JURNAL KOORDINASI PENYIDIK POLRI DAN PENUNTUT UMUM DALAM PENGENDALIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI KLATEN.

dokumen-dokumen yang mirip
SKRIPSI KOORDINASI PENYIDIK POLRI DAN PENUNTUT UMUM DALAM PENGENDALIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI KLATEN

BAB III PENUTUP. di wilayah hukum pengadilan Negeri Klaten sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

KAJIAN NORMATIF TERHADAP DUALISME KEWENANGAN PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN KPK

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

Keywords: Financial loss of countries, corruption, acquittal, policy, prosecutor

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEWENANGAN PENYIDIKAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

WEWENANG KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI POLDA BALI

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

NASKAH AKADEMIK PELAKSANAAN PERKAP NO. 14 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DALAM PROSES PENYIDIKAN PERKARA PIDANA

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI KOORDINASI ANTARA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN BADAN PENYIDIK HUKUM LAIN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PERANAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TRAFICKING)

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. banyaknya persoalan-persoalan yang mempengaruhinya. Salah satu persoalan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENYIDIKAN TERHADAP PEJABAT PEMERINTAH DAERAH DI KABUPATEN SLEMAN YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH POLDA DIY

KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

PELAKSANAAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN NEGERI SIMPANG EMPAT PASAMAN BARAT

Oleh : Putu Kartika Sastra Gde Made Swardhana Ida Bagus Surya Darmajaya. Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki

PEMECAHAN PERKARA (SPLITSING) DALAM PRA PENUNTUTAN

BAB I PENDAHULUAN. waktu pembangunan dewasa ini. Korupsi di Indonesia sudah merupakan wabah

Modul ke: ETIK UMB. Mengenali Tindakan Korupsi. Fakultas Ilmu Komputer. Yani Pratomo, S.S, M.Si. Program Studi. Sistem Informasi.

STUDI KASUS KORUPSI DI INDONESIA

TUMPANG TINDIH KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Oleh : Sulistyo Utomo, SH* *

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

PERANAN KEJAKSAAN NEGERI PURWOKERTO DALAM PROSES PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI PURWOKERTO

KOORDINASI KEJAKSAAN DENGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Eksistensi KPK Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Oleh Bintara Sura Priambada, S.Sos., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

KEDUDUKAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SIKAP KEJAKSAAN ATAS PELIMPAHAN BERKAS PERKARA OLEH PENYIDIK

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

KEPUTUSAN BERSAMA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAN KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruption yang artinya

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PRAPENUNTUTAN

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TELAAH NORMATIF PASAL 138 AYAT (2) KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA TENTANG PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA DARI PENUNTUT UMUM KEPADA PENYIDIK

PERAN KEJAKSAAN DAN KEPOLISIAN DALAM KORDINASI MELENGKAPI BERITA ACARA PEMERIKSAAN PADA TAHAP PRA-PENUNTUTAN

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, DAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI KOMISI NEGARA DALAM PENYIDIKAN ANAK AGUNG PUTU WIWIK SUGIANTARI

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan

JURNAL IMPLEMENTASI PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Etik UMB KORUPSI DAN PENYEBABNYA. Dr. Saepudin S.Ag. M.Si. M.Pd. Modul ke: Fakultas FEB. Program Studi Manajemen

Advokasi Dan Pendampingan Terhadap Pelanggaran Hukum Dalam Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan 1 Oleh: RB Sularto

RIFA MUFLIHAH C

URGENSI PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H

BENTURAN KEWENANGAN POLRI DAN KPK SEBAGAI PENYIDIK DALAM KASUS SIMULATOR SIM (Kajian Yuridis Penyelesaian Melalui Memorandum of Understanding)

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

PERANAN KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istilah yang sering dipakai dalam bidang filsafat dan psikologi.(ensiklopedia

PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN (Studi di Kepolisian Sektor Mrebet Purbalingga) SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. tua. Bahkan korupsi dianggap hampir sama kemunculanya dengan masalah

SINKRONISASI REGULASI PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI. Mega Amanda, Risma Rizky Fajar, Adnan Bhisma Rizaldi.

IMPLEMENTASI PERADILAN KONEKSITAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No. 2478/Pid.B/Kon/2006/PN.Jak.

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan permasalahan yang muncul sejak berdirinya

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLE BLOWER DALAM PERSIDANGAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

JURNAL HUKUM TANGGUNG JAWAB PENYIDIK POLRI TERHADAP PENGGELAPAN BARANG BUKTI DI POLDA DIY

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah

BAB III PENUTUP. pada bab-bab sebelumnya maka dapat dijabarkan kesimpulan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

BAB II IDENTIFIKASI DATA

LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPATKOMISI III DPR RI DENGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia di sisi lain dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi

BAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan

WEWENANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI MELAKUKAN. PENUNTUTAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (studi di

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

BAHAN KULIAH SISTEM HUKUM INDONESIA MATCH DAY 13 PENEGAKAN HUKUM (BAGIAN 2)

Transkripsi:

JURNAL KOORDINASI PENYIDIK POLRI DAN PENUNTUT UMUM DALAM PENGENDALIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI KLATEN Diajukan Oleh : EPHRAEM DEMOS PRIBADI NPM : 100510279 Program Studi Program Kekhususan : Ilmu Hukum : Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 2015

I. Judul : Koordinasi Penyidik Polri dan Penuntut Umum Dalam Pengendalian Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Klaten II. Nama : Ephraem Demos Pribadi, G. Aryadi, SH., M.H III. Program Studi : Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta IV. Abstract The title of this thesis is "Coordinating Investigator Police and the Public Prosecutor in the control of corruption in Klaten District Court jurisdiction". With the formulation of the problem as follows: How to coordinate national police investigators and prosecutors in the control of corruption in the jurisdiction of the District Court of Klaten and whether obstacles in coordinating national police investigators and prosecutors in the control of corruption in the jurisdiction of the District Court of Klaten. This research is a normative legal research studies that focus on the provisions of the applicable legislation. Source of data in this study consisted of secondary data and primary data. Corruption regulated in Law No. 31 of 1999 in conjunction with Law No. 20 Year 2001 on Corruption Eradication. The conclusion that the investigating police and the public prosecutor in conducting the control of corruption to coordinate start of the investigation by the investigators reported the results of investigations to the Attorney to circulate Notice of commencement of Investigation (SPDP), then if the investigation is completed Investigators give the case file to the Attorney as Public Prosecutor to make the indictment which was then immediately transferred to the Court. Investigators and prosecutors are expected always to coordinate more fully because corruption is a crime that is difficult pembuktiaannya. In addition, a National Police investigators and prosecutors who become designated as a public prosecutor must be a really expert in corruption cases as evidence in cases of corruption is difficult. Limitations tool to examine the evidence also become one of the obstacles in the completion of corruption. Keywords: Investigator Police, Prosecution, Corruption

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan dengan proses penegakkan hukum antara lain adalah pengendalian dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam fenomena ini pemerintah terus menjadikan pengendalian dan pemberantasan korupsi menjadi agenda utama dalam kegiatannya. Penetapan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang paling utama harus dibarengi dengan langkah-langkah yang ekstra dalam upaya pemberantasan korupsi dengan sistem yang juga ekstra dan setiap lembaga dan elemen negara harus bergerak bersama dalam usaha pengendalian dan pemberantasan korupsi. Upaya dilakukan pemerintah dengan membentuk Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi permasalahan korupsi yang melanda Indonesia yang menyebabkan kelangsungan pembangunan nasional terhambat. Pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut juga mendorong pemerintah untuk membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membantu pengendalian dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. Sebelumnya peran penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi hanya ditangani oleh Polri dan Kejaksaan sama seperti halnya tindak pidana pada umumnya yang terjadi di masyarakat. Mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pejabat polisi negara Republik Indonesia

bertindak sebagai penyelidik dan penyidik perkara pidana (Pasal 4 jo Pasal 6 KUHAP). 1 Kejaksaan juga dianggap sebagai pengendali proses perkara dikarenakan hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan suatu kasus dapat dilimpahkan ke Pengadilan atau tidak, disamping itu Kejaksaan juga merupakan satu-satunya institusi pelaksana putusan pidana. 2 Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang berada di Pusat tidak memungkinkan bagi KPK untuk memeriksa dan menangani kasus tindak pidana Korupsi yang terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Oleh sebab itu perlu adanya peran serta lembaga negara yang berkedudukan di daerah seperti Kepolisian dan Kejaksaan untuk bersama-sama dan saling berkoordinasi untuk melakukan pengendalian tindak pidana korupsi. Maka dari itu saya membuat sebuah judul penelitian hukum yaitu KOORDINASI PENYIDIK POLRI DAN PENUNTUT UMUM DALAM PENGENDALIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI KLATEN B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana koordinasi antara Penyidik Polri dan Penuntut Umum dalam rangka pengendalian Tindak Pidana Korupsi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Klaten? 1 Solahuddin,SH,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum acara pidana,visimedia,jakarta,2007,hlm 192 2 Marwan Effendi,SH, Posisi dan Fungsi Kejaksaan RI dari Perspektif Hukum,Gramedia,Jakarta,hlm 55

2. Apakah hambatan yang terjadi dalam koordinasi antara Penyidik Polri dan Penuntut Umum dalam rangka pengendalian Tindak Pidana Korupsi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Klaten? C. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah jenis penelitian hokum normatif yang berfokus pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini merupakan usaha untuk menemukan apakah hukum yang diterapkan sesuai untuk menyesuaikan perkara atau masalah tertentu. Penelitian normatif ini memerlukan sumber data sekunder sebagai sumber data utama dan data primer sebagai penunjang. Serta di dukung dengan Wawancara yaitu mengajukan pertanyaan kepada narasumber tentang objek yang akan diteliti berdasarkan pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. BAB II : KOORDINASI PENYIDIK POLRI DAN PENUNTUT UMUM DALAM PENGENDALIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI KLATEN A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa Latin : corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar-balik, menyogok. Robert Klitgaard mendefinisikan korupsi sebagai "tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau untuk melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi". Kemudian secara singkat Komberly Ann Elliott menyajikan definisi korupsi, yaitu "menyalahgunakan jabatan pemerintahan untuk keuntungan pribadi". 3 Tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi yang berisi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 2. Jenis Tindak Pidana Korupsi Tindak Pidana Korupsi dikelompokkan sebagai berikut : 1. Korupsi yang terkait dengan kerugian negara. 2. Korupsi yang terkait dengan suap menyuap. 3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan. 4. Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan 3 http://sidesisetiowati.blogspot.com/

5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang 6.Korupsi yang terkait dengan bentukan kepentingan dalam pengadaan. 7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi. Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu : 1. Korupsi Aktif 2. Korupsi Pasif 3. Sebab dan Akibat Tindak Pidana Korupsi Penyebab Terjadinya Korupsi di Indonesia antara lain sebagai berikut: 4 1. Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezimrezim yang bukan demokratik. 2. Gaji yang masih rendah, kurang sempurnanya peraturan perundangundangan, administrasi yang lamban dan sebagainya. 3. Sikap mental para pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang haram, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. 4. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah 4 http://faturohmanalbantani.blogspot.com/2011/01/ciri-ciri-korupsi-sebab-dan-akibat.html

5. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal. Sedangkan akibat dan dampak dari korupsi itu sendiri yaitu dampak terhadap demokrasi, dampak terhadap perekonomian dan dampak terhadap kesejahteraan umum negara. B. Tinjauan Tentang Penyidik dan Penuntut Umum 1. Pengertian Penyidik Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan. Hal ini diatur seperti yang tertulis dalam UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut, pejabat polisi negara RI bertindak sebagai penyelidik dan penyidik perkara pidana (Pasal 4 jo Pasal 6 KUHAP). 5 2. Tugas dan wewenang Penyidik Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan. Adapun tugas pokok Polri sebagai berikut 6 : 1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. menegakan hukum, dan 5 Solahudin, Op.Cit. 6 Awaloedin Djamin, Jenderal Pol (P), Prof. Dr. MPA, Kedudukan KPK Dalam Sistem Ketatanegaraan : Dulu, Kini dan Esok, PTIK Press, Jakarta, 2007.

3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 3. Kejaksaan sebagai Lembaga Penuntut Umum Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang Undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. 4. Tugas dan wewenang Kejaksaan sebagai Lembaga Penuntut Umum Tugas dan wewenang jaksa Menurut Undang-undang Kejaksaan No. 16 tahun 2004 : Dalam Pasal 30 1. Dibidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a) Melakukan penuntutan; b) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d) Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 5. Penyidik dan Penuntut Umum dalam Tindak Pidana Korupsi Dalam pasal 30 ayat (1) huruf D UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan disebutkan bahwa Kejaksaan berwenang sebagai penyidik dalam pidana tertentu. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa Korupsi merupakan tindak pidana tertentu yang disebut sebagai tindak pidana khusus. Dengan bunyi pasal 30 ayat (1) huruf D tersebut maka secara formil yuridis Kejaksaan mempunyai wewenang sebagai penyidik dalam Tindak pidana korupsi. Di dalam Tindak Pidana Korupsi di samping Polri dan Kejaksaan yang berwenang untuk melakukan penyidikan ada lemabaga baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. C. Koordinasi Penyidik Polri dan Penuntut Umum dalam Pengendalian Tindak Pidana Korupsi di wilayah Hukum Pengadilan Negeri Klaten Koordinasi antara Penyidik Polri dan Penuntut Umum biasanya dilakukan dengan cara bertemu langsung atau dengan surat menyurat guna

membahas proses penyidikan terkait dengan tindak pidana korupsi yang terjadi. Koordinasi seperti ini diperlukan agar dalam proses penyidikan dapat menemukan alat atau barang bukti yang diperlukan guna melengkapi berkas perkara penyidikan. Pertemuan langsung antara penyidik Polri dan Jaksa tidak hanya berlangsung sekali tetapi dapat berlangsung beberapa kali tergantung sulit tidaknya kasus tindak pidana korupsi yang terjadi. D. Hambatan Koordinasi Penyidik Polri dan Penuntut Umum dalam Pengendalian Tindak Pidana Korupsi di wilayah Hukum Pengadilan Negeri Klaten Hambatan-hambatan di dalam proses penyidikan ataupun penuntutan demi penanggulangan tindak pidana korupsi di wilayah Hukum Pengadilan Negeri Klaten itu sendiri yaitu : 1. Faktor internal. a. Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh penyidik tidak memadahi untuk melakukan penyidikan untuk kasus korupsi yang rumit. b. Dokumen-dokumen tentang kasus tindak pidana korupsi hilang. 2. Faktor eksternal a. Pelaku tindak pidana korupsi tersebut cerdik dan sudah berpengalaman sehingga dapat melakukan tindak pidana korupsi yang sulit untuk dicari bukti atas perbuatan korupsi.

b. Pelaku yang menyembunyikan alat bukti sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mencari alat bukti tersebut dalam penyidikan. c. Aset korupsi tersebut sudah hilang. d. Dokumen-dokumen bukti perbuatan korupsi dibakar oleh pelaku sehingga menyulitkan penyidik dalam menyusun alat bukti. e. Pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri sehingga sulit untuk melacak keberadaannya. Selain faktor-faktor tersebut hal yang sering terjadi dalam penanganan tindak pidana korupsi itu sendiri yakni sering terjadinya bolak-balik berkas perkara ke pihak penyidik Kepolisian dari Jaksa Penuntut Umum. BAB III : PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai koordinasi penyidik Polri dan penuntut umum dalam pengendalian tindak pidana korupsi di wilayah hukum pengadilan Negeri Klaten sebagai berikut: 1. Koordinasi antara Penyidik dan Penuntut Umum dalam tindak pidana korupsi dalam proses penyidikan, penyidik Polri melakukan koordinasi dengan Kejaksaan berupa penyerahan Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan (SPDP) dan berkas penyelidikan yang kemudian akan diteliti oleh Kejaksaan. Polri sebagai penyidik segera melakukan penyidikan dan dapat meminta bantuan Kejaksaan yang akan membentuk tim Jaksa penyidik untuk membantu proses penyidikan. Koordinasi antara Penyidik Polri dan Penuntut Umum

biasanya dilakukan dengan cara bertemu langsung atau dengan surat menyurat guna membahas proses penyidikan terkait dengan tindak pidana korupsi yang terjadi. Koordinasi seperti ini diperlukan agar dalam proses penyidikan dapat menemukan alat atau barang bukti yang diperlukan guna melengkapi berkas perkara penyidikan. Pertemuan langsung antara penyidik Polri dan Jaksa tidak hanya berlangsung sekali tetapi dapat berlangsung beberapa kali tergantung sulit tidaknya kasus tindak pidana korupsi yang terjadi. 2. Hambatan yang terjadi dalam koordinasi penyidik Polri dan Penuntut Umum yakni : a. Faktor Internal meliputi : sarana dan prasarana yang dimiliki oleh penyidik tidak memadahi untuk melakukan penyidikan untuk kasus korupsi yang rumit, dokumen-dokumen tentang kasus tindak pidana korupsi hilang. b. Faktor eksternal meliputi : Pelaku tindak pidana korupsi tersebut cerdik dan sudah berpengalaman sehingga dapat melakukan tindak pidana korupsi yang sulit untuk dicari bukti atas perbuatan korupsi, pelaku yang menyembunyikan alat bukti sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mencari alat bukti tersebut dalam penyidikan, aset korupsi tersebut sudah hilang, dokumen-dokumen bukti perbuatan korupsi dibakar oleh pelaku sehingga menyulitkan penyidik dalam menyusun alat bukti, pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri sehingga sulit untuk melacak keberadaannya.

Selain itu bolak-balik berkas perkara dari Kejaksaan kepada Polri yang bertindak sebagai penyidik juga menghambat proses penanganan tindak pidana korupsi karena akan membutuhkan waktu yang sangat lama. 2. Saran Dalam tindak pidana korupsi yang ditangani oleh lembaga negara yang ada di daerah seperti Kejaksaan dan Kepolisian seringkali ada persoalan dalam penyelesaiannya khususnya yang ditangani oleh penyidik dan penuntut umum yang berbeda atap. Oleh karena itu, usaha-usaha yang perlu diperhatikan agar masalah-masalah yang saya sebutkan di atas dapat diatasi, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut : 1. Polri sebagai Penyidik dari sejak awal hendaknya melakukan koordinasi dengan Penuntut Umum, jangan ketika hendak menyerahkan berkas perkara, sebagaimana yang sering dilakukan oleh penyidik. 2. Polri sebagai Penyidik dalam hal menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi yang berat agar mengundang Penuntut Umum untuk dilaksanakan gelar perkara atau dilakukan konsultasi melalui sarana komunikasi secara lisan ataupun tertulis. 3. Jika berkas yang dari sejak awal sudah dikonsultasikan dan/atau ikut gelar perkara, penelitian terhadap kelengkapan berkas cukup dilakukan sekali saja oleh Penuntut Umum. 4. Apabila Penuntut Umum beranggapan masih terdapat kekurangan atas kelengkapan berkas yang telah dilimpahkan kepada Penuntut Umum,

penyidik dapat melakukan pemeriksaaan tambahan dengan dibantu oleh Penuntut Umum. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri Negara Republik Indonesia Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Website : DAFTAR PUSTAKA Effendi, Marwan. 2005. Posisi dan Fungsi Kejaksaan RI dari Perspektif Hukum. Jakarta: Gramedia. Solahuddin,SH.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, Visimedia, Jakarta,2007,hlm 192. Perundang Undangan : http://farhad88.wordpress.com/2013/04/22/pengertian-korupsi-dan-unsur-unsurkorupsi/