TINJAUAN TEORITIS Tinjauan Pustaka a. Masalah Sosial dan Kemiskinan

dokumen-dokumen yang mirip
PEMBERDAYAAN USAHA SEKTOR INFORMAL DI KELURAHAN CAMPAKA KECAMATAN ANDIR KOTA BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT MUHAMMAD RIDWAN KHOLIS

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Keterbelakangan menurut Chamber (1987) ialah rasa tidak berdaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi,

I. PENDAHULUAN. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

PENDAHULUAN Latar Belakang

DocuCom PDF Trial. Nitro PDF Trial BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB III VISI, MISI, DAN ARAH PEMBANGUNAN DAERAH

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masalah klasik dan mendapat perhatian khusus dari negara-negara di dunia.

METODE KAJIAN. Tabel 1. Jadwal Rencana Pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat di Kelurahan Campaka Kecamatan Andir Kota Bandung

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jadi masih mengandung kemiskinan dimana-mana, baik di kota maupun di desa.

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB V PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI KELURAHAN TENGAH

BAB 7 KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

VIII. PENYUSUNAN PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN UAB TIRTA KENCANA

PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

DINA YULIANA. dalam pemberdayaan perempuan oleh BPP melalui KWT Mekar Asri di Dusun Mekar

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam bab II ini menguraikan tentang pandangan teoritis mengenai. Kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang telah lama

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN. ( /30621/4/chapter%20i.pdf)

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG DISABILITAS

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sejak terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, menurut data yang

Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si.

BAB 1 PENDAHULUAN. menarik orang mendatangi kota. Dengan demikian orang-orang yang akan mengadu nasib di

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

BAB I PENDAHULUAN. perhatian perencanaan pembangunan, terutama di negara sedang berkembang, dan

Konsep Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan diperkotaan merupakan masalah sosial yang masih belum

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera lahir dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fase dimana anak mengalami tumbuh kembang yang

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola. baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Dualisme kota dan desa yang terdapat

PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah

Konsep Dasar Pemberdayaan Masyarakat

BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia dewasa ini kondisinya dirasakan sangat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

5. Arah Kebijakan Tahun Kelima (2018) pembangunan di urusan lingkungan hidup, urusan pertanian,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Banyak permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat.

PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kemiskinan di Indonesa

KABUPATEN PESAWARAN KECAMATAN WAY RATAI DESA GUNUNGREJO PERATURAN DESA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berdasarkan pada jenis kelamin tentunya terdiri atas laki-laki dan

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

IDENTIFIKASI PENGADAAN RUMAH SWADAYA OLEH MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH DI KECAMATAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. informal ini menunjukan bukti adanya keterpisahan secara sistemis-empiris antara

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

2014 PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DALAM UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT.

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii PERNYATAAN ORISINALITAS... KATA PENGANTAR... iv ABSTRAK... vi

BAB I PENDAHULUAN. rentan terhadap pasar bebas yang mulai dibuka, serta kurang mendapat dukungan

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

MASALAH SOSIAL. Dosen Pembimbing: Drs. Suwito Hadi

BAB I PENDAHULUAN. (Tjokroaminoto dan Mustopadidjaya, 1986:1). Pembangunan ekonomi dapat

I. PENDAHULUAN. melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan potensi

PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

TINJAUAN TEORITIS Tinjauan Pustaka a. Masalah Sosial dan Kemiskinan Gillin dan Gillin (2001) mengemukakan bahwa masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial, atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan ketimpangan sosial. Soekanto (2001) menegaskan bahwa masalah sosial timbul dari kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor-faktor ekonomis, biologis, bio-psikologis, dan kebudayaan. Hal tersebut didasari kenyataan bahwa setiap masyarakat mempunyai norma yang berkaitan dengan kesejahteraan, kebendaan, kesehatan fisik dan mental, serta penyesuaian diri individu atau kelompok sosial. Penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma tersebut merupakan gejala abnormal yang dapat dikatakan sebagai masalah sosial. Ketimpanganketimpangan yang terjadi di masyarakat dapat dianggap sebagai masalah sosial bergantung pada persepsi dan sistem nilai sosial masayarakat tersebut. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya sama antara lain : kemiskinan, kejahatan, dis-organisasi keluarga, masalah generasi muda dalam masyarakat modern, pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat (pelacuran, kenakalan remaja, alkoholisme, homoseksualitas, masalah kependudukan, masalah lingkungan hidup, penyalahgunaan wewenang tata laksana birokrasi). Kemiskinan merupakan salah satu bentuk masalah sosial. Soekanto (2001) mengemukakan kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Kemiskinan adalah suatu kondisi kehidupan serba kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yang mencakup kebutuhan terhadap sandang, pangan, perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Secara umum ada tiga faktor kritis yang mempengaruhi terjadinya kemiskinan masyarakat tersebut, baik di perkotaan maupun di pedesaan, yaitu (1) semakin cepatnya laju pertumbuhan penduduk, (2) semakin sempitnya kesempatan kerja

yang ada dan terbuka, dan (3) semakin sempitnya lahan pertanian. Chambers (1987) mengemukakan lima ketidakberuntungan sebagai kondisi kemiskinan yang dialami kelompok rumah tangga miskin, yaitu (1) keterbatasan pemilikan aset (poor), (2) kondisi fisik yang lemah (physically weak), (3) keterisolasian (isolation), (4) kerentanan (vulnerable), dan (5) ketidakberdayaan (powerless). Chamber (1987) juga mengemukakan bahwa fenomena kemiskinan sebaiknya ditinjau melalui perspekstif yang komprehensif. Fenomena kemiskinan secara umum mengindikasikan perkembangan jumlah penyandang masalah kemiskinan yang semakin meningkat. Kondisi tersebut terjadi pula di Kelurahan Campaka dan harus segera ditangani dengan memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada warga masyarakat miskin dengan langkah penting penanggulangan kemiskinan yang diwujudkan melalui upaya pengembangan masyarakat. Fenomena ketahanan usaha sektor informal dalam menghadapi krisis moneter merupakan hal penting yang perlu dipahami bahwa pengembangan usaha sektor informal bagi warga masyarakat miskin merupakan alternatif penanggulangan kemiskinan. b. Kesejahteraan Sosial Dunham (1965) menjelaskan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu bidang usaha kemanusiaan yang luas dan mencakup jenis-jenis badan/organisasi dan berbagai pelayanan dan kegiatan-kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial melalui pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di dalam beberapa bidang seperti kehidupan keluarga dan anak, kesehatan, penyesuaian sosial, waktu senggang, standar-standar kehidupan, dan hubunganhubungan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial (Dunham, 1965) mempunyai perhatian utama terhadap individu-individu, kelompok-kelompok, komunitaskomunitas, dan kesatuan-kesatuan penduduk yang lebih luas. Pelayanan ini mencakup perawatan, penyembuhan dan pencegahan. Pengembangan usaha sektor informal bagi warga masyarakat miskin adalah salah satu alternatif penanggulangan kemiskinan. Pengembangan usaha sektor informal tersebut harus diarahkan sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial melalui pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di dalam beberapa bidang seperti kehidupan keluarga dan anak, kesehatan,

penyesuaian sosial, waktu senggang, standar-standar kehidupan, dan hubunganhubungan sosial. Pengembangan usaha sektor informal tersebut berupaya mewujudkan keberdayaan usaha sektor informal. Pemberdayaan usaha sektor informal berupaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan mempertautkan orang-orang dengan sumbersumber, kesempatan-kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk kapasitas mereka sehingga dapat menentukan masa depannya dan berpartisipasi dalam kehidupan komunitas mereka. c. Pengembangan Masyarakat dan Pemberdayaan Pengembangan masyarakat adalah suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif. Pengembangan masyarakat bertujuan memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat mempunyai arti mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa sehingga masyarakat memiliki daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya. Masyarakat yang berdaya (Sumardjo dan Saharudin, 2004) memiliki ciri-ciri (1) mampu memahami diri dan potensinya, (2) mampu merencanakan (pengantisipasian kondisi perubahan di masa depan) dan mengarahkan dirinya sendiri, (3) memiliki kekuatan berunding, bekerja sama saling menguntungkan dengan bargaining power yang memadai, (4) bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Di era globalisasi (Santoso, 2004), ciri-ciri masyarakat ini dapat dilihat memiliki etos kerja yang tinggi, prestatif, peka dan tanggap, inovatif, relijius, fleksibel, dan jati diri dengan swa-kendali. Ciri-ciri masyarakat seperti itu sudah seharusnya dimiliki masyarakat, namun bila belum memiliki ciri-ciri tersebut merupakan tantangan bagi pengembang masyarakat untuk mewujudkannya. Pemberdayaan merupakan sarana untuk memberikan atau mempertautkan orang dengan sumber-sumber, kesempatan-kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk kapasitas mereka sehingga dapat menentukan masa depannya dan berpartisipasi dalam kehidupan komunitas mereka (Ife, 1995 : 182). Ife (1995 : 183) mengemukakan pemberdayaan lebih lanjut bahwa pemberdayaan ditujukan untuk membawa masyarakat yang tidak beruntung atau tidak berdaya kepada masyarakat yang lebih adil dan memperkuat anggota komunitas lokal sebagai komunitas serta berupaya mewujudkan komunitas dengan berbasis yang efektif. Masyarakat merupakan

kesatuan utuh yang harus dilibatkan dalam proses pemberdayaan masyarakat dan diberikan semangat untuk melakukan pengendalian pada kegiatan mereka sendiri dan melalui program ini dapat lebih mampu mengendalikan atas kehidupan mereka dan komunitasnya. Masyarakat adalah bagian dari proses pemberdayaan dan pemberdayaan merupakan kebutuhan mereka sendiri, sehingga suatu proses pemberdayaan membutuhkan waktu, energi, komitmen dan memerlukan perubahan struktural yang mungkin banyak hambatan dan rintangan. Dharmawan (2004) mendefinisikan makna pemberdayaan sebagai a process of having enough energy enabling people to expand their capabilities, to have greater bargaining power, to make their own decisions, and to more easily acces to a source of better living (suatu proses pencapaian kecukupan energi yang memungkinkan orang-orang untuk mengembangkan kapabilitasnya, untuk memiliki kekuatan rebut-tawar yang lebih besar, untuk menentukan keputusannya sendiri, dan untuk mengakses sumber kehidupan yang lebih baik secara lebih mudah). Dengan pengertian ini dapat dikemukakan bahwa pemberdayaan merupakan peningkatan kemampuan masyarakat, pemberian kekuasaan untuk menentukan keputusan sendiri dan penguatan posisi rebut tawar masyarakat dalam berbagai kepentingan dan kebutuhan mengakses sumber daya yang diperlukan. Pemberdayaan dilaksanakan untuk mengantisipasi situasi ketidakberdayaan yang dialami kelayan (client) baik secara perorangan, kelompok maupun komunitas. Penjelasan mengenai ketidakberdayaan secara lebih lengkap disampaikan oleh Ife yang mengacu kepada konsep ketidakberuntungan (disadvantage). Ife (1995 : 56) mengemukakan empowerment aims to increase the power of disadvantage (pemberdayaan dilakukan untuk memberikan atau meningkatkan kemampuan kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung). Ife membagi kelompok-kelompok yang tidak beruntung tersebut ke dalam tiga kelompok sebagai berikut : 1. Kelompok lemah secara struktur primer (primary structural disadvantaged groups), yaitu mereka yang tidak beruntung akibat tekanan-tekanan ketidakberuntungan struktural yang terkait dengan kelas, gender dan etnis yang mencakup orang miskin, penganggur, wanita, masyarakat lokal dan kelompok minoritas.

2. Kelompok lemah khusus (others disadvantaged groups) antara lain orang jompo, anak dan remaja, penyandang cacat (fisik, mental), gay, lesbian, dan komunitas adat terpencil. Kelompok ini bukan akibat dari tekanan ketidakberuntungan struktur, namun perlu dipertimbangkan dalam program pemberdayaan komunitas. 3. Kelompok lemah secara personal (the personally disadvantaged groups) adalah kelompok masyarakat yang menjadi tidak beruntung sebagai hasil dari siklus personal yang meliputi mereka yang mengalami masalah pribadi, keluarga, kesedihan dan krisis identitas. Kelompok ini membutuhkan akses terhadap lebih banyak sumber untuk memecahkan masalah yang dihadapi sehingga perlu memperoleh pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial yang bertujuan untuk memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan (Kartasasmita, 1996). Pemberdayaan usaha sektor informal bertujuan menggali dan mengembangkan potensi ekonomi rakyat secara partisipatif untuk menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis, sehingga potensi yang dimiliki rakyat miskin atau masyarakat golongan marjinal akan meningkat bukan hanya sisi ekonominya, tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya. Pemberdayaan usaha sektor informal merupakan perwujudan pengembangan ekonomi lokal yang mendayagunakan sumber daya lokal yang ada pada suatu masyarakat, baik sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya kelembagaan. Berdasarkan pemikiran tersebut dapat dikatakan bahwa warga masyarakat miskin bukannya tidak memiliki apa-apa, sebetulnya mereka mempunyai potensi berupa motivasi, modal, dan pengalaman namun belum dapat dioptimalkan. Oleh karena itu mereka dihimpun dalam kelompok dan difasilitasi upaya-upaya mereka untuk mampu mencapai peningkatan taraf kesejahteraan mereka. Pemberdayaan usaha sektor informal adalah salah satu solusi yang penulis ajukan sebagai upaya pengembangan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan dan pengangguran di kelurahan Campaka, dan diharapkan dapat menunjang pengimplementasian program-program pengembangan masyarakat dari pemerintah maupun pihak lain untuk mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat, khususnya di Kelurahan Campaka. Pemberdayaan usaha sektor informal ini diharapkan dapat

memperkuat keberlangsungan dan kesinambungan program-program pengembangan masyarakat yang telah ada di Kelurahan Campaka. d. Usaha Sektor Informal Usaha Sektor Informal didefinisikan sebagai suatu unit berskala kecil yang berkecimpung dalam produksi dan pendistribusian barang-barang dan jasa, yang lebih bertujuan untuk menghasilkan peluang kerja daripada peningkatan keuntungan usaha (Lubell, 1991). Usaha Sektor Informal dapat dikelompokkan berdasarkan jenis usahanya, misalnya kelompok pedagang keliling, usaha warungan, dan usaha-usaha jasa lainnya. Merton (1968) berdasarkan konsep sosiologis mengemukakan definisi kelompok dimana kelompok adalah sejumlah orang yang berinteraksi satu sama lain berdasarkan pola-pola yang terbentuk didasarkan pada relasi sosial diantara mereka. Shaw (1981 : 454) menyatakan kelompok adalah dua orang atau lebih yang berinteraksi satu sama lain dalam suatu cara/kebiasaan seperti itu dimana masing-masing orang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh orang lain. Hal yang harus diperhatikan dalam upaya pemberdayaan usaha sektor informal adalah pemahaman mengenai karakteristik usaha sektor informal. Karakteristik usaha sektor informal menurut Magdalena (1991) antara lain : Kegiatan usahanya tidak terorganisir secara baik, karena unit usaha muncul tanpa menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha. Pola kegiatan usaha tidak teratur dengan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai di sektor ini. Unit usaha berganti-ganti dari satu sub sektor ke sub sektor yang lain. Teknologi yang digunakan masih tradisional. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasinya juga kecil. Untuk menjalankan usaha tidak memerlukan pendidikan formal, sebagian besar keterampilan usaha diperoleh dari pengalaman sambil bekerja. Pada umumnya unit usaha termasuk one man enterprise dan kalaupun pekerja biasanya berasal dari keluarga sendiri.

Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Jika memakai patokan dari Madgalena di atas, maka bentuk unit usaha sektor informal yang banyak dijumpai di Indonesia meliputi usaha-usaha di bidang pertanian, misalnya buruh tani, peternak kecil, pedagang eceran (pemilik warung), pedagang kaki lima, pemilik bengkel sepeda, pemulung dan penarik becak di daerah perkotaan. Usaha sektor informal lebih dapat dimengerti sebagai suatu unit usaha yang berdasarkan skala ekonomis tidak memperhitungkan adanya kelayakan usaha, seperti permodalan, pembukuan, keterampilan, pemasaran, perencanaan usaha. Selain itu keberadaan beberapa sub sektor sering dianggap ilegal oleh pemerintah dan oleh karena itu tidak mrendapatkan perlindungan dalam bentuk produk hukum. Kenyataan kondisi usaha sektor informal sebagaimana digambarkan Madgalena (1991) memberikan gambaran ketidakberdayaan usaha sektor informal. Pemberdayaan usaha sektor informal berupaya memperkuat keberadaan kelompok sektor ini dalam mengembangkan usahanya untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat, dan mampu mengakses berbagai sumber daya yang diperlukan dan membuka peluang kerja bagi masyarakat. De Soto (1991) membahas sektor informal kedalam tiga kategori umum sektor informal yaitu pemukiman informal, perdagangan informal dan angkutan informal. Pemukiman informal adalah pemukiman yang dibangun oleh masyarakat yang terpaksa tidak mengikuti aturan-aturan hukum pendirian bangunan. Pengangkutan informal adalah berbagai usaha di bidang tansportasi secara informal yang bergerak di luar hukum. Perdagangan informal adalah berbagai bentuk perdagangan dengan jenis usaha tidak terkait kegiatan kriminal namun melaksanakan kegiatan ekonomi di luar hukum. Pengkajian akan difokuskan terhadap pemberdayaan usaha sektor informal di bidang perdagangan informal. Perdagangan informal tersebut mencakup usaha-usaha seperti perdagangan jalanan/pedagang kaki lima, pasar informal, warung, kios, dan pedagang keliling. Pemberdayaan ditujukan kepada para pelaku usaha sektor informal di bidang perdagangan informal. Pemberdayaan usaha sektor informal diharapkan dapat mengatasi permasalahan usaha sektor informal. Permasalahan usaha sektor informal dapat ditinjau dari berbagai aspek (Yustika, 2000), antara lain :

Secara ideologis, wacana transformasi masih belum banyak yang mampu diserap dan dipahami oleh benak mereka, bahwa terhambatnya proses kemajuan usaha mereka bukan saja diakibatkan oleh keterbatasan modal dan rendahnya keterampilan, melainkan juga adanya kebijakan kebijakan pemerintah (pusat /daerah) yang memang kurang menghendaki keberadaan mereka. Secara organisasi, pelaku usaha sektor informal belum memiliki manajemen usaha yang dapat mengefisienkan (ke dalam) usaha mereka dan mempunyai daya tawar (ke luar). Secara ekonomi, faktor keterbatasan modal dan akses terhadap pasar merupakan hambatan berat yang belum dapat tertanggulangi selama ini. Secara jejaring (networking), ketidakmampuan pelaku usaha sektor informal mengorganisir dirinya dalam suatu kelompok atau komunitas atau pun membuka jaringan ke luar. Secara advokasi, selama ini belum banyak terdapat upaya advokasi yang tumbuh dari dalam pelaku usaha sektor informal sendiri, dimana kebanyakan advokasi yang terjadi adalah karena adanya pihak luar yang merasa peduli dengan nasib pelaku usaha sektor informal, seperti mahasiswa, intelektual, dan LSM. Realitas tersebut menggambarkan betapa untuk memberdayakan (empowering) pelaku usaha sektor informal diperlukan upaya menyeluruh meliputi tersedianya kebijakan yang memihak keberadaannya, pengelolaan proporsi aktivitas ekonomi dengan pelaku ekonomi lainnya, pengorganisasian sebagai sarana penguatan politik, dan metoda pembinaan yang lebih partisipatif. Seluruh upaya tersebut merupakan kesatuan utuh yang saat ini perlu disosialiasikan kepada pelaku usaha sektor informal sendiri dan pengambil kebijakan untuk membangun atau menyemangati kehidupan ekonominya, sehingga tidak akan ada lagi pemikiran pada pengambil kebijakan yang memandang keberadaan usaha sektor informal sebagai entitas ekonomi yang hanya bisa menyumbangkan ketidaktertiban dan kekumuhan, melainkan harus dilihat sebagai komunitas yang potensial untuk membangun jaringan perekonomian rakyat. Pendayagunaan potensi usaha sektor informal sebagai dasar jaringan perekonomian rakyat menjadi salah satu alasan mengapa pemberdayaan usaha sektor informal penting dilakukan. Hal yang perlu

diperhatikan dalam pemberdayaan usaha sektor informal adalah penerapan pengembangan kelembagaan dan modal sosial dalam langkah-langkah pemecahan masalah usaha sektor informal. Pengembangan kelembagaan dan modal sosial merupakan suatu instrumen yang dapat digunakan untuk memberdayakan masyarakat, khususnya usaha sektor informal untuk dapat menanggulangi kemiskinan yang dialami warga masyarakat miskin dengan memanfaatkan potensi yang mereka miliki. Potensi usaha sektor informal telah membuktikan kehandalannya dalam menunjang perekonomian negara, perekonomian rakyat, dan menampung luapan tenaga kerja. Kerangka Pemikiran Kajian ini berawal dari adanya kenyataan di kelurahan Campaka masih terdapat warga masyarakat yang berada dalam kategori Keluarga Sejahtera 1 (miskin) sebagai suatu fakta kemiskinan yang perlu ditanggulangi. Programprogram penanggulangan kemiskinan yang telah diberikan kepada masyarakat kelurahan Campaka belum mencapai hasil dan tujuan yang diharapkan. Penulis mencoba untuk menggali langkah-langkah yang diperlukan untuk menunjang pencapaian keberhasilan suatu program pengembangan masyarakat. Kajian pengembangan masyarakat yang dikaji oleh penulis ditujukan pada Pemberdayaan Usaha Sektor Informal di Kelurahan Campaka Kecamatan Andir. Kajian tentang Pemberdayaan Usaha Sektor Informal tersebut didasarkan pada kerangka pemikiran tentang ketidakberdayaan pelaku usaha sektor informal di Kelurahan Campaka Kecamatan Andir sebagaimana digambarkan pada gambar di bawah ini :

PERMASALAHAN USAHA SEKTOR INFORMAL FAKTOR INTERNAL Sikap kewirausahaan Modal Tingkat Keterampilan menggunakan teknologi usaha FAKTOR EKSTERNAL Mekanisme sosialisasi bantuan dari pemilik bantuan Fluktuasi harga bahan baku Keterangan Gambar : = mempengaruhi CARA USAHA JENIS PRODUK KETIDAKBERDAYAAN USAHA SEKTOR INFORMAL INDIKATOR : Pelaku usaha sektor informal belum mampu mengakses sumber dayasumber daya yang diperlukan untuk mengembangkan usahanya. Pelaku usaha sektor informal belum mampu meningkatkan pendapatan secara mandiri dan berkesinambungan. Pelaku usaha sektor informal belum mampu meningkatkan taraf kesejahteraannya. Gambar 1. Kerangka Pemikiran Ketidakberdayaan Usaha Sektor Informal Di Kelurahan Campaka Kecamatan Andir Kota Bandung

Kerangka pemikiran pada Gambar 1 memberikan gambaran bahwa ketidakberdayaan usaha sektor informal berkaitan erat dengan faktor permasalahan internal dan eksternal. Permasalahan internal yang dialami usaha sektor informal meliputi sikap kewirausahaan (sikap dalam mengambil resiko, sikap terhadap waktu, sikap terhadap kerja keras, sikap menghitung hasil usaha, tangung jawab individu terhadap keberlangsungan usahanya, dan sikap inovatif) pelaku usaha sektor informal, keterbatasan modal dan tingkat keterampilan menggunakan teknologi usaha. Permasalahan eksternal yang dialami usaha sektor informal meliputi mekanisme sosial penyampaian informasi bantuan usaha dari pemilik bantuan usaha (pemerintah dan swasta) dan fluktuasi harga bahan baku. Permasalahan internal dan eksternal tersebut mempengaruhi cara usaha dan jenis produk yang dihasilkannya. Contoh ilustrasi kondisi seperti itu adalah pelaku usaha sektor informal misalnya memiliki modal hanya berjumlah Rp. 300.000,- sehingga hanya cukup untuk membuka usaha berjualan nasi kuning di pinggir jalan dan tidak mungkin baginya membuka usaha warungan. Permasalahan internal dan eksternal yang dialami pelaku usaha sektor informal mengakibatkan ketidakberdayaan usaha sektor informal. Ketidakberdayaan pelaku usaha sektor informal mempunyai ciri-ciri 1) Pelaku usaha sektor informal belum mampu mengakses sumber daya-sumber daya yang diperlukan untuk mengembangkan usahanya, 2) Pelaku usaha sektor informal belum mampu meningkatkan pendapatan secara mandiri dan berkesinambungan, 3) Pelaku usaha sektor informal belum mampu meningkatkan taraf kesejahteraannya. Pemberdayaan usaha sektor informal dilakukan melalui pemecahan masalah internal dan eksternal mengupayakan keberdayaan pelaku usaha sektor informal. Keberdayaan usaha sektor informal dapat diketahui melalui indikator kualitatif keberdayaan usaha sektor informal yaitu : 1. Pelaku usaha sektor informal mampu mengakses sumber daya-sumber daya yang diperlukan untuk mengembangkan usahanya. 2. Pelaku usaha sektor informal memperoleh peningkatan pendapatan secara mandiri dan berkesinambungan. 3. Pelaku usaha sektor informal mampu meningkatkan taraf kesejahteraannya. Selain itu, keberdayaan usaha sektor informal dapat ditinjau melalui indikator kuantitatif yaitu :

1. 50 % pelaku usaha sektor informal dapat melakukan pembentukan kelompok usaha di setiap RT di lingkungan Kelurahan Campaka dalam jangka waktu tiga bulan. 2. 100 % pelaku usaha sektor informal dapat membentuk jaringan usaha sektor informal dengan memberikan dua orang perwakilan pelaku usaha sektor informal setiap RT di tingkat RW dalam jangka waktu satu bulan. 3. 100 % pelaku usaha sektor informal dapat membentuk jaringan usaha sektor informal dengan memberikan dua orang perwakilan pelaku usaha sektor informal setiap RW di tingkat Kelurahan dalam jangka waktu satu bulan. 4. 50 % pelaku usaha mampu mengakses sumber daya-sumber daya yang diperlukan untuk mengembangkan usahanya. 5. 50 % pelaku usaha sektor informal dapat meningkatkan taraf pendapatannya. Keberdayaan usaha sektor informal tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan suatu strategi utama seperti : 1. Peningkatan kualitas dan kapasitas SDM pelaku usaha sektor informal. 2. Peningkatan taraf pendapatan pelaku usaha sektor informal. 3. Peningkatan kemampuan pelaku usaha sektor informal dalam memanfaatkan teknologi. 4. Peningkatan kemampuan pelaku usaha sektor informal dalam mengakses berbagai informasi. 5. Peningkatan kemampuan kewirausahaan pelaku usaha sektor informal. 6. Penataan kembali peraturan atau perundang-undangan mengenai usaha sektor informal dilandasi keberpihakan terhadap usaha sektor informal dan keteraturan tata kota.