II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Penemuan Herbisida

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia, kelapa sawit pertama kali didatangkan oleh pemerintah Hindia

TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Gulma

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman industri penting penghasil

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas penting

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum) merupakan sayuran rempah yang tingkat

I. PENDAHULUAN. Tanaman kubis (Brasica oleraceae L.) adalah salah satu tanaman sayuran yang

I. PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit mempunyai nilai ekonomi yang sangat penting bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Ekologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

I. PENDAHULUAN. Tanaman karet (Hevea brasiliensis [Muell.] Arg.) berasal dari Brazil, Amerika

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan

I. PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas

TINJAUAN PUSTAKA. Tebu adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang ditanam untuk bahan baku gula.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pengendalian Gulma di Lahan Pasang Surut

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan tanaman pangan semusim yang termasuk golongan rerumputan

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara agraris yang artinya pertanian memegang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Fitriani Suherman, 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan hewan. Di

I. PENDAHULUAN. Pengolahan tanah merupakan suatu tahapan penting dalam budidaya tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. menciptakan daerah perakaran yang baik, membenamkan sisa-sisa tanaman

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

4. Jenis pupuk. Out line. 1. Definisi pupuk 2. Nutrien pada tanaman dan implikasinya 3. Proses penyerapan unsur hara pada tanaman

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal sebagai penghasil buah dan sayuran yang dikonsumsi oleh sebagian

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya.

I. PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit adalah salah satu sumber utama minyak nabati di

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini penggunaan pestisida dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

TUGAS I. MANAJEMEN PEMELIHARAAN KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman yang penting bagi Indonesia.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan yang

Oleh: ANA KUSUMAWATI

K I M I A P E R T A N I A N

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan tanaman secara preventif dan kuratif merupakan bagian yang

TINJAUAN PUSTAKA. Nama lain Gleichenia linearis adalah Dicranopteris linearis. Termasuk ke

I. PENDAHULUAN. mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di Pulau

KERACUNAN DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH BAHAN PENGAWET KAYU

I. PENDAHULUAN. Gulma adalah tumbuhan yang tumbuh pada areal yang tidak dikehendaki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Cair Industri Tempe. pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karna tidak

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

Standart Kompetensi Kompetensi Dasar

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman yang dibudidayakan secara

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-Faktor Abiotik Utama dalam Persebaran Organisme. Assalamualaikum Wr. Wb. Ina Septi Wijaya BIOLOGI III-A

Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan

Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion

II. TINJAUAN PUSTAKA. udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 25-27º C pada siang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

BAB I PENDAHULUAN. tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan

PENGANTAR ILMU PERTANIAN PERTEMUAN KE-8 SUMBERDAYA LAHAN

Agroteknologi Tanaman Rempah dan Obat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PESTISIDA 1. Pengertian 2. Dinamika Pestisida di lingkungan Permasalahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. saat ini adalah pembibitan dua tahap. Yang dimaksud pembibitan dua tahap

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN

I. PENDAHULUAN. Karet merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia seharihari,

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

I. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam adalah jenis ikan yang secara taksonomi termasuk spesies

II. TINJAUAN PUSTAKA. Nanas merupakan tanaman buah semak yang memiliki nama ilmiah Ananas

BAB I PENDAHULUAN. kandungan gizi cukup, nilai ekonomis tinggi serta banyak digunakan baik untuk

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang perlu dikembangkan adalah produk alam hayati (Sastrodiharjo et al.,

RESPON TANAMAN JAGUNG MANIS AKIBAT PEMBERIAN TIENS GOLDEN HARVEST. Oleh : Seprita Lidar dan Surtinah

BAB I PENDAHULUAN. dari tahun ke tahun memerlukan bahan pangan yang semakin meningkat

PEMBAHASAN. Budidaya Bayam Secara Hidroponik

Sejak saat itu, digunakan pestisidapestisida lain seperti 2,4-D dan MCP Efek samping yang terhadap manusia dan lingkungan diketahui baru dalam

MODUL 2-1 NUTRISI MINERAL TUMBUHAN

I. PENDAHULUAN. untuk menambah cita rasa dan kenikmatan makanan. Berbagai kegunaan bawang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Bawang Merah. rumpun, tingginya dapat mencapai cm, Bawang Merah memiliki jenis akar

Dampak Perubahan Iklim

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 1999 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan penduduk dikarenakan tempat tinggal mereka telah tercemar. Salah satu

I. PENDAHULUAN. perkebunan tebu terbesar di Lampung adalah PT. Gunung Madu Plantation

2) Komponen Penyusun Ekosistem

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

STUDI FENOMENA AIR HITAM DAN AIR PUTIH

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Asystasia. Dalam dunia tumbuhan Asystasia intrusa (Forssk.) Blume termasuk ke

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Variabel Hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Penemuan Herbisida Herbisida merupakan bahan kimia yang dikembangkan pertama kali pada tahun 1940-an. Sebelum era tahun tersebut, garam dapur dan asam sulfat juga merupakan bahan kimia yang telah lama diketahui dapat mematikan tumbuhan, dan memang dapat disebut sebagai herbisida. Namun ledakan perkembangan herbisida tidak begitu pesat sampai pada pemakaian 2,4 D (2,4- diklorofenoksiasetat) setelah Perang Dunia II (Biotrop, 1984). Herbisida 2,4 D muncul di pasaran pada tahun 1945, dikembangkan oleh tim dari Inggris yang menginginkan peningkatan produksi pangan sebagai usaha yang dilakukan pada saat perang. Penemuan 2,4 D ini mampu memberikan konsep yang lebih jelas tentang herbisida, yaitu efektif dalam jumlah yang sedikit, selektif, dan sistemik. Penemuan herbisida membuat petani Eropa dan Amerika tertarik, karena hal ini bertepatan dengan hebatnya metode mekanisasi pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan hasil pertanian baik kuantitas maupun kualitas, serta mengurangi biaya (Anonim, 2010). Sejak tahun 1970 pemakaian herbisida di perkebunan semakin meluas, semakin banyak macam dan formulasi yang dipakai, sedangkan kuantitas herbisida yang dipakai dan luas areal yang disemprot juga semakin meningkat. Herbisida yang banyak dipakai diantaranya adalah paraquat, 2,4-D, diuron, dan amitrol (Soerjani et al., 1977). Tahap penggunaan herbisida di masa awal perkembangannya di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Menurut Soerjani et al. (1977), secara umum pemakaian herbisida di Indonesia sangat dipengaruhi oleh gejala kekurangan tenaga di berbagai tempat, terutama di daerah perkebunan yang disebabkan oleh penyerapan tenaga kerja bagi perkembangan industri dan kegiatan pembangunan lainnya, sedangkan untuk daerah pertanian di luar Jawa kekurangan akan tenaga kerja telah dirasakan sejak lama. Herbisida adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan yang menyebabkan penurunan hasil. Karakteristik herbisida dibagi ke dalam beberapa penggolongan, diantaranya penggolongan herbisida berdasarkan daya aktif terhadap jenis gulma, berdasarkan bidang sasaran, berdasarkan gerakannya

pada gulma sasaran, dan berdasarkan cara dan saat penggunaannya (Djojosumarto, 2008). Tabel 1. Tahap Penggunaan Herbisida di Indonesia HERBISIDA TAHAP I TAHAP II TAHAP III 1940 1950 1960 1970 ANORGANIK - Perkebunan ORGANIK - Perkebunan - Tanaman pangan - Perairan Tahap I : pemakaian herbisida terbatas anorganik Tahap II : pemakaian herbisida terbatas organik Tahap III : pemakaian herbisida meluas terutama herbisida selektif = penelitian = pemakaian terbatas = pemakaian meluas Sumber : Soerjani et al., 1977 Dasar pengklasifikasian herbisida menurut Moenandir (1988) cukup banyak, diantaranya klasifikasi berdasarkan cara kerja, penggunaan, cara aplikasi, struktur kimiawi, formulasi, dan selektivitas. Berdasarkan cara kerja, herbisida dikategorikan sebagai herbisida kontak dan sistemik. Herbisida kontak dikenal karena mengakibatkan efek bakar yang langsung dapat dilihat terutama pada kadar tinggi, seperti asam sulfat 70%, besi sulfat 30%, dan tembaga sulfat 40%. Herbisida kontak merusak bagian tumbuhan yang terkena langsung dan tidak ditranslokasikan ke bagian lain. Sedangkan herbisida sistemik dapat ditranslokasikan ke seluruh tubuh tumbuhan sehingga pengaruhnya luas, jenis herbisida yang termasuk golongan ini diantaranya amitrol, arsen, golongan triazin, substitusi urea, urasil, amida, karbamat, 2,4-D, dicamba, dan picloram.

Klasifikasi herbisida menurut penggunaan berdasarkan tipe gulma dan waktu aplikasi, berdasarkan tipe gulma yaitu kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan gulma jenis monokotil, dikotil, atau cyperaceae. Sedangkan menurut waktu aplikasi yaitu pra kultivasi, pra tanam, pra tumbuh (pre-emergence herbicides), dan pasca tumbuh (post-emergence herbicides). Klasifikasi herbisida menurut cara aplikasi meliputi cara aplikasi di lapang, yaitu diaplikasikan (spray) dalam larikan, terarah, di atas tumbuhan, atau pada pangkal batang. Klasifikasi herbisida menurut struktur kimiawi dibagi menjadi herbisida anorganik dan organik. Herbisida anorganik adalah herbisida yang tersusun secara anorganik, seperti CuSO 4, natrium arsenat, natrium arsenit, natrium khlorat, natrium metaborat, dan arsen trioksida (As 2 O 3 ). Herbisida organik adalah herbisida yang tersusun secara organik. Perkembangan herbisida organik menjadi pesat setelah ditemukan 2,4-D. Dalapon, alachlor, benzoat, paraquat, dinozeb, trifluralin, diuron, dan picloram adalah jenis yang termasuk herbisida organik. Herbisida yang diaplikasikan harus dapat tersebar merata sehingga perlu adanya formulasi herbisida. Klasifikasi menurut formulasi, herbisida dibedakan menjadi asam, amina, larutan, bubuk, dan granular. Sedangkan klasifikasi menurut selektivitas yaitu herbisida selektif dan herbisida non-selektif. Herbisida selektif adalah herbisida yang jika diaplikasikan akan mematikan beberapa jenis populasi tanaman dengan hanya sedikit atau sama sekali tidak melukai tanaman lainnya. Sedangkan herbisida non-selektif adalah herbisida yang dapat mematikan semua vegetasi baik sasaran ataupun bukan sasaran. Contohnya adalah diquat, paraquat, dan minyak aromatik, yang digunakan untuk membasmi gulma di tepi jalan ataupun selokan. Berdasarkan bidang sasaran, herbisida dibagi dalam dua kelompok yaitu soil applied herbicides, atau herbisida yang aktif di tanah, bekerja dengan cara menghambat perkecambahan gulma atau biji gulma yang masih berada di dalam tanah, dan foliage applied herbicides, yaitu herbisida yang diaplikasikan langsung pada daun gulma. Berdasarkan gerakan pada gulma sasaran, herbisida dibagi menjadi dua, herbisida kontak (non-sistemik), yaitu herbisida yang membunuh jaringan gulma yang terkena langsung oleh herbisida tersebut, dan herbisida sistemik, yaitu herbisida yang dapat masuk ke dalam jaringan tumbuhan, dan ditranslokasikan ke bagian tumbuhan lainnya. Sedangkan

berdasarkan cara dan saat penggunaannya, herbisida dibagi menjadi herbisida pratumbuh (pre-emergence herbicides), yang diaplikasikan pada tanah sebelum gulma tumbuh, dan herbisida pascatumbuh (post-emergence herbicides) yang diaplikasikan saat gulma sudah tumbuh. Dalam pengendalian hama terpadu (PHT), herbisida digunakan sebagai alternatif terakhir jika masih ada cara lain yang lebih efektif dan aman digunakan. Pada tingkat tertentu herbisida merupakan senyawa beracun, sehingga pemakaian herbisida haruslah secara arif bijaksana dan memerlukan pendidikan konsumen dalam hal teknik aplikasi, pemakaian, dan keselamatan (Pengendalian Gulma, 2010). Penggunaan herbisida sangat menguntungkan petani, menurut Tjitrosoedirdjo et al. (1984), keuntungan tersebut antara lain : 1. Herbisida dapat mengendalikan gulma yang tumbuh bersama tanaman budidaya yang sulit disiangi. 2. Herbisida pre-emergence mampu mengendalikan gulma sejak awal. Kompetisi sejak awal inilah yang banyak menyebabkan kerugian. 3. Erosi di perkebunan dapat dikurangi dengan membiarkan gulma tumbuh secara terbatas dengan pemakaian herbisida. 4. Banyak gulma yang bersifat pohon lebih mudah dibasmi dengan herbisida, begitu juga pada daerah hutan produksi dalam usaha mengurangi tegalan. 5. Pemakaian herbisida juga dapat mengurangi kerusakan akar karena pengerjaan tanah waktu menyiangi secara mekanis. Namun herbisida juga memiliki kelemahan yaitu karena termasuk teknologi tinggi maka memerlukan kecakapan yang baik untuk penggunaannya baik yang berhubungan dengan keselamatan pengguna, dosis, maupun manipulasi unsur lingkungan lainnya. Menurut Soerjani et al. (1977), suatu kekeliruan dalam penggunaan herbisida dalam pemakaian dosis, cara, dan waktu penyemprotan maupun pemilihan herbisida dapat menimbulkan resiko yang jauh melampaui resiko cara-cara lainnya. Sehingga jelas bahwa cara kimia membutuhkan tenaga terlatih dan terdidik untuk melakukannya dan dengan pengawasan dan tanggung jawab besar yang membutuhkan tenaga ahli. Kerugian yang harus mendapat perhatian serius adalah kerugian yang menyangkut dasar-dasar ekologi yaitu kerugian karena pengaruh samping terhadap lingkungan.

2.2. Persistensi Herbisida di Tanah Kontak antara partikel tanah dan molekul herbisida dapat terjadi dengan beberapa cara, diantaranya berasal dari jatuhnya dari semprotan ke tanah, herbisida pra-tumbuh yang diaplikasikan melalui tanah, dan juga herbisida yang tidak terdegradasi oleh tumbuhan akan kembali ke tanah setelah tumbuhan itu mati dan membusuk. Apabila suatu herbisida mencapai tanah, ia akan bertemu dengan media yang sangat heterogen dan interaksi terjadi dalam berbagai bentuk. Persistensi atau derajat ketahanan herbisida dalam tanah merupakan akibat berbagai jenis interaksi antara tanah dan herbisida. Herbisida mungkin teradsorpsi dalam tanah secara reversibel atau terikat secara tetap dan irreversibel oleh partikel tanah. Pada kondisi pertama, herbisida masih dapat diserap oleh tanaman atau berubah lokasi karena pencucian, atau herbisida mengalami dekomposisi secara kimia atau secara biologis oleh jasad renik (Tjitrosoedirdjo et al., 1984). Lamanya waktu herbisida aktif tertinggal di dalam tanah disebut persistensi tanah (persistence soil) atau masa residu tanah (soil residual life). Keberadaan herbisida di dalam tanah setelah tugasnya terlaksana dapat disebut residu herbisida. Istilah residu herbisida mengacu pada keberadaan herbisida yang berlanjut di dalam tanah meskipun bukan dalam bentuk jumlah herbisida atau yang segera tersedia untuk diserap tanaman. Secara umum, dekomposisi hasil samping dari herbisida dapat dikatakan sebagai residu herbisida, yang tidak atau dapat menimbulkan masalah bagi penggunaan lahan berikutnya (Anderson, 1983). Bahaya dari herbisida yang terlalu lama berada dalam tanah adalah bahaya phyto-toxic after effect, dimana tidak dapat diduga sebelumnya. Tanaman akan keracunan herbisida yang diberikan pada musim sebelumnya (Sumintapura dan Iskandar, 1980). Beberapa faktor yang diketahui berpengaruh terhadap persistensi herbisida dalam tanah (Sumintapura dan Iskandar, 1980) diantaranya adalah : 1. Dekomposisi oleh mikroorganisme Mikroorganisme utama di dalam tanah terdiri atas bakteri, jamur, dan Actinomycetes. Bahan makanan dan energi dibutuhkan mikroorganisme untuk keperluan pertumbuhannya. Bahan makanannya terdiri bahan organik dan sebagian bahan anorganik. Mikroorganisme menggunakan semua bahan organik yang ada di dalam tanah untuk bahan makanannya termasuk juga herbisida. Mikroorganisme mampu merubah dan menghancurkan molekul-

molekul organik herbisida yang mengakibatkan penonaktifan bahan kimia tersebut. Proses ini disebut dekomposisi mikrobial (Anderson, 1983). Dekomposisi herbisida sangat tergantung dari jenis herbisida, ada yang sulit terurai dan juga mudah terurai di dalam tanah. 2. Dekomposisi kimiawi (non-biologis) Dekomposisi herbisida dapat terjadi pada tanah yang telah disterilisasi yang menunjukkan bahwa dekomposisi itu adalah non-biologis (Tjitrosoedirdjo et al., 1984). Dekomposisi kimiawi menyebabkan terurainya herbisida karena terjadi reaksi kimia. Proses dekomposisi kimiawi ini dapat berlangsung dengan adanya oksidasi, reduksi, hidrolisa, dan hidratasi. Potassium cyanat apabila dilarutkan ke dalam air akan terjadi proses hidrolisa, dan herbisida ini akan terurai menjadi unsur-unsur kimia atau senyawa-senyawa kimia yang tidak berarti apa-apa bagi tumbuhan. 3. Pencucian (leaching) Pencucian merupakan suatu proses merembesnya suatu senyawa kimia ke kedalaman yang lebih dalam atau berpindahnya senyawa tersebut dari tempatnya semula, sehingga menyebabkan hilangnya senyawa tersebut dari tempatnya semula. Pemakaian herbisida pada perlakuan pra-tumbuh (pre-emergence), apabila dalam bentuk butiran, biasanya disebar di permukaan tanah, dengan bantuan air, baik irigasi ataupun air hujan, herbisida tersebut akan tercuci dan merembes ke dalam tanah. Ada beberapa jenis herbisida yang mudah tercuci di dalam tanah, ada pula yang dapat tercuci namun tidak merembes terlalu dalam, misalnya NaClO 3. Mudah atau tidaknya herbisida tercuci dalam tanah tergantuung dari kelarutan dari herbisida dalam tanah, banyaknya air yang merembes, dan banyaknya herbisida yang dapat diadsorpsi oleh tanah. Menurut Anderson (1983), secara umum adsorpsi merupakan faktor yang terpenting yang mempengaruhi proses pencucian di dalam tanah. Secara umum, herbisida dapat tercuci ke arah bawah di dalam tanah sampai kedalaman kurang dari 2,5 cm hingga lebih dari 1 m. Dua faktor di dalam tanah yang secara tidak langsung mempengaruhi pencucian herbisida adalah keasaman tanah (ph) dan koloid tanah (organik dan anorganik).

4. Adsorpsi oleh koloid tanah Adsorpsi merujuk kepada daya tarik, adhesi, dan akumulasi molekulmolekul di air tanah atau pada batas udara tanah, yang mengakibatkan satu atau lebih lapisan ion atau molekul pada permukaan partikel tanah (Rao, 2000). Adsorpsi menentukan berapa banyak molekul herbisida akan tertinggal di permukaan tanah dan berapa banyak yang tercuci masuk ke strata tanah paling dalam. Adsorpsi dapat menjelaskan persistensi herbisida pada lapisan permukaan yang tidak dapat dijelaskan melalui proses pencucian dan kelarutan. Oleh karena itu bukan kelarutan yang menjadi faktor utama yang mengatur tingkat pergerakan herbisida di dalam tanah. Karena jenis tanah yang berbeda mengadsorpsi jumlah herbisida yang berbeda, dosis herbisida dapat dimodifikasi menurut kapasitas adsorptif dari jenis tanah yang berbeda (Mercado, 1979). 5. Fotodekomposisi Fotodekomposisi adalah penguraian suatu senyawa kimia menjadi senyawa lainnya yang disebabkan oleh adanya cahaya matahari. Hal ini bisa juga terjadi pada herbisida. Pada suatu percobaan, herbisida monuron dilarutkan dalam akuades sebanyak 88,3 ppm. Larutan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung gelas yang berwarna jernih dan dijemur dalam sinar matahari selama kurang lebih 24 jam. Setelah penjemuran tersebut, jumlahnya yang terkandung ternyata hilang sebanyak 83%. Fotodekomposisi merupakan mekanisme detoksifikasi herbisida yang penting pada tanah dibawah kondisi lapang terutama jika diberikan di atas permukaan tanpa menerima air hujan maupun irigasi (Jordan et al., 1964 dalam Rao, 2000). Beberapa faktor yang dapat membantu dan mempercepat fotodekomposisi adalah suhu permukaan tanah yang tinggi, kegiatan mikroba dalam tanah, reaksi kimia yang terjadi dalam tanah, dan adsorpsi oleh tanah. 6. Volatilisasi (penguapan) Penguapan merupakan proses dimana suatu zat berubah dari keadaan padat atau cair menjadi keadaan gas (Anderson, 1983). Transformasi ini ditentukan oleh elevasi suhu dan pengurangan tekanan eksternal (Rao, 2000). Penguapan pada larutan herbisida menurut Sumintapura dan Iskandar (1980), adalah penguapan keseluruhan cairan tersebut, sehingga tidak meninggalkan

sisa pada tempat bekasnya. Herbisida yang menguap beserta bahan aktifnya, dapat pula merupakan racun bagi tumbuhan yang terkena oleh uap tersebut. Ester dari 2,4-D juga dapat menguap, apakah penguapannya itu banyak atau tidak tergantung pada keadaan tanah, dimana herbisida ini diberikan, terutama pada suhu tanah. Apabila herbisida ini diberikan pada permukaan tanah yang sangat kering dan panas, maka sebagian besar dari herbisida ini akan menguap. Anderson (1983) menyatakan bahwa penguapan herbisida lebih cepat terjadi pada tanah yang kering dibanding tanah yang lembab karena herbisida pada umumnya diadsorbsi lebih kuat pada tanah yang kering. Selain itu, Tjitrosoedirdjo et al. (1984) juga menyatakan penguapan menyebabkan hilangnya sebagian herbisida yang dipakai, sehingga mengurangi jumlah yang dapat diserap oleh gulma. 2.3. Efek Herbisida terhadap Kesehatan Manusia dan Lingkungan Sebagian besar herbisida relatif bersifat non-toksik bagi manusia, karena cara kerja herbisida pada level molekular umumnya di tempat yang spesifik bagi tanaman, namun tidak bagi hewan tingkat tinggi. Namun bagaimanapun semua jenis bahan kimia, baik alami maupun sintetis, adalah beracun dan memerlukan penanganan khusus. Selain itu, bahaya kesehatan terbesar dari herbisida adalah terhadap orang-orang yang bekerja dengan herbisida atau terpapar dalam jumlah besar, misalnya pada pabrik industri, formulasi, dan bagian distribusi, serta mereka yang terlibat dalam aplikasi langsung di lapangan seperti pekerja yang menyemprotkan, mencampur, menggunakan dengan mesin atau dengan peasawat udara (Monaco et al., 2002). Efek yang ditimbulkan oleh herbisida pada manusia dapat berupa bintikbintik merah pada kulit, keracunan perut (melalui pencernaan), ataupun keracunan pernapasan (melalui hidung), hingga kematian. Cara serangan dapat ditimbulkan melalui konsumsi secara sengaja ataupun tidak sengaja, kesalahan penggunaan yang mengakibatkan herbisida masuk ke dalam tubuh manusia atau satwa, penghirupan melalui semprotan udara, atau konsumsi makanan sebelum ada interval berlabel pra panen. Selain itu dalam kondisi ekstrim, herbisida juga dapat terangkut melalui air limpasan permukaan yang dapat mencemari sumber air dalam. Sebagian besar herbisida terdekomposisi dengan cepat di dalam tanah melalui dekomposisi mikroba, hidrolisis, atau fotolisis (Anonim, 2011; Tjitrosoedirdjo et al., 1984).

Penelitian laboratorium dengan 2,4-D memang pernah menunjukkan pengaruh herbisida ini terhadap embrio. Pada burung, herbisida ini menyebabkan kematian embrio, sedangkan yang hidup mengalami paralisis, lordosis, dan perubahan kelamin (Anonim, 1973 dalam Soerjani et al., 1977). Penggunaan herbisida pada teknik silvikultur untuk memperbaiki pertumbuhan jenis pohon tertentu yang diikuti dengan penebangan dapat menyebabkan penurunan yang signifikan pada populasi burung (MacKinnon dan Freedman, 1993). Herbisida yang digunakan untuk pertanian di Inggris telah dikaitkan dengan penurunan pada spesies burung pemakan biji yang bergantung pada gulma yang dimatikan oleh herbisida (Anonim, 2011). Menurut Soerjani et al. (1977), kadar rendah dapat memberikan pengaruh resisten terhadap tumbuhan pengganggu, oleh karena itu penyemprotan yang tidak sempurna dapat memberikan pengaruh jangka panjang yang tidak terduga. Di samping itu secara tidak langsung penggunaan herbisida akan merangsang tumbuhan pengganggu lain yang bukan sasaran menjadi dominan. Hal ini terjadi di daerah yang alang-alangnya (Imperata cylindrica) berhasil ditekan pertumbuhannya, sehingga menyebabkan Mikania micrantha mendapat kesempatan untuk tumbuh dominan karena tidak adanya persaingan dengan alang-alang. Herbisida tidak hanya digunakan dalam usaha pertanian, tetapi juga dalam pengendalian tumbuhan air pengganggu di perairan terbuka (seperti rawa, danau, waduk) untuk kepentingan perikanan, pariwisata, pembangkit tenaga listrik, dan navigasi. Implikasinya adalah akibat penggunaan herbisida dalam perairan adalah terjadinya defisiensi oksigen berkaitan dengan banyaknya kandungan tumbuhan mati yang mengalami peruraian (Wardojo, 1977). Menurut Frank (1970) dalam Wardojo (1977), pola umum pengaruh herbisida terhadap jasad-jasad perairan adalah sebagai berikut, mula-mula tumbuhan air mati dan plankton nabati jumlahnya menurun, diikuti dengan menurunnya jumlah jasad hewani renik (mikro-fauna), termasuk plankton hewani dan insekta yang hidup (menempel) pada akar tumbuhan. Jumlah bahan organik yang membusuk dan terurai akan meningkat, jumlah mineral yang terlarut dalam air meningkat pula. Hal ini menyebabkan peningkatan kembali populasi berbagai jenis jasad nabati dan hewani perairan. Waktu yang diperlukan mulai terjadinya sampai berakhirnya proses tersebut bervariasi tergantung pada jenis dan kadar

senyawa herbisida serta habitat perairan. Umumnya dalam selang waktu 2 hingga 3 minggu. 2.4. Beberapa Jenis Hebisida yang Digunakan di Perkebunan Tebu 2.4.1. Paraquat Diklorida Paraquat diklorida memiliki nama IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry) 1,1'-dimethyl-4,4'-bipyridinium dichloride. Paraquat masuk ke dalam golongan herbisida garam bipiridilium. Paraquat merupakan herbisida non- berwarna hijau, dan bersifat kontak. Herbisida ini bekerja sangat cepat jika ada selektif, berspektrum pengendalian luas, dan membunuh semua jaringan cahaya matahari. Dengan bantuan cahaya matahari dan okisgen, paraquat akan mempengaruhi fotosintesiss dengan terbentuknya superoksida yang akan menghancurkan membran sel dan sitoplasma (Djojosumarto, 2008). Aktivitas paraquat sangat dipengaruhi oleh cahaya dan suhu. Suhu dengan intensitas tinggi akan mempercepat terjadinya klorosis setelah aplikasi paraquat atau dari golongan bipiridilium ini (Moenandir, 1988). Gambar 2. Struktur Kimia Paraquat Paraquat terikat kuat pada partikel tanah dan cenderung tetap terikat untuk waktu yang lama dalam keadaan yang tidak aktif, meskipun dapat terdesorbsi lagi dan menjadi aktif. Waktu paruh di dalam tanah bisa mencapai 20 tahun (Watts, 2011). Meskipun hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tanah seperti tekstur tanah, kelembaban, temperatur, kemasaman tanah, bahan organik, dan sebagainya. 2.4.2. Amonium Glufosinat Amonium glufosinat atau glufosinat termasuk dalam golongan organofosfat, dengan namaa menurut IUPAC adalah 2-Amino-4-(hydroxy-methyl- amonium glufosinat. Glufosinat merupakan herbisida kontak, non-selektif dan phosphoryl)butanoic acid. Glufosinat adalah nama pendek dari garam amonium, bekerja dengan menghambat sintesis asam amino glutamin serta menghambat fotosintesis (Djojosumarto, 2008). Glufosinat merupakan turunan dari

phosphinothricin, mikroba alami bersifat racun yang diisolasi dari 2 spesies jamur Streptomyces. US EPA (United States-Environmental Protection Agency) mengklasifikasikan glufosinat dalam golongan persisten dan mudah berpindah. Degradasi glufosinat sebagian besar oleh aktivitas mikroba. Waktu paruh ditemukan pada berbagai studi laboratorium dari 3-42 hari sampai lebih dari 70 hari pada studi lainnya. Waktu paruh terpendek di tanah tergantungg dari kandungan bahan organik dan liat yg tinggi (Jewell dan Buffin, 2001). Gambar 3. Struktur Kimia Amonium Glufosinat Produk hancuran utama glufosinat di dalam tanaman, hewan, dan tanah adalah 3-(methylphospinyl) propionic acid (MPPA-3) yang bersifat neurotoksin, 2- (methylphospinyl) acetic acid (MPAA-2), dan juga CO 2. Hasil metabolit glufosinat, MPPA-3 ditemukan lebih persisten dan lebih mudah berpindah dibandingkan glufosinat. Di dalam percobaan kolom tanah pencucian jumlah MPPA-3 tercuci lebih besar 20 kali dibandingkan dengan jumlah glufosinat yg tercuci (Jewell dan Buffin, 2001). 2.4.3. 2,4-D (2,4 dichlorophenoxy acetic acid) 2,4-D merupakan senyawa hormon tumbuhan sintetik yang bekerja seperti indol asam asetat. 2,4-D adalah salah satu herbisida yang paling banyak digunakan di seluruh dunia sebagai pengendali gulma berdaun lebar. 2,4-D bersifat selektif dan sistemik, diserap melalui daun atau akar, ditranslokasikan dan akan terakumulasi pada jaringan muda (meristem) pucuk dan akar (Djojosumarto, 2008). Gambar 4. Struktur Kimia 2,4-dichlophenoxy acetic acid Pecahan produk 2,4-D terdeteksi melalui percobaan laboratorium termasuk 1,2,4-benzenetriol, 2,4-dichlorophenol (2,4-DCP), 2,4-dichloroanisole