Meyer dan Turner (1994), faktor manusia dapat dibagi menjadi manusia yang melakukan aktifitas pada 20

16 lahannya dan pemerintah yang menyusun tata ruang atau arahan rencana penggunaan lahan suatu wilayah. Faktor lain yang menjadi penentu konversi lahan adalah nilai lahan yang diukur dalam produktifitas lahan dan jarak yang mencerminkan lokasi suatu lahan dan aksesibilitas. Di Indonesia, salah satu masalah pokok dalam usaha penataan penggunaan lahan dan lingkungan hidup antara lain adalah adanya kontradiksi antara kebutuhan yang menjadi pemakai yang lebih luas di satu pihak dan batasanbatasan yang berat demi lingkungan hidup (Sandy 1980, diacu dalam Sitorus 2004). Penyimpangan penggunaan lahan yang terkait dari aspek masyarakat sangat dipengaruhi oleh persepsi dan pengetahuan masyarakat itu sendiri Persepsi Dyah (1983) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu pandangan, pengertian dan interpretasi seseorang mengenai suatu objek yang diinformasikan kepadanya dengan cara mempertimbangkan hal tersebut dengan diri dan lingkungannya. Persepsi merupakan proses kognitif yang bisa terjadi pada setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya yang dapat diperoleh melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, maupun penciuman (Thoha 1983). Karakteristik seseorang ikut mempengaruhi persepsinya dan persepsi tersebut akan mempengaruhi tindakan atau perilakunya (Roger dan Shoemaker 1971, diacu dalam Yusri 1999). Persepsi adalah pengamatan, pengertian, dan penilaian seseorang terhadap rangsangan objek atau informasi yang disampaikan kepada orang tersebut (Yusri 1999). Terdapat tiga komponen persepsi yang mempengaruhi pandangan seseorang terhadap suatu obyek yaitu, komponen kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif berisi ide, anggapan, pengetahuan dan pengetahuan seseorang terhadap obyek berdasarkan pengalaman langsung yang dihubungkan dengan sumber informasi. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki seseorang akan menghasilkan keyakinan (belief) evaluatif terhadap obyek tertentu. Komponen afektif menekankan pada perasaan atau emosi, dengan demikian merupakan evaluasi emosional dalam menilai obyek tertentu. Sedangkan komponen konatif 21

17 menekankan pada kecenderungan (tendency) dan perilaku aktual seseorang untuk melakukan tindakan sesuai dengan yang dipersepsikan. Menurut Asngari (1984), menyatakan bahwa persepsi individu terhadap lingkungan merupakan faktor penting karena akan berlanjut dalam menentukan tindakan individu tersebut. Persepsi dapat dibentuk melalui faktor hereditas (keturunan/bawaan) dan lingkungan (Thorndike 1968, diacu dalam Erwina 2005). Kedua faktor ini saling mempengaruhi dan saling berinteraksi dalam membentuk persepsi. Faktor hereditas antara lain adalah bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, dan tanggapan yang dibawa sejak lahir. Adapun faktor lingkungan adalah faktor yang berada di luar individu, misalnya pendidikan, lingkungan sosial dan status sosial. Penyimpangan dalam pemanfaatan ruang yang sebagian disebabkan oleh masyarakat dapat diolah dalam sistem informasi untuk keperluan analisis Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasiinformasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Menurut Aronoff, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dalam menganalisis data yang bereferensi geografis, yaitu masukan, keluaran, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data) serta analisis dan manipulasi data (Prahasta 2005). SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu dengan SIG pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data yang menjadi miliknya sendiri kedalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta 2005). 22

18 Teknologi SIG akan mempermudah para perencana dalam mengakses data, menampilkan informasi-informasi geografis terkait dengan substansi perencanaan dan meningkatkan keahlian para perencana serta masyarakat dalam menggunakan sistem informasi spasial melalui komputer. SIG dapat membantu para perencana dan pengambil keputusan dalam memecahkan masalah-masalah spasial yang sangat kompleks. Dalam penelitian ini, penggunaan SIG lebih diprioritaskan pada fungsinya untuk melakukan teknik tumpang tindih (overlay) dari beberapa peta yang digunakan. Jika pengolahan data dilakukan secara manual, pengguna harus bekerja dengan beberapa peta analog dan beberapa informasi atribut yang diperlukan. Selanjutnya pengguna dapat menganalisis kedua data tersebut (peta dan data atribut) untuk kemudian memplotkan hasil akhirnya kedalam peta. Untuk tumpang tindih (overlay) peta juga dapat dilakukan hal yang sama. Beberapa kelemahan dari proses tersebut adalah selain membutuhkan waktu yang relatif lama, tingkat ketelitian dan akurasinya sangat bergantung pada kemampuan dan ketelitian penggunanya dalam melakukan proses olah data tersebut. Dengan teknologi SIG, pengguna memerlukan data spasial dan atribut dalam bentuk digital, sehingga prosesnya dapat dilakukan dengan cepat dengan tingkat ketelitian cukup baik dan prosesnya dapat diulang kapan saja, oleh siapa saja, dan hasilnya dapat disajikan dalam berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna. 23

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI I. UMUM Di dalam undang-undang no 26 Tahun 2007 tentang penataan Ruang, dijelaskan

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

ANALISIS KONSISTENSI POLA PEMANFAATAN RUANG DENGAN RENCANA TATA RUANG (Studi Kasus Kota Palu)

ANALISIS KONSISTENSI POLA PEMANFAATAN RUANG DENGAN RENCANA TATA RUANG (Studi Kasus Kota Palu) ANALISIS KONSISTENSI POLA PEMANFAATAN RUANG DENGAN RENCANA TATA RUANG (Studi Kasus Kota Palu) OLEH: SUCI RACHMAWATY A253050231 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 1 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

HIRARKI IV ZONASI. sub zona suaka dan pelestarian alam L.1. sub zona sempadan lindung L.2. sub zona inti konservasi pulau L.3

HIRARKI IV ZONASI. sub zona suaka dan pelestarian alam L.1. sub zona sempadan lindung L.2. sub zona inti konservasi pulau L.3 LAMPIRAN VI : PERATURAN DAERAH DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN TABEL-2 KLASIFIKASI ZONA DAN SUB ZONA HIRARKI I fungsi lindung adm fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB 5 RTRW KABUPATEN

BAB 5 RTRW KABUPATEN BAB 5 RTRW KABUPATEN Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten terdiri dari: 1. Rencana Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang; 2. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung dan Budidaya; 3. Rencana Pengelolaan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-1A. Perubahan Luas Wilayah Menurut Penggunaan lahan Utama Tahun 2009 2011... 2 Tabel SD-1B. Topografi Kota Surabaya...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA BANJARMASIN 2013-2032 APA ITU RTRW...? Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan Pola Ruang Wilayah Kota DEFINISI : Ruang : wadah yg meliputi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL, PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN Bab ini menjelaskan aspek-aspek yang dianalisis dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten dan data (time-series) serta peta

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tam

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tam BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1408, 2017 KEMEN-ATR/BPN. Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR: TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR: TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT Versi 23 Mei 2017 PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR: TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Lahan sebagai ruang untuk tempat tinggal manusia dan sebagian orang memanfaatkan lahan sebagai

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan secara tepat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA

BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA DAFTAR TABEL Daftar Tabel... i BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA A. LAHAN DAN HUTAN Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan. l 1 Tabel SD-1A. Perubahan Luas Wilayah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Perkembangan Kota Branch (1996), mengatakan bahwa perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor

Lebih terperinci

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah 2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah Permasalahan pembangunan daerah merupakan gap expectation antara kinerja pembangunan yang dicapai saat inidengan yang direncanakan serta antara apa yang ingin dicapai

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang Menurut UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Pemanfaatan ruang di dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kota

TINJAUAN PUSTAKA Kota TINJAUAN PUSTAKA 10 Kota What is a city but its people. Itulah kata bijak William Shakespeare mengenai gambaran sebuah kota. Sebuah kota sudah tentu merupakan gambaran orang-orang yang berdomisili di dalamnya.

Lebih terperinci

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN Visi dan misi merupakan gambaran apa yang ingin dicapai Kota Surabaya pada akhir periode kepemimpinan walikota dan wakil walikota terpilih, yaitu: V.1

Lebih terperinci

Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur

Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur Oleh : Hadi Prasetyo (Kepala Bappeda Provinsi Jawa Timur) I. Pendahuluan Penataan Ruang sebagai suatu sistem

Lebih terperinci

Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun

Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun MINGGU 4 Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun Lingkungan Alamiah Dan Buatan Manusia Para dipahami

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991);

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991); RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR : 1 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 mengalami

Lebih terperinci

2. 1 Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai

2. 1 Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai BAB 2 TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG 2. 1 Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten Serdang Bedagai pada prinsipnya merupakan sarana/alat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 08 Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Tata Ruang Tujuan Sosialisasi Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik ik & Lingkungan,

Lebih terperinci

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. Tentang PEDOMAN PEMANTAUAN DAN EVALUASI PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KOTA BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. Tentang PEDOMAN PEMANTAUAN DAN EVALUASI PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KOTA BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: / / Tentang PEDOMAN PEMANTAUAN DAN EVALUASI PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KOTA BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementrian Pekerjaan

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.71, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Bandar Udara. Pembangunan. Pelestarian. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5295) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENINJAUAN

Lebih terperinci

II PENATAAN TAMAN KOTA DALAM KONTEKS RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA KUPANG

II PENATAAN TAMAN KOTA DALAM KONTEKS RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA KUPANG II PENATAAN TAMAN KOTA DALAM KONTEKS RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA KUPANG A. Penataan Taman Kota Dalam Konteks Ruang Terbuka Hijau Pembangunan perkotaan, merupakan bagian dari pembangunan nasional, harus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Menurut Rustiadi et al. (2009) ruang terdiri dari lahan dan atmosfer. Lahan dapat dibedakan lagi menjadi tanah dan tata air. Ruang merupakan bagian dari alam yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1 DAFTAR ISI A. SUMBER DAYA ALAM Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1 Tabel SD-3 Luas Kawasan Lindung berdasarkan RTRW dan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN KAWASAN NELAYAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT, Menimbang

Lebih terperinci

Daftar Tabel. halaman. Bab I Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya A. Lahan dan Hutan

Daftar Tabel. halaman. Bab I Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya A. Lahan dan Hutan Daftar Tabel Bab I Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya A. Lahan dan Hutan halaman Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan... I - 1 Tabel SD-2. Luas Kawasan Hutan Menurut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka landasan administrasi dan keuangan diarahkan untuk mengembangkan otonomi

Lebih terperinci

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW 09-1303) RUANG TERBUKA HIJAU 7 Oleh Dr.Ir.Rimadewi S,MIP J P Wil h d K t Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS KATA PENGANTAR Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 11 ayat (2), mengamanatkan pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayah kabupaten

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola pemanfaatan ruang pada kawasan perkotaan dicirikan dengan campuran yang rumit antara aktivitas jasa komersial dan permukiman (Rustiadi et al., 2009). Hal ini sejalan

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2011 2031 I. UMUM Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas yang meliputi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi di bidang transportasi sangat membantu manusia dalam menghemat waktu perjalanan yang tadinya berlangsung sangat lama menjadi lebih cepat. Teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA DI WILAYAH KABUPATEN BANDUNG DAN KABUPATEN BANDUNG

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN UMUM

BAB II KETENTUAN UMUM BAB II KETENTUAN UMUM 2.1. Pengertian Umum Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N Latar Belakang RTRW Kabupaten Serdang Bedagai

BAB I P E N D A H U L U A N Latar Belakang RTRW Kabupaten Serdang Bedagai BAB I P E N D A H U L U A N Bab I atau Pendahuluan ini secara garis besar berisikan latar belakang isi buku rencana selain itu dalam sub bab lainnya berisikan pengertian RTRW, Ruang Lingkup Materi Perencanaan,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1490, 2014 KEMENPERA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Daerah. Pembangunan. Pengembangan. Rencana. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Kota Bekasi Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa.

Lebih terperinci

Bab II. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Tinjauan Penataan Ruang Nasional

Bab II. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Tinjauan Penataan Ruang Nasional Bab II Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG 2.1.1 Tinjauan Penataan Ruang Nasional Tujuan Umum Penataan Ruang; sesuai dengan amanah UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 tujuan penataan

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin 2.1 Tujuan Penataan Ruang Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten merupakan arahan perwujudan ruang wilayah kabupaten yang ingin dicapai pada masa yang akan datang (20 tahun). Dengan mempertimbangkan visi

Lebih terperinci

Daftar Tabel. Kualitas Air Rawa... I 28 Tabel SD-15. Kualitas Air Sumur... I 29

Daftar Tabel. Kualitas Air Rawa... I 28 Tabel SD-15. Kualitas Air Sumur... I 29 Daftar Tabel Bab I Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya A. Lahan dan Hutan Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan... I - 1 Tabel SD-2. Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA)

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Menimbang : PP 47/1997, RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 47 TAHUN 1997 (47/1997) Tanggal: 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5883 KESRA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Penyelenggaraan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 101). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. No.42, 2008 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 11/PERMEN/M/2008 TENTANG PEDOMAN KESERASIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Aplikasi teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis semakin meluas sejak dikembangkan di era tahun 1960-an. Sejak itu teknologi penginderaan jauh dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN I. UMUM Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan perlunya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah sudah dilaksanakan sejak tahun 2001. Keadaan ini telah memberi kesadaran baru bagi kalangan pemerintah maupun masyarakat, bahwa pelaksanaan otonomi tidak bisa

Lebih terperinci

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas.

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 0000 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA I. UMUM Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81/Permentan/OT.140/8/2013 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuasin Tahun 2012 2032merupakan suatu rencana yang disusun sebagai arahan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Banyuasin untuk periode jangka panjang 20

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 2015 dan Perda No 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN Lampiran VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR TAHUN 2011 LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2011 2031 MATRIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

WALIKOTA MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI

WALIKOTA MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI WALIKOTA MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI BAGIAN WILAYAH PERKOTAAN MALANG TENGAH TAHUN 2016-2036 DENGAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2011-2031 I. UMUM Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci