KEDAULATAN DAN OTONOMI DESA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

dokumen-dokumen yang mirip
CATATAN KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RUU DESA.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang

I. PENDAHULUAN. daerah di Indonesia. Sumatera Barat dengan sistem pemerintahan nagari yang. tersendiri yang berbeda dengan masyarakat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. demikian besar dan luasnya, maka dibutuhkan strategi pemerintahan yang mantap.

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Hal ini dapat dilihat pada

BAB II LANDASAN TEORI

MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN DESA MELALUI UNDANG-UNDANG DESA Oleh : Mardisontori, LLM *

BAB I PENDAHULUAN. pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyikapi RUU. tentang Keistimewaan Yogyakarta. Kurang lebih

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Dpemerintahan terkecil dan

kinerja DPR-GR mengalami perubahan, manakala ada keberanian dari lembaga legislatif untuk kritis terhadap kinerja eksekutif. Pada masa Orde Baru,

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000)

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP;

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. Indenosia tersebar di desa-desa seluruh Indonesia. diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan

Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara. Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan reformasi birokrasi

BAB III TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Menurut UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

APA ITU DAERAH OTONOM?

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

BAB II PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA YANG DITUANGKAN DALAM UNJUK RASA (DEMONSTRASI) SEBAGAI HAK DALAM MENGEMUKAKAN PENDAPAT

BAB I PENDAHULUAN. batas-batas wilayah dihuni oleh sejumlah penduduk dan mempunyai adat-istiadat

1. Menjelaskaan kekuasaan dalam pelaksanaan konsitusi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. Peran strategis Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebagai lembaga

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SHINTA HAPPY YUSTIARI, S.AP, MPA

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

EKSEKUTIF, LEGISLATIF, DAN YUDIKATIF

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya. Undang-Undang Dasar

BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DESA DI INDONESIA. Ketika masa pemerintahan kolonial atau biasa disebut dengan Pemerintahan

DESA. Dari Modul Kuliah SPL Aan Eko Widiarto, SH. MHum.

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas

BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Usulan Domain desa.id

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

I. PENDAHULUAN. langsung, kebebasan berekspresi secara terbuka, berasosiasi, sampai kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. yang diyakini mampu memberikan nafas segar dari keterpurukan politik

Kajian Akademik Daerah Istimewa Surakarta

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, lahir dari perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam hukum yang hidup

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, maupun kemasyarakatan maupun tugas-tugas pembantuan yang

PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO

BAB III KERANGKA TEORI

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah

SMP. 1. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara 2. Susunan ketatanegaraan suatu negara 3. Pembagian & pembatasan tugas ketatanegaraan

BAB I PENDAHULUAN. bidang aspek ketatanegaraan. Amademen terhadap UUD 1945 menjadi momok

BAB IV ANALISIS JURIDIS DINAMIKA PENGATURAN PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH DI INDONESIA

Pandangan Umum Terhadap Konsep Otonomi Daerah Dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Perkembangan Pasca UU MD3/2014. Herlambang P. Wiratraman Unair

PENDAHULUAN Latar Belakang

HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH : Sistem Pemerintahan Desa

BAB I PENDAHULUAN. wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

BAB I PENDAHULUAN. bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas), artinya segala sesuatu yang

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat?

INDEPENDENSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL NEGARA

SUMBANGAN RETRIBUSI PASAR TRADISIONAL KEPADA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA

BAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

I. PENDAHULUAN. Motivasi terbesar yang mendasari perjuangan rakyat Indonesia merebut

BAB III KERANGKA TEORITIS. urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian

I. PENDAHULUAN. proses penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Abdulkarim (2007:15), pemerintah yang berpegang pada demokrasi merupakan pemerintah yang

Assalamu'alaikum Wr.Wb Salam Sejahtera

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di

Transkripsi:

POLICY PAPER BINA DESA #RUU DESA KEDAULATAN DAN OTONOMI DESA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN Ribuan kepala desa yang tergabung dalam asosiasi kepala desa dalam dua tahun terakhir ini semakin unjuk gigi dengan menggelar serangkaian demonstrasi di Ibu Kota, tepatnya mereka menyambangi Istana Presiden dan DPR-RI. Suatu fenomena baru bahwa para pamong praja tersebut pada akhirnya menempuh jalan aksi massa sebagaimana layaknya para mahasiswa, buruh dan petani yang kerapkali menggelar demonstrasi untuk menuntut hak-haknya. Fenomena gerakan kepala desa ini hampir tidak pernah terjadi baik pada masa kolonial hingga Orde Baru. Keresahan mereka memuncak melalui tuntutan kepada Pemerintah Pusat untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang tentang Desa (RUU Desa) yang kini tengah digodok oleh Pemerintah dan DPR-RI. Memang, bila dibandingkan dengan reformasi politik dan hukum yang lain, reformasi Desa boleh dikatakan hampir-hampir terlupakan. Berbagai pembuatan dan revisi undang-undang dan bahkan amandemen UUD 1945 yang ditujukan untuk menata-kembali ketatanegaraan Indonesia yang lebih terbuka dan demokratis sejak reformasi begitu cepat terjadi sehingga persoalan tumpang tindih kewenangan antar undang-undang tersebut seringkali tak terhindarkan. Di tengah lalu lintas reformasi undang-undang dan bahkan perdebatan amandemen UUD 1945 tersebut, Desa sebagai bagian dari entitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) makin lama semakin terpinggirkan dan tidak jelas posisinya dalam konfigurasi Kesatuan Negara Republik Indonesia. Padahal ditinjau dari sudut historis sebelum Republik Indonesia lahir, Desa-desa telah lebih dahulu ada dan sampai kini lebih dari tujuh puluh persen penduduk Indonesia masih bertempat tinggal di Desa. Ketika UUD 1945 diamandemen yang seharusnya menjadi peluang untuk mempertegas kedudukan Desa dalam konstitusi, keberadaan Desa justru tidak disebutkan secara jelas, kalaupun ada penafsiran itupun hanya samar-samar. Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa: Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Disebutkan juga dalam Pasal 18b UUD 1945 tentang pengakuan negara atas kesatuan masyarakat adat, namun Desa dan masyarakat adat meskipun dalam beberapa bagian sama 1

tetapi masing-masing entitas mereka berbeda, itupun pengakuan eksistensi kesatuan masyarakat adat sebagaimana yang disebutkan dalam konstitusi terlebih dahulu harus melalui pemerintah daerah. Desa kemudian sepenuhnya diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bab XI yang mengatur tentang Desa. UU ini merupakan revisi atas UU No. 22 tahun 1999. Bila dilihat maksud dari UU No. 32 tahun 2004 tersebut, tampak bahwa otonomi daerah berhenti hanya sampai tingkat kabupaten/kota, selebihnya pengaturan mengenai Desa berada di bawah kewenangan kabupaten/kota, Di mana kewenangan Desa adalah kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan kepada Desa. Jelas ketentuan ini mencederai latar belakang dan sejarah proses pembentukan NKRI. UU No. 32 tahun 2004 mengandung ambivalensi dalam menempatkan kedudukan Desa. Di satu sisi, secara hirarkial Desa berada dalam kewenangan kabupaten/kota, di sisi lain, UU tersebut mengakui dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal-usul. Pengakuan pada kewenangan asal-usul ini menunjukkan bahwa UU No. 32 tahun 2004 menganut prinsip pengakuan (rekognisi) atas otonomi asli Desa yakni hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat (self governing community), bukan merupakan pelimpahan kewenangan dari kabupaten/kota ke Desa. Adanya sikap mendua dari UU No. 32 tahun 2004 ini jelas menciptakan persoalan tersendiri bagi Desa yakni apakah sesungguhnya Desa masih memiliki otonomi? Pertanyaan yang paling mendasar adalah apa yang dimaksud dengan otonomi desa tersebut? Apakah otonomi asli sebagaimana yang menjadi prinsip dasar dari UU No. 32 tahun 2004 atau otonomi yang didesentralisasi sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah pusat ke daerah? Ketidakjelasan kedudukan dan kewenangan Desa ini menunjukan bahwa Negara sesungguhnya masih belum merelakan Desa diberikan otonomi berdasarkan hak asal-usul sebagaimana yang dijamin dalam konstitusi. Hal ini dikarenakan ketidakpahaman dan mungkin juga ketidakpedulian para pembuat UU dalam memahami Desa baik dari sudut pandang sejarah, folosofi, sosiologi, yuridis dan konstitusi, sehingga dengan mudahnya mereka meminggirkan dan bahkan menghapus keberadaan Desa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Persoalan Desa memang tidak sederhana, tidak hanya membicarakan segi kedudukan dan kewenangannya dalam struktur tata pemerintahan, tapi juga segi sosio-ekonomi, sosio-politik dan sosio-kebudayaan. Karena itu untuk membahas masalah Desa terlebih dahulu digambarkan apa itu Desa, apakah Desa hanya sebagai konsep ruang/batas wilayah administrative ataukah ia meliputi juga konsep entitas sosial-budaya dan entitas ekonomi suatu komunitas. Sayangnya perdebatan selama ini mengenai Desa, khususnya RUU Desa lebih banyak didominasi oleh wacana politik administrasi negara yang sesungguhnya bukan menjawab persoalan-persoalan dasar Desa. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana kedaulatan dan otonomi Desa, khususnya dalam 2

konteks RUU Desa yang kini sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR, tulisan ini akan membahas permasalahan di atas secara terpisah yang diawali dengan membedah apa itu Desa dan bagaimana perkembangannya dalam sejarah. Desa Sebagai Entitas Sosial Desa-desa di Indonesia telah ada jauh sebelum Republik Indonesia lahir dan sebelum pemerintah kolonial berkuasa di bumi nusantara. Desa merupakan unit sosial dari suatu wilayah yang menjadi basis penghidupan komunitas setempat. Pada awalnya Desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri atau sering disebut dengan selfgoverning community. Terbentuknya Desa sebenarnya bukan didorong oleh kepentingan birokrasi dan administrasi yang datang dari atas dan diciptakan oleh sistem pemerintahan yang lebih besar, tapi terbentuknya Desa lebih dikarenakan adanya proses evolusi sosial, ekonomi dan budaya suatu masyarakat yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Proses interaksi antar anggota masyarakat menciptakan saling ketergantungan dalam mempertahankan kehidupan bersama, karena mereka sadar bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk sosial dan tidak bisa berdiri sendiri. Dari kebutuhan dan keharusan mempertahankan kehidupan bersama tersebut maka lahirlah kesepakatan-kesepakatan, kerjasama, tukar menukar barang-barang kebutuhan pokok, nilai-nilai yang diciptakan bersama, yang seluruhnya kemudian dikodifikasi menjadi ketentuan baku yang disebut adat-istiadat yang dijadikan sebagai sistem nilai dan moralitas. Dalam rangka menegakkan sistem tersebut maka diperlukan tata-kuasa dan tata-kelola yang berfungsi menjaga agar sistem tersebut dapat berlangsung dengan baik dan ditaati semua anggota komunitas, kemudian lahirlah apa yang kita kenal dengan hukum dan pemerintahan adat atau disebut sebagai Desa Adat. Jadi sudah sejak lahirnya Desa itu mempunyai keragaman dan otonomi dalam mengelola tata-kuasa dan tata-kelola atas penduduk, pranata lokal, dan sumberdaya ekonomi. Desa dalam konteks ini lebih dikenal sebagai pranata sosial, ekonomi dan budaya. Karakteristik Desa itu beragam, hal ini disebabkan sejarah dan evolusi terbentuknya Desa berbeda-beda antara satu dengan lainnya, sehingga istilah atau penyebutan Desa tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Di Jawa kita mengenal dengan sebutan Desa, di Batak kita kenal dengan istilah Huta, di Sumatera Barat dikenal dengan Nagari. Desa-desa tersebut pada umumnya mempunyai tata-kelola pemerintahan sendiri yang dikelola secara otonom tanpa ikatan hirakhis-struktural dengan struktur yang lebih tinggi. Misalnya, Nagari di Sumatera Barat bisa dikatakan sebagai republic kecil yang mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self governing community). 3

Hal yang menarik adalah karakteristik Desa-desa tradisional di Jawa. Jauh sebelum Republik Indonesia lahir dan mengenal demokrasi dan bahkan negara-negara lain yang masih terkungkung dengan sistem otoritarian, sentralistik, feodalistik, sistem tata-kelola pemerintahan Desa di Jawa telah menerapkan prinsip Trias Politica yang dianut oleh negara bangsa modern. Desa-desa di Jawa mengenal Kepala Desa beserta perangkatnya sebagai badan eksekutif, Rapat Desa (rmbug Desa) sebagai badan legislatif, dan Dewan Morokaki sebagai badan yudikatif yang bertugas dalam bidang peradilan dan kadang berperan sebagai badan pertimbangan bagi eksekutif. Di bidang ekonomi, Desa memiliki lumbung-lumbung pangan sebagai antisipasi kalau-kalau terjadi krisis pangan, dan bahkan Desa memiliki seperangkat aturan mengenai tata-kelola sumberdaya alam yang menjadi basis pendukung kehidupan masyarakat Desa. Jadi istilah negara kecil yang dilekatkan pada Desa memang sudah benar, karena semua ciri/karakteristik sebuah negara sudah ada pada Desa. Itulah sebabnya kita tidak bisa ingkari bila dikatakan bahwa Desa adalah sebagai landasan atau pondasi terbentuknya NKRI. Desa di Masa Kolonial Dalam berbagai studi telah banyak diterangkan bahwa Desa adalah entitas otonom dari Negara. Desa lebih dulu lahir dari Negara, bila saat ini kita melihat Desa ditempatkan dalam struktur paling bawah dari tata pemerintahan, itu lebih disebabkan Desa telah mengalami proses penaklukan, kooptasi, eksploitasi dan bahkan penghancuran sekian lama sejak masa kerajaan, periode kolonial dan lahirnya negara-negara modern. Desa-desa di Nusantara juga mengalami pasang surut sebagai akibat dari sistem kekuasaan yang datang silih berganti. Di masa pra kolonial, Desa selalu menjadi sasaran dan korban penaklukan kerajaan-kerajaan besar. Seringkali Desa yang kalah dirampas hasil buminya, rakyatnya dijadikan budak, dan dijadikan sumber setoran upeti ke istana kerajaan atau bupati. Di masa kolonial yang ditandai dengan berdirinya cikal bakal Negara Kolonial, Desa juga menjadi pusat perhatian pemerintah kolonial untuk membentuk tata pemerintahan yang lebih terkonsolidasi dan modern. Pada masa kolonial inilah Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum mulai diperkenalkan. Periode ini menjadi titik awal Desa sebagai entitas sosial-budaya dirubah menjadi entitas politik administrasi negara. Pemerintah kolonial sangat berkepentingan untuk membangun suatu birokrasi modern dalam rangka menjalankan sistem penjajahan yang lebih efektif dan efisien. Pemerintah kolonial tidak ingin mengambil resiko menghadapi perlawanan dari Desa, sementara basis nadi ekonomi kolonialisme ada di Desa. Karena itu melalui studi yang cukup lama mengenai karakteristik Desa-desa di kepulauan nusantara maka pemerintah kolonial mendapat gambaran dan masukan bagaimana seharusnya menempatkan kedudukan Desa dalam sistem negara kolonial. 4

Dari kajian tersebut, pada tahun 1848 pemerintah kolonial Belanda menerbitkan ketentuan mengenai Desa dengan nama Indische Staatsregeling. Undang-undang ini mulai diberlakukan pada tahun 1854. Dalam pasal 128, ketentuan mengenai Desa disebutkan intinya sebagai berikut: 1. Desa-desa bumiputera dibiarkan memilih kepala anggota pemerintahan Desanya sendiri, namun dengan persetujuan penguasa yang ditunjuk oleh Gubernur Jenderal; 2. Kepala Desa bumiputera diberikan hak mengatur dan mengurus rumah tangganya dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal, pemerintah wilayah dan residen atau pemerintah otonom yang ditunjuk dengan ordonansi; 3. Kepala Desa diberikan kewenangan untuk memungut pajak di bawah pengawasan tertentu, menetapkan hukuman terhadap pelanggaran atas aturan yang diadakan oleh Desa. Pemerintah kolonial Belanda juga mengeluarkan Regeeringsreglement 1854, sebagai cikal bakal pengaturan tentang daerah dan Desa. Pasal 71 (pasal 128.I.S) menegaskan tentang kedudukan Desa, yakni: 1. Desa dalam peraturan ini disebut inlandsche gemeenten atas pengesahan kepala daerah (residen), berhak untuk memilih kepala dan pemerintahan Desanya sendiri; 2. Kepala Desa berhak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang keluar dari Gubernur Jenderal atau dari kepala daerah (residen). Seiring dengan semakin menguatnya gagasan politik etis di Hindia Belanda, berbagai regulasi terhadap kaum bumiputera yang dianggap tidak sejalan dengan semangat demokrasi liberal yang menjadi isu sentral di negara-negara Eropa termasuk Belanda, direvisi dan bahkan ada yang dihapus. Berkaitan dengan kedudukan Desa maka pada tahun 1941 pemerintah kolonial mempertinggi status Desa dengan mengeluarkan kebijakan yang disebut Desa Ordonantie (S. 1941 N0. 356). Rancangan Desa Ordonantie ini disampaikan oleh pemerintah Hindia Belanda tanggal 23 Januari 1941 dan kemudian ditetapkan tanggal 2 Agustus 1941. Semangat Desa Ordonantie ini berbeda dengan ordonantie-ordonantie yang lain. Prinsipnya adalah supaya Desa diberi keleluasaan untuk berkembang menurut potensi dan kondisinya sendiri. Desa tidak lagi dikekang dengan berbagai regulasi yang bersifat sentralistik sebagaimana terjadi sebelumnya. Desa Ordonantie membagi Desa ke dalam dua kategori, yakni: Desa yang sudah maju dan Desa yang belum maju. Untuk Desa yang sudah maju, pemerintahan dijalankan oleh sebuah Dewan Desa (Desaraad), sedang Desa yang belum maju, pemerintahannya disusun berdasarkan yang sudah ada, yaitu pemerintahan dilakukan oleh Kepala Desa dan dibantu oleh perangkat Desa. Dalam Desa Ordonantie ditegaskan pemerintah mengurangi campur tangan atas Desa, bahkan 5

disarankan menggunakan hukum adat dalam menjalankan pemerintahannya. Namun sayangnya ordonantie ini tidak terlaksana karena keburu balatentara Jepang menjajah Indonesia. Kedudukan Desa dalam NKRI Ketika rakyat dan bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan dan terbentuknya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, masalah desentralisasi dan otonomi daerah telah menjadi pusat bahasan dalam perdebatan perumusan UUD 1945. Isu tentang daerah ini termuat dalam bab IV, pasal 18 UUD 1945. Untuk mengatur pemerintahan Republik Indonesia pasca 17 Agustus 1945, Badan Pekerja Komite Nasional Pusat mengeluarkan pengumuman No. 2 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1/1945. UU ini mengatur kedudukan Desa dan kekuasaan Komite Nasional Daerah, sebagai badan legislatif yang dipimpin oleh seorang Kepala Daerah. UU ini merupakan peraturan desentralisasi yang pertama di Republik Indonesia. UU ini menyebutkan bahwa letak otonomi terbawah bukan pada kecamatan tapi Desa, sebagai kesatuan masyarakat yang mengatur rumah tangga pemerintahannya sendiri. Pemerintah terus melakukan revisi atas UU No. 1/1945 dengan membentuk panitia adhoc yang diketuai oleh R.P. Suroso. Selama dua tahun bekerja, panitia berhasil menghasilkan dua RUU yakni RUU tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan RUU tentang Desa Praja. Kedua RUU tersebut oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah saat itu Ipik Gandamana pada tahun 1961 disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Setelah melalui perdebatan alot pada tanggal 1 September 1965, DPRGR menetapkan sebagai Undang-undang, masing-masing menjadi UU No. 18/1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 19/1965 tentang Desapraja. Menurut UU No. 19/1965, yang dimaksud dengan Desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai harta bendanya sendiri. Bila dilihat sepintas lalu nampak UU No. 19/1965 tersebut tidak jauh berbeda dari maksud dan tujuan yang termuat dalam Desa Ordonantie tahun 1941 yang intinya adalah memberikan pengakuan atas otonomi Desa dan memberikan keleluasaan Desa menjalankan pemerintahannya sendiri. Perjalanan otonomi dan kedaulatan Desa mencapai anti klimaksnya ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa, terutama sejak lahirnya UU No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Sesuai dengan karakter kekuasaan Orde Baru, UU ini sengaja diciptakan untuk memperkuat borokratisasi, sentralisasi dan otoritarianisme. UU No. 5/1974 menciptakan format seragam tentang Desa di seluruh Indonesia, sebagaimana yang disebutkan dalam UU ini mengenai Desa: Desa adalah wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai persatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Di sini Desa didudukkan sebagai struktur birokrasi pemerintahan terendah yang 6

langsung berada di bawah camat. Kebijakan ini merupakan pembalikan seratus delapan puluh derajat dari berbagai kebijakan yang ada sebelumnya baik pada masa kolonial maupun saat kemerdekaan. Dapat dikatakan bahwa selama lebih dari tiga puluh tahun di bawah kekuasaan Orde Baru, perjalanan kedaulatan dan otonomi Desa memasuki masa suram sampai akhirnya kembali diwacanakan ke publik setelah reformasi. [] COPYRIGTH@BINA DESA, 2012. EDITOR BY; SABIQ CAREBESTH & SYAIFUL BAHARI 7