Peluang Peredaran Kayu Bulat Illegal Dalam Tata Usaha Kayu Self Assessment

dokumen-dokumen yang mirip
SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR : 132/KPTS-II/2000 TENTANG

2. Undang -undang No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; 3. Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR : 5 tahun 2000 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BERUPA KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PEREDARAN DAN PENERTIBAN HASIL HUTAN KAYU DI KABUPATEN BARITO UTARA

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGUSAHAAN HUTAN NOMOR 135/KPTS/IV-PPHH/1998 TENTANG

PERATURAN PEMEIRNTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1998 TENTANG PROVISI SUMBER DAYA HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi serta dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi saat ini, maka penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal d

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Izin Pemanfaatan Kayu. Prosedur.

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 317/KPTS-II/1999 TAHUN 1999 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR : 9 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATAALA

Industri Pengolahan Kayu

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 62/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI PEREDARAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,

DASAR HUKUM. Undang Undang No. 41/1999. Peraturan pemerintah PPNo. 6/2007 jo. PP No. 3/2008. Peraturan Menteri Peraturan Dirjen

PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD)

KAJIAN MEKANISME PERMOHONAN PENERBITAN SURAT KETERANGAN SAHNYA HASIL HUTAN (SKSHH), (KASUS DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR) Oleh : Epi Syahadat

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

this file is downloaded from

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 326/KPTS-II/1997 TENTANG

ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN

STANDARD DAN PEDOMAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU DARI HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKM)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR 13 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU, NON KAYU PADA TANAH MILIK/HUTAN RAKYAT

PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR

MENTERI KEHUTANAN, MEMUTUSKAN :

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD, HTHR)

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD, HTHR)

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PEMANFAATAN DAN PEREDARAN KAYU BELIAN DALAM WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 9 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI TATA USAHA HASIL HUTAN

2 Pada Kementerian Kehutanan, Peraturan Menteri Kehutanan sebagaimana huruf b, perlu disempurnakan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dima

BAB IX ANGGARAN PENDAPATAN PERUSAHAAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, IUPHHK-RE, DAN HAK PENGELOLAAN KRITERIA DAN INDIKATOR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No dimaksud dalam huruf b, perlu disempurnakan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.47, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Sanksi Administratif. Pemegang Izin. Pengenaan. Pencabutan.

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA PEMEGANG IZIN DAN PEMEGANG HAK PENGELOLAAN

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Hasil Hutan Kayu. Penatausahaan. Perubahan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 335/KPTS-II/1997 TENTANG RENCANA KARYA PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI (RKPHTI) MENTERI KEHUTANAN,

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

BAB 3 OBJEK PENELITIAN. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 17/Menhut-II/2009 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP PEMEGANG IZIN USAHA INDUSTRI

STANDARD DAN PEDOMAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU DARI HUTAN NEGARA (IUPHHK-HA/HPH, IUPHHK- HTI/HPHTI, IUPHHK RE)

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT(HTR, HKm, HD)

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, IUPHHK-RE, DAN HAK PENGELOLAAN

Draft Legalitas: Versi Anyer 28 September 2005

BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II SINTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, DAN HAK PENGELOLAAN

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 132 TAHUN 2010 TENTANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1990 TENTANG PENGENAAN, PEMUNGUTAN DAN PEMBAGIAN IURAN HASIL HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

M E M U T U S K A N :

KAJIAN PENYEMPURNAAN PERATURAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN

23 APRIL 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

KAJIAN PEREDARAN DAN TATA USAHA KAYU RAKYAT DI CIAMIS JAWA BARAT

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD, HTHR)

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN, MENTERI KEHUTANAN DAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI PEREDARAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Oleh / By : Epi Syahadat & Rachman Effendi

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 15 TAHUN 2001

PROFIL INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA UTARA IWAN RISNASARI, S. HUT PROGRAM ILMU KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

Kajian Penyempurnaan Pedoman Penatausahaan Hasil Hutan Di Hutan Hak/Rakyat (Kasus Di Provinsi Jawa Barat) Oleh Epi Syahadat dan Apul Sianturi

BAB IV NAMA, OBJEK, SUBJEK DAN JENIS RETRIBUSI Pasal 4

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG

2 Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, ditetapkan bahwa dalam rangka melindungi hak negara atas

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.398/MENHUT-II/2005 TENTANG

2016, No Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehut

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 06 TAHUN 2012 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.73/Menlhk-Setjen/2015

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001

B. BIDANG PEMANFAATAN

BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II KAPUAS HULU

Transkripsi:

Peluang Peredaran Kayu Bulat Illegal Dalam Tata Usaha Kayu Self Assessment An Opportunity of Illegal Log Distribution on Administration of Self Assessment Oleh/By: Hendro Prahasto Setiasih Irawanti Abstrak Pengangkutan kayu bulat dari areal penebangan sampai ke IPKH memerlukan waktu dan jarak angkut yang cukup memberi peluang terjadinya peredaran kayu bulat illegal. Berkembangnya penebangan dan peredaran kayu illegal disebabkan oleh berbagai faktor seperti lemahnya sistem tata usaha kayu self assesment, sangat terbatas keterlibatan langsung petugas kehutanan dalam peredaran kayu, kurang adanya koordinasi dan komunikasi dua arah antara instansi kehutanan asal kayu dan tujuan kayu, terbatasnya fasilitas bagi petugas P2LHP dan P3KB, dan hal ini diperburuk lagi oleh tidak berimbangannya antara pasokan dan permintaan kayu bulat. Untuk itu pemeriksaan sebaiknya diarahkan pada peredaran fisik kayu bulat di lapang, terutama sebelum kayu keluar dari hutan. Segala kewajiban pengusaha yang melekat pada produksi kayu sebaiknya dilunasi sebelum kayu keluar dari hutan untuk menghindari hilangnya penerimaan negara dari PSDH dan DR akibat peredaran kayu illegal di dalam negeri maupun ekspor illegal yang dewasa ini disinyalir banyak terjadi. Kata kunci: self assesment, peredaran kayu illegal, tata usaha kayu Abstract Round wood transportation from logging area to IPKH needs enough time and distance for happening of illegal round wood distribution system. An arbitrary illegal logging and wood distribution was caused of several factors such as poor of self assessment system, very few participation of forest official in to the wood distribution system, communications and coordination between forestry office of origin and destination were poor, poor of facilities provided for P2LHP and P3KB, and it became worse because of imbalancing between round wood demand and supply. For this condition, it was better that inspection was aimed at the physical round wood distribution in the field, especially in the forest area. It was better that all kinds of levies collected from round wood production must be paid by HPH before round wood out of the forest area, to avoid loss of government revenue from PSDH and DR caused of illegal round wood distribution and export. Key word: self assessment,illegal round wood distribution, wood administration system. I. PENDAHULUAN Untuk mengendalikan peredaran kayu bulat dan mengamankan penerimaan pemerintah dari hutan alam, pemerintah menyediakan sarana administrasi yang disebut tata usaha kayu (TUK). TUK adalah suatu tatanan atau tata usaha dalam bentuk pencatatan, penerbitan dokumen dan pelaporan tentang kegiatan perencanaan produksi, eksploitasi, pengolahan dan peredaran kayu (Ditjen Pengusahaan Hutan, 1992). Pada setiap kegiatan penebangan kayu, pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Ijin 1

Pemanfaatan Kayu (IPK), Ijin Syah Lainnya (ISL) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) membuat Laporan Hasil Produksi (LHP) yang diantaranya berisi data tentang volume dan jenis kayu bulat yang dihasilkan. Kelompok jenis kayu yang berbeda akan memiliki tarif provisi sumberdaya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR) yang berbeda. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik kayu, LHP tersebut disyahkan oleh Pejabat Pengesah Laporan Hasil Produksi (P2LHP) yang berada di wilayah Cabang Dinas Kehutanan (CDK) asal kayu. Selanjutnya kayu bulat diangkut ke tempat penimbunan kayu (TPK) yang berada di areal hutan setempat. Pengangkutan kayu bulat dari TPK ke Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) dilengkapi dengan dokumen Surat Angkutan Kayu Bulat (SAKB) dan dilampiri Daftar Kayu Bulat (DKB) sebagai alat untuk memantau kayu selama pengangkutan menuju IPKH. Selama pengangkutan tersebut tidak ada pemeriksaan fisik kayu. Pemeriksaan fisik kayu yang kedua dilakukan setelah kayu bulat sampai di IPKH, kemudian dokumen SAKB dimatikan oleh Petugas Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat (P3KB) wilayah CDK di mana IPKH berada. Besar-kecilnya penerimaan pemerintah dihitung berdasarkan volume dan kelompok jenis kayu yang tercantum dalam SAKB tersebut. Pengangkutan kayu bulat dari areal penebangan sampai ke IPKH yang lokasinya mungkin dalam satu wilayah kabupaten, satu propinsi, antar propinsi atau bahkan antar pulau akan memerlukan waktu dan jarak angkut yang cukup memberi peluang terjadinya berbagai bentuk penyimpangan. Kelemahan TUK ini merupakan salah satu faktor penyebab maraknya peredaran kayu bulat illegal yang berasal dari tebangan liar. TUK dengan sistem self assesment yang saat ini berlaku cenderung melemahkan kontrol oleh petugas kehutanan terhadap peredaran atau pengangkutan kayu. Pengendalian peredaran kayu bulat melalui dokumen SAKB yang dilakukan oleh instansi kehutanan asal kayu dan instansi kehutanan tujuan kayu sejauh ini tidak banyak memberikan hasil. Hal ini diantaranya karena dalam sistem TUK ini terbuka peluang bagi HPH dan IPKH untuk melakukan manipulasi antar lembar SAKB. Pemantauan dokumen oleh instansi kehutanan juga dilakukan secara manual sehingga sulit untuk menemukan penyimpangan yang dilakukan oleh HPH dan IPKH. Selain itu, SAKB yang seharusnya hanya digunakan sebagai dokumen kayu legal, dalam kenyataannya banyak I n f o 2 Volume 1 Nomor 1, November 2000 :

disalahgunakan dengan cara diperjual-belikan untuk mengangkut kayu illegal, sehingga sulit membedakan antara kayu legal dan illegal. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi peredaran kayu illegal seperti dibentuknya tim pengamanan hutan atau penertiban peredaran kayu illegal yang melibatkan berbagai instansi terkait baik di pusat maupun di daerah, namun hasilnya kurang berarti. Akhir-akhir ini pemerintah juga telah menempuh upaya menanggulangi masalah tersebut dengan cara mengganti dokumen SAKB dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dengan harapan dapat meminimalkan peredaran kayu illegal. Sehubungan dengan hal tersebut, hasil penelitian ini menyajikan informasi mengenai kajian peraturan perundangan yang berkaitan dengan TUK dan dampak yang ditimbulkannya. II. METODA PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini dipilih dua lokasi yaitu Propinsi Riau dan Kalimantan Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan cara: 1. Mewawancarai pihak-pihak terkait untuk memperoleh jawaban secara langsung 2. Melakukan pengamatan langsung pada obyek yang diteliti di lapangan. Data yang dikumpulkan berupa data sekunder seperti peraturan perundangan terutama Keputusan Menteri Kehutanan tentang TUK dan data sekunder lain yang relevan. B. Metoda Analisis Keputusan Menteri Kehutanan yang berkaitan dengan TUK dievaluasi kemudian hasilnya dibandingkan dengan penerapan Keputusan tersebut di lapang. Volume peredaran kayu bulat illegal dianalisis dengan cara membandingkan data produksi kayu olahan dan rendemennya dengan produksi kayu bulat legal. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tata Usaha Kayu Dengan Sistem Self Assessment 3

1. Praktek tata usaha kayu di lapang Praktek TUK di Indonesia didasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan No 402/KPTS-IV/1990 jo Keputusan Menteri Kehutanan No 525/KPTS-II/1991 dan Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No 230/KPTS/IV-TPHH/1992. Berdasarkan kebijakan tersebut, para pemegang HPH, IPK dan ISL setelah melakukan kegiatan penebangan wajib membuat LHP atas pohon-pohon yang ditebangnya. Pembuatan LHP mencakup kegiatan penomoran batang (nomor petak, nomor pohon dan nomor batang), penandaan batang (ukuran diameter, ukuran panjang dan jenis kayu), serta penghitungan volume masing-masing batang. Nomor pohon dan jenis kayu yang tercantum dalam LHP harus sesuai seperti yang tercantum dalam Laporan Hasil Cruising (LHC). Pada setiap akhir periode, petugas pembuat LHP atas kegiatan penebangan oleh HPH, IPK dan ISL wajib mengajukan permohonan pemeriksaan dan pengesahan LHP kepada instansi kehutanan atau CDK setempat. Kegiatan TUK selanjutnya adalah peredaran kayu bulat dari perusahaan HPH ke perusahaan IPKH baik yang berada di dalam maupun di luar propinsi atau bahkan antar pulau. Setiap pengangkutan kayu bulat wajib disertai dokumen SAKB. Penerbit SAKB adalah petugas perusahaan yang telah memperoleh nomor register dari KANWIL Kehutanan dan Perkebunan setempat. Untuk tujuan pengendalian penggunaan SAKB, pendistribusian SAKB dilakukan oleh Dinas Kehutanan setempat langsung kepada pemegang HPH, IPK dan ISL dengan memperhatikan volume produksi tahunan, alat angkut dan frekuensi pengangkutan. Setelah kayu bulat sampai di IPKH, pihak IPKH wajib memberitahukannya kepada P3KB. Petugas penerima SAKB tersebut (yaitu P3KB) mematikan lembar pertama dan kedua SAKB, kemudian mencatatnya dalam buku register. Hasil pemeriksaan P3KB secara periodik dilaporkan kepada atasannya (yaitu Kepala CDK) sebagai bahan pemantauan peredaran kayu bulat oleh KANWIL Kehutanan dan Perkebunan wilayah tujuan kayu. I n f o Volume 1 Nomor 1, November 2000 : 4

2. Kelemahan sistem Self Assesment a. Sistem pemantauan peredaran kayu Salah satu kegiatan TUK dengan sistem self assesment yang sulit dikendalikan oleh petugas kehutanan adalah kegiatan peredaran kayu. Setelah LHP disahkan oleh P2LHP di wilayah CDK asal kayu, kayu bulat selanjutnya diangkut ke TPK yang berada dalam areal hutan. Kegiatan peredaran kayu bulat diawali dengan pengangkutan kayu bulat dari TPK milik HPH menuju ke IPKH. Pengangkutan kayu bulat tersebut harus disertai dokumen SAKB yang dilampiri DKB. Berdasarkan kebijakan yang berlaku, dokumen SAKB dan DKB dibuat oleh petugas perusahaan yang telah memiliki nomor register dari KANWIL Kehutanan dan Perkebunan setempat. Dokumen tersebut dibuat rangkap enam, di mana lembar pertama dan kedua akan menyertai peredaran kayu bulat dari HPH menuju IPKH, lembar ketiga dikirim ke CDK asal kayu, lembar keempat disampaikan kepada P2LHP, lembar kelima dikirim ke KANWIL Kehutanan dan Perkebunan tempat tujuan kayu dan lembar keenam sebagai arsip bagi penerbit SAKB (perusahaan HPH). Setelah kayu bulat sampai di IPKH, pihak IPKH wajib memberitahu P3KB setempat paling lambat 24 jam setelah kayu bulat tersebut masuk ke IPKH. P3KB kemudian melakukan pemeriksaan fisik dan administrasi kayu, mematikan lembar pertama dan kedua SAKB kemudian mencatatnya dalam buku register. Lembar pertama SAKB disimpan oleh P3KB dan lembar kedua diserahkan kembali kepada IPKH. Setiap akhir bulan, P3KB mengirim lembar pertama SAKB tersebut ke CDK tujuan kayu. Setelah dicatat dan direkap, paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya CDK tujuan kayu mengirim laporan tersebut ke Dinas Kehutanan tujuan kayu. Setelah dipilah dan direkap ulang, paling lambat tanggal 20 pada bulan yang sama Dinas Kehutanan tujuan kayu mengirim laporan tersebut ke Dinas Kehutanan asal kayu serta ke KANWIL Kehutanan dan Perkebunan tujuan kayu. Laporan tersebut oleh KANWIL Kehutanan dan Perkebunan tujuan kayu selanjutnya digunakan untuk memantau peredaran kayu bulat yang berada di wilayahnya, melakukan uji silang antara rekap lembar pertama dan lembar kelima atas dokumen SAKB yang sama untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan atau manipulasi volume dan jenis kayu yang dimuat dalam lembar 5

pertama SAKB selama pengiriman kayu bulat dari HPH ke IPKH. Uji silang dilakukan dengan cara mencocokan volume dan jumlah batang yang tercantum dalam lembar pertama dan lembar kelima dari dokumen SAKB yang sama. Secara skematis arus peredaran kayu bulat dan SAKB yang menyertainya dari HPH ke IPKH antar propinsi dapat dilihat pada Gambar 1. P2LHP (4) (1&2) HPH IPKH P3KB (3) CDK asal kayu CDK tujuan kayu Dinas asal kayu Dinas tujuan kayu Kanwil asal kayu (5) Kanwil tujuan kayu Gambar 1. Arus peredaran kayu bulat dari HPH ke IPKH antar propinsi Pada Gambar 1 tampak bahwa keterlibatan langsung petugas kehutanan dalam peredaran kayu dengan sistem TUK self assesment ini sangat terbatas, yaitu hanya pada saat kayu bulat masih berada di hutan (P2LHP) dan saat kayu bulat telah sampai di IPKH (P3KB). Pemantauan peredaran kayu oleh petugas kehutanan selama perjalanan dari HPH ke IPKH hanya terbatas pada pemeriksaan ada tidaknya dokumen yang menyertainya tanpa ada pemeriksaan fisik atau administrasi lainnya. Dengan demikian P3KB merupakan satu-satunya petugas kehutanan yang diharapkan mampu mengendalikan peredaran kayu bulat dari HPH ke IPKH. P3KB adalah petugas kehutanan yang ditunjuk langsung oleh Kepala KANWIL Kehutanan dan Perkebunan I n f o Volume 1 Nomor 1, November 2000 : 6

setempat untuk menangani pemeriksaan langsung peredaran kayu di lapangan, baik secara administrasi maupun secara fisik, sehingga dituntut keseriusan dan kejujuran dalam melaksanakan tugasnya. Pemeriksaan administrasi oleh P3KB hanya mengenai kebenaran blanko SAKB dan nomor register penerbit SAKB. Oleh karenanya pemeriksaan fisik kayu bulat memegang peranan penting dalam memantau peredaran kayu di lapangan. Hal ini dilaksanakan dengan cara melakukan uji petik 100% jika kayu bulat yang masuk ke IPKH kurang dari 100 batang dan uji petik minimal 100 batang atau 10% dari jumlahnya bila kayu bulat yang masuk ke IPKH lebih dari 100 batang. Jika terjadi penyimpangan volume lebih dari 5% dan terdapat perbedaan jenis, P3KB wajib memeriksa seluruh kayu bulat yang masuk ke IPKH dan memproses penyimpangannya sesuai ketentuan yang berlaku. Selain hal tersebut, pada Gambar 1 juga dapat dilihat bahwa kurang ada koordinasi antara instansi kehutanan asal kayu dengan instansi kehutanan tujuan kayu. Komunikasi diantara keduanya sangat terbatas dan hanya satu arah, yaitu dari Dinas Kehutanan tujuan kayu ke Dinas Kehutanan asal kayu melalui pengiriman lembar pertama SAKB. Demikian pula, untuk melakukan pemantauan peredaran kayu bulat di wilayah tujuan kayu, pihak KANWIL Kehutanan dan Perkebunan tujuan kayu hanya mengandalkan pada kejujuran perusahaan HPH asal kayu dalam menyampaikan lembar kelima SAKB. Pihak KANWIL Kehutanan dan Perkebunan tujuan kayu sulit untuk memantau semua pengiriman kayu yang masuk ke wilayahnya, karena tidak adanya informasi awal dari instansi kehutanan asal kayu tentang hal tersebut. Kelemahan ini dapat dimanfaatkan oleh perusahaan HPH untuk melakukan ekspor kayu bulat secara ilegal. Ekspor ilegal ini sangat merugikan negara karena PSDH dan DR kayu tersebut belum dibayarkan kepada pemerintah, demikian halnya dengan pajak ekspornya. Ketiadaan koordinasi dan komunikasi dua arah antar instansi kehutanan asal dan tujuan kayu berakibat pada sulitnya melakukan pemantauan peredaran kayu secara efektif terutama oleh instansi kehutanan tujuan kayu. Oleh sebab itu perlu adanya perbaikan sistem TUK yang berlaku saat ini dan menciptakan sistem TUK baru dengan mekanisme yang lebih sederhana, ditunjang 7

dengan penyediaan perangkat lunak komputer untuk memantau secara optimal peredaran kayu baik oleh instansi kehutanan asal kayu maupun instansi kehutanan tujuan kayu sehingga peredaran kayu illegal dapat dikurangi. b. Terbatasnya jumlah, sarana dan prasarana petugas pemantau Berdasarkan ketentuan yang berlaku, petugas P2LHP harus mensahkan kayu yang dihasilkan oleh HPH, IPK atau ISL setiap 10 hari sekali. Di pihak lain jumlah petugas yang tersedia di Cabang Dinas Kehutanan relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah perusahaan HPH, IPK dan ISL yang beroperasi dan harus dilayani di wilayah tersebut. Selain itu, Dinas Kehutanan atau Cabang Dinas Kehutanan setempat tidak menyediakan sarana transportasi bagi petugas untuk mengunjungi masing-masing perusahaan tersebut. Akibatnya seorang petugas P2LHP terpaksa bekerja untuk melayani keperluan beberapa perusahaan dengan bantuan sarana transportasi yang disediakan oleh pihak perusahaan HPH, IPK atau ISL. Insentif yang diberikan oleh Dinas Kehutanan atau Cabang Dinas Kehutanan untuk melakukan tugas tersebut juga sangat sedikit, sehingga sulit diharapkan petugas tersebut dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Kasus yang sama juga terjadi pada petugas P3KB. Sesuai petunjuk teknis yang berlaku, petugas P3KB harus berada di IPKH selama 24 jam untuk mengawasi kayu bulat yang masuk ke IPKH. Ketentuan tersebut umumnya tidak dapat dilaksanakan karena terbatasnya jumlah petugas P3KB di setiap wilayah. Untuk melaksanakan tugasnya, petugas P3KB pada umumnya menggunakan fasilitas yang disediakan oleh perusahaan. Dalam keadaan demikian sulit diharapkan mereka dapat bekerja secara mandiri tanpa intervensi pihak perusahaan IPKH. Di satu pihak mereka dituntut untuk bekerja sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya karena mereka adalah ujung-tombak petugas kehutanan yang menentukan besar-kecilnya penerimaan pemerintah dari PSDH dan DR atau marak-tidaknya peredaran kayu illegal. Di pihak lain, fasilitas yang diberikan oleh Dinas Kehutanan atau Cabang Dinas Kehutanan kepada petugas P2LHP dan P3KB sangat tidak memadai. Hal demikian merupakan kendala yang dihadapi di lapangan untuk meminimalkan peredaran kayu illegal. I n f o Volume 1 Nomor 1, November 2000 : 8

c. Tidak berimbangnya antara pasokan dan permintaan kayu bulat oleh industri Jumlah industri kayu lapis di Indonesia yang masih aktif sampai dengan tahun 1997 berjumlah 105 unit dengan kebutuhan bahan baku kayu bulat sebesar 16,29 juta m3 per tahun, industri kayu gergajian berjumlah 1.701 unit dengan kebutuhan bahan baku kayu bulat sebesar 26,57 juta m3 per tahun dan industri pulp berjumlah 6 unit dengan kebutuhan bahan baku kayu bulat sebesar 17,91 juta m3 per tahun. Dengan demikian kebutuhan bahan baku kayu bulat keseluruhan adalah sekitar 60,77 jutan m3 per tahun (Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi, 1999). Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan pada tahun yang sama menyatakan bahwa potensi sumberdaya hutan alam lestari saat ini diperkirakan hanya 22,5 juta m3 per tahun dan hasil pemanfaatan kayu dari pembukaan lahan atau IPK sebesar 7,5 juta m3 per tahun. Rataan realisasi produksi kayu bulat berdasarkan Rencana Karya Tahunan (RKT) kurun waktu 1994/1995 sampai dengan 1998/1999 adalah 14,67 juta m3 atau 65,2% dari potensi hutan lestari, rataan IPK adalah 6,54 juta m3 per tahun serta rataan produksi dari Perum Perhutani dan hutan tanaman industri (HTI) adalah 2,05 juta m3 per tahun. Hutan rakyat pada kurun yang sama diperkirakan hanya mampu menghasilkan rataan produksi sebesar 0,55 juta m3 per tahun. Dengan demikian rataan pasokan kayu bulat hanya sekitar 23,81 juta m3 per tahun, atau hanya sekitar 40% dari taksasi kebutuhan bahan baku industri pengolahannya. Tidak berimbangannya antara pasokan dan permintaan atau kebutuhan kayu bulat oleh industri pengolahannya diduga telah memacu berkembangnya penebangan kayu illegal. Hal ini diduga dilakukan oleh masyarakat asli di sekitar hutan secara spontan dan sporadic atau oleh sindikat pencuri kayu yang didukung oknum petugas dan pengusaha kayu yang menggunakan alat canggih dan menyediakan dana cukup besar. B. Penggunaan Kayu Illegal oleh Perusahaan IPKH Kayu bulat illegal banyak diolah oleh perusahaan IPKH baik industri kayu lapis maupun kayu gergajian. Sebagai gambaran besarnya kayu bulat illegal yang diolah oleh IPKH, maka pada kesempatan ini disajikan kasus di Propinsi Kalimantan Barat dan Riau. Kebutuhan kayu bulat dan bahan baku serpih yang riel di suatu propinsi didekati 9

dengan volume produksi kayu olahan yang dihasilkan oleh industri pengolahan kayu yang ada di propinsi tersebut. Industri yang menggunakan bahan baku kayu bulat adalah industri kayu gergajian, kayu lapis dan papan blok, industri yang menggunakan bahan baku kayu gergajian adalah industri moulding/dowel dan wood working serta industri yang menggunakan bahan baku serpih adalah chip dan pulp. Perbedaan antara volume kayu bulat dan bahan baku serpih yang diolah oleh industri pengolahan kayu dengan volume kayu bulat dan bahan baku serpih yang diproduksi oleh HPH dan IPK, plus selisih volume kayu bulat dan bahan baku serpih yang masuk dan keluar dari propinsi tersebut dianggap sebagai volume kayu bulat dan bahan baku serpih yang berasal dari tebangan liar. Kayu bulat, kayu gergajian dan bahan baku serpih yang dihasilkan oleh Propinsi Kalimantan Barat dan Riau sebagian diolah oleh industri pengolahan kayu yang ada di propinsi tersebut dan sebagian lagi di jual ke luar propinsi. Selain terjadi peredaran kayu bulat, kayu gergajian dan bahan baku serpih yang keluar dari propinsi tersebut, juga terjadi peredaran kayu bulat, kayu gergajian dan kayu serpih yang masuk ke propinsi tersebut. Produksi kayu bulat Propinsi Kalimantan Barat pada tahun 1997/1998 adalah 1.275.289 m3 per tahun, kayu bulat yang masuk ke propinsi tersebut adalah 1.430.938 m3 per tahun dan kayu bulat yang keluar dari propinsi tersebut adalah 120.022 m3 per tahun sehingga pasokan kayu bulat di Propinsi Kalimantan Barat adalah 2.585.350 m3 per tahun. Produksi kayu gergajian di propinsi ini adalah 138.502 m3 per tahun, kayu gergajian yang masuk dan keluar dari propinsi tersebut berturut-turut adalah 36.078 m3 dan 66.763 m3 per tahun. Produksi kayu bulat dan bahan baku serpih di Propinsi Riau berturut-turut adalah 1.999.875 m3 per tahun dan 5.193.054 m3 per tahun. Kayu bulat yang keluar dari propinsi tersebut adalah 679.900 m3 per tahun, kayu bulat yang masuk ke propinsi tersebut nihil sehingga rataan pasokan kayu bulat Propinsi Riau adalah 1.319.975 m3 per tahun. Produksi bahan baku serpih adalah 5.193.054 m3 per tahun sedangkan data peredaran bahan baku serpih keluar atau masuk ke Propinsi Riau tidak tersedia, sehingga pasokan bahan baku serpih diasumsikan sama dengan produksinya. I n f o Volume 1 Nomor 1, November 2000 : 10

Gambaran produksi, peredaran dan kebutuhan kayu di Propinsi Kalimantan Barat dan Riau dapat diikuti pada Tabel 1. Tabel 1. Produksi, peredaran dan kebutuhan kayu di Propinsi Kalimantan Barat dan Riau tahun 1997/1998 Propinsi Uraian Kalimantan Barat R i a u Kayu bulat Bahan baku serpih Kayu bulat Kayu gergajian Produksi kayu 1.999.875 5.193.054 1.275.289 138.502 Peredaran kayu masuk Peredaran kayu keluar - 679.900 - - 1.430.938 120.877 36.078 66.763 Pasokan kayu 1.319.975 5.193.054 2.585.350 107.817 Kebutuhan kayu 2.613.188 5.463.097 2.719.362 331.279 Produksi kayu ilegal 1.293.213 270.043 134.012 223.462 Dari Tabel 1 di atas juga dapat dilihat bahwa pasokan kayu bulat dan bahan baku serpih legal di Propinsi Kalimantan Barat dan Propinsi Riau jauh lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan bahan baku kayu bulat industri pengolahan kayu. Untuk memenuhinya, sebagian kayu bulat didatangkan dari luar propinsi dan sebagian lagi diduga berasal dari tebangan liar. Hal yang sama juga terjadi pada industri pengolahan kayu lanjutan (IPKL) di Propinsi Kalimantan Barat. Sementara itu jumlah kebutuhan bahan baku kayu gergajian untuk IPKL di Propinsi Riau masih dapat dicukupi dari kayu gergajian yang dihasilkan oleh propinsi tersebut. Berdasarkan uraian di atas diketahui pula bahwa produksi kayu bulat dan kayu gergajian ilegal di Propinsi Kalimantan Barat berturut-turut adalah 134.012 m3 dan 223.462 m3per tahun. Dengan menggunakan angka konversi kayu gergajian ke kayu bulat, maka produksi kayu bulat legal di Propinsi Kalimantan Barat adalah 580.936 m3 per tahun. Dengan demikian produksi kayu ilegal di Propinsi Kalimantan Barat cukup tinggi, yaitu sekitar 45,55% dari seluruh produksi kayu bulat legal di propinsi tersebut. Produksi kayu bulat ilegal di Propinsi Riau sebesar 1.293.213 m3 per tahun, sedangkan produksi bahan baku serpih ilegal adalah 270.043 m3 per tahun. Produksi tebangan ilegal tersebut cukup tinggi, yaitu mencapai sekitar 97,97% (kayu bulat) dan 5,20% (bahan baku serpih) dari seluruh produksi kayu bulat dan bahan baku serpih legal yang dihasilkan oleh para pemegang HPH dan IPK di Propinsi Riau. Apabila hal serupa juga terjadi di propinsi-propinsi lain yang memiliki hutan alam maka dapat 11

dikemukakan bahwa produksi kayu ilegal dari hutan alam milik negara sudah mengancam kelestarian hutan. IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan 1. Dalam sistem TUK self assesment, keterlibatan langsung petugas kehutanan dalam peredaran kayu sangat terbatas. 2. Kurang ada koordinasi dan komunikasi dua arah antara instansi kehutanan asal kayu dengan instansi kehutanan tujuan kayu. 3. Fasilitas yang diberikan kepada petugas P2LHP dan P3KB sangat tidak memadai. 4. Tidak berimbangannya antara pasokan dan permintaan kayu bulat oleh industri pengolahannya. B. Implikasi 1. Fokus pemeriksaan oleh aparat kehutanan sebaiknya diarahkan pada peredaran kayu bulat di lapang, terutama di daerah hulu atau sebelum kayu tersebut keluar dari hutan. 2. Segala kewajiban pengusaha yang melekat pada produksi kayu sebaiknya telah dilunasi sebelum kayu keluar dari hutan untuk menghindari hilangnya penerimaan negara dari PSDH dan DR akibat peredaran kayu illegal di dalam negeri maupun ekspor illegal yang dewasa ini disinyalir banyak terjadi. I n f o Volume 1 Nomor 1, November 2000 : 12

DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan, 1990. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 402/Kpts- IV/1990 tentang Tata Usaha Kayu. Departemen Kehutanan Jakarta. ---------------------------, 1991. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 525/Kpts- II/1991 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 402/Kpts- IV/1991 tentang Tata Usaha Kayu Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1992. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor 230/Kpts/IV-TPHH/1992 tentang Petunjuk Teknis Tata Usaha Kayu. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. jakarta. ----------------------------. 1995. Profil industri pengolahan kayu sampai dengan Januari 1994. Direktorat Pemanfaatan Hasil Hutan, Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1995. Dinas Kehutanan Propinsi Riau. 1998. Laporan Tahunan 1997/1998 dan Rencana Kerja Tahun 1998/1999. Dinas Kehutanan Propinsi Riau. Pontianak. Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat. 1998. Laporan Tahunan 1997/1998 dan Rencana Kerja Tahun 1998/1999. Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat. Pontianak. 13